"Rumahnya aku jual," ujar Ardan sambil duduk di sofa, suaranya datar namun tegas.Wulan, yang tadinya asyik menonton televisi, langsung mengalihkan pandangannya ke arah Ardan dengan tatapan tak percaya."Kok kamu jual?" tanyanya, nada suaranya meninggi. "Katanya kita di Bandung cuma sementara? Terus nanti kalau kita pulang ke Jakarta, kita mau tinggal di mana? Aku nggak mau, Mas, kalau harus menetap di sini selamanya!""Aku mau menetap di Bandung. Kalau kamu mau balik ke Jakarta, aku bisa antar ke rumah orang tuamu," jawabnya santai, sambil mulai membuka majalahnya. "Menetap di Bandung?" Wulan tertawa sumbang. "Apa karena wanita itu?" tanyanya, tajam. Namun, Ardan tetap diam, tak memberikan jawaban.Wulan menatapnya dengan tatapan terluka, bibirnya bergetar menahan emosi. "Dan apa tadi? Kamu mau ngantar aku ke rumah orang tuaku?" tanyanya dengan nada tinggi, seolah tak percaya. "Apa itu artinya kamu udah nggak mau ngerawat aku lagi? Kamu mau buang aku karena aku lumpuh, nggak berguna
*Flashback lima tahun yang lalu Drucia Luna, gadis cantik yang baru saja merayakan kelulusan SMA, tengah bermain bersama saudara-saudaranya di halaman belakang panti asuhan. Suasana sore itu terasa begitu ceria, dengan tawa dan canda yang mengiringi permainan mereka. Namun, keceriaan itu terganggu saat pasangan suami istri yang tidak dikenal mendekat ke arah mereka. Pasangan itu tidak datang sendiri. Mereka terlihat berjalan bersama Ibu Panti, yang wajahnya tampak serius. "Luna..." panggil Ibu pantinya dengan suara lembut. Luna berhenti sejenak dan menatap mereka dengan tatapan bingung. "Ibu mau bicara sebentar," ujar wanita paruh baya itu lagi. "Ada apa, Ibu?" tanyanya Luna, matanya melirik pasangan suami istri yang tampak serius. Ibu Panti tersenyum tipis, meski senyumnya terasa dipaksakan. "Ini Tuan dan Nyonya Kusuma. Mereka mau bicara sama kamu," jawabnya. Luna menghela napas. Kemudian ia mengikuti ketiga orang dewasa itu yang sudah berjalan lebih dulu masuk ke dalam r
Suasana pagi hari di Panti Asuhan Lentera Hati terasa begitu riuh. Beberapa anak sibuk bersiap-siap untuk pergi ke sekolah, sementara yang sudah dewasa sedang mempersiapkan diri untuk pergi bekerja.Di sisi lain, suasana di rumah Ibu Panti jauh lebih gaduh. Tangisan anak kecil bercampur dengan suara omelan seorang wanita menciptakan keramaian yang memusingkan di pagi hari.“Iya, Cio... sebentar. Ini Bunda lagi siap-siap!”Drucia Luna, wanita cantik berusia 23 tahun itu, nyaris kehilangan kesabarannya menghadapi putra semata wayangnya yang sangat rewel. Ibunya sedang memasak, dan ia sedang bersiap-siap untuk pergi ke kampus. Jadi tidak ada yang mengurus anaknya saat ini. "BUNDA LAMA!" teriak bocah itu diiringi dengan tangisan yang semakin kencang. Luna menarik napas, berusaha meredam emosinya. Dari arah dapur, Juli—ibu pantinya, berlari kecil menghampiri mereka."Ayo, mandi sama Nenek, ya," bujuk Juli lembut sambil membungkuk untuk menggendong Cio.Namun, bocah itu dengan cepat menep
“Mau ke mana kamu?” Langkah Luna terhenti seketika. Suara yang begitu familiar menggema di tangga yang sepi. Dengan ragu, ia menoleh ke belakang.Jantungnya berdebar kencang saat mendapati Ardan berdiri di belakangnya dengan sorot mata yang begitu tajam. “Kamu mau kabur dari kelas saya?” tanya Ardan dengan nada dingin. Luna menghela napas, berusaha untuk tetap tenang. “Mau cari udara di luar,” jawabnya. “Memangnya saya ngizinin?” Luna menghela napas berat, memalingkan wajahnya sejenak sebelum kembali menatap Ardan dengan wajah tegas. “Kamu nggak nyaman kalau ada aku di kelas, kan? Yaudah, biar aku yang ngalah. Kamu balik aja. Mahasiswa yang lain udah pada nunggu.”Ardan tetap berdiri dengan tatapan datar. “Kembali ke kelas,” perintahnya dengan tegas. Luna menggeleng tegas. "Kamu aja. Aku mau ke kantin. Terserah kamu mau absen aku alpa atau apapun itu," tolaknya. Tanpa menunggu jawaban, Luna melanjutkan langkahnya menuruni tangga. Namun, suara dingin Ardan kembali menghentikan l
“Pede banget kamu. Saya ngejar kamu karena mau nagih uang saya,” ujar Ardan dengan nada ketus. “Balikin semua uang saya waktu itu. Perjanjian kita batal karena kamu sudah mengkhianati saya.”Mulut Luna terbuka, matanya membelalak, lalu tawa sumbang keluar dari bibirnya. Tidak ada lagi yang bisa ia katakan selain menunjukkan ketidakpercayaannya pada situasi absurd ini.“Serius? Mas Ardan minta uang itu lagi?” tanya Luna, suaranya penuh nada sinis. “Waktu itu pas aku balikin, kamu malah nolak. Sekarang tiba-tiba diminta lagi? Kenapa? Mas Ardan kekurangan uang? Atau… jangan-jangan kamu jatuh miskin?”Nada Luna terdengar mencemooh. Ia sudah tidak peduli lagi jika pria di depannya merasa tersinggung. Emosinya sudah sampai di ujung batas.“Sembarangan banget kamu ngatain saya jatuh miskin! Asal kamu tahu aja, harta saya nggak akan habis sampai tujuh turunan,” balas Ardan dengan nada sombong, matanya menatap Luna tajam. “Saya cuma nggak rela kalau uang saya dimakan sama pengkhianat. Apalagi
Pagi ini, Luna mengikuti perkuliahan seperti biasa. Tak ada jadwal Ardan di kelasnya saat ini, jadi ia akan menemui pria itu ketika istirahat nanti. Karena sedang jamkos, jadi semua mahasiswa yang ada di kelas itu sibuk dengan kegiatannya sendiri-sendiri.“Ada yang tahu akun instagram Pak Ardan? “Kenapa? Pasti mau menggatal, ya?” “Sedikit-sedikit, hahaha.” “Awas ketahuan istrinya.” “Enggak, aku cuma kepo aja. Pengen lihat foto-foto dia waktu masih muda.” “Kok bisa ganteng banget ya? Padahal udah mau kepala empat. Nggak kebayang gimana cakepnya anaknya yang mewarisi gen dia.” “Iya pasti ganteng sama cantik banget.” Luna hanya bisa menghela napas mendengar celotehan teman-temannya. Sambil menumpu dagu dengan tangan kiri, tangan kanannya sibuk mencatat materi mata kuliah di bukunya.“Kak Luna, Kakak kemarin ke mana waktu jadwalnya Pak Ardan? Kok nggak balik sampai selesai? Pak Ardan kelihatan kayak nahan marah,” tanya seorang gadis berkacamata. Luna tersenyum tipis, kemudian men
Bajingan, pengecut, pemaksa, licik, pendendam, semua sebutan itu terasa sangat cocok untuk Ardan. Luna benar-benar marah, tapi ia tak bisa mengabaikan ancaman pria itu begitu saja. Ia takut bukan karena benar-benar berselingkuh, melainkan karena ia tidak ingin mencoreng reputasinya di kampus. Selama ini, ia telah membangun citra sebagai mahasiswa teladan, dan ia tidak mau semua itu hancur hanya karena ulah pria tersebut. Setelah memastikan tidak ada orang di sekitar parkiran yang memperhatikannya, Luna segera masuk ke dalam mobil Ardan."Siapa yang nyuruh kamu duduk di belakang?" Suara dingin Ardan langsung terdengar, membuat Luna mendengus kesal. Ia melipat tangan di depan dada, enggan menanggapi."Pindah ke depan," perintah Ardan tegas, tatapannya menusuk melalui kaca spion.Luna berdecak kesal. "Ck, tinggal jalan aja apa susahnya sih? Repot amat," gerutunya pelan.Enggan keluar dari mobil lagi, ia melangkah ke kursi depan dengan cara setengah melompati konsol tengah. Gerakannya g
"Kok anak kamu mirip saya?" Itu adalah pertanyaan pertama yang keluar dari mulut Ardan.Luna memutar bola matanya malas, sementara Cio menatap Ardan dengan tatapan penuh tanya."Ya karena emang anak kamu, Mas! Kamu sih percaya ke Mbak Wulan. Sekarang nyesel kan, udah tua tapi belum pernah ngerasain jadi Ayah? Makanya jadi orang jangan jahat-jahat!" Luna akhirnya meluapkan kata-kata yang sudah lama terpendam. Ia merasa sedikit lega setelah mengatakannya.Ardan terdiam. Sebuah perasaan menyesal yang mendalam tiba-tiba menyergap dirinya. Ia merasa seperti tertampar, bukan hanya oleh ucapan Luna, tapi juga oleh kenyataan yang kini terungkap begitu jelas di depannya."Bunda, mana Om Dylan? Kata Bunda, Om Dylan ada di depan. Kok malah orang ini yang muncul?" tanya Cio dengan wajah cemberut.Lamunan Ardan terbuyar, namun tatapannya masih terpaku pada bocah itu. Ia menatap Cio dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Ada kebingungan yang mendalam, dan ada rasa sesal yang kian menggelayuti hatin
"Rumahnya aku jual," ujar Ardan sambil duduk di sofa, suaranya datar namun tegas.Wulan, yang tadinya asyik menonton televisi, langsung mengalihkan pandangannya ke arah Ardan dengan tatapan tak percaya."Kok kamu jual?" tanyanya, nada suaranya meninggi. "Katanya kita di Bandung cuma sementara? Terus nanti kalau kita pulang ke Jakarta, kita mau tinggal di mana? Aku nggak mau, Mas, kalau harus menetap di sini selamanya!""Aku mau menetap di Bandung. Kalau kamu mau balik ke Jakarta, aku bisa antar ke rumah orang tuamu," jawabnya santai, sambil mulai membuka majalahnya. "Menetap di Bandung?" Wulan tertawa sumbang. "Apa karena wanita itu?" tanyanya, tajam. Namun, Ardan tetap diam, tak memberikan jawaban.Wulan menatapnya dengan tatapan terluka, bibirnya bergetar menahan emosi. "Dan apa tadi? Kamu mau ngantar aku ke rumah orang tuaku?" tanyanya dengan nada tinggi, seolah tak percaya. "Apa itu artinya kamu udah nggak mau ngerawat aku lagi? Kamu mau buang aku karena aku lumpuh, nggak berguna
Ardan meneguk minumannya hingga habis, lalu dengan santai membuang kemasannya ke tempat sampah sebelum berjalan mendekati Luna dan David dengan ekspresi datar.Begitu tiba di meja mereka, ia berdiri di antara Luna dan David, menatap David dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana."Siapa, ya?" tanya David polos. Ia memang tidak mengenal Ardan, karena pria itu hanya mengajar di prodi Luna, bukan di prodinya.Ardan menyipitkan mata, ekspresinya seolah meremehkan. "Kamu nggak kenal saya?" tanyanya balik.David menggeleng jujur, membuat Ardan langsung mendengus pelan."Mainmu kurang jauh," cibirnya. "Saya dosen baru di kampus ini. Yang terkenal paling ganteng dan mempesona," tambahnya dengan percaya diri.Luna memutar bola matanya malas. Ingin rasanya ia melempar mouse laptopnya ke wajah pria narsis itu.David hanya menyengir lebar sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal."Emh... ada urusan apa ya, Pak?" tanya David kemudian."Saya nggak ada urusan sama kamu. Tapi sama orang
Seminggu telah berlalu sejak kejadian di mana Ardan bertengkar dengan istrinya dan memohon maaf kepada Luna. Selama itu, Luna benar-benar menjaga jarak darinya. Setiap kali mereka berpapasan di kampus, Luna selalu menghindar."Yaelah, Kenapa harus macet, sih?" gerutu Luna kesal.Pagi ini, di jam pertama, Ardan akan mengisi kelasnya. Kalau sampai ia telat, kemungkinan besar ia akan diberi absen alpa, seperti yang pernah terjadi pada temannya minggu lalu."Ck. Coba aja anakku nggak rewel, mungkin aku udah sampai di kampus dari tadi," gerutunya lagi.Saat akhirnya lalu lintas mulai bergerak, Luna langsung memutar gas motornya, berharap bisa sampai di kampus sebelum kelas dimulai. Namun, nasib berkata lain. Begitu tiba di kampus, ia melihat pintu kelasnya sudah tertutup rapat.Luna menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri sebelum melangkah cepat menuju kelas. Dengan hati-hati, ia membuka pintu sedikit dan mengintip ke dalam. Ardan be
PRANG!PRANG!BRAK!Wulan hanya bisa menunduk, kedua tangannya gemetar sambil menutupi telinga. Tubuhnya yang rapuh terduduk di kursi roda, seolah tak mampu menahan gempuran emosi yang dilontarkan oleh Ardan.“Berani-beraninya kamu, Wulan!” suara Ardan menggema di seluruh ruangan, nadanya tajam dan penuh amarah. Ia membanting satu lagi piring ke lantai, serpihannya memantul ke segala arah. “Selama ini aku percaya sama kamu! Aku bahkan bela kamu mati-matian dan malah menyalahkan orang yang nggak bersalah. Ternyata, semua memang fitnah yang kamu buat sendiri!"Wulan mendongak perlahan, wajahnya basah oleh air mata. “Mas, aku cuma...”“Cuma apa?! Hah?!” Ardan memotong dengan suara lantang, matanya menyala penuh amarah. "Kamu sudah menghancurkan hidup banyak orang, Wulan! Luna, yang seharusnya masih butuh pendamping, harus aku ceraikan karena kebohonganmu. Anakku, yang harusnya tumbuh dengan ayahnya, terpaksa harus tumbuh dengan anak panti asuhan. Dan aku? Aku yang seharusnya menikmati hi
Mendengar itu, Luna terdiam sejenak, matanya memandang kosong ke depan. Namun, sedetik kemudian, senyuman tipis muncul di sudut bibirnya.“Bagus lah kalau kalian udah kena karma. Berarti doaku selama ini dikabulkan,” ujar Luna dengan nada dingin.Ardan menoleh ke belakang, tatapannya dipenuhi kesedihan. "Kamu tega banget, Lun," gumamnya lirih.Luna mendengus kesal, lalu menatap Ardan tajam. “Kamu juga tega banget. Aku lagi hamil malah diceraikan, padahal dikit lagi udah mau lahiran. Kebayang nggak, gimana hancurnya aku waktu itu? Anak remaja yang jadi korban keegoisan orang dewasa harus lahiran sendiri di usianya yang masih muda. Dokternya aja sampai ngira kalau aku hamil di luar nikah!" cerocosnya kesal.Ardan terdiam, tak tahu harus berkata apa. Pikirannya penuh dengan bayangan Luna yang berjuang sendirian di masa-masa itu. Rasa bersalah kembali menyesakkan dadanya."Kamu tahu apa yang lebih menyakitkan dari itu semua?" Luna melanjutkan dengan suara lebih pelan, namun tetap tajam. "
"Kok anak kamu mirip saya?" Itu adalah pertanyaan pertama yang keluar dari mulut Ardan.Luna memutar bola matanya malas, sementara Cio menatap Ardan dengan tatapan penuh tanya."Ya karena emang anak kamu, Mas! Kamu sih percaya ke Mbak Wulan. Sekarang nyesel kan, udah tua tapi belum pernah ngerasain jadi Ayah? Makanya jadi orang jangan jahat-jahat!" Luna akhirnya meluapkan kata-kata yang sudah lama terpendam. Ia merasa sedikit lega setelah mengatakannya.Ardan terdiam. Sebuah perasaan menyesal yang mendalam tiba-tiba menyergap dirinya. Ia merasa seperti tertampar, bukan hanya oleh ucapan Luna, tapi juga oleh kenyataan yang kini terungkap begitu jelas di depannya."Bunda, mana Om Dylan? Kata Bunda, Om Dylan ada di depan. Kok malah orang ini yang muncul?" tanya Cio dengan wajah cemberut.Lamunan Ardan terbuyar, namun tatapannya masih terpaku pada bocah itu. Ia menatap Cio dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Ada kebingungan yang mendalam, dan ada rasa sesal yang kian menggelayuti hatin
Bajingan, pengecut, pemaksa, licik, pendendam, semua sebutan itu terasa sangat cocok untuk Ardan. Luna benar-benar marah, tapi ia tak bisa mengabaikan ancaman pria itu begitu saja. Ia takut bukan karena benar-benar berselingkuh, melainkan karena ia tidak ingin mencoreng reputasinya di kampus. Selama ini, ia telah membangun citra sebagai mahasiswa teladan, dan ia tidak mau semua itu hancur hanya karena ulah pria tersebut. Setelah memastikan tidak ada orang di sekitar parkiran yang memperhatikannya, Luna segera masuk ke dalam mobil Ardan."Siapa yang nyuruh kamu duduk di belakang?" Suara dingin Ardan langsung terdengar, membuat Luna mendengus kesal. Ia melipat tangan di depan dada, enggan menanggapi."Pindah ke depan," perintah Ardan tegas, tatapannya menusuk melalui kaca spion.Luna berdecak kesal. "Ck, tinggal jalan aja apa susahnya sih? Repot amat," gerutunya pelan.Enggan keluar dari mobil lagi, ia melangkah ke kursi depan dengan cara setengah melompati konsol tengah. Gerakannya g
Pagi ini, Luna mengikuti perkuliahan seperti biasa. Tak ada jadwal Ardan di kelasnya saat ini, jadi ia akan menemui pria itu ketika istirahat nanti. Karena sedang jamkos, jadi semua mahasiswa yang ada di kelas itu sibuk dengan kegiatannya sendiri-sendiri.“Ada yang tahu akun instagram Pak Ardan? “Kenapa? Pasti mau menggatal, ya?” “Sedikit-sedikit, hahaha.” “Awas ketahuan istrinya.” “Enggak, aku cuma kepo aja. Pengen lihat foto-foto dia waktu masih muda.” “Kok bisa ganteng banget ya? Padahal udah mau kepala empat. Nggak kebayang gimana cakepnya anaknya yang mewarisi gen dia.” “Iya pasti ganteng sama cantik banget.” Luna hanya bisa menghela napas mendengar celotehan teman-temannya. Sambil menumpu dagu dengan tangan kiri, tangan kanannya sibuk mencatat materi mata kuliah di bukunya.“Kak Luna, Kakak kemarin ke mana waktu jadwalnya Pak Ardan? Kok nggak balik sampai selesai? Pak Ardan kelihatan kayak nahan marah,” tanya seorang gadis berkacamata. Luna tersenyum tipis, kemudian men
“Pede banget kamu. Saya ngejar kamu karena mau nagih uang saya,” ujar Ardan dengan nada ketus. “Balikin semua uang saya waktu itu. Perjanjian kita batal karena kamu sudah mengkhianati saya.”Mulut Luna terbuka, matanya membelalak, lalu tawa sumbang keluar dari bibirnya. Tidak ada lagi yang bisa ia katakan selain menunjukkan ketidakpercayaannya pada situasi absurd ini.“Serius? Mas Ardan minta uang itu lagi?” tanya Luna, suaranya penuh nada sinis. “Waktu itu pas aku balikin, kamu malah nolak. Sekarang tiba-tiba diminta lagi? Kenapa? Mas Ardan kekurangan uang? Atau… jangan-jangan kamu jatuh miskin?”Nada Luna terdengar mencemooh. Ia sudah tidak peduli lagi jika pria di depannya merasa tersinggung. Emosinya sudah sampai di ujung batas.“Sembarangan banget kamu ngatain saya jatuh miskin! Asal kamu tahu aja, harta saya nggak akan habis sampai tujuh turunan,” balas Ardan dengan nada sombong, matanya menatap Luna tajam. “Saya cuma nggak rela kalau uang saya dimakan sama pengkhianat. Apalagi