Home / Romansa / Dosenku Mantan Suamiku / 4. Mengembalikan harta yang diminta

Share

4. Mengembalikan harta yang diminta

Author: caramelsky
last update Last Updated: 2025-03-07 17:17:09

Pagi ini, Luna mengikuti perkuliahan seperti biasa. Tak ada jadwal Ardan di kelasnya saat ini, jadi ia akan menemui pria itu ketika istirahat nanti.

Karena sedang jamkos, jadi semua mahasiswa yang ada di kelas itu sibuk dengan kegiatannya sendiri-sendiri.

“Ada yang tahu akun i*******m Pak Ardan?

“Kenapa? Pasti mau menggatal, ya?”

“Sedikit-sedikit, hahaha.”

“Awas ketahuan istrinya.”

“Enggak, aku cuma kepo aja. Pengen lihat foto-foto dia waktu masih muda.”

“Kok bisa ganteng banget ya? Padahal udah mau kepala empat. Nggak kebayang gimana cakepnya anaknya yang mewarisi gen dia.”

“Iya pasti ganteng sama cantik banget.”

Luna hanya bisa menghela napas mendengar celotehan teman-temannya. Sambil menumpu dagu dengan tangan kiri, tangan kanannya sibuk mencatat materi mata kuliah di bukunya.

“Kak Luna, Kakak kemarin ke mana waktu jadwalnya Pak Ardan? Kok nggak balik sampai selesai? Pak Ardan kelihatan kayak nahan marah,” tanya seorang gadis berkacamata.

Luna tersenyum tipis, kemudian menjawab, “Sakit perut. Pas udah mau balik, ternyata dosennya udah keluar, jadi aku ke kantin sekalian,” jawabnya berbohong.

“Lain kali jangan kayak gitu ya, Kak. Soalnya dia Dosen baru, takutnya nggak nyaman ngajar di kelas kita,” tegur gadis berhidung mancung.

“Iya,” jawab Luna sambil tersenyum paksa.

Di antara semua teman di kelasnya, Luna termasuk salah satu yang paling tua, bersama tiga mahasiswa lainnya. Hal itu karena ia sempat menunda kuliah selama tiga tahun. Setelah umur Cio genap dua tahun, barulah ia memberanikan diri mengikuti seleksi masuk perguruan tinggi.

Ketika tiba waktunya istirahat, Luna segera merapikan barang-barangnya. Ia mengambil kartu berwarna hitam dari dalam tas, menyimpannya di saku celana, lalu berjalan keluar kelas dengan langkah santai.

Karena tujuannya adalah mencari Ardan, Luna mengedarkan pandangan ke sekeliling sambil berjalan. Namun, ia ragu untuk bertanya kepada dosen atau mahasiswa, takut mereka akan curiga. Setelah beberapa lama tak menemukan sosok yang dicari, akhirnya ia memberanikan diri menghentikan seorang dosen yang kebetulan lewat di sampingnya.

"Bu Rika!" panggilnya sambil berlari kecil menghampiri wanita itu.

Dosen tersebut menghentikan langkahnya dan menatap Luna dengan alis terangkat. "Ada apa?" tanyanya singkat.

Luna tersenyum canggung sebelum menjawab. "Emh... Ibu tahu di mana Dosen baru yang namanya Pak Ardan?"

Kening Bu Rika berkerut. "Pak Ardan?" ulangnya memastikan.

Luna mengangguk cepat. "Iya, Bu."

"Ada di ruangannya. Kenapa memangnya?"

"Ini, Bu. Saya mau ngantar kartu ATM beliau. Kemarin jatuh waktu beliau mau naik mobil, jadinya saya ambil terus saya simpan," jawab Luna berbohong, lalu menunjukkan kartu berwarna hitam yang baru saja dikeluarkannya dari dalam saku.

Seketika tatapan Bu Rika tiba-tiba berubah menjadi sinis. "Itu nggak kamu ambil kan, isinya?" tanyanya ketus, nada curiga jelas terdengar.

Luna tersenyum tipis, meski merasa sedikit tersinggung. "Alhamdulillah saya bukan pencuri, Bu," jawabnya.

"Titipin ke saya aja. Biar saya yang kasih ke Pak Ardan," kata Bu Rika, tetap dengan nada ketus.

Luna menggeleng pelan, tetap menjaga senyumnya. "Saya kasih sendiri aja, Bu. Saya yang menemukan, jadi saya yang harus mengembalikan," balasnya sopan namun tegas.

Bu Rika mendengus kesal, lalu tanpa menjawab lebih lanjut, ia melangkah pergi begitu saja tanpa memberitahu Luna di mana ruangan Ardan berada.

Luna menghela napas panjang. Ia melanjutkan perjalanannya sambil sesekali melirik setiap pintu yang dilewatinya, berharap ada plakat nama Ardan di salah satu ruangan.

Ketika melewati sebuah belokan, Luna mendengar suara pintu terbuka. Ia refleks menoleh, dan di sanalah ia melihat seseorang keluar dari kamar mandi. Tubuhnya langsung rileks, dan ia menghela napas lega begitu menyadari siapa pria itu.

"Mas," panggilnya pelan namun cukup terdengar.

Ardan, yang sedang mengeringkan tangannya dengan tisu, mengangkat wajah dan menatap Luna. "Apa?" tanyanya dengan nada datar.

Luna berjalan mendekat dan mengulurkan kartu ATM berwarna hitam. "Nih," katanya singkat, nada suaranya pun sama datarnya dengan ekspresi wajahnya.

Namun, bukannya mengambil kartu itu, Ardan justru menatapnya sekilas sebelum berkata, "Bawa ke ruangan saya." Lalu, tanpa menunggu tanggapan, ia melangkah pergi begitu saja.

Luna menghela napas kasar, kemudian dengan cepat mengikuti langkah Ardan dari belakang.

Langkah keduanya terhenti di depan sebuah pintu bercat putih dengan plakat kecil bertuliskan Dosen Pembimbing - Ardan Willy Kusuma. Ardan membuka pintu itu dan melangkah masuk tanpa menoleh. Luna, yang sedikit ragu, akhirnya ikut masuk setelahnya.

Ruangan itu cukup sederhana, dengan meja kayu besar yang penuh dengan dokumen dan laptop di atasnya. Sebuah rak buku menempel di dinding, penuh dengan buku-buku tebal. Ardan berjalan ke mejanya, lalu duduk di kursi dengan gerakan santai.

"Kok kamu udah punya ruangan sendiri, padahal baru masuk kemarin?" tanya Luna heran, matanya mengitari ruangan yang terlihat lebih luas dibandingkan ruangan dosen pada umumnya.

"Privilege," jawab Ardan santai sambil melonggarkan dasinya. "Duduk," tambahnya sambil menunjuk kursi di depan meja kerjanya.

Luna menurut, segera duduk dan tanpa basa-basi meletakkan kartu ATM berwarna hitam di atas meja. "Lunas. Aku udah nggak berhutang apa-apa ke kamu. Soal uang yang kamu sumbangkan untuk membangun panti, anggap aja sedekah," ucapnya ketus, suaranya penuh penekanan.

Ardan tersenyum miring. "Saya nggak yakin, apakah uang di kartu ini masih ada," ucapnya meremehkan.

Luna mendengus kesal. "Potong jari aku kalau uang di kartu ini nggak ada," tantangnya.

Ardan mengangkat alis, menatap Luna dengan tatapan sinis. "Apa yang bisa dipercaya dari mulut seorang pengkhianat?" katanya, masih dengan nada meremehkan.

"Segitu cintanya kah, kamu sama Mbak Wulan, sampai percaya semua yang dia katakan?" tanya Luna, ia sudah muak karena selalu dituduh pengkhianat.

"Ya," jawab Ardan dengan mantap. "Karena memang ada buktinya," tambahnya dengan nada penuh keyakinan.

Luna terdiam sejenak, menahan amarah yang mendidih di dalam dada. "Biarkan waktu yang menjawab. Kita lihat nanti, siapa yang pada akhirnya terbukti bersalah," ujar Luna dengan suara tegas, lalu berdiri dan melangkah menuju pintu.

Namun, sebelum Luna sempat melangkah keluar, Ardan tiba-tiba menghalangi pintunya, berdiri tegak di hadapannya.

"Apa lagi?" tanya Luna dengan nada geram, merasa frustasi dengan sikap Ardan yang tidak jelas.

Ardan menatapnya sejenak sebelum menjawab, "Kamu tahu tempat jualan seafood yang enak di daerah sini?"

Luna memutar bola matanya malas. "Kamu punya HP, punya teman, punya kenalan. Kenapa harus tanya ke mantan istri?" tanyanya ketus.

"Memangnya salah?" balas Ardan dengan nada santai, seolah tidak ada yang aneh dengan pertanyaannya.

Luna mendengus kesal. "Jelajahi aja daerah sini, nanti juga ketemu sendiri. Di pinggir jalan banyak orang jualan seafood," jawabnya ketus.

"Saya tanya di mana warung seafood yang paling enak, bukan di mana letak warung seafood."

Sebelum Luna sempat berkata lebih lanjut, Ardan dengan cepat meraih tangannya dan menariknya keluar dari ruangan. "Antar saya," pintanya dengan nada tegas.

Luna yang terkejut segera menepis tangan pria itu. Namun, Ardan tak menyerah dan kembali menggenggam pergelangan tangannya, kali ini lebih erat.

"Mas, lepasin! Nanti ada orang yang lihat." Luna panik, berusaha melepaskan diri. Namun, Ardan tetap menggenggam tangannya erat, tak memberi ruang untuk menolak.

"MAS!" bentak Luna.

Ardan menghela napas kasar, lalu melepaskan tangan Luna dengan cepat. "Saya tunggu di mobil. Kalau kamu nggak datang, jangan salahin saya kalau besok foto perselingkuhan kamu tersebar," ujarnya dengan nada datar, sebelum berjalan pergi meninggalkannya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Dosenku Mantan Suamiku   5. Si pemaksa

    Bajingan, pengecut, pemaksa, licik, pendendam, semua sebutan itu terasa sangat cocok untuk Ardan. Luna benar-benar marah, tapi ia tak bisa mengabaikan ancaman pria itu begitu saja. Ia takut bukan karena benar-benar berselingkuh, melainkan karena ia tidak ingin mencoreng reputasinya di kampus. Selama ini, ia telah membangun citra sebagai mahasiswa teladan, dan ia tidak mau semua itu hancur hanya karena ulah pria tersebut. Setelah memastikan tidak ada orang di sekitar parkiran yang memperhatikannya, Luna segera masuk ke dalam mobil Ardan."Siapa yang nyuruh kamu duduk di belakang?" Suara dingin Ardan langsung terdengar, membuat Luna mendengus kesal. Ia melipat tangan di depan dada, enggan menanggapi."Pindah ke depan," perintah Ardan tegas, tatapannya menusuk melalui kaca spion.Luna berdecak kesal. "Ck, tinggal jalan aja apa susahnya sih? Repot amat," gerutunya pelan.Enggan keluar dari mobil lagi, ia melangkah ke kursi depan dengan cara setengah melompati konsol tengah. Gerakannya g

    Last Updated : 2025-03-07
  • Dosenku Mantan Suamiku   6. Menyesal

    "Kok anak kamu mirip saya?" Itu adalah pertanyaan pertama yang keluar dari mulut Ardan.Luna memutar bola matanya malas, sementara Cio menatap Ardan dengan tatapan penuh tanya."Ya karena emang anak kamu, Mas! Kamu sih percaya ke Mbak Wulan. Sekarang nyesel kan, udah tua tapi belum pernah ngerasain jadi Ayah? Makanya jadi orang jangan jahat-jahat!" Luna akhirnya meluapkan kata-kata yang sudah lama terpendam. Ia merasa sedikit lega setelah mengatakannya.Ardan terdiam. Sebuah perasaan menyesal yang mendalam tiba-tiba menyergap dirinya. Ia merasa seperti tertampar, bukan hanya oleh ucapan Luna, tapi juga oleh kenyataan yang kini terungkap begitu jelas di depannya."Bunda, mana Om Dylan? Kata Bunda, Om Dylan ada di depan. Kok malah orang ini yang muncul?" tanya Cio dengan wajah cemberut.Lamunan Ardan terbuyar, namun tatapannya masih terpaku pada bocah itu. Ia menatap Cio dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Ada kebingungan yang mendalam, dan ada rasa sesal yang kian menggelayuti hatin

    Last Updated : 2025-04-24
  • Dosenku Mantan Suamiku   7. karma

    Mendengar itu, Luna terdiam sejenak, matanya memandang kosong ke depan. Namun, sedetik kemudian, senyuman tipis muncul di sudut bibirnya.“Bagus lah kalau kalian udah kena karma. Berarti doaku selama ini dikabulkan,” ujar Luna dengan nada dingin.Ardan menoleh ke belakang, tatapannya dipenuhi kesedihan. "Kamu tega banget, Lun," gumamnya lirih.Luna mendengus kesal, lalu menatap Ardan tajam. “Kamu juga tega banget. Aku lagi hamil malah diceraikan, padahal dikit lagi udah mau lahiran. Kebayang nggak, gimana hancurnya aku waktu itu? Anak remaja yang jadi korban keegoisan orang dewasa harus lahiran sendiri di usianya yang masih muda. Dokternya aja sampai ngira kalau aku hamil di luar nikah!" cerocosnya kesal.Ardan terdiam, tak tahu harus berkata apa. Pikirannya penuh dengan bayangan Luna yang berjuang sendirian di masa-masa itu. Rasa bersalah kembali menyesakkan dadanya."Kamu tahu apa yang lebih menyakitkan dari itu semua?" Luna melanjutkan dengan suara lebih pelan, namun tetap tajam. "

    Last Updated : 2025-04-25
  • Dosenku Mantan Suamiku   8. Pengakuan Wulan

    PRANG!PRANG!BRAK!Wulan hanya bisa menunduk, kedua tangannya gemetar sambil menutupi telinga. Tubuhnya yang rapuh terduduk di kursi roda, seolah tak mampu menahan gempuran emosi yang dilontarkan oleh Ardan.“Berani-beraninya kamu, Wulan!” suara Ardan menggema di seluruh ruangan, nadanya tajam dan penuh amarah. Ia membanting satu lagi piring ke lantai, serpihannya memantul ke segala arah. “Selama ini aku percaya sama kamu! Aku bahkan bela kamu mati-matian dan malah menyalahkan orang yang nggak bersalah. Ternyata, semua memang fitnah yang kamu buat sendiri!"Wulan mendongak perlahan, wajahnya basah oleh air mata. “Mas, aku cuma...”“Cuma apa?! Hah?!” Ardan memotong dengan suara lantang, matanya menyala penuh amarah. "Kamu sudah menghancurkan hidup banyak orang, Wulan! Luna, yang seharusnya masih butuh pendamping, harus aku ceraikan karena kebohonganmu. Anakku, yang harusnya tumbuh dengan ayahnya, terpaksa harus tumbuh dengan anak panti asuhan. Dan aku? Aku yang seharusnya menikmati hi

    Last Updated : 2025-04-25
  • Dosenku Mantan Suamiku   9. Menebus kesalahan

    Seminggu telah berlalu sejak kejadian di mana Ardan bertengkar dengan istrinya dan memohon maaf kepada Luna. Selama itu, Luna benar-benar menjaga jarak darinya. Setiap kali mereka berpapasan di kampus, Luna selalu menghindar."Yaelah, Kenapa harus macet, sih?" gerutu Luna kesal.Pagi ini, di jam pertama, Ardan akan mengisi kelasnya. Kalau sampai ia telat, kemungkinan besar ia akan diberi absen alpa, seperti yang pernah terjadi pada temannya minggu lalu."Ck. Coba aja anakku nggak rewel, mungkin aku udah sampai di kampus dari tadi," gerutunya lagi.Saat akhirnya lalu lintas mulai bergerak, Luna langsung memutar gas motornya, berharap bisa sampai di kampus sebelum kelas dimulai. Namun, nasib berkata lain. Begitu tiba di kampus, ia melihat pintu kelasnya sudah tertutup rapat.Luna menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri sebelum melangkah cepat menuju kelas. Dengan hati-hati, ia membuka pintu sedikit dan mengintip ke dalam. Ardan be

    Last Updated : 2025-04-25
  • Dosenku Mantan Suamiku   10. Memohon kembali

    Ardan meneguk minumannya hingga habis, lalu dengan santai membuang kemasannya ke tempat sampah sebelum berjalan mendekati Luna dan David dengan ekspresi datar.Begitu tiba di meja mereka, ia berdiri di antara Luna dan David, menatap David dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana."Siapa, ya?" tanya David polos. Ia memang tidak mengenal Ardan, karena pria itu hanya mengajar di prodi Luna, bukan di prodinya.Ardan menyipitkan mata, ekspresinya seolah meremehkan. "Kamu nggak kenal saya?" tanyanya balik.David menggeleng jujur, membuat Ardan langsung mendengus pelan."Mainmu kurang jauh," cibirnya. "Saya dosen baru di kampus ini. Yang terkenal paling ganteng dan mempesona," tambahnya dengan percaya diri.Luna memutar bola matanya malas. Ingin rasanya ia melempar mouse laptopnya ke wajah pria narsis itu.David hanya menyengir lebar sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal."Emh... ada urusan apa ya, Pak?" tanya David kemudian."Saya nggak ada urusan sama kamu. Tapi sama orang

    Last Updated : 2025-04-26
  • Dosenku Mantan Suamiku   11. Kembali berdebat

    "Rumahnya aku jual," ujar Ardan sambil duduk di sofa, suaranya datar namun tegas.Wulan, yang tadinya asyik menonton televisi, langsung mengalihkan pandangannya ke arah Ardan dengan tatapan tak percaya."Kok kamu jual?" tanyanya, nada suaranya meninggi. "Katanya kita di Bandung cuma sementara? Terus nanti kalau kita pulang ke Jakarta, kita mau tinggal di mana? Aku nggak mau, Mas, kalau harus menetap di sini selamanya!""Aku mau menetap di Bandung. Kalau kamu mau balik ke Jakarta, aku bisa antar ke rumah orang tuamu," jawabnya santai, sambil mulai membuka majalahnya. "Menetap di Bandung?" Wulan tertawa sumbang. "Apa karena wanita itu?" tanyanya, tajam. Namun, Ardan tetap diam, tak memberikan jawaban.Wulan menatapnya dengan tatapan terluka, bibirnya bergetar menahan emosi. "Dan apa tadi? Kamu mau ngantar aku ke rumah orang tuaku?" tanyanya dengan nada tinggi, seolah tak percaya. "Apa itu artinya kamu udah nggak mau ngerawat aku lagi? Kamu mau buang aku karena aku lumpuh, nggak berguna

    Last Updated : 2025-04-26
  • Dosenku Mantan Suamiku   PROLOG

    *Flashback lima tahun yang lalu Drucia Luna, gadis cantik yang baru saja merayakan kelulusan SMA, tengah bermain bersama saudara-saudaranya di halaman belakang panti asuhan. Suasana sore itu terasa begitu ceria, dengan tawa dan canda yang mengiringi permainan mereka. Namun, keceriaan itu terganggu saat pasangan suami istri yang tidak dikenal mendekat ke arah mereka. Pasangan itu tidak datang sendiri. Mereka terlihat berjalan bersama Ibu Panti, yang wajahnya tampak serius. "Luna..." panggil Ibu pantinya dengan suara lembut. Luna berhenti sejenak dan menatap mereka dengan tatapan bingung. "Ibu mau bicara sebentar," ujar wanita paruh baya itu lagi. "Ada apa, Ibu?" tanyanya Luna, matanya melirik pasangan suami istri yang tampak serius. Ibu Panti tersenyum tipis, meski senyumnya terasa dipaksakan. "Ini Tuan dan Nyonya Kusuma. Mereka mau bicara sama kamu," jawabnya. Luna menghela napas. Kemudian ia mengikuti ketiga orang dewasa itu yang sudah berjalan lebih dulu masuk ke dalam r

    Last Updated : 2025-03-06

Latest chapter

  • Dosenku Mantan Suamiku   11. Kembali berdebat

    "Rumahnya aku jual," ujar Ardan sambil duduk di sofa, suaranya datar namun tegas.Wulan, yang tadinya asyik menonton televisi, langsung mengalihkan pandangannya ke arah Ardan dengan tatapan tak percaya."Kok kamu jual?" tanyanya, nada suaranya meninggi. "Katanya kita di Bandung cuma sementara? Terus nanti kalau kita pulang ke Jakarta, kita mau tinggal di mana? Aku nggak mau, Mas, kalau harus menetap di sini selamanya!""Aku mau menetap di Bandung. Kalau kamu mau balik ke Jakarta, aku bisa antar ke rumah orang tuamu," jawabnya santai, sambil mulai membuka majalahnya. "Menetap di Bandung?" Wulan tertawa sumbang. "Apa karena wanita itu?" tanyanya, tajam. Namun, Ardan tetap diam, tak memberikan jawaban.Wulan menatapnya dengan tatapan terluka, bibirnya bergetar menahan emosi. "Dan apa tadi? Kamu mau ngantar aku ke rumah orang tuaku?" tanyanya dengan nada tinggi, seolah tak percaya. "Apa itu artinya kamu udah nggak mau ngerawat aku lagi? Kamu mau buang aku karena aku lumpuh, nggak berguna

  • Dosenku Mantan Suamiku   10. Memohon kembali

    Ardan meneguk minumannya hingga habis, lalu dengan santai membuang kemasannya ke tempat sampah sebelum berjalan mendekati Luna dan David dengan ekspresi datar.Begitu tiba di meja mereka, ia berdiri di antara Luna dan David, menatap David dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana."Siapa, ya?" tanya David polos. Ia memang tidak mengenal Ardan, karena pria itu hanya mengajar di prodi Luna, bukan di prodinya.Ardan menyipitkan mata, ekspresinya seolah meremehkan. "Kamu nggak kenal saya?" tanyanya balik.David menggeleng jujur, membuat Ardan langsung mendengus pelan."Mainmu kurang jauh," cibirnya. "Saya dosen baru di kampus ini. Yang terkenal paling ganteng dan mempesona," tambahnya dengan percaya diri.Luna memutar bola matanya malas. Ingin rasanya ia melempar mouse laptopnya ke wajah pria narsis itu.David hanya menyengir lebar sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal."Emh... ada urusan apa ya, Pak?" tanya David kemudian."Saya nggak ada urusan sama kamu. Tapi sama orang

  • Dosenku Mantan Suamiku   9. Menebus kesalahan

    Seminggu telah berlalu sejak kejadian di mana Ardan bertengkar dengan istrinya dan memohon maaf kepada Luna. Selama itu, Luna benar-benar menjaga jarak darinya. Setiap kali mereka berpapasan di kampus, Luna selalu menghindar."Yaelah, Kenapa harus macet, sih?" gerutu Luna kesal.Pagi ini, di jam pertama, Ardan akan mengisi kelasnya. Kalau sampai ia telat, kemungkinan besar ia akan diberi absen alpa, seperti yang pernah terjadi pada temannya minggu lalu."Ck. Coba aja anakku nggak rewel, mungkin aku udah sampai di kampus dari tadi," gerutunya lagi.Saat akhirnya lalu lintas mulai bergerak, Luna langsung memutar gas motornya, berharap bisa sampai di kampus sebelum kelas dimulai. Namun, nasib berkata lain. Begitu tiba di kampus, ia melihat pintu kelasnya sudah tertutup rapat.Luna menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri sebelum melangkah cepat menuju kelas. Dengan hati-hati, ia membuka pintu sedikit dan mengintip ke dalam. Ardan be

  • Dosenku Mantan Suamiku   8. Pengakuan Wulan

    PRANG!PRANG!BRAK!Wulan hanya bisa menunduk, kedua tangannya gemetar sambil menutupi telinga. Tubuhnya yang rapuh terduduk di kursi roda, seolah tak mampu menahan gempuran emosi yang dilontarkan oleh Ardan.“Berani-beraninya kamu, Wulan!” suara Ardan menggema di seluruh ruangan, nadanya tajam dan penuh amarah. Ia membanting satu lagi piring ke lantai, serpihannya memantul ke segala arah. “Selama ini aku percaya sama kamu! Aku bahkan bela kamu mati-matian dan malah menyalahkan orang yang nggak bersalah. Ternyata, semua memang fitnah yang kamu buat sendiri!"Wulan mendongak perlahan, wajahnya basah oleh air mata. “Mas, aku cuma...”“Cuma apa?! Hah?!” Ardan memotong dengan suara lantang, matanya menyala penuh amarah. "Kamu sudah menghancurkan hidup banyak orang, Wulan! Luna, yang seharusnya masih butuh pendamping, harus aku ceraikan karena kebohonganmu. Anakku, yang harusnya tumbuh dengan ayahnya, terpaksa harus tumbuh dengan anak panti asuhan. Dan aku? Aku yang seharusnya menikmati hi

  • Dosenku Mantan Suamiku   7. karma

    Mendengar itu, Luna terdiam sejenak, matanya memandang kosong ke depan. Namun, sedetik kemudian, senyuman tipis muncul di sudut bibirnya.“Bagus lah kalau kalian udah kena karma. Berarti doaku selama ini dikabulkan,” ujar Luna dengan nada dingin.Ardan menoleh ke belakang, tatapannya dipenuhi kesedihan. "Kamu tega banget, Lun," gumamnya lirih.Luna mendengus kesal, lalu menatap Ardan tajam. “Kamu juga tega banget. Aku lagi hamil malah diceraikan, padahal dikit lagi udah mau lahiran. Kebayang nggak, gimana hancurnya aku waktu itu? Anak remaja yang jadi korban keegoisan orang dewasa harus lahiran sendiri di usianya yang masih muda. Dokternya aja sampai ngira kalau aku hamil di luar nikah!" cerocosnya kesal.Ardan terdiam, tak tahu harus berkata apa. Pikirannya penuh dengan bayangan Luna yang berjuang sendirian di masa-masa itu. Rasa bersalah kembali menyesakkan dadanya."Kamu tahu apa yang lebih menyakitkan dari itu semua?" Luna melanjutkan dengan suara lebih pelan, namun tetap tajam. "

  • Dosenku Mantan Suamiku   6. Menyesal

    "Kok anak kamu mirip saya?" Itu adalah pertanyaan pertama yang keluar dari mulut Ardan.Luna memutar bola matanya malas, sementara Cio menatap Ardan dengan tatapan penuh tanya."Ya karena emang anak kamu, Mas! Kamu sih percaya ke Mbak Wulan. Sekarang nyesel kan, udah tua tapi belum pernah ngerasain jadi Ayah? Makanya jadi orang jangan jahat-jahat!" Luna akhirnya meluapkan kata-kata yang sudah lama terpendam. Ia merasa sedikit lega setelah mengatakannya.Ardan terdiam. Sebuah perasaan menyesal yang mendalam tiba-tiba menyergap dirinya. Ia merasa seperti tertampar, bukan hanya oleh ucapan Luna, tapi juga oleh kenyataan yang kini terungkap begitu jelas di depannya."Bunda, mana Om Dylan? Kata Bunda, Om Dylan ada di depan. Kok malah orang ini yang muncul?" tanya Cio dengan wajah cemberut.Lamunan Ardan terbuyar, namun tatapannya masih terpaku pada bocah itu. Ia menatap Cio dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Ada kebingungan yang mendalam, dan ada rasa sesal yang kian menggelayuti hatin

  • Dosenku Mantan Suamiku   5. Si pemaksa

    Bajingan, pengecut, pemaksa, licik, pendendam, semua sebutan itu terasa sangat cocok untuk Ardan. Luna benar-benar marah, tapi ia tak bisa mengabaikan ancaman pria itu begitu saja. Ia takut bukan karena benar-benar berselingkuh, melainkan karena ia tidak ingin mencoreng reputasinya di kampus. Selama ini, ia telah membangun citra sebagai mahasiswa teladan, dan ia tidak mau semua itu hancur hanya karena ulah pria tersebut. Setelah memastikan tidak ada orang di sekitar parkiran yang memperhatikannya, Luna segera masuk ke dalam mobil Ardan."Siapa yang nyuruh kamu duduk di belakang?" Suara dingin Ardan langsung terdengar, membuat Luna mendengus kesal. Ia melipat tangan di depan dada, enggan menanggapi."Pindah ke depan," perintah Ardan tegas, tatapannya menusuk melalui kaca spion.Luna berdecak kesal. "Ck, tinggal jalan aja apa susahnya sih? Repot amat," gerutunya pelan.Enggan keluar dari mobil lagi, ia melangkah ke kursi depan dengan cara setengah melompati konsol tengah. Gerakannya g

  • Dosenku Mantan Suamiku   4. Mengembalikan harta yang diminta

    Pagi ini, Luna mengikuti perkuliahan seperti biasa. Tak ada jadwal Ardan di kelasnya saat ini, jadi ia akan menemui pria itu ketika istirahat nanti. Karena sedang jamkos, jadi semua mahasiswa yang ada di kelas itu sibuk dengan kegiatannya sendiri-sendiri.“Ada yang tahu akun instagram Pak Ardan? “Kenapa? Pasti mau menggatal, ya?” “Sedikit-sedikit, hahaha.” “Awas ketahuan istrinya.” “Enggak, aku cuma kepo aja. Pengen lihat foto-foto dia waktu masih muda.” “Kok bisa ganteng banget ya? Padahal udah mau kepala empat. Nggak kebayang gimana cakepnya anaknya yang mewarisi gen dia.” “Iya pasti ganteng sama cantik banget.” Luna hanya bisa menghela napas mendengar celotehan teman-temannya. Sambil menumpu dagu dengan tangan kiri, tangan kanannya sibuk mencatat materi mata kuliah di bukunya.“Kak Luna, Kakak kemarin ke mana waktu jadwalnya Pak Ardan? Kok nggak balik sampai selesai? Pak Ardan kelihatan kayak nahan marah,” tanya seorang gadis berkacamata. Luna tersenyum tipis, kemudian men

  • Dosenku Mantan Suamiku   3. Batas kesabaran

    “Pede banget kamu. Saya ngejar kamu karena mau nagih uang saya,” ujar Ardan dengan nada ketus. “Balikin semua uang saya waktu itu. Perjanjian kita batal karena kamu sudah mengkhianati saya.”Mulut Luna terbuka, matanya membelalak, lalu tawa sumbang keluar dari bibirnya. Tidak ada lagi yang bisa ia katakan selain menunjukkan ketidakpercayaannya pada situasi absurd ini.“Serius? Mas Ardan minta uang itu lagi?” tanya Luna, suaranya penuh nada sinis. “Waktu itu pas aku balikin, kamu malah nolak. Sekarang tiba-tiba diminta lagi? Kenapa? Mas Ardan kekurangan uang? Atau… jangan-jangan kamu jatuh miskin?”Nada Luna terdengar mencemooh. Ia sudah tidak peduli lagi jika pria di depannya merasa tersinggung. Emosinya sudah sampai di ujung batas.“Sembarangan banget kamu ngatain saya jatuh miskin! Asal kamu tahu aja, harta saya nggak akan habis sampai tujuh turunan,” balas Ardan dengan nada sombong, matanya menatap Luna tajam. “Saya cuma nggak rela kalau uang saya dimakan sama pengkhianat. Apalagi

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status