Hari ini merupakan hari yang paling menyebalkan bagiku. Karena hari ini ada mata kuliah yang dosennya paling menyebalkan sedunia. Sudah tiga kali aku membuat makalah, tapi dia terus saja menyalahkan tulisanku.
Kalau ada mahasiswa datang terlambat sedikit saja, dia pasti tak akan mengizinkannya masuk. “Ya ampun, mana hari ini aku telat lagi, alamat dapat semprotan lagi dari Bu Lidiya,” Aku terus berjalan menuju ruangan kuliahku. Aku berusaha mengintip dari balik jendela. “Ah, dosen itu sepertinya belum datang, sebaiknya aku segera masuk,” gumamku seraya membuka pintu ruangan. Kulihat teman-teman yang lain memandangiku sambil mengulum senyum. “Kenapa mereka melihatku seperti itu? Ah, sudahlah, biarin aja.” Tanpa menghiraukan mereka, aku gegas menuju kursi yang kosong, tapi belum sempat aku duduk, dari belakangku terdengar suara yang sangat kukenal. “Selamat siang, Pak Hadi Firmansyah,” ucap orang itu. Glek... Salivaku tertelan paksa saat kulihat dosen itu ternyata di belakangku, tepatnya dia duduk di kursi mahasiswa. “Akhhkhh ... mati aku!” pekikku dalam hati. Dia berdiri dan menghampiriku. “Duduk di sana!“ serunya sambil menunjuk ke arah kursinya. “Maksud Ibu, bagaimana?” tanyaku tak paham. Dia menatapku dengan pandangan dinginnya yang serasa menusuk jantungku. “Hari ini Anda yang akan menggantikan saya menyampaikan mata kuliah, dan saya akan duduk di sini sebagai mahasiswi,” ujarnya datar. “Akghghh, apa katanya tadi? Dia mau aku yang mengajar?” batinku. “Bu, Ibu jangan bercanda, deh. Masa Ibu mau saya yang ngajar gantiin Ibu? Emangnya Ibu mau makan gaji buta?” jawabku spontan. Dan, ahkh, kenapa aku malah berkata begitu? Bisa tambah marah dia. Ups! Aku membungkam mulutku saat kusadari aku salah ucap. Aku melirik ke arah teman-temanku yang kini terlihat cekikikan. “Saya makan gaji buta? Ok, kalau begitu, silakan Anda keluar dari ruangan ini, dan jangan salahkan saya jika nilai Anda di bawah C,” tegasnya sambil menunjuk ke arah pintu. “Ah, Ibu, Ibu gak adil!” pekikku tak kalah darinya. Dia terlihat menarik napas. “Baiklah teman-teman, menurut kalian bagaimana saya harus bersikap agar saya dianggap adil di ruangan ini?” tanyanya pada seluruh mahasiswa yang ada di ruangan. “Suruh aja dia berdiri di pojok ruangan, Bu! “ seru salah satu dari mereka. “Betul, Bu. Jangan lupa suruh sambil megang kuping, hihi,” sahut yang lainnya. “Sekalian suruh angkat sebelah kakinya, Bu,” timpal yang lain lagi. Akhhkhh, dasar teman gak ada akhlak semua, masa aku djsuruh menerima hukuman anak SD? Aku melirik ke arah Bu Lidya yang sekarang bersidekap. "Bagaimana Pak Hadi? Sekarang ada tiga pilihan untuk Anda. Anda mau pilih yang mana?” tanyanya sambil menatapku tajam. "Akhh dari pada aku dapat nilai D, atau ngajar, lebih baik aku pilih berdiri aja.” Tanpa menjawabnya, aku segera menuju pojok ruangan dan melakukan yang mereka minta, berdiri di pojok ruangan tentunya tanpa menuruti keinginan mereka yang menginginkan aku berdiri dengan mengangkat kaki. 'Enak aja! emangnya aku anak SD?' **** Usai mengikuti semua mata kuliah, aku segera berjalan menuju kantin. Rasa kesal pada dosen itu rasanya belum hilang juga. "Hei, Bro, kenapa muka elo di tekuk gitu? aah gue tahu, elo pasti habis dimarahi Bu Lidya. Iya,kan? Haha ayo ngaku!" tanya si brengsek Ilman, temanku yang beda jurusan. Entah kenapa dia selalu tahu dan selalu bisa menebak dari raut mukaku. " Ya, begitulah. Tuh dosen kayanya harus dinikahkan, biar gak saraf kaya gitu. Masa udah 3 kali gue bikin makalah, tapi masih disalahkan lagi, lagi dan lagi. Kan, gila tuh orang. Mana hari ini gue disuruh berdiri di pojok sambil pegang kuping, persis anak SD," jawabku berapi api. " Ha-ha-ha, dinikahkan? Maksudnya elo mau nikahi Bu Lidya, ya?" sahut Ilman meledekku. Menyebalkan. "Apa? Gue nikahi dia? cewek tua yang super killer itu? yang bener aja lu, Man? Yang ada gue berubah jadi kakek-kakek tar! ... ha-haha." Kami terbahak bersama, tapi kulihat Ilman merubah tawanya menjadi cengiran kuda. "Eh, denger, ya! Gue tuh udah punya cewek yang super duper kece, masih muda lagi, mana mungkin gue ninggalin cewek gue yang super cantik cuma demi wanita seperti Bu Lidya yang super killer dan udah tua ... haha ... sampai kapanpun dan walaupun di dunia ini gak ada cewek lain, gue gak bakal ngelirik tuh cewek ... haha?" Aku kembali tertawa terpingkal-pingkal, tapi kulihat Ilman malah salah tingkah. "Eh, Man, elu kenapa? Kok, bengong gitu?" Aku bertanya keheranan sambil memutar badanku dan ... " Ehmm, Sudah selesai menggibahnya? " Suara dingin yang sangat kukenal itu membuat jantungku terasa meloncat keluar. " Hmm, Bu-Bu Lidya? Saya ... sayaa." Aku tergagap-gagap. Ternyata Bu Lidya sedari tadi sudah ada di belakangku dan mendengar semua omongan jelekku tentangnya, tapi anehnya, dia tak terlihat marah, wajahnya tetap terlihat datar tak berekspresi. Dia mendekat dan memandangku dengan tajam. " Tuan Hadi Firmansyah, ikut saya ke Kantor!" tukasnya sambil melangkah ke arah ruangannya. "Ini makalah Anda, silakan perbaiki!" ujar Bu Lidiya sambil membanting sebuah map ke depanku. Mataku terbelalak melihat makalah yang tadi kuberikan padanya dikembalikan lagi, yang artinya tidak dia terima. "Apa, Bu?, kok, dikembalikan lagi? Kan, udah benar semua. Atau ... ooh saya tau, Ibu mengembalikan makalah saya karena ibu tersinggung dengan ucapan saya tadi. Iya, kan, Bu? " Aku terus nyerocos tanpa memikirkan perasaannya. "Jadi maksud Anda, saya tidak profesional? Maaf Hadi, justru karna saya profesional makanya saya kembalikan makalah ini ke kamu, karena saya ingin kamu perbaiki kesalahanmu," jawabnya masih dengan nada datar. " Maaf ya, Bu, Saya sudah perbaiki semua kesalahannya. Jadi, mana mungkin salah lagi.” Aku tetap ngotot tak mau disalahkan. "Saya menyuruh Anda membuat makalah, bukan novel. Iya, kan?" Dia terlihat mulai kesal. " Iya, itu, kan, saya buat makalah, Bu," tukasku tak kalah sewot. Dia menggeleng sambil berdecak kesal. " Coba kamu periksa dengan benar, Kalau kamu membuat makalah, pasti ada refrensinya, sekarang mana refrensinya? " tanyanya dengan nada suara mulai meninggi. Aku segera memeriksa makalahku. Dan benar saja, karena terburu-buru, aku lupa menaruh kertas yang sudah berisi tulisan tentang referensi buku yang akan kubuat. Aku tak bisa berkata apa-apa lagi. "Sekarang kerjakan itu! dan saya beri waktu sampai sore ini. Kalau sampai sore kamu tidak menyerahkan makalahnya, itu akan berpengaruh pada nilaimu nanti," ujarnya tegas. Aku tak bisa apa-apa selain mengikuti perintahnya. Bagaimana pun dia Dosenku. "Sebaiknya aku menemui Leni, dia kan, jago membuat makalah, ya tinggal aku turuti kemauan dia, pasti dia pengen shopping." Dengan langkah gontai, aku menuju ruangan Leni, pacarku yang beda jurusan denganku. Aku mengambil jurusan management, sedangkan Leni mengambil jurusan Akuntansi.Setelah membayar makananku, Aku bergegas menemui Leni di ruangannya. Aku sengaja menemui Leni agar membantuku mengerjakan makalah ini."Mas, kita jalan yu! bosen tahu, ngerjain tugas kuliah mulu." Lena mulai merajuk."Ya, nanti kita jalan ke mall, tapi bantu Mas selesain tugas, ya!" rayuku padanya. "Ok, Mas. Asal nanti Mas teraktir aku belanja sampai puas, ok?" Dia balik merayuku, hingga membuatku sampai tersedak mendengarnya."Gila ni cewek, matre banget, dia bilang mau belanja sepuasnya, bisa habis duit pegangan gue selama sebulan, untung dia cantik dan mau bantu gue ngerjain tugas. Kalau dia macam Bu Lidya yang jutek dan berwajah pas pasañ gitu, mana gue mau teraktir dia. Eh, tapi kenapa gue malah inget Bu Lidya ya? Ihhh amit-amit, dah." Aku membatin sambil bergidik mengingat wajah Bu Lidya.Setelah kami selesai mengerjakan makalah, aku terpaksa menepati janjiku mengajaknya berbelanja di mall. Oh ,my God, gadis ini benar benar ingin menguras dompetku. Dia dengan asyiknya meleng
"Saya terima nikah dan kawinnya pulanah binti pulan dengan mas kawin tersebut dibayar, tunai!" teriakku lantang. Aku sungguh bahagia akhirnya aku menikah juga. " Ci*um! ... Ci*um!... Ci*um!" Para hadirin meneriaki agar aku mencium pengantin wanitaku. Kumoncongkan bibirku bermaksud mencium kening istriku, tapi entah kenapa dia tiba-tiba saja menamparku. Plaakk!! "Hadiiii, apa apa-apaan kamu ini? ngapain kamu mencium Mamah, hah?" Suara cempreng yang sangat has itu membuyarkan semua keindahan yang sedang kualami. Perlahan aku mengerjapkan mata, samar-samar bisa kulihat wajah perempuan di depanku, yang ternyata adalah Mamah. " He he, Mamah, kirain istriku, Mah," ujarku sambil cengengesan, ketika kulihat sosok wanita yang sangat kukenali sedang berdiri sambil berkacak pinggang di depanku. " Dasar mesum!, kamu mimpi mesum, ya?" tanyanya padaku, masih sambil berkacak pinggang. "Yee, Mamah, Hadi gak mimpi mesum, Mah, cuma mimpi nikah aja, hi hi," jawabku sambil cekikikan. Mama te
"Maaf Bu, memangnya siapa yang akan nikah? ini pengantinnya udah pergi kok," tanya salah seorang tamu. "Ini Bu, yang akan jadi pengantin prianya ini, anak saya," jawab Mama sambil menepuk pundakku. Kini semua mata memandang ke arahku. Duh, dagsigdug juga jadi pusat perhatian. "Ibu gak bercanda, kan? anak ibu Marna mau nikahi anak saya?" tanya seorang wanita seumur Mama, sepertinya ini mamahnya Teh Shiena karena dia yang tadi pingsan. "Yang bener, Bu?" tanya orang-orang itu secara bersamaan. Ya iyalah siapa yang tak heran, si pengantin wanita kan udah janda dan udah tua, mereka pasti heran kenapa yang mau menikahi janda tua itu adalah laki-laki seganteng aku. Jangankan mereka, gue juga heran, kenapa mama gue justru nikahkan gue sama janda. "Ya udah, kalau memang Masnya serius mau nikah, ayo duduk, biar saya langsung nikahkan soalnya saya udah ditunggu yang lain," ujar Paak Penghulu sambil kembali duduk. Aku tadinya masih tetap berdiri mematung, tapi mamaku menyenggol l
Pov Shiena. Salah satu resiko menjadi seorang pengajar adalah harus siap mental kalau kalau ada murid yang nakal atau bandel. Itu lah yang aku hadapi sekarang. Saat ini aku mengajar di sebuah kampus sebagai Dosen di Fakultas Ekonomi, kebetulan aku dipercaya menyampaikan mata kuliyah Etika berbisnis dan profesi dan juga PAI. Hari ini aku benar benar dibuat kesal oleh salah seorang mahasiswa yang selalu terlambat dan sering juga ceplas ceplos disaat aku mengajar. Kalau saja aku seperti dosen yang lain, mungkin anak itu sudah diberi nilai D, tapi aku masih memberi dia kesempatan, meski dia sungguh menyebalkan. Kali ini aku memberi mereka tugas untuk membuat makalah, tapi mahasiswa yang bernama Hadi ini selalu melakukan kesalahan dalam penyusunannya. Karena besok aku mau mengambil cuti sampai seminggu, hari ini aku berbuat baik pada para mahasiswa yang makalahnya masih perlu perbaikan. Ketika aku berada di kantin, aku mendengar Hadi dan Ilman menyebut-nyebut namaku, aku pun berg
Aku jatuh terkulai di lantai, sementara Mama jatuh pingsan. " Maa, kenapa Mama nangis, Maa?..Dan itu nenek, kenapa nenek juga jatuh, Maa?" Basmah menangis di sampingku sambil menggoyangkan tanganku. Aku berusaha menguatkan hatiku dan menjawabnya. " Gak ada apa-apa, Basmah jangan takut ya sayang!" Aku menarik Basmah ke pelukanku. " Na, sebaiknya kamu bawa masuk Basmah ke dalam, biar ibumu kami yang urus," Titah Bi Ijah padaku. BI Ijah adalah saudara jauh ibuku yang tinggal bersama kami karena beliau sudah tak punya keluarga lagi. Aku menuruti dan gegas membawa Basmah masuk kamar dan menidurkannya. Ceklek... Terdengar Pintu kamarku dibuka dari luar dan muncullah sosok wanita yang kukenal. " Assalamualaikum nak Shiena, " ujarnya seraya memelukku. " Wa alaikum salam wr wb. Bu Marnah, Ibu udah datang?" jawabku sambil berdiri dan menyalaminya. Beliau bertanya padaku tentang apa yang terjadi dirumah ini. Aku terpaksa menjelaskan pada Bu Marnah. Bu Marnah adalah orang yang pernah ak
Usai menerima ucapan selamat dari para tamu, kini saatnya acara adat yaitu 'makan spertemon' acara adat ini dilakukan di sebagian daerah Serang, di mana pengantin akan disuruh makan bersama dan saling menyuapi dipandu oleh ibu dukun branak, alias paraji. Kini aku dan Bu Lidiya duduk saling berhadapan, dan di depan kami ada sepiring nasi kuning lengkap dengan lauk pauknya. "Had, ayo suapin istrimu!" printah Ibu dukun padaku setelah selesai berdoa. Aku meraih sesuap makanan dan .. Blep.. Aku memasukan makanan yang cukup banyak ke mulutnya hingga dia tak bisa mengunyah. "Makan yang banyak, Bu! Ayo telen, ya Bu! Biar nanti malam Ibu kuat malam pertama hihi," bisikku di telinganya. Sungguh menyenangkan melihat Ibu dosenku ini tak berdaya mengikuti kemauanku. Entah kenapa dia memandangku dengan pandangan horror, sepertinya dia sedang merencanakan sesuatu untuk membalasku. "Suamiku sayang, makan ini, ya! Biar kamu juga kuat , he he he," ucapnya di sertai kedipan mata. Ah, gawat, sepe
Hadi terlihat mondar-mandir di kamarnya. Sementara Shiena masih khusyu dengan lantunan bacaan ayat Alquran setelah ia selesai salat isya."Kamu gak salat, Had?" Shiena mencoba mencairkan suasana di kamar pengantin yang kaku dan aneh itu.Hadi terlihat kesal dengan pertanyaan wanita yang sudah shah menjadi istrinya itu. Hadi mulai mendekat ke arah Shiena dia menghempaskan bokongnya di dekat Shiena dan mulai berbisik."Bukan urusan Anda, Bu Dosen. Dengar, ya, Bu Shiena atau Bu Lidya atau Bu siapa kek, saya gak perduli dengan nama Ibu.Saya tegaskan sama ibu, Ibu ini memang sudah sah menjadi istri saya, tapi ibu sama sekali tidak berhak mengatur saya, karena saya tidak akan pernah menginginkan ibu menjadi istri saya, Bagi saya Ibu ini hanyalah dosen saya, tidak lebih. Cam kan baik-baik, Bu Lidya!" tegasnya dengan suara setengah berbisik, karena Hadi tak mau Mamanya mendengar percakapan mereka berdua.Deg..Jantung Shiena terasa nyeri mendengar kata-kata murid nya yang kini telah men
Waktu sudah menunjukkan pukul 12 lewat, tapi Hadi masih gelisah, Hadi berusaha memejamkan matanya, tapi tak jua bisa ia lakukan.Bagaimana pun dia adalah laki-laki normal, yang apabila berduaan dengan perempuan pastilah timbul perasaan aneh."Gila, kenapa aku kegerahan gini, padahal AC nyala, tapi kenapa terasa panas. Apa karena ada Bu Lidya?" Hadi bergumam sendiri sambil melirik ke arah istrinya yang sudah terlelap.Mungkin karena ini bukan hal pertama bagi Shiena tidur di samping suami, jadi dia tak merasa gelisah, lain dengan Hadi yang memang baru pertama kali tidur di samping perempuan.Perlahan Hadi mendekat ke arah Shiena dan dipandanya wajah Shiena dengan seksama. "Manis juga kalau lagi merem kek gini. Astagfirullah kenapa aku jadi tertarik dengan wanita ini? Iih amit-amit, tapi ... sekarang dia istriku. Meski aku ngucap amit-amit berjuta kali, kenyataannya dia sekarang istriku.. Hadeuh, apa aku kualat, ya? karena aku sering menghinanya."Hadi terus saja merutuki diri sendiri y