*Flashback lima tahun yang lalu
Drucia Luna, gadis cantik yang baru saja merayakan kelulusan SMA, tengah bermain bersama saudara-saudaranya di halaman belakang panti asuhan. Suasana sore itu terasa begitu ceria, dengan tawa dan canda yang mengiringi permainan mereka. Namun, keceriaan itu terganggu saat pasangan suami istri yang tidak dikenal mendekat ke arah mereka.
Pasangan itu tidak datang sendiri. Mereka terlihat berjalan bersama Ibu Panti, yang wajahnya tampak serius.
"Luna..." panggil Ibu pantinya dengan suara lembut.
Luna berhenti sejenak dan menatap mereka dengan tatapan bingung. "Ibu mau bicara sebentar," ujar wanita paruh baya itu lagi.
"Ada apa, Ibu?" tanyanya Luna, matanya melirik pasangan suami istri yang tampak serius.
Ibu Panti tersenyum tipis, meski senyumnya terasa dipaksakan. "Ini Tuan dan Nyonya Kusuma. Mereka mau bicara sama kamu," jawabnya.
Luna menghela napas. Kemudian ia mengikuti ketiga orang dewasa itu yang sudah berjalan lebih dulu masuk ke dalam rumah.
Di dalam rumah, Ibu Panti sudah duduk di kursinya dengan wajah yang tampak tenang, meskipun matanya menyiratkan kekhawatiran. Pasangan suami istri itu duduk di sofa, tepat di depan Luna, menatapnya dengan penuh perhatian dan harap.
"Kami datang ke sini untuk memberikan tawaran kepadamu, Luna." Tuan Kusuma mulai membuka percakapan, sementara Nyonya Kusuma masih terdiam.
"Aku mau di adopsi?" tanya Luna dengan wajah tak suka pada Ibu pantinya.
"Dengerin dulu, Nak," sahut Ibu pantinya dengan lembut.
Luna menghela napas. Kemudian kembali menatap pasangan itu dengan wajah tak nyaman.
"Perkenalkan, saya Ardan, dan ini istri saya, Wulan." Pria itu kembali berbicara, sementara sang istri di sampingnya hanya diam, matanya tetap memandang Luna dengan penuh perhatian.
"Kami ingin menawarkan sesuatu kepadamu, Luna." Kali ini Nyonya Kusuma yang angkat bicara. "Kami sudah tujuh tahun menikah, tetapi kami belum dikaruniai anak."
Luna mendengarnya dengan wajah masam, pikirannya langsung mengarah pada kemungkinan bahwa pasangan ini datang untuk mengadopsinya.
"Aku nggak mau diadopsi. Aku sudah besar, aku masih nyaman tinggal di sini," ujar Luna dengan tegas
"Kami bukan bermaksud mengadopsi kamu, Luna," sahut Nyonya Kusuma.
"Terus?" tanya Luna dengan tatapan sinis.
"Saya ingin menawarkan kamu untuk menjadi istri kedua suami saya dan melahirkan seorang anak untuk keluarga kami," lanjut Nyonya Kusuma. "Kami akan memberi imbalan satu milyar rupiah dan merenovasi seluruh bangunan panti ini. Setelah anak itu lahir, kamu bisa bercerai dari suami saya tanpa membawa anak itu, dan kamu bisa melanjutkan hidupmu seperti biasa."
Luna terkejut. Matanya terbelalak dan mulutnya terbuka lebar. Ia menatap pasangan suami istri itu dengan tatapan tak percaya.
"Kami juga akan menjadi donatur tetap di panti ini jika kamu menerima tawarannya," tambah Tuan Kusuma dengan suara penuh harap.
Tanpa ragu sedikitpun, Luna langsung menjawab dengan lantang. "ENGGAK!"
Tuan Kusuma dan Nyonya Kusuma saling bertukar pandang, lalu menghela napas. Kemudian Tuan Kusuma kembali angkat bicara dengan nada yang lebih serius, "Pikirkan baik-baik, Luna. Kalau kamu merasa ini sangat berat, setidaknya pikirkan Ibu Panti dan adik-adikmu. Dengan uang sebanyak itu, kamu nggak akan hidup susah lagi. Adik-adikmu juga pasti terpenuhi kebutuhannya. Mereka nggak akan lagi tidur di kamar yang bocor, nggak akan kekurangan makanan, dan nggak lagi kekurangan uang jajan."
Luna terdiam, kata-kata Tuan Kusuma seperti menembus pertahanannya. Hatinya bergejolak, merasa terjebak dalam pilihan yang sangat sulit. Di satu sisi, tawaran itu bisa memberikan kehidupan yang lebih baik bagi panti asuhan dan keluarganya. Namun di sisi lain, tawaran itu sangat melukai harga dirinya.
Ia cantik, muda dan berprestasi. Banyak pria lajang yang menyukainya. Bagaimana mungkin ia harus menyerahkan hidupnya kepada pria tua yang sudah beristri? Meskipun pria itu terlihat masih gagah dan tampan, Luna tetap tidak bisa menerimanya.
"Luna..." Ibu Panti hendak berbicara, namun Luna langsung menyahut dengan cepat. "Nggak mau, Bu. Aku masih kecil. Aku aja kayak anaknya mereka." Mata Luna mulai berkaca-kaca, menahan tangis yang ingin pecah.
"Ibu banyak hutang, Nak. Ibu juga sudah nggak punya uang lagi buat biayain adik-adik kamu. Ibu cuma bisa sekolahin kamu sama Andaru aja. Ibu sudah nggak sanggup lagi, karena buat makan saja Ibu harus hutang ke mana-mana," ucap Ibu Panti dengan mata yang berkaca-kaca. Luna tak tega melihatnya. Wanita paruh baya itu sudah tampak begitu lelah. Mengingat betapa seringnya ibunya sakit-sakitan, Luna semakin bimbang dengan tawaran itu.
Luna bukan anak yang kurang ajar. Ia tahu caranya berbalas budi. Selama ini ia juga selalu membantu ibunya mencari uang dengan berjualan. Namun itu tak cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Sekarang, keadaan ekonomi mereka semakin memburuk. Tak ada satupun donatur yang mau berdonasi ke panti ini karena uang yang disumbangkan sering kali diselewengkan oleh bendahara panti yang kini sudah kabur entah ke mana.
Satu-satunya cara untuk menyelamatkan kehidupan mereka adalah dengan menerima tawaran itu. Luna tak ingin ibunya semakin sakit, dan ia juga tak mau adik-adiknya putus sekolah atau sampai kekurangan makanan setiap harinya.
Mereka tumbuh bersama di sini. Meskipun tak sedarah, Luna sangat menyayangi mereka.
"Bagaimana?" tanya Nyonya Kusuma.
"Kenapa kalian nggak mencoba bayi tabung aja?" Luna balik bertanya, mencoba untuk mencari kejelasan.
Nyonya Kusuma tersenyum tipis, senyum yang penuh keputusasaan. "Kami sudah pernah mencobanya, Luna, tapi gagal. Kami sudah nggak punya harapan untuk memiliki anak lagi, karena rahim saya sudah diangkat."
Luna menatap Nyonya Kusuma dengan mata yang mulai berkaca-kaca, merasa campur aduk antara kasihan dan kebingungannya sendiri. Ia menghela napas berat, merasa terpojok dalam keputusan yang begitu sulit.
"Aku... aku akan coba bantu," kata Luna akhirnya dengan suara yang hampir tak terdengar. "Tapi hanya sekali, hanya untuk anak itu. Setelah itu, aku ingin hidupku kembali seperti semula."
Tuan Kusuma dan Nyonya Kusuma saling berpandangan, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja didengar. Namun, mereka hanya mengangguk penuh rasa terima kasih.
Luna menunduk, matanya basah, tetapi ia tahu ini adalah satu-satunya cara untuk membantu adik-adiknya dan Ibu panti yang telah merawatnya selama ini. Dengan perasaan berat, ia menerima tawaran itu, meskipun hatinya masih belum ikhlas.
*****
Selama lima bulan pertama pernikahan, Luna masih sering menangis. Ia belum bisa menerima nasibnya yang dinikahi oleh pria yang sudah beristri dan usianya 15 tahun lebih tua darinya. Luna benar-benar merasa tertekan. Meski Ardan selalu baik dan perhatian padanya, ia tidak merasa nyaman menjadi istrinya karena Wulan mulai menampakkan sifat aslinya.
Jika Ardan ada di dekat mereka, Wulan selalu bersikap manis dan perhatian. Namun, jika Ardan tidak ada, Wulan tidak segan-segan memarahinya, bahkan menyiksanya dengan sesuka hati. Ia selalu diperintah layaknya pembantu, padahal posisinya kini sudah mengandung anak Ardan.
"Kehadiran kamu cuma merusak hubungan saya sama Mas Ardan! Kamu nggak tahu diri! Semenjak ada kamu, perhatian Mas Ardan jadi terbagi. Dia bahkan jarang senyum ke saya lagi!" Wulan memarahi Luna sambil menjambak rambutnya dengan keras.
Luna menangis, tak punya daya untuk melawan karena tubuhnya sedang sakit. Ia sudah sering melaporkan kejadian ini ke Ardan, namun Ardan hanya menanggapinya dengan kata-kata tanpa tindakan nyata.
"Tolong aku, Mas. Aku nggak kuat kalau tinggal sama Mbak Wulan terus. Aku disiksa kalau nggak ada kamu, Mas!"
"Udah saya tegur. Wulan memang begitu sikapnya, tapi sebenarnya dia baik. Kamu harus bisa beradaptasi sama dia, nanti lama-lama juga terbiasa."
Semakin hari, Luna semakin menderita. Apalagi saat kandungannya memasuki usia enam bulan, Wulan tidak memberinya kesempatan untuk beristirahat hingga menyebabkan Luna hampir keguguran.
"Kalau akhirnya Mbak Wulan cemburu, kenapa dulu Mbak harus memaksa saya untuk jadi istri kedua Mas Ardan? Andai waktu itu Mbak Wulan nggak maksa, mungkin saya nggak akan menderita, dan Mbak Wulan juga nggak akan kehilangan perhatian Mas Ardan," ucap Luna dengan suara lemah.
"Terus kenapa kamu terima?! Dasar mata duitan! Saya melakukan itu karena saya takut diceraikan Mas Ardan!" teriak Wulan dengan emosi yang memuncak.
Luna sudah pernah bertanya pada Wulan, kenapa dari sekian banyak wanita, ia yang dipilih untuk menjadi istri kedua Ardan. Dan Wulan menjawab, bahwa ia dipilih karena anak-anak di panti asuhan dianggap tak berharga dan bisa diperlakukan semena-mena. Selain itu, Wulan mengaku bahwa Luna memiliki wajah yang cantik, yang dianggapnya akan menghasilkan keturunan dengan gen yang baik untuk masa depan mereka.
Sungguh jahat sekali bukan?
Di usia kandungan Luna yang sudah menginjak delapan bulan, menjelang kelahiran anaknya, Wulan semakin cemburu pada perhatian yang diberikan Ardan kepada Luna. Karena rasa cemburunya yang semakin mendalam, Wulan bahkan rela menyewa pria bayaran untuk melancarkan fitnahnya terhadap Luna.
Akibatnya, Ardan marah besar dan berakhir menceraikan Luna karena terpengaruh oleh ucapan Wulan yang mengatakan bahwa anak yang dikandung Luna bukanlah anak Ardan, melainkan anak dari pria lain yang konon tidur bersama Luna setiap kali Ardan tidak ada di rumah.
Suasana pagi hari di Panti Asuhan Lentera Hati terasa begitu riuh. Beberapa anak sibuk bersiap-siap untuk pergi ke sekolah, sementara yang sudah dewasa sedang mempersiapkan diri untuk pergi bekerja.Di sisi lain, suasana di rumah Ibu Panti jauh lebih gaduh. Tangisan anak kecil bercampur dengan suara omelan seorang wanita menciptakan keramaian yang memusingkan di pagi hari.“Iya, Cio... sebentar. Ini Bunda lagi siap-siap!”Drucia Luna, wanita cantik berusia 23 tahun itu, nyaris kehilangan kesabarannya menghadapi putra semata wayangnya yang sangat rewel. Ibunya sedang memasak, dan ia sedang bersiap-siap untuk pergi ke kampus. Jadi tidak ada yang mengurus anaknya saat ini. "BUNDA LAMA!" teriak bocah itu diiringi dengan tangisan yang semakin kencang. Luna menarik napas, berusaha meredam emosinya. Dari arah dapur, Juli—ibu pantinya, berlari kecil menghampiri mereka."Ayo, mandi sama Nenek, ya," bujuk Juli lembut sambil membungkuk untuk menggendong Cio.Namun, bocah itu dengan cepat menep
“Mau ke mana kamu?” Langkah Luna terhenti seketika. Suara yang begitu familiar menggema di tangga yang sepi. Dengan ragu, ia menoleh ke belakang.Jantungnya berdebar kencang saat mendapati Ardan berdiri di belakangnya dengan sorot mata yang begitu tajam. “Kamu mau kabur dari kelas saya?” tanya Ardan dengan nada dingin. Luna menghela napas, berusaha untuk tetap tenang. “Mau cari udara di luar,” jawabnya. “Memangnya saya ngizinin?” Luna menghela napas berat, memalingkan wajahnya sejenak sebelum kembali menatap Ardan dengan wajah tegas. “Kamu nggak nyaman kalau ada aku di kelas, kan? Yaudah, biar aku yang ngalah. Kamu balik aja. Mahasiswa yang lain udah pada nunggu.”Ardan tetap berdiri dengan tatapan datar. “Kembali ke kelas,” perintahnya dengan tegas. Luna menggeleng tegas. "Kamu aja. Aku mau ke kantin. Terserah kamu mau absen aku alpa atau apapun itu," tolaknya. Tanpa menunggu jawaban, Luna melanjutkan langkahnya menuruni tangga. Namun, suara dingin Ardan kembali menghentikan l
“Pede banget kamu. Saya ngejar kamu karena mau nagih uang saya,” ujar Ardan dengan nada ketus. “Balikin semua uang saya waktu itu. Perjanjian kita batal karena kamu sudah mengkhianati saya.”Mulut Luna terbuka, matanya membelalak, lalu tawa sumbang keluar dari bibirnya. Tidak ada lagi yang bisa ia katakan selain menunjukkan ketidakpercayaannya pada situasi absurd ini.“Serius? Mas Ardan minta uang itu lagi?” tanya Luna, suaranya penuh nada sinis. “Waktu itu pas aku balikin, kamu malah nolak. Sekarang tiba-tiba diminta lagi? Kenapa? Mas Ardan kekurangan uang? Atau… jangan-jangan kamu jatuh miskin?”Nada Luna terdengar mencemooh. Ia sudah tidak peduli lagi jika pria di depannya merasa tersinggung. Emosinya sudah sampai di ujung batas.“Sembarangan banget kamu ngatain saya jatuh miskin! Asal kamu tahu aja, harta saya nggak akan habis sampai tujuh turunan,” balas Ardan dengan nada sombong, matanya menatap Luna tajam. “Saya cuma nggak rela kalau uang saya dimakan sama pengkhianat. Apalagi
Pagi ini, Luna mengikuti perkuliahan seperti biasa. Tak ada jadwal Ardan di kelasnya saat ini, jadi ia akan menemui pria itu ketika istirahat nanti. Karena sedang jamkos, jadi semua mahasiswa yang ada di kelas itu sibuk dengan kegiatannya sendiri-sendiri.“Ada yang tahu akun instagram Pak Ardan? “Kenapa? Pasti mau menggatal, ya?” “Sedikit-sedikit, hahaha.” “Awas ketahuan istrinya.” “Enggak, aku cuma kepo aja. Pengen lihat foto-foto dia waktu masih muda.” “Kok bisa ganteng banget ya? Padahal udah mau kepala empat. Nggak kebayang gimana cakepnya anaknya yang mewarisi gen dia.” “Iya pasti ganteng sama cantik banget.” Luna hanya bisa menghela napas mendengar celotehan teman-temannya. Sambil menumpu dagu dengan tangan kiri, tangan kanannya sibuk mencatat materi mata kuliah di bukunya.“Kak Luna, Kakak kemarin ke mana waktu jadwalnya Pak Ardan? Kok nggak balik sampai selesai? Pak Ardan kelihatan kayak nahan marah,” tanya seorang gadis berkacamata. Luna tersenyum tipis, kemudian men
Bajingan, pengecut, pemaksa, licik, pendendam, semua sebutan itu terasa sangat cocok untuk Ardan. Luna benar-benar marah, tapi ia tak bisa mengabaikan ancaman pria itu begitu saja. Ia takut bukan karena benar-benar berselingkuh, melainkan karena ia tidak ingin mencoreng reputasinya di kampus. Selama ini, ia telah membangun citra sebagai mahasiswa teladan, dan ia tidak mau semua itu hancur hanya karena ulah pria tersebut. Setelah memastikan tidak ada orang di sekitar parkiran yang memperhatikannya, Luna segera masuk ke dalam mobil Ardan."Siapa yang nyuruh kamu duduk di belakang?" Suara dingin Ardan langsung terdengar, membuat Luna mendengus kesal. Ia melipat tangan di depan dada, enggan menanggapi."Pindah ke depan," perintah Ardan tegas, tatapannya menusuk melalui kaca spion.Luna berdecak kesal. "Ck, tinggal jalan aja apa susahnya sih? Repot amat," gerutunya pelan.Enggan keluar dari mobil lagi, ia melangkah ke kursi depan dengan cara setengah melompati konsol tengah. Gerakannya g
"Kok anak kamu mirip saya?" Itu adalah pertanyaan pertama yang keluar dari mulut Ardan.Luna memutar bola matanya malas, sementara Cio menatap Ardan dengan tatapan penuh tanya."Ya karena emang anak kamu, Mas! Kamu sih percaya ke Mbak Wulan. Sekarang nyesel kan, udah tua tapi belum pernah ngerasain jadi Ayah? Makanya jadi orang jangan jahat-jahat!" Luna akhirnya meluapkan kata-kata yang sudah lama terpendam. Ia merasa sedikit lega setelah mengatakannya.Ardan terdiam. Sebuah perasaan menyesal yang mendalam tiba-tiba menyergap dirinya. Ia merasa seperti tertampar, bukan hanya oleh ucapan Luna, tapi juga oleh kenyataan yang kini terungkap begitu jelas di depannya."Bunda, mana Om Dylan? Kata Bunda, Om Dylan ada di depan. Kok malah orang ini yang muncul?" tanya Cio dengan wajah cemberut.Lamunan Ardan terbuyar, namun tatapannya masih terpaku pada bocah itu. Ia menatap Cio dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Ada kebingungan yang mendalam, dan ada rasa sesal yang kian menggelayuti hatin
"Kok anak kamu mirip saya?" Itu adalah pertanyaan pertama yang keluar dari mulut Ardan.Luna memutar bola matanya malas, sementara Cio menatap Ardan dengan tatapan penuh tanya."Ya karena emang anak kamu, Mas! Kamu sih percaya ke Mbak Wulan. Sekarang nyesel kan, udah tua tapi belum pernah ngerasain jadi Ayah? Makanya jadi orang jangan jahat-jahat!" Luna akhirnya meluapkan kata-kata yang sudah lama terpendam. Ia merasa sedikit lega setelah mengatakannya.Ardan terdiam. Sebuah perasaan menyesal yang mendalam tiba-tiba menyergap dirinya. Ia merasa seperti tertampar, bukan hanya oleh ucapan Luna, tapi juga oleh kenyataan yang kini terungkap begitu jelas di depannya."Bunda, mana Om Dylan? Kata Bunda, Om Dylan ada di depan. Kok malah orang ini yang muncul?" tanya Cio dengan wajah cemberut.Lamunan Ardan terbuyar, namun tatapannya masih terpaku pada bocah itu. Ia menatap Cio dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Ada kebingungan yang mendalam, dan ada rasa sesal yang kian menggelayuti hatin
Bajingan, pengecut, pemaksa, licik, pendendam, semua sebutan itu terasa sangat cocok untuk Ardan. Luna benar-benar marah, tapi ia tak bisa mengabaikan ancaman pria itu begitu saja. Ia takut bukan karena benar-benar berselingkuh, melainkan karena ia tidak ingin mencoreng reputasinya di kampus. Selama ini, ia telah membangun citra sebagai mahasiswa teladan, dan ia tidak mau semua itu hancur hanya karena ulah pria tersebut. Setelah memastikan tidak ada orang di sekitar parkiran yang memperhatikannya, Luna segera masuk ke dalam mobil Ardan."Siapa yang nyuruh kamu duduk di belakang?" Suara dingin Ardan langsung terdengar, membuat Luna mendengus kesal. Ia melipat tangan di depan dada, enggan menanggapi."Pindah ke depan," perintah Ardan tegas, tatapannya menusuk melalui kaca spion.Luna berdecak kesal. "Ck, tinggal jalan aja apa susahnya sih? Repot amat," gerutunya pelan.Enggan keluar dari mobil lagi, ia melangkah ke kursi depan dengan cara setengah melompati konsol tengah. Gerakannya g
Pagi ini, Luna mengikuti perkuliahan seperti biasa. Tak ada jadwal Ardan di kelasnya saat ini, jadi ia akan menemui pria itu ketika istirahat nanti. Karena sedang jamkos, jadi semua mahasiswa yang ada di kelas itu sibuk dengan kegiatannya sendiri-sendiri.“Ada yang tahu akun instagram Pak Ardan? “Kenapa? Pasti mau menggatal, ya?” “Sedikit-sedikit, hahaha.” “Awas ketahuan istrinya.” “Enggak, aku cuma kepo aja. Pengen lihat foto-foto dia waktu masih muda.” “Kok bisa ganteng banget ya? Padahal udah mau kepala empat. Nggak kebayang gimana cakepnya anaknya yang mewarisi gen dia.” “Iya pasti ganteng sama cantik banget.” Luna hanya bisa menghela napas mendengar celotehan teman-temannya. Sambil menumpu dagu dengan tangan kiri, tangan kanannya sibuk mencatat materi mata kuliah di bukunya.“Kak Luna, Kakak kemarin ke mana waktu jadwalnya Pak Ardan? Kok nggak balik sampai selesai? Pak Ardan kelihatan kayak nahan marah,” tanya seorang gadis berkacamata. Luna tersenyum tipis, kemudian men
“Pede banget kamu. Saya ngejar kamu karena mau nagih uang saya,” ujar Ardan dengan nada ketus. “Balikin semua uang saya waktu itu. Perjanjian kita batal karena kamu sudah mengkhianati saya.”Mulut Luna terbuka, matanya membelalak, lalu tawa sumbang keluar dari bibirnya. Tidak ada lagi yang bisa ia katakan selain menunjukkan ketidakpercayaannya pada situasi absurd ini.“Serius? Mas Ardan minta uang itu lagi?” tanya Luna, suaranya penuh nada sinis. “Waktu itu pas aku balikin, kamu malah nolak. Sekarang tiba-tiba diminta lagi? Kenapa? Mas Ardan kekurangan uang? Atau… jangan-jangan kamu jatuh miskin?”Nada Luna terdengar mencemooh. Ia sudah tidak peduli lagi jika pria di depannya merasa tersinggung. Emosinya sudah sampai di ujung batas.“Sembarangan banget kamu ngatain saya jatuh miskin! Asal kamu tahu aja, harta saya nggak akan habis sampai tujuh turunan,” balas Ardan dengan nada sombong, matanya menatap Luna tajam. “Saya cuma nggak rela kalau uang saya dimakan sama pengkhianat. Apalagi
“Mau ke mana kamu?” Langkah Luna terhenti seketika. Suara yang begitu familiar menggema di tangga yang sepi. Dengan ragu, ia menoleh ke belakang.Jantungnya berdebar kencang saat mendapati Ardan berdiri di belakangnya dengan sorot mata yang begitu tajam. “Kamu mau kabur dari kelas saya?” tanya Ardan dengan nada dingin. Luna menghela napas, berusaha untuk tetap tenang. “Mau cari udara di luar,” jawabnya. “Memangnya saya ngizinin?” Luna menghela napas berat, memalingkan wajahnya sejenak sebelum kembali menatap Ardan dengan wajah tegas. “Kamu nggak nyaman kalau ada aku di kelas, kan? Yaudah, biar aku yang ngalah. Kamu balik aja. Mahasiswa yang lain udah pada nunggu.”Ardan tetap berdiri dengan tatapan datar. “Kembali ke kelas,” perintahnya dengan tegas. Luna menggeleng tegas. "Kamu aja. Aku mau ke kantin. Terserah kamu mau absen aku alpa atau apapun itu," tolaknya. Tanpa menunggu jawaban, Luna melanjutkan langkahnya menuruni tangga. Namun, suara dingin Ardan kembali menghentikan l
Suasana pagi hari di Panti Asuhan Lentera Hati terasa begitu riuh. Beberapa anak sibuk bersiap-siap untuk pergi ke sekolah, sementara yang sudah dewasa sedang mempersiapkan diri untuk pergi bekerja.Di sisi lain, suasana di rumah Ibu Panti jauh lebih gaduh. Tangisan anak kecil bercampur dengan suara omelan seorang wanita menciptakan keramaian yang memusingkan di pagi hari.“Iya, Cio... sebentar. Ini Bunda lagi siap-siap!”Drucia Luna, wanita cantik berusia 23 tahun itu, nyaris kehilangan kesabarannya menghadapi putra semata wayangnya yang sangat rewel. Ibunya sedang memasak, dan ia sedang bersiap-siap untuk pergi ke kampus. Jadi tidak ada yang mengurus anaknya saat ini. "BUNDA LAMA!" teriak bocah itu diiringi dengan tangisan yang semakin kencang. Luna menarik napas, berusaha meredam emosinya. Dari arah dapur, Juli—ibu pantinya, berlari kecil menghampiri mereka."Ayo, mandi sama Nenek, ya," bujuk Juli lembut sambil membungkuk untuk menggendong Cio.Namun, bocah itu dengan cepat menep
*Flashback lima tahun yang lalu Drucia Luna, gadis cantik yang baru saja merayakan kelulusan SMA, tengah bermain bersama saudara-saudaranya di halaman belakang panti asuhan. Suasana sore itu terasa begitu ceria, dengan tawa dan canda yang mengiringi permainan mereka. Namun, keceriaan itu terganggu saat pasangan suami istri yang tidak dikenal mendekat ke arah mereka. Pasangan itu tidak datang sendiri. Mereka terlihat berjalan bersama Ibu Panti, yang wajahnya tampak serius. "Luna..." panggil Ibu pantinya dengan suara lembut. Luna berhenti sejenak dan menatap mereka dengan tatapan bingung. "Ibu mau bicara sebentar," ujar wanita paruh baya itu lagi. "Ada apa, Ibu?" tanyanya Luna, matanya melirik pasangan suami istri yang tampak serius. Ibu Panti tersenyum tipis, meski senyumnya terasa dipaksakan. "Ini Tuan dan Nyonya Kusuma. Mereka mau bicara sama kamu," jawabnya. Luna menghela napas. Kemudian ia mengikuti ketiga orang dewasa itu yang sudah berjalan lebih dulu masuk ke dalam r