“Ya apa alasannya? Kami sama-sama perempuan, apa yang dia punya sampai-sampai kamu enggak bisa melepaskan dia? Atau jangan-jangan kalian sudah menikah diam-diam?”
Prayy!!!Suara piring terjatuh, lalu seketika saat kami berpaling mertuaku berada di balik sana.Dia menatap nanar tetapi tak lama, berteriak memanggil suaminya. Sekarang bukan hanya suaminya yang hadir, anak-anakku pun ikut penasaran dengan keributan yang kembali kami ciptakan. Kurasa memang hubungan kami sudah tak sehat. Begitu banyak keributan, amarah juga sikap anak-anak yang jadi keras padaku, semakin memperjelas semuanya. Meski aku tahu ini semua salahku, namun tak bisakah Dewi menahannya sejenak, setidaknya sampai mereka pulang. Sehingga kita bisa menyelesaikan masalah ini berdua. Sekarang karena ada mereka di sini, semuanya tentu akan bertambah kacau.“Ada apa Bu? Astagfirullah kok pecah begini, awas anak-anak jangan ke sini, hati-hati ini loh nanti kena pecahannya, kamu jaga anak-anak sebentar, biar Bapak yang ambil sapu sama serok.”Ibu hanya diam dan menurut, tapi tatapannya padaku seperti elang yang siap memakan mangsanya kapan saja. Bude membawa anak-anak ke kamar. Sudah dipastikan kali ini aku tak akan bisa mengindar lai. Dan benar saja begitu Bude kembali, bersamaan dengan Pakde yang telah selesai membersihkan pecahan piring yang berserakan di lantai. Ibu mendekati kami. Dewi pun sudah dalam posisi duduk. Suasana mendadak menegang.“Ibu kenapa teriak-teriak, coba bicarakan pelan-pelan, Bapak tahu Ibu kesal, tapi di sini ada anak-anak, enggak baik buat mental mereka melihat orang tuanya bertengkar.”“Ini masalahnya serius Pak, Ibu juga enggak akan kayak gini kalau masalahnya sepele?”“Emang apa masalahnya?”“Tanya tuh sama mantu kesayangan Bapak!”“Astagfirullah Bu, Dan Dewi ada apa sebenarnya? Kalian ada masalah?”“Dani selingkuh Pak,” lirih Dewi, yang tentu saja aku refleks menatapnya. Tak bisakah dia menutupinya kali ini saja.“Bener itu Dan?”“Dani bisa jelaskan Pak.” Aku langsung berdiri lalu berjalan mendekati Pakde yang masih di ambang pintu, dia bahkan masih memegang sapu. Wajahnya seketika merah padam, bahkan telapaknya mulai mengepal yang semakin lama justru semakin kuat.Pecahan piring itu malah kembali di lemparkan ke arahku, tentu aku refleks menghindar.“Kurang ajar!”“Bapak! Udah Pak!” Seketika Ibu menjerit melihat Bapak yang berusaha menarik kerah bajuku. Namun naas semua sudah terlambat, kepalan tangannya sudah lebih dulu mendarat di wajahku. Meninggalkan darah segar yang mengucur di bibir. Dia sama sekali tak menghiraukan kakinya yang menginjak serpihan beling yang ia lempar. Bahkan sekarang dia terus saja memukulku. Sebenarnya bisa saja aku melawanya namun ini memang salahku. Aku telah menyakiti putrinya. Memang sudah sepantasnya dia melampiaskan kemarahannya.“Sudah Pakde cukup!”“Kamu masih belain dia Nduk? Buat apa?”Ya Tuhan, syukurlah Dewi masih mau pasang badan untukku. Sekarang tepat berada di depanku.“Besok kalau anak-anak nanya Papahnya kenapa? Dewi harus jawab apa? Dewi aja sudah bingung tiap kali Rafa nanya kenapa Papahnya sering jalan sama perempuan lain? Dewi bingung.”“Kamu itu enggak sendiri Nduk, masih ada kami, kalau kamu sudah enggak kuat, kenapa enggak pulang ke rumah.”“Dewi enggak mau nyusahin Bapak sama Ibu, udah cukup Dewi ngerepotin Ibu Bapak dari kecil.”“Ya Allah Nduk, kami justru lebih sakit lihat kamu begini.”Dewi luruh ke lantai, dia terisak di sana. Aku mencoba merengkuh wanita itu, namun Pakde, malah menariknya. Meski begitu bisa kurasakan demam Dewi semakin tinggi saja. Dia pasti sakit karena ulahku.“Ayo Bapak antar ke dokter ya, ini demi anak-anak Nduk, kamu buat apa nangisin laki-laki brengs#k kayak dia, sudah ayo bangun Nduk.”Akhirnya Dewi bersedia dibawa ke dokter. Aku sepat khawatir mengingat wajahnya sudah tampak seperti mayat hidup. Maafkan aku Wi, seandainya aku mampu mengontrol nafsu, semua ini tak akan terjadi.“Kamu mau apa lagi?” sentak Pakde, yang menyadari aku mengikutinya dari belakang.“Aku mau ikut antar Dewi periksa Pak.”“Enggak usah pura-pura kamu! Sudah minggir sana! kalau enggak ingat anak-anak, sudah saya habisi kamu!” ancamnya.Ahhh!!!Ponselku berdering seperti biasa siapa lagi kalau bukan Eiden, yang menelepon di jam malam begini. Entah kenapa hasratku hilang begitu saja. Padahal biasanya aku begitu bersemangat hanya melihat namanya terpampang di layar. Haruskah keluarga yang kubina selama 12 tahun harus hancur saat ini juga? Sejenak aku menatap ke arah kamar anak-anak.Kenapa sih gue bod#h banget!Cukup lama mereka keluar, hingga saat mereka kembali. Aku yang masih menyimpan khawatir, bukankah wajar bertanya tentang keadaan Dewi? Sialnya bukan jawaban yang kudapatkan namun lagi-lagi makian dari Pakde. Pada akhirnya aku pasrah, membiarkan Dewi masuk ke kamar kami.“Duduk!” Pakde kembali mendekat, tapi kali ini tentu aja aku sudah punya ancang-ancang kalau saja tiba-tiba dia memukul, setidaknya aku bisa menghindar. Tetapi dia malah menertawakanku.“Kamu pikir pukulan saja cukup untuk membalas perbuatan kamu?”“Saya minta maaf Pakde, saya memang salah.”“Kalau kamu tahu salah kenapa dilakuin?”“Sekali lagi saya janji, ini terakhir kalinya saya melakukan ini.”“Bulshit!”Aku tercengang baru kutahu kalau keluarga Dewi yang terkenal lembut dan santun dalam sehari saja bisa berubah sekasar ini. Tatapan Pakde saat ini sungguh seakan-akan dia ingin menelanku bulat-bulat.“Saya boleh tua, tapi kalau saya mau sekarang juga saya bisa bikin kamu, ya minimalnya lumpuh.”Enteng sekali dia berkata demikian, memangnya dia itu siapa. Lagi pula, dengan melihat kondisinya saat ini, tentu saja yang akan terjadi tentu saja sebaliknya.“Apa keputusan kamu?”“Saya ingin tetap mempertahankan rumah tangga ini Pak?”“Alasannya?”“Anak-anak kita sudah empat, kasihan nasib mereka kalau kami harus berpisah.”“Kasihan? Lalu nasib Dewi? Kamu pikir dia enggak sakit hati sama perlakuan kami. Sekarang saya enggak mau tahu ya, tinggalkan Dewi! Hari ini juga saya akan ajak dia pergi.”“Enggak bisa gitu dong Pak.”“Kenapa enggak bisa? Dia anak saya! Minggir!”“Oke Bapak sama Ibu bisa ajak Dewi, tapi izinkan saya buat bicara sama Dewi dulu, setelah itu terserah kalau Dewi mau ikut, aku enggak akan melarang lagi.”Ya ampun kenapa begini, oke berpikir Dani, bagaimana caranya menahan Dewi di sini. Bagaimana pun aku sadar Eiden tak punya kemampuan mengurus keempat anakku sekaligus. Aku masih butuh Dewi.“Cepat! Kamu mau masuk enggak!” teriak Pakde. Dia ini kenapa jadi tak sabaran.Aku membuka pintu kamra, lalu mendekat ke Dewi yang tengah berbaring.“Kamu sakit apa?”“Bukan urusan kamu.”“Pakde sama Bude mau ajak kamu sama anak-anak pergi, malam ini juga, tapi aku enggak setuju.”Mendengar perkataanku Dewi langsung terlonjak, lalu susuk bersandar ke ranjang.“Kenapa?”“Aku pengen kamu buat tinggal di sini.”“Kalau aja kamu enggak pernah selingkuh dengan senang hati aku tinggal Mas.”“Terserah kalau kamu mau pergi, atau mau pisah dari aku, tapi yang harus kamu ingat, hak asuh anak enggak akan aku serahkan begitu aja sama kamu. Berani keluar, siap-siap aja. Aku enggak mau kamu pergi!”“Egois kamu Mas! Jahat!”“Kamu harus ingat Wi, kamu enggak kerja kamu mungkin bisa bawa Yura karena masih ASI tapi ketiganya, dengan apa kamu bisa menghidupi mereka, kalau kamu sendiri enggak kerja, pihak pengadilan enggak akan memberikan hak asuh mereka ke kamu. Dan aku akan berjuang juga buat itu.”Pakde yang tak sabaran dengan lancangnya masuk, lalu masuk menghampiri kami.“Ayo kita pergi Wi!”Dewi tak langsung menjawab, entah keputusan apa yang akan dia ambil. Aku yakin dia pasti bingung. Mana tega dia meninggalkan ke tiga anaknya.“Ya apa alasannya? Kami sama-sama perempuan, apa yang dia punya sampai-sampai kamu enggak bisa melepaskan dia? Atau jangan-jangan kalian sudah menikah diam-diam?”Prayy!!!Suara piring terjatuh, lalu seketika saat kami berpaling mertuaku berada di balik sana.Dia menatap nanar tetapi tak lama, berteriak memanggil suaminya. Sekarang bukan hanya suaminya yang hadir, anak-anakku pun ikut penasaran dengan keributan yang kembali kami ciptakan. Kurasa memang hubungan kami sudah tak sehat. Begitu banyak keributan, amarah juga sikap anak-anak yang jadi keras padaku, semakin memperjelas semuanya. Meski aku tahu ini semua salahku, namun tak bisakah Dewi menahannya sejenak, setidaknya sampai mereka pulang. Sehingga kita bisa menyelesaikan masalah ini berdua. Sekarang karena ada mereka di sini, semuanya tentu akan bertambah kacau.“Ada apa Bu? Astagfirullah kok pecah begini, awas anak-anak jangan ke sini, hati-hati ini loh nanti kena pecahannya, kamu jaga anak-anak sebentar, biar Bapak yang ambil
“Kamu harus ingat Wi, kamu enggak kerja kamu mungkin bisa bawa Yura karena masih ASI tapi ketiga anak kita yang lain, dengan apa kamu bisa menghidupi mereka, kalau kamu sendiri enggak kerja, pihak pengadilan enggak akan memberikan hak asuh mereka ke kamu. Dan aku akan berjuang juga buat itu.”Pakde yang tak sabar, nekat menerobos masuk ke dalam kamar.“Ayo kemasi barang-barangmu Wi, buat apa kita masih di sini!” dia menarik Dewi. Namun tak kusangka Dewi tak bereaksi apa pun. Sejenak dia terdiam menatap kami bergantian.“Aku enggak bisa pergi sekarang Pak.”“Apa lagi yang mau kamu pertahankan dari laki-laki brengs#k seperti dia? Sadar Nduk, laki-laki seperti dia enggak pantas kamu pertahankan!”“Ada sesuatu yang harus Dewi selesaikan Pak, makanya Dewi enggak bisa ninggalin rumah ini gitu aja.”“Bapak enggak mengerti jalan pikiran kamu Wi, Bapak sama Bude bersikap kayak gini, semata-mata buat belain kamu, tapi kamu malah ngotot mau bertahan sama pernikahan ini!” Pakde langsung pergi be
“Pukul lagi Pah! Pukul! Selain menyakiti Mamah, memangnya apa lagi yang Papah bisa? Papah pikir enak jadi aku? satu sekolaan semua nyindir aku! Kami semua dijauhi tetangga di sini, termasuk Mamah! PAPAH PERNAH TAHU ENGGAK!”“MANA PERNAH PAPAH PEDULI! YANG PAPAH URUS CUMA CEWEK! CEWEK! CEWEK TERUS!Dengan sekuat tenaga Rafa, menendang stoples kue yang berada di lantai. Bukan hanya isinya yang berhamburan keluar. Saking kerasnya bahkan stoples kaca itu ikut hancur berkeping-keping. Kepingan stoples itu sebagian bahkan hampir mengenai ke tiga adiknya, kalau saja Adit tak refleks menarik adiknya. Jerit tangis mereka seketika menggema ke seluruh ruangan, bayangkan saja tiga anak kecil yang menangis secara bersamaan. Rasanya ini lebih parah ketika aku termenung melihat Rafa yang menendang stoples itu tak jauh dari tempatku. Keadaan semakin kacau saat anak-anak berlarian tak tentu arah. Aku yang mulai panik karena harus mengejar mereka satu persatu. Khawatir kalau bisa saja terkena pecahan s
”Kenapa? Papah kaget aku bisa kenal sama anak selingkuhan Papah? Dia teman sekelasku Pah, enggak nyangka kan?” Rafa kembali menyeringai. Dewi mulai mengusap lembut pundak putranya, berharap itu mampu meredam amarah putranya, namun sayang Rafa justru semakin menantang. Dia melangkah maju, membusungkan dadanya, lalu menatap tajam ke arahku. “Sekali saja Papah bikin Mamah nangis, jangankan Arumi, Ibunya sekali pun, aku berani!” “Kamu tahu enggak kelakuan kamu, bisa bikin kamu masuk penjara!” “Aku enggak peduli!” “Kamu pikir enak di penjara? Masa depan kamu bisa hancur!” “HIDUP AKU UDAH HANCUR PAH! HANCUR!” Dewi lantas menarik Rafa dengan sedikit paksa. Dia mendekap erat bocah laki-laki itu. Meski sedikit berontak Dewi berhasil menarik Rafa ke kamar. Sekarang masalahnya tak hanya Rafa. Arumi yang baru saja dipukuli, harus segera ditangani. Apa lagi sejak tadi Eiden tak henti melakukan panggilan telepon. Terdengar suara handle pintu yang terbuka, tampak Dewi keluar dari balik kamar.
“Mamah kenapa Tante itu tidur sama Papah, kenapa bukan sama Mamah?” ucap Adit seraya menunjuk Eiden yang tampak gugup. Entah bagaimana bisa kami bisa berbagi tempat tidur, masih teringat dengan jelas, aku telah mengusirnya. “Dewi Mas bisa jelasin.” Aku beranjak dari ranjang, hendak menggapai tangan Dewi yang hanya diam saja, sejak tadi. Meski Adit terus saja menggoyang lengannya dia tak merespons apa pun. “Wi, demi Tuhan Mas enggak ada niat melakukan ini, Mas tadi sudah suruh dia pergi, Adit juga tahu kan Papah tadi suruh Tante pergi?” “Enggak tahu.” Ya Tuhan, bagaimana bisa Adit mengatakan begitu, bukankah dia ada di sana saat aku mengusir Eiden. “Wi jangan begini, bicaralah sesuatu, Mas minta maaf ya.” Aku mencium lengannya, melihat Dewi yang tak bereaksi apa pun, membuatku semakin merasa bersalah. Padahal seharusnya dia bisa saja memukul kami. Apa perlakuanku memang benar-benar melukai jiwanya. Bagaimana ini? Di tengah kepanikan, terdengar derap langkah mendekat, aku bisa mel
"Yuri minum susu basi, Papah mau bawa Yuri ke klinik." “Teledor banget sih Pah! Makanya kalau engngak bisa urus anak, enggak usah misahin kami sama Mamah! Awas aja kalau sampai Yuri kenapa-kenapa.” Sungguh aku sedang tak ingin mendengar ocehan anak itu. Aku hanya khawatir keselamatan Yuri. Meski begitu Rafa masih saja mengikuti. “Papah bawa Yuri ke klinik mana?” “Cahaya Medika, kamu enggak usah ikut, jagain Rio sama Adit, Papah buru-buru.” Mendengar hal itu Rafa menghentikan langkah. Syukurlah dia tak banyak protes. Hanya dia yang bisa kuandalkan. Andai ada kamu Wi, Mas yakin semua ini enggak akan terjadi. Aku berlari menuju parkiran. Sementara Yuri terus memuntahkan isi perutnya. Mau tak mau aku harus berkendara sambil menggendong Yuri, yang terus menangis. Sebenarnya Jarak rumah dan klinik cukup dekat, butuh waktu 10 menit untuk sampai ke sana, tetapi kali ini kenapa rasanya begitu jauh. Belum lagi saat Yuri yang lagi-lagi mengeluarkan isi perutnya. Aku tak mungkin melanjutkan p
"Oke, aku memang sengaja bikin kamu tidur. Aku enggak mau ya kamu cuma mainin aku! hubungan kita sudah lama, tetapi kamu enggak pernah kasih aku kepastian.” “Enggak bisa! kamu harus jelaskan semuanya di hadapan Dewi, ayo ikut aku!” “Aku enggak mau! Ngapain juga aku jelaskan, memang kamu enggak mau nikah sama aku?” “Bukan begini caranya Eiden!” “Kalau aku enggak nekat kamu pikir Dewi mau lepaskan kamu gitu aja?” Aku menarik Eiden kali ini dengan sedikit paksaan, aku tak peduli meski ia meronta. Aku tetap bersi keras membawanya ke hadapan Dewi. “Kamu bisa minta apa pun, asal kali ini aja bantu aku menjelaskan semuanya ke Dewi.” “Segitu takutnya kamu kehilangan Dewi? Apa sih bagusnya dia?” “Kami sudah punya banyak anak, kamu enggak akan mengerti.” “Aku juga bisa kasih anak buat kamu Mas, kamu mau berapa pun aku bisa.” “Aku tanya sekali lagi, kamu mau atau tidak?” Eiden terdiam, padahal kami sudah duduk di mobil. Hanya butuh annggukan darinya, maka mobil akan segera melaju. “Iy
Dewi sudah ada di depanku. Wajahnya pucat, matanya sembab tapi dalam keadaan seperti itu sorot matanya tampak menyimpan kemarahan yang teramat sangat. Ya Tuhan. Dewi! Dia melihat sesuatu di atas meja makan, tepat ke arah pisau dan kotak selai strawbery. “Wi kamu enggak akan nekat kan?” Suasana mendadak tegang. “Ada anak-anak kita di sini Wi.” “Ya Tuhan Dewi!!!!!” “MAMAHHHHH!!!!” Anak-anak berteriak. Aku menggeleng pelan, seraya menahan perih karena mata pisau itu kini berada dalam genggaman. Sedang Dewi juga enggan melepasnya. Aku harus mengerahkan tenaga, berusaha menahan Dewi yang terus menekan. “Jangan melakukan ini di depan anak-anak.” Beruntung saat itu Rafa sudah menutup ke dua mata adiknya. Dengan susah payah bocah itu menarik adik-adiknya yang terus meronta seraya mengelukan nama Ibunya. Darah mulai menetes, memberikan warna baru di lantai. Tapi Dewi masih tak mau mengalah. Tak ada cara lain selain membiarkan pisau itu menusuk telapak tanganku semakin supaya aku mampu
Aku terdiam menyadari kalau ada yang tak beres. Mata kami bertemu, sorot mata Mas Hasan saat itu masih memerah.Aku masih terdiam di tempat. Saat menyaksikan Mas Hasan mulai menurunkan keranda. Lalu dia tampak acuh padaku memilih langsung turun ke liang lahad.“Mamah!”Dari arah pintu utama pemakaman teriakan yang begitu akrab di telinga menggema. Seketika menghentikan prosesi pemakaman saat itu.Itu Rafa, anakku.“Jangan memasukkan Mamah ke situ Ayah!” katanya dengan wajah berderai.“Mbak Erna tolong bawa Rafa ke rumah ya, pastikan dia enggak ke sini.” Suara Mas Hasan bergetar.Aku ingin turun untuk membantu. Namun hanya dengan mengebaskan tangan Mas Hasan orang-orang di sana menahanku.Hingga prosesi pemakaman selesai. Mereka baru melepasku.“Mas tolong jelaskan sesuatu, jangan diam saja.”BUKK!!Mas Hasan malah memukulku.“Minggir!”“Mas terus anak-anak bagaimana?”“Bukan urusan kamu!”“Hahahaha.”Entah ada apa deng
“Sakit banget Mas tolong aku.”Eiden memegangi perutnya yang berlumur darah. Entah siapa yang baru saja menusuknya, aku hanya berpikir untuk segera membawanya pergi ke rumah sakit.“Rum! Ayo ikut Bapak!” Tak ada jawaban. Aneh! Bukankah biasanya dia akan sangat mengkhawatirkan Ibunya.“Kamu enggak mau ikut?” Mengingat kondisi Arumi yang ketakutan aku berniat mengajaknya pergi karena khawatir kalau pencuri itu mungkin akan datang lagi. Namun gadis itu malah menggeleng tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Sementara Eiden yang kesakitan tak mungkin bisa menunggu lebih lama. Akhirnya aku memutuskan untuk pergi.“Siapa yang melakukannya Eiden? Apa ada pencuri yang masuk?”Dia terdiam sejenak. Seperti memikirkan apa yang hendak dia ucapkan tetapi beberapa saat kemudian. Eiden mengangguk walau jelas sekali tampak keraguan dalam sorot matanya.~Untunglah lukanya tak terlalu dalam. Namun karena penanganannya sedikit terlambat Eiden tidak dip
“Aku enggak akan biarkan kamu menikah sama Mas Hasan Wi, dia enggak salah apa-apa, aku yang salah, kamu lampiaskan saja ke aku, kamu bilang mau penjarakan aku kan, ya sudah lakukan saja.”“Aku berubah pikiran, ingat satu hal Mas, aku enggak akan membuat semua hal mudah bagi kamu.”Kali ini dia pergi, sungguh wanita kenapa sulit sekali dimengerti, jelas kulihat dia meneteskan air mata saat hakim mengetuk palu, tetapi tetap saja, rasa ingin balas dendamnya masih mengakar di sana. Tak mau kehilangan kesempatan aku mengejarnya.“Wi tapi kamu sudah janji mengizinkan aku bertemu sama anak-anak, sekarang aku mau ketemu sama dia.”“Kalau uang yang kamu janjikan sudah ada di tanganku baru kuberikan apa yang kamu inginkan.”Sial ada saja alasannya untuk mencegahku bertemu dengan mereka. Lihat saja setelah kupenuhi tuntutanmu kamu tak akan bisa menahanku lagi. Tadinya aku ingin diam-diam mengikuti Dewi tetapi panggilan di ponselku membuat perhatianku teralihkan. Panggilan
“Masa iya harus jual rumah, mau tinggal di mana coba! Kenapa harus cash sih!”Pikiranku buntu, kalau saja Dewi bersedia menerima uang itu dalam bentuk aset yang kumiliki, hal itu mudah saja bagiku. Hanya tinggal balik nama lalu selesai. Di perjalanan pulang kusempatkan untuk mampir di rumah makan. Sejak kepergian Dewi tempat ini sudah seperti rumah ke duaku. Eiden yang tak pandai memasak, mau tak mau aku jadi lebih banyak makan di luar.Kalau Dewi yang lemah lembut saja bisa sekerasini di persidangan, lalu bagaimana dengan Eiden, apa yang akan dia minta nantinya. Memikirnya sungguh membuatku frustasi. Hidup sendirian nyatanya tak selalu menyenangkan. Satu-satunya keluarga yang kumiliki, sekarang tak bisa lagi diharapkan, tetapi tak ada salahnya mencoba bukan?“Hallo Mas?”“Ya.”“To the point aja Mas aku mau bicara masalah Dewi.”“Ckk, apa lagi? Mau nuduh aku dan Dewi selingkuh?”Dari mana dia tahu, apa jangan-jangan Dewi
“Munafik! Apa bedanya kamu denganku Wi? Sama-sama selingkuh!”Melihat mereka tertawa layaknya pasangan suami istri, ada yang berdenyut nyeri di dalam sini. Tak tahan lagi, akhirnya kuputuskan untuk bergabung dengan mereka. Ada anak-anakku di sana, meski emosi yang kian menggebu, nyatanya rinduku pada mereka telah berhasil meredam segalanya. Aku tak mau melakukan kesalahan yang kedua kalinya.“Adit, Rio!” panggilku. Seketika mereka menengok dengan ekspresi keterkejutannya, namun tidak dengan Dewi wajahnya datar saja.“Papaaaah!” Anak-anak lantas berhamburan memeluk, kecuali Rafa yang baru datang entah dari mana. Sekilas dia menatap namun kembali meneruskan langkah, seolah kami bukanlah orang yang saling mengenal. “Begitu kah caramu mendidik anak Wi? Sampai-sampai dia enggak punya rasa hormat sama orang tuanya sendiri!”“Untuk apa menghormati pembun*h!” katanya lirih, mungkin takut di dengar anak-anak, namun tidak dengan Mas Hasan yang bergitu terkejut mendengar p
“Wi, oke kalau kamu mau ambil hak asuh anak silahkan tapi tolong, setidaknya izinkan Mas bertemu mereka, seminggu sekali atau sebulan dua kali tak masalah.”“Jangankan sebulan Mas setahun sekali pun enggak akan aku kasih.”“Jangan kayak gini Wi? Itu namanya kamu egois, suatu saat pasti mereka bakal nanyain aku.”“Seyakin itu kamu Mas? Mereka aja benci kok sama kamu.”“Mau kamu itu apa sebenarnya Wi? Aku datang jauh-jauh ke sini, dengan niat baik, ngasih tau kamu soal kemungkinan terinveksi HIV, tapi niat baikku malah kamu tolak, uang juga kamu tolak, aku minta kamu hukum aku atas kelalaian yang membuat kita kehilangan Yuri pun kamu enggak mau terima, aku ini benar-benar ingin berubah, kenapa kamu begitu menyulitkanku, bahkan untuk sebuah tanggung jawab seorang ayah pun kamu menolaknya.”“Aku enggak butuh!”“Kamu jangan sombong, ngurus anak tiga kamu pikir gampang, apa lagi dengan kondisi kamu sekarang.”“Jadi kamu ingin aku bagaimana?”“Setidaknya ter
“Wi? Mas Hasan? Kalian ngapain di sini?”Mereka terdiam sejenak, mungkin terkejut dengan kehadiranku yang tiba-tiba.“Loh kamu di sini?” tanya Mas Hasan, sementara Dewi malah mundur selangkah, seolah memberi jarak padaku yang memang saat itu persis di sampingnya. Wajah cerianya redup dalam sekejap.“Aku mau ketemu Dewi Mas.”“Oh gitu ya.” Dia mengangguk, lalu lagi-lagi menatap ke arah Dewi dan tersenyum. Sedang Dewi yang terlihat gugup di ujung saja memilih menunduk.“Mas sejak kapan pindah tugas ke sini? Kenapa enggak pernah ngasih tahu aku?”“Loh memangnya kamu pernah nanya, orang nanyain kabar aja enggak pernah kok!”Ya meski kami saudara kandung. Hubungan kami memang tak terlalu dekat. Terhitung sudah sebulan kami tak pernah berkomunikasi.“ibuk aku Mas.”“Sibuk ya?” Dia kembali mengangguk-anggukkan kepala.“Sampai enggak ngasih kabar keluarga kalau anak kamu meninggal?”Laki-laki itu menatap dengan seringai di bibirnya.“Maa
“Kamu lupa waktu kita pertama kali ketemu di bar? Kita pernah melakukan itu!”Seketika pikiranku melayang pada kejadian lawas itu. Tepatnya saat aku punya masalah besar di kantor, karena setres aku pergi ke tempat itu. Tak kusangka kalau hal itu akan membawa kesengsaraan hari ini. Karena mabuk aku sampai tak ingat dengan siapa kuhabiskan malam berdua. Karena saat itu Eiden juga memilih pergi, sudah lama aku mencari keberadan wanita itu. bagaimana pun hatiku tergerak untuk mempertanggung jawabkan perbuatanku padanya. Namun lambat laun kehadiran Eiden membuatku lupa akan kejadian itu. Siaapa sangka kalau ternyata dia perempuan yang kucari.Kalau sejak saat itu Eiden sudah terpapar virus HIV, kemungkinanbesar Dewi ikut terpapar juga. Tetapi lagi-lagi Dewi malah memblokir akses satu-satunya yang bisa menghubungkanku padanya.“Kamu tahu enggak Eiden gara-gara kamu, Dewi juga tertular penyakit itu, dan mungkin juga Yuri, semua gara-gara kamu!”Baru kusadari kalau Yuri yang
“Kamu kenapa sih Mas? Pagi-pagi, senyum-senyum sendiri?” tanya Eiden saat kami sedang berkumpul di meja makan.“Arumi kamu mau punya adik lagi.”“Maksudnya Mamah hamil?”“Aku kan enggak hamil Mas.” Eiden menatap bingung, lagi pula siapa juga yang mau menyentuhnya lagi.“Dewi yang hamil.”“Mas, aku ini istrimu yang sekarang beraninya kamu bahas wanita lain di depanku, pakai bilang segala Arumi mau punya Adik, keterlaluan banget!” Eiden membanting piring yang berisi roti. Membuat Arumi yang berada di sampingnya tersentak.“Kenapa sih di mata kamu, aku enggak pernah ada artinya?”“Dari awal sudah kubilang kita tak perlu menikah, tetapi kamu malah membuat sandiwara gila yang membuat kita terpaksa menikah.”“Jadi kamu terpaksa menikah sama aku?”“Siapa juga yang mau nikah sama perempuan yang peny… .”Sejenak mataku melirik ke arah Arumi yang ketakutan, menutup ke dua telinganya seraya tertunduk menatap piring kosong, yang sejak tadi belum sempat te