Share

Dosenku Istriku
Dosenku Istriku
Author: Maunah-Muflih

Dosen Killer

Hari ini merupakan hari yang paling menyebalkan bagiku. Karena hari ini ada mata kuliah yang dosennya paling menyebalkan sedunia. Sudah tiga kali aku membuat makalah, tapi dia terus saja menyalahkan tulisanku.

Kalau ada mahasiswa datang terlambat sedikit saja, dia pasti tak akan mengizinkannya masuk.

“Ya ampun, mana hari ini aku telat lagi, alamat dapat semprotan lagi dari Bu Lidiya,” Aku terus berjalan menuju ruangan kuliahku.

Aku berusaha mengintip dari balik jendela. “Ah, dosen itu sepertinya belum datang, sebaiknya aku segera masuk,” gumamku seraya membuka pintu ruangan. Kulihat teman-teman yang lain memandangiku sambil mengulum senyum.

“Kenapa mereka melihatku seperti itu? Ah, sudahlah, biarin aja.”

Tanpa menghiraukan mereka, aku gegas menuju kursi yang kosong, tapi belum sempat aku duduk, dari belakangku terdengar suara yang sangat kukenal.

“Selamat siang, Pak Hadi Firmansyah,” ucap orang itu.

Glek...

Salivaku tertelan paksa saat kulihat dosen itu ternyata di belakangku, tepatnya dia duduk di kursi mahasiswa. “Akhhkhh ... mati aku!” pekikku dalam hati.

Dia berdiri dan menghampiriku. “Duduk di sana!“ serunya sambil menunjuk ke arah kursinya.

“Maksud Ibu, bagaimana?” tanyaku tak paham. Dia menatapku dengan pandangan dinginnya yang serasa menusuk jantungku.

“Hari ini Anda yang akan menggantikan saya menyampaikan mata kuliah, dan saya akan duduk di sini sebagai mahasiswi,” ujarnya datar.

“Akghghh, apa katanya tadi? Dia mau aku yang mengajar?” batinku.

“Bu, Ibu jangan bercanda, deh. Masa Ibu mau saya yang ngajar gantiin Ibu? Emangnya Ibu mau makan gaji buta?” jawabku spontan. Dan, ahkh, kenapa aku malah berkata begitu? Bisa tambah marah dia.

Ups!

Aku membungkam mulutku saat kusadari aku salah ucap. Aku melirik ke arah teman-temanku yang kini terlihat cekikikan.

“Saya makan gaji buta? Ok, kalau begitu, silakan Anda keluar dari ruangan ini, dan jangan salahkan saya jika nilai Anda di bawah C,” tegasnya sambil menunjuk ke arah pintu.

“Ah, Ibu, Ibu gak adil!” pekikku tak kalah darinya.

Dia terlihat menarik napas. “Baiklah teman-teman, menurut kalian bagaimana saya harus bersikap agar saya dianggap adil di ruangan ini?” tanyanya pada seluruh mahasiswa yang ada di ruangan.

“Suruh aja dia berdiri di pojok ruangan, Bu! “ seru salah satu dari mereka.

“Betul, Bu. Jangan lupa suruh sambil megang kuping, hihi,” sahut yang lainnya.

“Sekalian suruh angkat sebelah kakinya, Bu,” timpal yang lain lagi.

Akhhkhh, dasar teman gak ada akhlak semua, masa aku djsuruh menerima hukuman anak SD?

Aku melirik ke arah Bu Lidya yang sekarang bersidekap.

"Bagaimana Pak Hadi? Sekarang ada tiga pilihan untuk Anda. Anda mau pilih yang mana?” tanyanya sambil menatapku tajam.

"Akhh dari pada aku dapat nilai D, atau ngajar, lebih baik aku pilih berdiri aja.”

Tanpa menjawabnya, aku segera menuju pojok ruangan dan melakukan yang mereka minta, berdiri di pojok ruangan tentunya tanpa menuruti keinginan mereka yang menginginkan aku berdiri dengan mengangkat kaki. 'Enak aja! emangnya aku anak SD?'

****

Usai mengikuti semua mata kuliah, aku segera berjalan menuju kantin. Rasa kesal pada dosen itu rasanya belum hilang juga.

"Hei, Bro, kenapa muka elo di tekuk gitu? aah gue tahu, elo pasti habis dimarahi Bu Lidya. Iya,kan? Haha ayo ngaku!" tanya si brengsek Ilman, temanku yang beda jurusan. Entah kenapa dia selalu tahu dan selalu bisa menebak dari raut mukaku.

" Ya, begitulah. Tuh dosen kayanya harus dinikahkan, biar gak saraf kaya gitu. Masa udah 3 kali gue bikin makalah, tapi masih disalahkan lagi, lagi dan lagi. Kan, gila tuh orang. Mana hari ini gue disuruh berdiri di pojok sambil pegang kuping, persis anak SD," jawabku berapi api.

" Ha-ha-ha, dinikahkan? Maksudnya elo mau nikahi Bu Lidya, ya?" sahut Ilman meledekku. Menyebalkan.

"Apa? Gue nikahi dia? cewek tua yang super killer itu? yang bener aja lu, Man? Yang ada gue berubah jadi kakek-kakek tar! ... ha-haha."

Kami terbahak bersama, tapi kulihat Ilman merubah tawanya menjadi cengiran kuda.

"Eh, denger, ya! Gue tuh udah punya cewek yang super duper kece, masih muda lagi, mana mungkin gue ninggalin cewek gue yang super cantik cuma demi wanita seperti Bu Lidya yang super killer dan udah tua ... haha ... sampai kapanpun dan walaupun di dunia ini gak ada cewek lain, gue gak bakal ngelirik tuh cewek ... haha?" Aku kembali tertawa terpingkal-pingkal, tapi kulihat Ilman malah salah tingkah.

"Eh, Man, elu kenapa? Kok, bengong gitu?" Aku bertanya keheranan sambil memutar badanku dan ...

" Ehmm, Sudah selesai menggibahnya? " Suara dingin yang sangat kukenal itu membuat jantungku terasa meloncat keluar.

" Hmm, Bu-Bu Lidya? Saya ... sayaa." Aku tergagap-gagap.

Ternyata Bu Lidya sedari tadi sudah ada di belakangku dan mendengar semua omongan jelekku tentangnya, tapi anehnya, dia tak terlihat marah, wajahnya tetap terlihat datar tak berekspresi.

Dia mendekat dan memandangku dengan tajam.

" Tuan Hadi Firmansyah, ikut saya ke Kantor!" tukasnya sambil melangkah ke arah ruangannya.

"Ini makalah Anda, silakan perbaiki!" ujar Bu Lidiya sambil membanting sebuah map ke depanku.

Mataku terbelalak melihat makalah yang tadi kuberikan padanya dikembalikan lagi, yang artinya tidak dia terima.

"Apa, Bu?, kok, dikembalikan lagi? Kan, udah benar semua. Atau ... ooh saya tau, Ibu mengembalikan makalah saya karena ibu tersinggung dengan ucapan saya tadi. Iya, kan, Bu? " Aku terus nyerocos tanpa memikirkan perasaannya.

"Jadi maksud Anda, saya tidak profesional? Maaf Hadi, justru karna saya profesional makanya saya kembalikan makalah ini ke kamu, karena saya ingin kamu perbaiki kesalahanmu," jawabnya masih dengan nada datar.

" Maaf ya, Bu, Saya sudah perbaiki semua kesalahannya. Jadi, mana mungkin salah lagi.” Aku tetap ngotot tak mau disalahkan.

"Saya menyuruh Anda membuat makalah, bukan novel. Iya, kan?" Dia terlihat mulai kesal.

" Iya, itu, kan, saya buat makalah, Bu," tukasku tak kalah sewot.

Dia menggeleng sambil berdecak kesal. " Coba kamu periksa dengan benar, Kalau kamu membuat makalah, pasti ada refrensinya, sekarang mana refrensinya? " tanyanya dengan nada suara mulai meninggi.

Aku segera memeriksa makalahku. Dan benar saja, karena terburu-buru, aku lupa menaruh kertas yang sudah berisi tulisan tentang referensi buku yang akan kubuat.

Aku tak bisa berkata apa-apa lagi.

"Sekarang kerjakan itu! dan saya beri waktu sampai sore ini. Kalau sampai sore kamu tidak menyerahkan makalahnya, itu akan berpengaruh pada nilaimu nanti," ujarnya tegas.

Aku tak bisa apa-apa selain mengikuti perintahnya. Bagaimana pun dia Dosenku.

"Sebaiknya aku menemui Leni, dia kan, jago membuat makalah, ya tinggal aku turuti kemauan dia, pasti dia pengen shopping."

Dengan langkah gontai, aku menuju ruangan Leni, pacarku yang beda jurusan denganku. Aku mengambil jurusan management, sedangkan Leni mengambil jurusan Akuntansi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status