“Mau ke mana kamu?”
Langkah Luna terhenti seketika. Suara yang begitu familiar menggema di tangga yang sepi. Dengan ragu, ia menoleh ke belakang. Jantungnya berdebar kencang saat mendapati Ardan berdiri di belakangnya dengan sorot mata yang begitu tajam. “Kamu mau kabur dari kelas saya?” tanya Ardan dengan nada dingin. Luna menghela napas, berusaha untuk tetap tenang. “Mau cari udara di luar,” jawabnya. “Memangnya saya ngizinin?” Luna menghela napas berat, memalingkan wajahnya sejenak sebelum kembali menatap Ardan dengan wajah tegas. “Kamu nggak nyaman kalau ada aku di kelas, kan? Yaudah, biar aku yang ngalah. Kamu balik aja. Mahasiswa yang lain udah pada nunggu.” Ardan tetap berdiri dengan tatapan datar. “Kembali ke kelas,” perintahnya dengan tegas. Luna menggeleng tegas. "Kamu aja. Aku mau ke kantin. Terserah kamu mau absen aku alpa atau apapun itu," tolaknya. Tanpa menunggu jawaban, Luna melanjutkan langkahnya menuruni tangga. Namun, suara dingin Ardan kembali menghentikan langkahnya. “Setelah lima tahun, saya pikir kamu sudah hancur, ternyata masih belum. Entah apa alasannya, Tuhan masih memberi nyawa ke tubuh pengkhianat.” Kata-kata itu menusuk seperti belati. Luna mencengkeram pegangan tangga dengan erat, mencoba meredam gemuruh di hatinya. Dadanya terasa sesak, dan rahangnya mengeras menahan air mata yang nyaris tumpah. Tanpa menoleh, Luna mempercepat langkahnya. Ia tak ingin terlihat lemah di depan pria itu. Rencana untuk ke kantin berubah seketika. Ia memilih taman, tempat yang lebih sepi untuk menyendiri. Sesampainya di taman, Luna langsung menjatuhkan tubuhnya di kursi panjang. Kepalanya tertunduk, dan jari-jarinya meremas ujung kursi dengan erat, menahan emosi yang meluap-luap. “Hiks… hiks…” Isakan tangis akhirnya pecah. Ucapan Ardan terlalu tajam, menusuk hingga menghancurkan pertahanan hatinya. Selama beberapa tahun ini, tak ada yang membuatnya menangis selain drama korea sad ending. Namun kini, luka yang ia pikir sudah sembuh kembali dibuka oleh pria yang sama. “Cio, Bunda sumpahin wajah kamu nanti persis Ayah kamu kalau udah besar, Nak. Nggak apa-apa sekarang Bunda dibilang pengkhianat. Suatu saat, Bunda bakal buktiin kalau semua tuduhan itu salah.” Kalimat itu sudah sering Luna ucapkan sejak putranya lahir ke dunia. Ia selalu berharap Cio memiliki wajah yang sama persis dengan ayahnya, agar suatu hari ia tidak perlu repot-repot menyangkal segala tuduhan yang pernah dilontarkan padanya. Di tengah kegalauannya, suara ponsel yang berdering dari saku celananya memecah lamunan. Luna mengambil ponsel itu dengan gerakan malas. Namun, begitu melihat nama pengirim pesan yang tertera di layar, senyum tipis langsung terukir di wajahnya. Dokter Dylan: [Nanti biar aku aja yang jemput Cio ke sekolah. Aku udah janji mau ngajak dia makan pizza.] Luna tersenyum tipis. Jika part terburuk dalam hidupnya adalah bertemu dengan Ardan dan Wulan. Maka part terbaik dalam hidupnya adalah kehadiran Cio dan Dylan. Meskipun hubungan mereka belum memiliki ikatan resmi, Dylan selalu berhasil memberikan kenyamanan di tengah kehidupan Luna yang penuh lika-liku. Mereka saling menyukai satu sama lain, namun belum ada yang berani mengungkapkan. ***** Setelah jam perkuliahan berakhir, Luna pergi ke kantin terlebih dahulu untuk mengambil box kue yang tadi ia titipkan di salah satu penjual. Sudah lama Luna melakukan ini. Menitipkan kue yang ia buat di kantin. Ia bekerja sama dengan ibu-ibu di kantin yang sangat baik hati. Beruntungnya, banyak mahasiswa yang menyukai kue buatannya. Keuntungannya memang tidak terlalu besar, tapi cukup untuk membiayai hidup anaknya. "Lun, minggu depan bisa, kan, buat pesenan 300 pcs? Ini ada pesanan dari tetangga Ibu buat hajatan," ujar wanita paruh baya itu. Namanya Yanti, dia sangat baik pada Luna. Luna mengangguk sambil tersenyum manis. "Bisa banget, Bu. Tapi mungkin agak lama selesainya, soalnya Ibu saya mau pergi keluar kota, jadi nggak ada yang jagain anak saya." "Iya, nggak papa, Lun. Yang penting jadi," jawab Bu Yanti sambil tersenyum hangat. "Yaudah, saya pulang dulu ya, Bu." Luna berbalik dan melangkah meninggalkan kantin. Namun, ia terkejut saat melihat Ardan yang berdiri di depan kantin dengan wajah datar dan kedua tangan yang diselipkan ke dalam saku. Tak ada orang di sana, karena kantin sedang sepi. "Syukurlah kalau kamu hidup susah. Itu karma buat kamu karena sudah mengkhianati saya," ujar Ardan dengan nada sinis. Luna hanya menghela napas, tak ingin membuang waktu untuk menanggapi ucapan Ardan yang begitu menyakitkan. Dengan cepat, ia melanjutkan langkahnya, melewati Ardan begitu saja. "Hidup susah katanya? Dia nggak tahu aja kalau omsetku perbulan bisa tembus sepuluh juta. Belum lagi uang dari adik-adikku yang selalu ngasih jatah buat Cio," gerutunya kesal. Selain menitipkan makanan di kantin, Luna juga membuka lapak di depan panti setiap sore. Kebetulan letak pantinya yang berada di depan jalan raya, jadi sering dikunjungi oleh pembeli. Adik-adik lelakinya yang sudah beranjak dewasa juga sudah bekerja semua. Mereka tidak ingin Luna mengorbankan hidupnya lagi demi mereka, jadi mereka berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri dan juga kebutuhan anak Luna. "Apa kamu nggak pernah baca kutipan Mimi Novic? Keindahan karma adalah Anda tidak perlu menyaksikannya bekerja. Lakukan saja apa yang benar, dan dia akan melakukan sisanya." Sepertinya Ardan belum puas mengganggu Luna. Ia terus mengikuti langkah Luna dengan cepat dan kembali melontarkan kata-kata yang menyinggung soal karma. Luna yang sudah lelah akhirnya berhenti dan menatap pria itu dengan sorot tajam. "Apa kamu nggak punya kerjaan lain? Kamu udah tua loh, Mas. Kamu nggak malu ngomong kayak gini? Kayak anak kecil banget, sumpah," ucapnya kesal. Ardan terdiam sejenak. Namun, ia tetap menatap Luna dengan tatapan penuh dendam. Luna mendengus kesal, lalu berbalik dan melanjutkan langkahnya tanpa peduli lagi. Tiba di parkiran, Ardan masih mengikutinya. Namun kali ini, Ardan sedikit menjaga jarak, karena banyak mahasiswa yang sedang berada di sana. "Saya belum puas membalas semua pengkhianatan kamu. Tunggu saja, penderitaan kamu akan semakin bertambah," ucap Ardan, suaranya masih penuh kebencian. Luna mengabaikannya, ia tidak ingin ada yang curiga, terutama teman-temannya. Dengan cepat, Luna berjalan menuju motornya dan segera menaikinya. Meski hatinya masih kesal, ia berusaha untuk tidak terprovokasi. Ketika sudah di jalan raya, Luna merasa ada yang mengganjal. Ia menyadari ada mobil yang terus mengikutinya dari belakang. Curiga jik itu adalah Ardan, Luna langsung membelokkan motornya dengan cepat, membuat mobil itu langsung mengerem mendadak. Luna tersenyum miring, merasa puas dengan reaksinya. Ia kemudian berhenti dan memarkir motornya di depan sebuah toko. Dalam hatinya, ia yakin pria itu pasti akan berbalik arah dan menghampirinya. Dan benar saja, tak berselang lama, mobil itu langsung berbalik arah dan menghampirinya. "Aku curiga sama kamu deh, Mas. Dari tadi ngikutin aku mulu. Kamu masih suka sama aku?" tuduh Luna blak-blakan saat Ardan baru saja membuka kaca mobilnya.“Pede banget kamu. Saya ngejar kamu karena mau nagih uang saya,” ujar Ardan dengan nada ketus. “Balikin semua uang saya waktu itu. Perjanjian kita batal karena kamu sudah mengkhianati saya.”Mulut Luna terbuka, matanya membelalak, lalu tawa sumbang keluar dari bibirnya. Tidak ada lagi yang bisa ia katakan selain menunjukkan ketidakpercayaannya pada situasi absurd ini.“Serius? Mas Ardan minta uang itu lagi?” tanya Luna, suaranya penuh nada sinis. “Waktu itu pas aku balikin, kamu malah nolak. Sekarang tiba-tiba diminta lagi? Kenapa? Mas Ardan kekurangan uang? Atau… jangan-jangan kamu jatuh miskin?”Nada Luna terdengar mencemooh. Ia sudah tidak peduli lagi jika pria di depannya merasa tersinggung. Emosinya sudah sampai di ujung batas.“Sembarangan banget kamu ngatain saya jatuh miskin! Asal kamu tahu aja, harta saya nggak akan habis sampai tujuh turunan,” balas Ardan dengan nada sombong, matanya menatap Luna tajam. “Saya cuma nggak rela kalau uang saya dimakan sama pengkhianat. Apalagi
Pagi ini, Luna mengikuti perkuliahan seperti biasa. Tak ada jadwal Ardan di kelasnya saat ini, jadi ia akan menemui pria itu ketika istirahat nanti. Karena sedang jamkos, jadi semua mahasiswa yang ada di kelas itu sibuk dengan kegiatannya sendiri-sendiri.“Ada yang tahu akun instagram Pak Ardan? “Kenapa? Pasti mau menggatal, ya?” “Sedikit-sedikit, hahaha.” “Awas ketahuan istrinya.” “Enggak, aku cuma kepo aja. Pengen lihat foto-foto dia waktu masih muda.” “Kok bisa ganteng banget ya? Padahal udah mau kepala empat. Nggak kebayang gimana cakepnya anaknya yang mewarisi gen dia.” “Iya pasti ganteng sama cantik banget.” Luna hanya bisa menghela napas mendengar celotehan teman-temannya. Sambil menumpu dagu dengan tangan kiri, tangan kanannya sibuk mencatat materi mata kuliah di bukunya.“Kak Luna, Kakak kemarin ke mana waktu jadwalnya Pak Ardan? Kok nggak balik sampai selesai? Pak Ardan kelihatan kayak nahan marah,” tanya seorang gadis berkacamata. Luna tersenyum tipis, kemudian men
Bajingan, pengecut, pemaksa, licik, pendendam, semua sebutan itu terasa sangat cocok untuk Ardan. Luna benar-benar marah, tapi ia tak bisa mengabaikan ancaman pria itu begitu saja. Ia takut bukan karena benar-benar berselingkuh, melainkan karena ia tidak ingin mencoreng reputasinya di kampus. Selama ini, ia telah membangun citra sebagai mahasiswa teladan, dan ia tidak mau semua itu hancur hanya karena ulah pria tersebut. Setelah memastikan tidak ada orang di sekitar parkiran yang memperhatikannya, Luna segera masuk ke dalam mobil Ardan."Siapa yang nyuruh kamu duduk di belakang?" Suara dingin Ardan langsung terdengar, membuat Luna mendengus kesal. Ia melipat tangan di depan dada, enggan menanggapi."Pindah ke depan," perintah Ardan tegas, tatapannya menusuk melalui kaca spion.Luna berdecak kesal. "Ck, tinggal jalan aja apa susahnya sih? Repot amat," gerutunya pelan.Enggan keluar dari mobil lagi, ia melangkah ke kursi depan dengan cara setengah melompati konsol tengah. Gerakannya g
"Kok anak kamu mirip saya?" Itu adalah pertanyaan pertama yang keluar dari mulut Ardan.Luna memutar bola matanya malas, sementara Cio menatap Ardan dengan tatapan penuh tanya."Ya karena emang anak kamu, Mas! Kamu sih percaya ke Mbak Wulan. Sekarang nyesel kan, udah tua tapi belum pernah ngerasain jadi Ayah? Makanya jadi orang jangan jahat-jahat!" Luna akhirnya meluapkan kata-kata yang sudah lama terpendam. Ia merasa sedikit lega setelah mengatakannya.Ardan terdiam. Sebuah perasaan menyesal yang mendalam tiba-tiba menyergap dirinya. Ia merasa seperti tertampar, bukan hanya oleh ucapan Luna, tapi juga oleh kenyataan yang kini terungkap begitu jelas di depannya."Bunda, mana Om Dylan? Kata Bunda, Om Dylan ada di depan. Kok malah orang ini yang muncul?" tanya Cio dengan wajah cemberut.Lamunan Ardan terbuyar, namun tatapannya masih terpaku pada bocah itu. Ia menatap Cio dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Ada kebingungan yang mendalam, dan ada rasa sesal yang kian menggelayuti hatin
Mendengar itu, Luna terdiam sejenak, matanya memandang kosong ke depan. Namun, sedetik kemudian, senyuman tipis muncul di sudut bibirnya.“Bagus lah kalau kalian udah kena karma. Berarti doaku selama ini dikabulkan,” ujar Luna dengan nada dingin.Ardan menoleh ke belakang, tatapannya dipenuhi kesedihan. "Kamu tega banget, Lun," gumamnya lirih.Luna mendengus kesal, lalu menatap Ardan tajam. “Kamu juga tega banget. Aku lagi hamil malah diceraikan, padahal dikit lagi udah mau lahiran. Kebayang nggak, gimana hancurnya aku waktu itu? Anak remaja yang jadi korban keegoisan orang dewasa harus lahiran sendiri di usianya yang masih muda. Dokternya aja sampai ngira kalau aku hamil di luar nikah!" cerocosnya kesal.Ardan terdiam, tak tahu harus berkata apa. Pikirannya penuh dengan bayangan Luna yang berjuang sendirian di masa-masa itu. Rasa bersalah kembali menyesakkan dadanya."Kamu tahu apa yang lebih menyakitkan dari itu semua?" Luna melanjutkan dengan suara lebih pelan, namun tetap tajam. "
PRANG!PRANG!BRAK!Wulan hanya bisa menunduk, kedua tangannya gemetar sambil menutupi telinga. Tubuhnya yang rapuh terduduk di kursi roda, seolah tak mampu menahan gempuran emosi yang dilontarkan oleh Ardan.“Berani-beraninya kamu, Wulan!” suara Ardan menggema di seluruh ruangan, nadanya tajam dan penuh amarah. Ia membanting satu lagi piring ke lantai, serpihannya memantul ke segala arah. “Selama ini aku percaya sama kamu! Aku bahkan bela kamu mati-matian dan malah menyalahkan orang yang nggak bersalah. Ternyata, semua memang fitnah yang kamu buat sendiri!"Wulan mendongak perlahan, wajahnya basah oleh air mata. “Mas, aku cuma...”“Cuma apa?! Hah?!” Ardan memotong dengan suara lantang, matanya menyala penuh amarah. "Kamu sudah menghancurkan hidup banyak orang, Wulan! Luna, yang seharusnya masih butuh pendamping, harus aku ceraikan karena kebohonganmu. Anakku, yang harusnya tumbuh dengan ayahnya, terpaksa harus tumbuh dengan anak panti asuhan. Dan aku? Aku yang seharusnya menikmati hi
*Flashback lima tahun yang lalu Drucia Luna, gadis cantik yang baru saja merayakan kelulusan SMA, tengah bermain bersama saudara-saudaranya di halaman belakang panti asuhan. Suasana sore itu terasa begitu ceria, dengan tawa dan canda yang mengiringi permainan mereka. Namun, keceriaan itu terganggu saat pasangan suami istri yang tidak dikenal mendekat ke arah mereka. Pasangan itu tidak datang sendiri. Mereka terlihat berjalan bersama Ibu Panti, yang wajahnya tampak serius. "Luna..." panggil Ibu pantinya dengan suara lembut. Luna berhenti sejenak dan menatap mereka dengan tatapan bingung. "Ibu mau bicara sebentar," ujar wanita paruh baya itu lagi. "Ada apa, Ibu?" tanyanya Luna, matanya melirik pasangan suami istri yang tampak serius. Ibu Panti tersenyum tipis, meski senyumnya terasa dipaksakan. "Ini Tuan dan Nyonya Kusuma. Mereka mau bicara sama kamu," jawabnya. Luna menghela napas. Kemudian ia mengikuti ketiga orang dewasa itu yang sudah berjalan lebih dulu masuk ke dalam r
Suasana pagi hari di Panti Asuhan Lentera Hati terasa begitu riuh. Beberapa anak sibuk bersiap-siap untuk pergi ke sekolah, sementara yang sudah dewasa sedang mempersiapkan diri untuk pergi bekerja.Di sisi lain, suasana di rumah Ibu Panti jauh lebih gaduh. Tangisan anak kecil bercampur dengan suara omelan seorang wanita menciptakan keramaian yang memusingkan di pagi hari.“Iya, Cio... sebentar. Ini Bunda lagi siap-siap!”Drucia Luna, wanita cantik berusia 23 tahun itu, nyaris kehilangan kesabarannya menghadapi putra semata wayangnya yang sangat rewel. Ibunya sedang memasak, dan ia sedang bersiap-siap untuk pergi ke kampus. Jadi tidak ada yang mengurus anaknya saat ini. "BUNDA LAMA!" teriak bocah itu diiringi dengan tangisan yang semakin kencang. Luna menarik napas, berusaha meredam emosinya. Dari arah dapur, Juli—ibu pantinya, berlari kecil menghampiri mereka."Ayo, mandi sama Nenek, ya," bujuk Juli lembut sambil membungkuk untuk menggendong Cio.Namun, bocah itu dengan cepat menep
PRANG!PRANG!BRAK!Wulan hanya bisa menunduk, kedua tangannya gemetar sambil menutupi telinga. Tubuhnya yang rapuh terduduk di kursi roda, seolah tak mampu menahan gempuran emosi yang dilontarkan oleh Ardan.“Berani-beraninya kamu, Wulan!” suara Ardan menggema di seluruh ruangan, nadanya tajam dan penuh amarah. Ia membanting satu lagi piring ke lantai, serpihannya memantul ke segala arah. “Selama ini aku percaya sama kamu! Aku bahkan bela kamu mati-matian dan malah menyalahkan orang yang nggak bersalah. Ternyata, semua memang fitnah yang kamu buat sendiri!"Wulan mendongak perlahan, wajahnya basah oleh air mata. “Mas, aku cuma...”“Cuma apa?! Hah?!” Ardan memotong dengan suara lantang, matanya menyala penuh amarah. "Kamu sudah menghancurkan hidup banyak orang, Wulan! Luna, yang seharusnya masih butuh pendamping, harus aku ceraikan karena kebohonganmu. Anakku, yang harusnya tumbuh dengan ayahnya, terpaksa harus tumbuh dengan anak panti asuhan. Dan aku? Aku yang seharusnya menikmati hi
Mendengar itu, Luna terdiam sejenak, matanya memandang kosong ke depan. Namun, sedetik kemudian, senyuman tipis muncul di sudut bibirnya.“Bagus lah kalau kalian udah kena karma. Berarti doaku selama ini dikabulkan,” ujar Luna dengan nada dingin.Ardan menoleh ke belakang, tatapannya dipenuhi kesedihan. "Kamu tega banget, Lun," gumamnya lirih.Luna mendengus kesal, lalu menatap Ardan tajam. “Kamu juga tega banget. Aku lagi hamil malah diceraikan, padahal dikit lagi udah mau lahiran. Kebayang nggak, gimana hancurnya aku waktu itu? Anak remaja yang jadi korban keegoisan orang dewasa harus lahiran sendiri di usianya yang masih muda. Dokternya aja sampai ngira kalau aku hamil di luar nikah!" cerocosnya kesal.Ardan terdiam, tak tahu harus berkata apa. Pikirannya penuh dengan bayangan Luna yang berjuang sendirian di masa-masa itu. Rasa bersalah kembali menyesakkan dadanya."Kamu tahu apa yang lebih menyakitkan dari itu semua?" Luna melanjutkan dengan suara lebih pelan, namun tetap tajam. "
"Kok anak kamu mirip saya?" Itu adalah pertanyaan pertama yang keluar dari mulut Ardan.Luna memutar bola matanya malas, sementara Cio menatap Ardan dengan tatapan penuh tanya."Ya karena emang anak kamu, Mas! Kamu sih percaya ke Mbak Wulan. Sekarang nyesel kan, udah tua tapi belum pernah ngerasain jadi Ayah? Makanya jadi orang jangan jahat-jahat!" Luna akhirnya meluapkan kata-kata yang sudah lama terpendam. Ia merasa sedikit lega setelah mengatakannya.Ardan terdiam. Sebuah perasaan menyesal yang mendalam tiba-tiba menyergap dirinya. Ia merasa seperti tertampar, bukan hanya oleh ucapan Luna, tapi juga oleh kenyataan yang kini terungkap begitu jelas di depannya."Bunda, mana Om Dylan? Kata Bunda, Om Dylan ada di depan. Kok malah orang ini yang muncul?" tanya Cio dengan wajah cemberut.Lamunan Ardan terbuyar, namun tatapannya masih terpaku pada bocah itu. Ia menatap Cio dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Ada kebingungan yang mendalam, dan ada rasa sesal yang kian menggelayuti hatin
Bajingan, pengecut, pemaksa, licik, pendendam, semua sebutan itu terasa sangat cocok untuk Ardan. Luna benar-benar marah, tapi ia tak bisa mengabaikan ancaman pria itu begitu saja. Ia takut bukan karena benar-benar berselingkuh, melainkan karena ia tidak ingin mencoreng reputasinya di kampus. Selama ini, ia telah membangun citra sebagai mahasiswa teladan, dan ia tidak mau semua itu hancur hanya karena ulah pria tersebut. Setelah memastikan tidak ada orang di sekitar parkiran yang memperhatikannya, Luna segera masuk ke dalam mobil Ardan."Siapa yang nyuruh kamu duduk di belakang?" Suara dingin Ardan langsung terdengar, membuat Luna mendengus kesal. Ia melipat tangan di depan dada, enggan menanggapi."Pindah ke depan," perintah Ardan tegas, tatapannya menusuk melalui kaca spion.Luna berdecak kesal. "Ck, tinggal jalan aja apa susahnya sih? Repot amat," gerutunya pelan.Enggan keluar dari mobil lagi, ia melangkah ke kursi depan dengan cara setengah melompati konsol tengah. Gerakannya g
Pagi ini, Luna mengikuti perkuliahan seperti biasa. Tak ada jadwal Ardan di kelasnya saat ini, jadi ia akan menemui pria itu ketika istirahat nanti. Karena sedang jamkos, jadi semua mahasiswa yang ada di kelas itu sibuk dengan kegiatannya sendiri-sendiri.“Ada yang tahu akun instagram Pak Ardan? “Kenapa? Pasti mau menggatal, ya?” “Sedikit-sedikit, hahaha.” “Awas ketahuan istrinya.” “Enggak, aku cuma kepo aja. Pengen lihat foto-foto dia waktu masih muda.” “Kok bisa ganteng banget ya? Padahal udah mau kepala empat. Nggak kebayang gimana cakepnya anaknya yang mewarisi gen dia.” “Iya pasti ganteng sama cantik banget.” Luna hanya bisa menghela napas mendengar celotehan teman-temannya. Sambil menumpu dagu dengan tangan kiri, tangan kanannya sibuk mencatat materi mata kuliah di bukunya.“Kak Luna, Kakak kemarin ke mana waktu jadwalnya Pak Ardan? Kok nggak balik sampai selesai? Pak Ardan kelihatan kayak nahan marah,” tanya seorang gadis berkacamata. Luna tersenyum tipis, kemudian men
“Pede banget kamu. Saya ngejar kamu karena mau nagih uang saya,” ujar Ardan dengan nada ketus. “Balikin semua uang saya waktu itu. Perjanjian kita batal karena kamu sudah mengkhianati saya.”Mulut Luna terbuka, matanya membelalak, lalu tawa sumbang keluar dari bibirnya. Tidak ada lagi yang bisa ia katakan selain menunjukkan ketidakpercayaannya pada situasi absurd ini.“Serius? Mas Ardan minta uang itu lagi?” tanya Luna, suaranya penuh nada sinis. “Waktu itu pas aku balikin, kamu malah nolak. Sekarang tiba-tiba diminta lagi? Kenapa? Mas Ardan kekurangan uang? Atau… jangan-jangan kamu jatuh miskin?”Nada Luna terdengar mencemooh. Ia sudah tidak peduli lagi jika pria di depannya merasa tersinggung. Emosinya sudah sampai di ujung batas.“Sembarangan banget kamu ngatain saya jatuh miskin! Asal kamu tahu aja, harta saya nggak akan habis sampai tujuh turunan,” balas Ardan dengan nada sombong, matanya menatap Luna tajam. “Saya cuma nggak rela kalau uang saya dimakan sama pengkhianat. Apalagi
“Mau ke mana kamu?” Langkah Luna terhenti seketika. Suara yang begitu familiar menggema di tangga yang sepi. Dengan ragu, ia menoleh ke belakang.Jantungnya berdebar kencang saat mendapati Ardan berdiri di belakangnya dengan sorot mata yang begitu tajam. “Kamu mau kabur dari kelas saya?” tanya Ardan dengan nada dingin. Luna menghela napas, berusaha untuk tetap tenang. “Mau cari udara di luar,” jawabnya. “Memangnya saya ngizinin?” Luna menghela napas berat, memalingkan wajahnya sejenak sebelum kembali menatap Ardan dengan wajah tegas. “Kamu nggak nyaman kalau ada aku di kelas, kan? Yaudah, biar aku yang ngalah. Kamu balik aja. Mahasiswa yang lain udah pada nunggu.”Ardan tetap berdiri dengan tatapan datar. “Kembali ke kelas,” perintahnya dengan tegas. Luna menggeleng tegas. "Kamu aja. Aku mau ke kantin. Terserah kamu mau absen aku alpa atau apapun itu," tolaknya. Tanpa menunggu jawaban, Luna melanjutkan langkahnya menuruni tangga. Namun, suara dingin Ardan kembali menghentikan l
Suasana pagi hari di Panti Asuhan Lentera Hati terasa begitu riuh. Beberapa anak sibuk bersiap-siap untuk pergi ke sekolah, sementara yang sudah dewasa sedang mempersiapkan diri untuk pergi bekerja.Di sisi lain, suasana di rumah Ibu Panti jauh lebih gaduh. Tangisan anak kecil bercampur dengan suara omelan seorang wanita menciptakan keramaian yang memusingkan di pagi hari.“Iya, Cio... sebentar. Ini Bunda lagi siap-siap!”Drucia Luna, wanita cantik berusia 23 tahun itu, nyaris kehilangan kesabarannya menghadapi putra semata wayangnya yang sangat rewel. Ibunya sedang memasak, dan ia sedang bersiap-siap untuk pergi ke kampus. Jadi tidak ada yang mengurus anaknya saat ini. "BUNDA LAMA!" teriak bocah itu diiringi dengan tangisan yang semakin kencang. Luna menarik napas, berusaha meredam emosinya. Dari arah dapur, Juli—ibu pantinya, berlari kecil menghampiri mereka."Ayo, mandi sama Nenek, ya," bujuk Juli lembut sambil membungkuk untuk menggendong Cio.Namun, bocah itu dengan cepat menep
*Flashback lima tahun yang lalu Drucia Luna, gadis cantik yang baru saja merayakan kelulusan SMA, tengah bermain bersama saudara-saudaranya di halaman belakang panti asuhan. Suasana sore itu terasa begitu ceria, dengan tawa dan canda yang mengiringi permainan mereka. Namun, keceriaan itu terganggu saat pasangan suami istri yang tidak dikenal mendekat ke arah mereka. Pasangan itu tidak datang sendiri. Mereka terlihat berjalan bersama Ibu Panti, yang wajahnya tampak serius. "Luna..." panggil Ibu pantinya dengan suara lembut. Luna berhenti sejenak dan menatap mereka dengan tatapan bingung. "Ibu mau bicara sebentar," ujar wanita paruh baya itu lagi. "Ada apa, Ibu?" tanyanya Luna, matanya melirik pasangan suami istri yang tampak serius. Ibu Panti tersenyum tipis, meski senyumnya terasa dipaksakan. "Ini Tuan dan Nyonya Kusuma. Mereka mau bicara sama kamu," jawabnya. Luna menghela napas. Kemudian ia mengikuti ketiga orang dewasa itu yang sudah berjalan lebih dulu masuk ke dalam r