Share

5. Si pemaksa

Aвтор: caramelsky
last update Последнее обновление: 2025-03-07 17:18:10

Bajingan, pengecut, pemaksa, licik, pendendam, semua sebutan itu terasa sangat cocok untuk Ardan. Luna benar-benar marah, tapi ia tak bisa mengabaikan ancaman pria itu begitu saja.

Ia takut bukan karena benar-benar berselingkuh, melainkan karena ia tidak ingin mencoreng reputasinya di kampus. Selama ini, ia telah membangun citra sebagai mahasiswa teladan, dan ia tidak mau semua itu hancur hanya karena ulah pria tersebut.

Setelah memastikan tidak ada orang di sekitar parkiran yang memperhatikannya, Luna segera masuk ke dalam mobil Ardan.

"Siapa yang nyuruh kamu duduk di belakang?" Suara dingin Ardan langsung terdengar, membuat Luna mendengus kesal. Ia melipat tangan di depan dada, enggan menanggapi.

"Pindah ke depan," perintah Ardan tegas, tatapannya menusuk melalui kaca spion.

Luna berdecak kesal. "Ck, tinggal jalan aja apa susahnya sih? Repot amat," gerutunya pelan.

Enggan keluar dari mobil lagi, ia melangkah ke kursi depan dengan cara setengah melompati konsol tengah. Gerakannya gegabah, membuat tubuhnya sedikit tersandung di bagian tuas transmisi. Ardan hanya menghela napas panjang sambil menggelengkan kepala.

Bagi Luna, tidak ada kata jaim di depan mantan suaminya yang sangat pendendam ini. Ia akan bersikap anggun di hadapan Dokter Dylan saja.

"Saya nggak nyuruh kamu manjat kayak gitu," sindir Ardan.

"Bodo amat," balas Luna sambil merapikan duduknya. Ia melipat tangan lagi, menatap lurus ke depan dengan wajah masam.

Ardan melirik Luna sejenak sebelum akhirnya menyalakan mesin mobil. "Kayak anak kecil," cibirnya pelan, lalu menginjak pedal gas.

Perjalanan dimulai dalam suasana canggung. Hanya ada suara musik jazz pelan yang mengisi keheningan. Luna melirik ke luar jendela, mencoba mengabaikan kehadiran Ardan. Namun, pria itu justru tampak santai, seperti tidak peduli dengan ekspresi kesal Luna.

Beberapa menit kemudian, mereka sampai di warung seafood yang direkomendasikan oleh Luna. Ardan segera memarkir mobilnya, lalu menoleh ke Luna. "Ayo turun," ajaknya.

"Nggak," jawab Luna singkat dan ketus.

"Turun sendiri atau saya tarik?" ancam Ardan.

Luna mendesis kesal. "Kenapa maksa banget, sih!" bentaknya, tak bisa menahan amarah yang sudah sejak tadi terpendam.

Ardan tak menghiraukannya. Ia langsung turun dari mobil dan berdiri menunggu Luna di depan mobilnya. Luna terdiam sejenak, menatapnya dengan kesal. Setelah beberapa detik, akhirnya dengan gerakan yang enggan, ia membuka pintu mobil dan melangkah keluar.

Mereka duduk di bangku kayu yang terletak dekat kolam ikan. Suasana tenang dengan suara gemercik air menambah kesan santai, meskipun hati Luna masih terasa panas karena sikap Ardan.

"Kamu biasanya makan di sini?" tanya Ardan memecah keheningan.

Luna hanya mengangguk sebagai jawaban. Untuk menghindari tatapan Ardan, ia memilih sibuk dengan ponselnya.

Tak lama kemudian, pelayan datang membawa dua piring besar berisi seafood yang tampak menggugah selera. Di atas meja, terdapat hidangan udang bakar, cumi saus tiram, kepiting saus padang, dan nasi putih panas yang menguar aroma menggoda.

"Take away udang bakar sama cumi saus padang, Mbak," ujar Ardan pada sang pelayan.

"Baik, Pak," jawab pelayan itu sebelum meninggalkan mereka.

Ardan segera mengambil sendok dan mulai menyantap hidangannya tanpa berkata-kata. Sementara Luna masih terdiam.

"Kenapa diam aja? Nunggu saya suapin?" tanya Ardan.

Luna langsung meliriknya sinis. "Saya cuma nggak rela kalau uang saya dimakan sama pengkhianat. Apalagi dimakan sama anak hasil hubungan terlarang." Luna menirukan dan mengungkit ucapan Ardan kemarin.

Mendengar itu, Ardan langsung mendengus kesal. "Makan aja," ujarnya sambil membuang muka, terlihat jelas bahwa ia merasa malu sekarang.

"Huh, makanya jadi orang itu jangan plin-plan mulutnya," cibir Luna. Kemudian ia mengambil sendok dan garpu, lalu mulai menyantap cuminya, merasa lapar setelah sekian lama menahan diri.

Ardan hanya diam, matanya terfokus pada piringnya. Sesekali, ia melirik Luna yang tampak menikmati makanannya.

Melihat Luna kesulitan mengupas udang, Ardan merebut udang itu dari tangan Luna, dengan cepat mengupasnya, lalu meletakkannya di piring Luna.

Luna terkejut dengan sikap Ardan. Namun, ia memilih untuk tidak berkomentar dan melanjutkan makanannya.

Keheningan kembali menyelimuti meja mereka, hanya suara sendok dan garpu yang terdengar.

Beberapa detik kemudian, ponsel Luna berdering. Melihat nama "Bu Lina" di layar, Luna buru-buru mengangkat panggilannya.

"Halo, Bu. Ada apa?" tanya Luna.

"Cio habis jatuh, Mbak. Nggak mau diantar pulang kalau nggak dijemput Om Dylan katanya."

Luna langsung panik. "Jatuh? Terus gimana sekarang? Apanya yang luka?"

"Cuma lututnya doang yang luka, tapi udah diobatin kok."

Luna menghela napas lega, meski masih khawatir. "Yaudah, saya ke sana sekarang."

Setelah mengakhiri panggilan tersebut, Luna langsung memasukkan ponselnya ke dalam saku. Kemudian ia buru-buru menuju wastafel untuk mencuci tangannya.

"Mau ke mana?" tanya Ardan.

"Bukan urusanmu," balas Luna ketus tanpa menoleh.

Namun, Ardan langsung berdiri dari duduknya dan menyusul Luna yang sudah berjalan cepat meninggalkan warung itu.

"Saya antar," ujar Ardan tegas, langkahnya cepat mengejar.

"Nggak usah," jawab Luna, berusaha mengabaikannya.

Enggan berdebat lebih lama lagi, Ardan langsung menarik tangan Luna dan memaksanya untuk masuk ke dalam mobilnya. Setelah itu, dengan cepat, ia berlari kembali ke dalam warung untuk membayar dan mengambil pesanannya.

*****

Suasana di dalam mobil terasa hening, hanya suara mesin mobil yang terdengar. Tidak ada satu pun dari mereka yang berbicara. Luna hanya sesekali melirik ke arah Ardan, namun tidak ada niat untuk memulai percakapan.

Setelah beberapa menit, Luna memecah keheningan dengan suara datar, "Belok kanan di depan." Ia menunjuk ke arah jalan yang dimaksud tanpa menoleh ke Ardan.

Ardan hanya mengangguk dan mengikuti arahannya. Ketika akhirnya mereka sampai di depan TK, Luna menyuruhnya untuk berhenti.

"Udah, sana pulang," ucap Luna sambil membuka pintu mobil.

"Saya tunggu di sini," balas Ardan dengan nada tenang.

Luna menatapnya tajam. "Yakin? Aku mau jemput anakku, loh. Awas aja kalau kamu ngomong aneh-aneh di depan anakku."

Ardan hanya mengangkat bahu dengan ekspresi datar. "Hmm," gumamnya.

Luna berdecak kesal. Ia berjalan cepat menuju gerbang sekolah, sementara Ardan tetap duduk di mobil, memandang punggungnya yang semakin menjauh.

Luna sama sekali tidak keberatan jika Ardan bertemu dengan anaknya. Ia justru merasa ini kesempatan yang tepat. Ia ingin Ardan melihat sendiri bagaimana wajah anaknya yang sangat mirip dengannya. Mungkin, setelah ini, Ardan akan berpikir ulang tentang tuduhannya selama ini. Luna ingin pria itu sadar betapa salahnya menuduhnya berselingkuh dan berkhianat.

Tak lama kemudian, Luna muncul kembali, kali ini dengan seorang anak kecil yang berjalan di sampingnya dengan wajah cemberut.

Wajah Ardan seketika berubah tegang. Tubuhnya membeku sesaat, matanya terpaku pada bocah itu. Tak ingin larut dalam keterkejutannya, Ardan buru-buru keluar dari mobil dan berjalan cepat menghampiri mereka, membuat langkah Luna dan bocah itu terhenti seketika.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapter

  • Dosenku Mantan Suamiku   6. Menyesal

    "Kok anak kamu mirip saya?" Itu adalah pertanyaan pertama yang keluar dari mulut Ardan.Luna memutar bola matanya malas, sementara Cio menatap Ardan dengan tatapan penuh tanya."Ya karena emang anak kamu, Mas! Kamu sih percaya ke Mbak Wulan. Sekarang nyesel kan, udah tua tapi belum pernah ngerasain jadi Ayah? Makanya jadi orang jangan jahat-jahat!" Luna akhirnya meluapkan kata-kata yang sudah lama terpendam. Ia merasa sedikit lega setelah mengatakannya.Ardan terdiam. Sebuah perasaan menyesal yang mendalam tiba-tiba menyergap dirinya. Ia merasa seperti tertampar, bukan hanya oleh ucapan Luna, tapi juga oleh kenyataan yang kini terungkap begitu jelas di depannya."Bunda, mana Om Dylan? Kata Bunda, Om Dylan ada di depan. Kok malah orang ini yang muncul?" tanya Cio dengan wajah cemberut.Lamunan Ardan terbuyar, namun tatapannya masih terpaku pada bocah itu. Ia menatap Cio dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Ada kebingungan yang mendalam, dan ada rasa sesal yang kian menggelayuti hatin

    Последнее обновление : 2025-04-24
  • Dosenku Mantan Suamiku   PROLOG

    *Flashback lima tahun yang lalu Drucia Luna, gadis cantik yang baru saja merayakan kelulusan SMA, tengah bermain bersama saudara-saudaranya di halaman belakang panti asuhan. Suasana sore itu terasa begitu ceria, dengan tawa dan canda yang mengiringi permainan mereka. Namun, keceriaan itu terganggu saat pasangan suami istri yang tidak dikenal mendekat ke arah mereka. Pasangan itu tidak datang sendiri. Mereka terlihat berjalan bersama Ibu Panti, yang wajahnya tampak serius. "Luna..." panggil Ibu pantinya dengan suara lembut. Luna berhenti sejenak dan menatap mereka dengan tatapan bingung. "Ibu mau bicara sebentar," ujar wanita paruh baya itu lagi. "Ada apa, Ibu?" tanyanya Luna, matanya melirik pasangan suami istri yang tampak serius. Ibu Panti tersenyum tipis, meski senyumnya terasa dipaksakan. "Ini Tuan dan Nyonya Kusuma. Mereka mau bicara sama kamu," jawabnya. Luna menghela napas. Kemudian ia mengikuti ketiga orang dewasa itu yang sudah berjalan lebih dulu masuk ke dalam r

    Последнее обновление : 2025-03-06
  • Dosenku Mantan Suamiku   1. Bertemu kembali

    Suasana pagi hari di Panti Asuhan Lentera Hati terasa begitu riuh. Beberapa anak sibuk bersiap-siap untuk pergi ke sekolah, sementara yang sudah dewasa sedang mempersiapkan diri untuk pergi bekerja.Di sisi lain, suasana di rumah Ibu Panti jauh lebih gaduh. Tangisan anak kecil bercampur dengan suara omelan seorang wanita menciptakan keramaian yang memusingkan di pagi hari.“Iya, Cio... sebentar. Ini Bunda lagi siap-siap!”Drucia Luna, wanita cantik berusia 23 tahun itu, nyaris kehilangan kesabarannya menghadapi putra semata wayangnya yang sangat rewel. Ibunya sedang memasak, dan ia sedang bersiap-siap untuk pergi ke kampus. Jadi tidak ada yang mengurus anaknya saat ini. "BUNDA LAMA!" teriak bocah itu diiringi dengan tangisan yang semakin kencang. Luna menarik napas, berusaha meredam emosinya. Dari arah dapur, Juli—ibu pantinya, berlari kecil menghampiri mereka."Ayo, mandi sama Nenek, ya," bujuk Juli lembut sambil membungkuk untuk menggendong Cio.Namun, bocah itu dengan cepat menep

    Последнее обновление : 2025-03-07
  • Dosenku Mantan Suamiku   2. Dendam yang tersisa

    “Mau ke mana kamu?” Langkah Luna terhenti seketika. Suara yang begitu familiar menggema di tangga yang sepi. Dengan ragu, ia menoleh ke belakang.Jantungnya berdebar kencang saat mendapati Ardan berdiri di belakangnya dengan sorot mata yang begitu tajam. “Kamu mau kabur dari kelas saya?” tanya Ardan dengan nada dingin. Luna menghela napas, berusaha untuk tetap tenang. “Mau cari udara di luar,” jawabnya. “Memangnya saya ngizinin?” Luna menghela napas berat, memalingkan wajahnya sejenak sebelum kembali menatap Ardan dengan wajah tegas. “Kamu nggak nyaman kalau ada aku di kelas, kan? Yaudah, biar aku yang ngalah. Kamu balik aja. Mahasiswa yang lain udah pada nunggu.”Ardan tetap berdiri dengan tatapan datar. “Kembali ke kelas,” perintahnya dengan tegas. Luna menggeleng tegas. "Kamu aja. Aku mau ke kantin. Terserah kamu mau absen aku alpa atau apapun itu," tolaknya. Tanpa menunggu jawaban, Luna melanjutkan langkahnya menuruni tangga. Namun, suara dingin Ardan kembali menghentikan l

    Последнее обновление : 2025-03-07
  • Dosenku Mantan Suamiku   3. Batas kesabaran

    “Pede banget kamu. Saya ngejar kamu karena mau nagih uang saya,” ujar Ardan dengan nada ketus. “Balikin semua uang saya waktu itu. Perjanjian kita batal karena kamu sudah mengkhianati saya.”Mulut Luna terbuka, matanya membelalak, lalu tawa sumbang keluar dari bibirnya. Tidak ada lagi yang bisa ia katakan selain menunjukkan ketidakpercayaannya pada situasi absurd ini.“Serius? Mas Ardan minta uang itu lagi?” tanya Luna, suaranya penuh nada sinis. “Waktu itu pas aku balikin, kamu malah nolak. Sekarang tiba-tiba diminta lagi? Kenapa? Mas Ardan kekurangan uang? Atau… jangan-jangan kamu jatuh miskin?”Nada Luna terdengar mencemooh. Ia sudah tidak peduli lagi jika pria di depannya merasa tersinggung. Emosinya sudah sampai di ujung batas.“Sembarangan banget kamu ngatain saya jatuh miskin! Asal kamu tahu aja, harta saya nggak akan habis sampai tujuh turunan,” balas Ardan dengan nada sombong, matanya menatap Luna tajam. “Saya cuma nggak rela kalau uang saya dimakan sama pengkhianat. Apalagi

    Последнее обновление : 2025-03-07
  • Dosenku Mantan Suamiku   4. Mengembalikan harta yang diminta

    Pagi ini, Luna mengikuti perkuliahan seperti biasa. Tak ada jadwal Ardan di kelasnya saat ini, jadi ia akan menemui pria itu ketika istirahat nanti. Karena sedang jamkos, jadi semua mahasiswa yang ada di kelas itu sibuk dengan kegiatannya sendiri-sendiri.“Ada yang tahu akun instagram Pak Ardan? “Kenapa? Pasti mau menggatal, ya?” “Sedikit-sedikit, hahaha.” “Awas ketahuan istrinya.” “Enggak, aku cuma kepo aja. Pengen lihat foto-foto dia waktu masih muda.” “Kok bisa ganteng banget ya? Padahal udah mau kepala empat. Nggak kebayang gimana cakepnya anaknya yang mewarisi gen dia.” “Iya pasti ganteng sama cantik banget.” Luna hanya bisa menghela napas mendengar celotehan teman-temannya. Sambil menumpu dagu dengan tangan kiri, tangan kanannya sibuk mencatat materi mata kuliah di bukunya.“Kak Luna, Kakak kemarin ke mana waktu jadwalnya Pak Ardan? Kok nggak balik sampai selesai? Pak Ardan kelihatan kayak nahan marah,” tanya seorang gadis berkacamata. Luna tersenyum tipis, kemudian men

    Последнее обновление : 2025-03-07

Latest chapter

  • Dosenku Mantan Suamiku   6. Menyesal

    "Kok anak kamu mirip saya?" Itu adalah pertanyaan pertama yang keluar dari mulut Ardan.Luna memutar bola matanya malas, sementara Cio menatap Ardan dengan tatapan penuh tanya."Ya karena emang anak kamu, Mas! Kamu sih percaya ke Mbak Wulan. Sekarang nyesel kan, udah tua tapi belum pernah ngerasain jadi Ayah? Makanya jadi orang jangan jahat-jahat!" Luna akhirnya meluapkan kata-kata yang sudah lama terpendam. Ia merasa sedikit lega setelah mengatakannya.Ardan terdiam. Sebuah perasaan menyesal yang mendalam tiba-tiba menyergap dirinya. Ia merasa seperti tertampar, bukan hanya oleh ucapan Luna, tapi juga oleh kenyataan yang kini terungkap begitu jelas di depannya."Bunda, mana Om Dylan? Kata Bunda, Om Dylan ada di depan. Kok malah orang ini yang muncul?" tanya Cio dengan wajah cemberut.Lamunan Ardan terbuyar, namun tatapannya masih terpaku pada bocah itu. Ia menatap Cio dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Ada kebingungan yang mendalam, dan ada rasa sesal yang kian menggelayuti hatin

  • Dosenku Mantan Suamiku   5. Si pemaksa

    Bajingan, pengecut, pemaksa, licik, pendendam, semua sebutan itu terasa sangat cocok untuk Ardan. Luna benar-benar marah, tapi ia tak bisa mengabaikan ancaman pria itu begitu saja. Ia takut bukan karena benar-benar berselingkuh, melainkan karena ia tidak ingin mencoreng reputasinya di kampus. Selama ini, ia telah membangun citra sebagai mahasiswa teladan, dan ia tidak mau semua itu hancur hanya karena ulah pria tersebut. Setelah memastikan tidak ada orang di sekitar parkiran yang memperhatikannya, Luna segera masuk ke dalam mobil Ardan."Siapa yang nyuruh kamu duduk di belakang?" Suara dingin Ardan langsung terdengar, membuat Luna mendengus kesal. Ia melipat tangan di depan dada, enggan menanggapi."Pindah ke depan," perintah Ardan tegas, tatapannya menusuk melalui kaca spion.Luna berdecak kesal. "Ck, tinggal jalan aja apa susahnya sih? Repot amat," gerutunya pelan.Enggan keluar dari mobil lagi, ia melangkah ke kursi depan dengan cara setengah melompati konsol tengah. Gerakannya g

  • Dosenku Mantan Suamiku   4. Mengembalikan harta yang diminta

    Pagi ini, Luna mengikuti perkuliahan seperti biasa. Tak ada jadwal Ardan di kelasnya saat ini, jadi ia akan menemui pria itu ketika istirahat nanti. Karena sedang jamkos, jadi semua mahasiswa yang ada di kelas itu sibuk dengan kegiatannya sendiri-sendiri.“Ada yang tahu akun instagram Pak Ardan? “Kenapa? Pasti mau menggatal, ya?” “Sedikit-sedikit, hahaha.” “Awas ketahuan istrinya.” “Enggak, aku cuma kepo aja. Pengen lihat foto-foto dia waktu masih muda.” “Kok bisa ganteng banget ya? Padahal udah mau kepala empat. Nggak kebayang gimana cakepnya anaknya yang mewarisi gen dia.” “Iya pasti ganteng sama cantik banget.” Luna hanya bisa menghela napas mendengar celotehan teman-temannya. Sambil menumpu dagu dengan tangan kiri, tangan kanannya sibuk mencatat materi mata kuliah di bukunya.“Kak Luna, Kakak kemarin ke mana waktu jadwalnya Pak Ardan? Kok nggak balik sampai selesai? Pak Ardan kelihatan kayak nahan marah,” tanya seorang gadis berkacamata. Luna tersenyum tipis, kemudian men

  • Dosenku Mantan Suamiku   3. Batas kesabaran

    “Pede banget kamu. Saya ngejar kamu karena mau nagih uang saya,” ujar Ardan dengan nada ketus. “Balikin semua uang saya waktu itu. Perjanjian kita batal karena kamu sudah mengkhianati saya.”Mulut Luna terbuka, matanya membelalak, lalu tawa sumbang keluar dari bibirnya. Tidak ada lagi yang bisa ia katakan selain menunjukkan ketidakpercayaannya pada situasi absurd ini.“Serius? Mas Ardan minta uang itu lagi?” tanya Luna, suaranya penuh nada sinis. “Waktu itu pas aku balikin, kamu malah nolak. Sekarang tiba-tiba diminta lagi? Kenapa? Mas Ardan kekurangan uang? Atau… jangan-jangan kamu jatuh miskin?”Nada Luna terdengar mencemooh. Ia sudah tidak peduli lagi jika pria di depannya merasa tersinggung. Emosinya sudah sampai di ujung batas.“Sembarangan banget kamu ngatain saya jatuh miskin! Asal kamu tahu aja, harta saya nggak akan habis sampai tujuh turunan,” balas Ardan dengan nada sombong, matanya menatap Luna tajam. “Saya cuma nggak rela kalau uang saya dimakan sama pengkhianat. Apalagi

  • Dosenku Mantan Suamiku   2. Dendam yang tersisa

    “Mau ke mana kamu?” Langkah Luna terhenti seketika. Suara yang begitu familiar menggema di tangga yang sepi. Dengan ragu, ia menoleh ke belakang.Jantungnya berdebar kencang saat mendapati Ardan berdiri di belakangnya dengan sorot mata yang begitu tajam. “Kamu mau kabur dari kelas saya?” tanya Ardan dengan nada dingin. Luna menghela napas, berusaha untuk tetap tenang. “Mau cari udara di luar,” jawabnya. “Memangnya saya ngizinin?” Luna menghela napas berat, memalingkan wajahnya sejenak sebelum kembali menatap Ardan dengan wajah tegas. “Kamu nggak nyaman kalau ada aku di kelas, kan? Yaudah, biar aku yang ngalah. Kamu balik aja. Mahasiswa yang lain udah pada nunggu.”Ardan tetap berdiri dengan tatapan datar. “Kembali ke kelas,” perintahnya dengan tegas. Luna menggeleng tegas. "Kamu aja. Aku mau ke kantin. Terserah kamu mau absen aku alpa atau apapun itu," tolaknya. Tanpa menunggu jawaban, Luna melanjutkan langkahnya menuruni tangga. Namun, suara dingin Ardan kembali menghentikan l

  • Dosenku Mantan Suamiku   1. Bertemu kembali

    Suasana pagi hari di Panti Asuhan Lentera Hati terasa begitu riuh. Beberapa anak sibuk bersiap-siap untuk pergi ke sekolah, sementara yang sudah dewasa sedang mempersiapkan diri untuk pergi bekerja.Di sisi lain, suasana di rumah Ibu Panti jauh lebih gaduh. Tangisan anak kecil bercampur dengan suara omelan seorang wanita menciptakan keramaian yang memusingkan di pagi hari.“Iya, Cio... sebentar. Ini Bunda lagi siap-siap!”Drucia Luna, wanita cantik berusia 23 tahun itu, nyaris kehilangan kesabarannya menghadapi putra semata wayangnya yang sangat rewel. Ibunya sedang memasak, dan ia sedang bersiap-siap untuk pergi ke kampus. Jadi tidak ada yang mengurus anaknya saat ini. "BUNDA LAMA!" teriak bocah itu diiringi dengan tangisan yang semakin kencang. Luna menarik napas, berusaha meredam emosinya. Dari arah dapur, Juli—ibu pantinya, berlari kecil menghampiri mereka."Ayo, mandi sama Nenek, ya," bujuk Juli lembut sambil membungkuk untuk menggendong Cio.Namun, bocah itu dengan cepat menep

  • Dosenku Mantan Suamiku   PROLOG

    *Flashback lima tahun yang lalu Drucia Luna, gadis cantik yang baru saja merayakan kelulusan SMA, tengah bermain bersama saudara-saudaranya di halaman belakang panti asuhan. Suasana sore itu terasa begitu ceria, dengan tawa dan canda yang mengiringi permainan mereka. Namun, keceriaan itu terganggu saat pasangan suami istri yang tidak dikenal mendekat ke arah mereka. Pasangan itu tidak datang sendiri. Mereka terlihat berjalan bersama Ibu Panti, yang wajahnya tampak serius. "Luna..." panggil Ibu pantinya dengan suara lembut. Luna berhenti sejenak dan menatap mereka dengan tatapan bingung. "Ibu mau bicara sebentar," ujar wanita paruh baya itu lagi. "Ada apa, Ibu?" tanyanya Luna, matanya melirik pasangan suami istri yang tampak serius. Ibu Panti tersenyum tipis, meski senyumnya terasa dipaksakan. "Ini Tuan dan Nyonya Kusuma. Mereka mau bicara sama kamu," jawabnya. Luna menghela napas. Kemudian ia mengikuti ketiga orang dewasa itu yang sudah berjalan lebih dulu masuk ke dalam r

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status