Share

Bab 7

Penulis: ERIA YURIKA
last update Terakhir Diperbarui: 2024-04-12 00:16:45

“Mamah kenapa Tante itu tidur sama Papah, kenapa bukan sama Mamah?” ucap Adit seraya menunjuk Eiden yang tampak gugup. Entah bagaimana bisa kami bisa berbagi tempat tidur, masih teringat dengan jelas, aku telah mengusirnya.

“Dewi Mas bisa jelasin.” Aku beranjak dari ranjang, hendak menggapai tangan Dewi yang hanya diam saja, sejak tadi. Meski Adit terus saja menggoyang lengannya dia tak merespons apa pun.

“Wi, demi Tuhan Mas enggak ada niat melakukan ini, Mas tadi sudah suruh dia pergi, Adit juga tahu kan Papah tadi suruh Tante pergi?”

“Enggak tahu.”

Ya Tuhan, bagaimana bisa Adit mengatakan begitu, bukankah dia ada di sana saat aku mengusir Eiden.

“Wi jangan begini, bicaralah sesuatu, Mas minta maaf ya.” Aku mencium lengannya, melihat Dewi yang tak bereaksi apa pun, membuatku semakin merasa bersalah. Padahal seharusnya dia bisa saja memukul kami. Apa perlakuanku memang benar-benar melukai jiwanya.

Bagaimana ini?

Di tengah kepanikan, terdengar derap langkah mendekat, aku bisa melihat Rafa dan Rio di sana. Sudah dipastikan Rafa pasti begitu marah padaku. Tapi kali ini herannya dia hanya menatap kami bergantian tanpa sepatah kata pun terucap.

“Aa kenapa Mamah dari tadi diam aja?”

“Mamah capek, ayo antar Mamah ke kamar kita.” Rafa menarik lengan Dewi, dengan begitu, genggaman kami pun perlahan terlepas. Rio yang bingung dengan apa yang terjadi hanya diam saja, memilih pergi mengikuti Rafa. Sekarang hanya menyisakan kami berdua di kamar.

“Kenapa kamu bisa sampai ke kamar?”

“Loh memangnya kamu lupa? Kamu yang minta aku buat mijitin kepala kamu yang sakit, terus habis itu.”

BRAKK!!!

Pintu kamar kami yang tadinya setengah terbuka sengaja dibanting dengan kasar. Tentu membuat kami terperanjat. Di balik sana sudah ada Rafa dengan tatapan memb*nuhnya. Dia berjalan dengan langkah lebar, mendekat ke arah ranjang, lalu saat kami nyaris tak berjarak. Seketika dunia rasanya berhenti melihat tatapan Rafa padaku juga pada Eiden, seolah-olah dia akan menelan kami bulat-bulat.

“AAAAA!!!” Eiden menjerit kesakitan, Rafa baru saja menjambaknya. Dia menyeret Eiden keluar kamar dengan kasar. Aku menyaksikan kemarahan Rafa yang mengerikan. Meski aku berusaha meredam amarahnya anak itu justru semakin menjadi, meski Eiden merintih minta dilepaskan. Rafa tetap tak menggubris. Seharusnya Dewi mendengar keributan kami, namun iya tak mau keluar kamar. Padahal hanya dia yang mampu meredam amarah Rafa. Aku saja tak mampu, entah setan mana yang merasuki bocah itu hingga tenagaku tak cukup kuat untuk menghalaunya. Meski berkali-kali rambut Eiden terlepas dari cengkeramannya, tetapi lagi-lagi Eiden berhasil menariknya lagi. Sekarang hanya tinggal beberapa langkah menuju ke luar rumah. Dengan begitu kasar Rafa melepasnya. Dia tak bicara apa pun. Helaian rambut yang tersisa 3 dia lemparkan begitu saja. Rafa sempat menatap Eiden cukup lama. Meski tak ada kata yang terucap, bisa kulihat bocah kecil itu tengah menahan amarahnya. Tak lama dia juga menatapku, namun hanya sebentar saja anak itu memilih berjalan ke halaman rumah. Kupikir ini sudah selesai. Saat aku baru berniat membantu Eiden yang menangis di tanah. Aku melihat Rafa berjalan mendekat ke arah Eiden, lengkap dengan selang air di tangannya. Eiden yang menyadari hal itu, langsung bangkit dan berlari keluar. Beruntung saat itu dia tak harus merasakan dinginnya air keran itu, tetapi celakanya, di depan rumah kami sudah banyak orang berkerumun. Tangisan Eiden tadi, rupanya mengundang rasa penasaran warga. Eiden yang sudah ketakutan, dia langsung lari begitu saja, bahkan tanpa alas kaki. Sedang Rafa dia memilih masuk ke rumah. Bukan saat yang tepat kalau aku menutup gerbang, jadi kuputuskan untuk mengunci pintu saja. dari lantai atas rupanya Dewi sudah bersiap pergi. Dia turun dengan sebuah koper besar, juga anak-anak yang mengikutinya dari belakang.

“Wi, kamu jangan pergi dulu, Mas enggak ngapa-ngapain dia, percaya sama Mas.”

“Awalnya aku bertahan karena aku pikir kamu enggak sebejad itu, tetapi nyatanya aku salah.”

“Percaya sama aku Wi, ini enggak seperti yang kamu pikir, tanya Rafa deh, dia juga tahu kok, Mas sudah usir Eiden sejak pagi.”

“Udah!”

Dewi menahanku yang hendak mendekat.

“Aku uda enggak mau dengar apa pun lagi.”

“Enggak bisa gitu, kamu enggak boleh bawa anak-anak pergi.”

“Apa lagi sih? Kamu udah selingkuhi aku, sekarang kamu misahin aku sama anak-anak, mau kamu apa?”

“Aku mau kita tetap sama-sama, ikut aku, enggak baik ngomongin ini di depan anak-anak, ayo.”

Aku menarik paksa lengannya. Kami bicara di dapur, kupikir di sini cukup jauh dari jangkauan anak-anak.

“Wi, Mas tahu ini fatal banget, tapi Mas juga bingung, kenapa bisa Eiden ada di kamar kita.”

Aku menangkupkan ke dua telapak tanganku di wajah Dewi, memaksanya agar dia mau menatapku.

“Maaf, maafin Mas Wi, Mas enggak tahu lagi harus ngomong apa sama kamu, Mas cuma berharap kamu percaya, kali ini saja, ya?”

Dewi menggeleng perlahan, bersamaan dengan bulir bening yang menetes di sudut matanya. Aku tahu betapa hancurnya perasaannya. Pasti dia telah beranggapan aku dan Eiden, telah melakukan zina.

“Kenapa harus di kamar kita sih Mas, aku capek-capek menyembunyikan busuknya kamu di hadapan anak-anak, tetapi hari ini, kamu membiarkan mereka menyaksikan semuanya,”

“Aku benar-benar enggak tahu Wi, percaya sama aku.”

“Aku enggak ngerti lagi sama kamu.” Dewi menggeleng pelan, lalu melangkah mundur dan melenggang pergi berikut anak-anak yang juga mengikutinya dari belakang. Aku tak mungkin membiarkan anak-anak ikut. Setidaknya dengan adanya mereka di sini, akan menjadi alasan kuat bagi Dewi mempertimbangkan keputusannya untuk pergi. Aku mendekap Adit dan Rio erat-erat.

“Kamu enggak bisa bawa mereka, kamu mau kasih mereka makan apa Wi, kamu sendiri enggak kerja, tolonglah berpikir logis.”

“Yang enggak logis itu kamu atau aku Mas? Kamu mau ambil mereka? Yaudah ambil.”

kupikir ancamanku akan berhasil, namun nyatanya Dewi justru menyerahkan Yuri dalam gendongannya padaku. Dia mengambil langkah lebar menuju pintu utama, tanpa menghiraukan anak-anaknya yang menangis memanggil namanya. Hanya Rafa yang kubiarkan mengejar Dewi. Dia tak cukup kuat untuk kutahan secara bersamaan.

Entah apa yang mereka bicarakan, dari kejauhan Rafa tampak mengusap wajahnya berkali-kali, saat tangan Dewi berusaha menyeka air matanya. Anak kecil itu justru menahan tangan Ibunya lalu seketika memeluk tubuh Dewi. Bahunya berguncang hebat kala itu. Dewi yang mencoba menyejajarkan diri dengan Rafa, lagi-lagi dia seperti mengatakan sesuatu, sayang aku tak mampu mendengarnya. Jarak kami cukup jauh. Untuk beberapa saat hatiku mendadak nyeri. Bukan seperti ini yang aku mau.

Dewi benar-benar pergi, meninggalkan anak-anaknya padaku. Ini memang hal yang kuminta darinya namun sejujurnya aku tak mengharapkan hal ini akan terjadi. Aku bahkan belum sempat menanyakan ke mana dia pergi semalam. Bukankah itu juga salah satu penyebab hal ini bisa terjadi? Andai dia tak pergi, aku tak akan pernah memanggil Eiden ke rumah. Semua begitu mendadak, aku tak ada pilihan lain, mengingat tetangga sudah mulai menjaga jarak dengan kami. Sekarang aku harus bisa mendapatkan pengasuh secepatnya.

~

Hari beranjak malam, bukan hanya rumah tanggaku yang berantakan. Pekerjaan di kantor pun juga tak beda jauh. Harusnya tadi pagi aku bisa hadir di rapat. Karena kesalahanku, perusahaan gagal memengkan tender. Jelas ini merugikan perusahaan. Terlepas soal itu. Yuri mulai rewe, dia terus menangis, ini sudah 1 jam dan dia masih tak mau berhenti. Aku bingung, dia tak mau minum susu. Aku masih berharap Rafa mau membantuku, masalahnya sejak kepergian Dewi dia terus bermain game. Hanya berhenti untuk makan dan mandi.

“A bantuin Papah nidurin Yuri ya, kamu enggak kasihan dari tadi adikmu nangis enggak selesai-selesai?”

“Kenapa aku? kan Papah yang bikin Mamah pergi dari rumah, Papah juga yang misahin kita sama Mamah, urus aja sendiri.”

Sudah kuduga Rafa tak akan mau membantu. Kenapa mengurus anak-anak begitu sulit.

Aku kembali ke kamar untuk menghampiri Yuri. Dari kejauhan tangisnya tak terdengar lagi. Aku mempercepat langkah kaki. Rupanya anak itu tengah meminum susu. Tiba di kamar, aku berniat mengambil botol susu di nakas, yang mungkin sudah basi karena sudah kubuat sejak tadi siang. Namun botol itu tak ada di sana. Seketika pandanganku beralih ke arah ranjang. Aku ingat betul, sebelum turun ke bawah, aku meletakkan botol susu yang baru di sana. Dan benar saja botol itu masih tergeletak di sana, dan masih hangat.

Ya Tuhan, jadi susu yang di minum Yuri?

Bab terkait

  • Dosa yang Tak Termaafkan   Bab 8

    "Yuri minum susu basi, Papah mau bawa Yuri ke klinik." “Teledor banget sih Pah! Makanya kalau engngak bisa urus anak, enggak usah misahin kami sama Mamah! Awas aja kalau sampai Yuri kenapa-kenapa.” Sungguh aku sedang tak ingin mendengar ocehan anak itu. Aku hanya khawatir keselamatan Yuri. Meski begitu Rafa masih saja mengikuti. “Papah bawa Yuri ke klinik mana?” “Cahaya Medika, kamu enggak usah ikut, jagain Rio sama Adit, Papah buru-buru.” Mendengar hal itu Rafa menghentikan langkah. Syukurlah dia tak banyak protes. Hanya dia yang bisa kuandalkan. Andai ada kamu Wi, Mas yakin semua ini enggak akan terjadi. Aku berlari menuju parkiran. Sementara Yuri terus memuntahkan isi perutnya. Mau tak mau aku harus berkendara sambil menggendong Yuri, yang terus menangis. Sebenarnya Jarak rumah dan klinik cukup dekat, butuh waktu 10 menit untuk sampai ke sana, tetapi kali ini kenapa rasanya begitu jauh. Belum lagi saat Yuri yang lagi-lagi mengeluarkan isi perutnya. Aku tak mungkin melanjutkan p

    Terakhir Diperbarui : 2024-04-12
  • Dosa yang Tak Termaafkan   Bab 9

    "Oke, aku memang sengaja bikin kamu tidur. Aku enggak mau ya kamu cuma mainin aku! hubungan kita sudah lama, tetapi kamu enggak pernah kasih aku kepastian.” “Enggak bisa! kamu harus jelaskan semuanya di hadapan Dewi, ayo ikut aku!” “Aku enggak mau! Ngapain juga aku jelaskan, memang kamu enggak mau nikah sama aku?” “Bukan begini caranya Eiden!” “Kalau aku enggak nekat kamu pikir Dewi mau lepaskan kamu gitu aja?” Aku menarik Eiden kali ini dengan sedikit paksaan, aku tak peduli meski ia meronta. Aku tetap bersi keras membawanya ke hadapan Dewi. “Kamu bisa minta apa pun, asal kali ini aja bantu aku menjelaskan semuanya ke Dewi.” “Segitu takutnya kamu kehilangan Dewi? Apa sih bagusnya dia?” “Kami sudah punya banyak anak, kamu enggak akan mengerti.” “Aku juga bisa kasih anak buat kamu Mas, kamu mau berapa pun aku bisa.” “Aku tanya sekali lagi, kamu mau atau tidak?” Eiden terdiam, padahal kami sudah duduk di mobil. Hanya butuh annggukan darinya, maka mobil akan segera melaju. “Iy

    Terakhir Diperbarui : 2024-04-12
  • Dosa yang Tak Termaafkan   Bab 10

    Dewi sudah ada di depanku. Wajahnya pucat, matanya sembab tapi dalam keadaan seperti itu sorot matanya tampak menyimpan kemarahan yang teramat sangat. Ya Tuhan. Dewi! Dia melihat sesuatu di atas meja makan, tepat ke arah pisau dan kotak selai strawbery. “Wi kamu enggak akan nekat kan?” Suasana mendadak tegang. “Ada anak-anak kita di sini Wi.” “Ya Tuhan Dewi!!!!!” “MAMAHHHHH!!!!” Anak-anak berteriak. Aku menggeleng pelan, seraya menahan perih karena mata pisau itu kini berada dalam genggaman. Sedang Dewi juga enggan melepasnya. Aku harus mengerahkan tenaga, berusaha menahan Dewi yang terus menekan. “Jangan melakukan ini di depan anak-anak.” Beruntung saat itu Rafa sudah menutup ke dua mata adiknya. Dengan susah payah bocah itu menarik adik-adiknya yang terus meronta seraya mengelukan nama Ibunya. Darah mulai menetes, memberikan warna baru di lantai. Tapi Dewi masih tak mau mengalah. Tak ada cara lain selain membiarkan pisau itu menusuk telapak tanganku semakin supaya aku mampu

    Terakhir Diperbarui : 2024-04-12
  • Dosa yang Tak Termaafkan   Bab 11

    "Mas kenal sama perempuan yang baru masuk ke Spesialis Kulit dan Kelamin?”Pria itu rupanya juga tengah menatap ke arah Eiden dengan tatapan yang mencurigakan.“Iya teman saya.”“Ati-ati,” ucapnya seraya menyunggingkan bibir.Apanya yang hati-hati, perkataannya barusan sungguh memancing penasaran. Aku tak mau ambil pusing dengan urusan Eiden. Aku bahkan sedang menggendong jasad putriku, bagaimana bisa memikirkan orang lain.“Mari Mas.” Pria itu sudah berjalan lebih dulu, aku jauh tertinggal di belakang, aku lantas mengejarnya.“Kenapa anda mau menolong saya?” tanyaku.“Seminggu yang lalu putri saya meninggal dunia.” Laki-laki itu tertunduk, meski begitu kami terus berjalan. Katanya tak baik menunda pemakaman jenazah.“Innalillahi, saya turut berduka Mas.”“Mas tenang aja saya enggak akan membawa kabur mobilnya kok.”

    Terakhir Diperbarui : 2024-04-12
  • Dosa yang Tak Termaafkan   Bab 12

    Mereka yang tak pernah peduli akan kehadiran Tuhan di sisinya, justru sanksi sosial lah yang lebih memberi efek jera pada para pelaku kejahatan.“Sudah Pak RT orang Bapak kok tega banget ngeracun anaknya sendiri? Lapor polisi aja biar masuk penjara!” Di tengah kepanikan Eiden dengan wajah tak berdosanya, mendekatiku. Semua prang terdiam, seperti tengah memastikan sesuatu.“Loh ini kan perempuan yang di video ya?”“Iya benar, ini nih dasar pasangan mes*m!” umpat seorang wanita paruh baya, yang tampak berapi-api. Dia mendekati Eiden yang mulai ketakutan.Kenapa juga dia harus datang saat kondisi seperti ini.“Tuh Pak RT anaknya baru meninggal aja masih mau main belakang, coba kalau enggak ada kita-kita sudah zina lagi pasti!”“Arak aja, telanj*ng#n sekalian! Dasar perempuan engg#k bener!”Eiden yang makin ketakutan, dia segera pergi ke luar, diiringi sor

    Terakhir Diperbarui : 2024-04-13
  • Dosa yang Tak Termaafkan   Bab 13

    Jangan mengharapkan pertolongan orang lain, karena yang bisa membawamu keluar, ada pada kemauanmu sendiri.~PoV Dewi“Wi, kamu sudah lihat video suamimu dan selingkuhannya yang tersebar di media sosial?”“Untuk apa aku melihatnya, enggak penting, apa aku harus peduli dengan pembunuh itu, bahkan kalau hari ini dia mat* aku enggak akan sudi melihat jasadnya!” Risma yang sejak tadi ragu-ragu untuk bertanya akhirnya tak tahan lagi. Mungkin dia pikir hal itu akan memperparah luka di hatiku. Bukankah hidupku begitu menyedihkan. Ditinggalkan anak juga diselingkuhi suami di waktu yang bersamaan.“Astagfirullah, Wi.”“Kenapa?”“Aku tahu kamu sakit hati dengan perlakuan Mas Dani tetapi enggak baik menyumpahi orang lain meninggal.”“Terlalu banyak toleransi yang kuberikan Ris, saking bodohnha aku harus merelakan putriku satu-satunya..hiks hiks hiks.”“Dek Ris kamu apa-apan sih ngapain nunjukin v

    Terakhir Diperbarui : 2024-04-14
  • Dosa yang Tak Termaafkan   Bab 14

    "Sudahlah Bapak ini diajak ngomong baik-baik malah begini, Maaf ya Pak Dani, perbuatan Bapak dan ibu itu sudah melanggar norma dan agama, pokonya suka atau tidak suka, Bapak harus mengikuti keputusan saya!”“Saya enggak pernah nyentuh dia, Bapak lihat saya juga Cuma tiduran aja di vidio itu!” ucapku lantang.“Mas! Cukup ya aku juga punya harga diri!”“Kalau kamu punya harga diri kenPa.kamu taruh obat tidur di kopi terus membuka pakaianmu sendiri masuk ke kamarku!”Plakk!!“Cukup!” Dia berteriak seolah apa yang kukatakan tidaklah benar!Perempuan g*la!Aku lantas mencengkeram pergelangan tangannya kuat-kuat, membuatnya mendesis nyeri, sungguh aku menikmatinya, ini tak ada apa-apanya dibandingkan kamu yang membuatku kehilangan wajah, di hari pemakaman putriku sendiri.“Sudah! Cukup, terserah kalian mau ngomong apa yang jelas saya akan menikahkan kalian secepatnya! Apa pun alasannya!” Pak Rt menarik Eiden dari cengkeramanku. Tampak jejak merah gelap di s

    Terakhir Diperbarui : 2024-04-15
  • Dosa yang Tak Termaafkan   Bab 15

    “Dulu kamu pernah periksa ke Spesialis Kulit dan Kelamin kan? Kamu tuh sebenarnya sakit apa? Buat apa juga kamu sembunyikan semuanya dari suami kamu sendiri?”Mendadak Eiden berhenti merintih, dia berpaling menatapku, menampilkan ekspresi terkejutnya.“Hmm kamu jangan sembarangan nuduh, aku mana pernah periksa ke sana.” Seraya mengalihkan pandangan keluar. Aku bisa melihatnya berubah gugup. Saat bicara dia selalu saja menghindari terjadinya kontak mata denganku.“Aku masih normal Eiden!”“Aww sakit banget Mas!”“Ya sudah tahan lah, sebentar lagi sampai.”“Kita putar balik aja Mas, enggak usah periksa, aku istirahat aja di rumah.”“Kamu itu kenapa sih? Dibaiki malah enggak mau! Lihat aja, bengkak di leher kamu setiap hari semakin besar aja, aku aja yang lihat ngeri, belum lagi ruam kamu, udah hampir seluruh badan, masa iya kamu enggak merasa risi!”Eiden tak menjawab sekarang rintihan itu bercampur isaknya yang memilukan.Apa aku terlalu keras pada

    Terakhir Diperbarui : 2024-04-16

Bab terbaru

  • Dosa yang Tak Termaafkan   Bab 25 [Tamat]

    Aku terdiam menyadari kalau ada yang tak beres. Mata kami bertemu, sorot mata Mas Hasan saat itu masih memerah.Aku masih terdiam di tempat. Saat menyaksikan Mas Hasan mulai menurunkan keranda. Lalu dia tampak acuh padaku memilih langsung turun ke liang lahad.“Mamah!”Dari arah pintu utama pemakaman teriakan yang begitu akrab di telinga menggema. Seketika menghentikan prosesi pemakaman saat itu.Itu Rafa, anakku.“Jangan memasukkan Mamah ke situ Ayah!” katanya dengan wajah berderai.“Mbak Erna tolong bawa Rafa ke rumah ya, pastikan dia enggak ke sini.” Suara Mas Hasan bergetar.Aku ingin turun untuk membantu. Namun hanya dengan mengebaskan tangan Mas Hasan orang-orang di sana menahanku.Hingga prosesi pemakaman selesai. Mereka baru melepasku.“Mas tolong jelaskan sesuatu, jangan diam saja.”BUKK!!Mas Hasan malah memukulku.“Minggir!”“Mas terus anak-anak bagaimana?”“Bukan urusan kamu!”“Hahahaha.”Entah ada apa deng

  • Dosa yang Tak Termaafkan   Bab 24

    “Sakit banget Mas tolong aku.”Eiden memegangi perutnya yang berlumur darah. Entah siapa yang baru saja menusuknya, aku hanya berpikir untuk segera membawanya pergi ke rumah sakit.“Rum! Ayo ikut Bapak!” Tak ada jawaban. Aneh! Bukankah biasanya dia akan sangat mengkhawatirkan Ibunya.“Kamu enggak mau ikut?” Mengingat kondisi Arumi yang ketakutan aku berniat mengajaknya pergi karena khawatir kalau pencuri itu mungkin akan datang lagi. Namun gadis itu malah menggeleng tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Sementara Eiden yang kesakitan tak mungkin bisa menunggu lebih lama. Akhirnya aku memutuskan untuk pergi.“Siapa yang melakukannya Eiden? Apa ada pencuri yang masuk?”Dia terdiam sejenak. Seperti memikirkan apa yang hendak dia ucapkan tetapi beberapa saat kemudian. Eiden mengangguk walau jelas sekali tampak keraguan dalam sorot matanya.~Untunglah lukanya tak terlalu dalam. Namun karena penanganannya sedikit terlambat Eiden tidak dip

  • Dosa yang Tak Termaafkan   Bab 23

    “Aku enggak akan biarkan kamu menikah sama Mas Hasan Wi, dia enggak salah apa-apa, aku yang salah, kamu lampiaskan saja ke aku, kamu bilang mau penjarakan aku kan, ya sudah lakukan saja.”“Aku berubah pikiran, ingat satu hal Mas, aku enggak akan membuat semua hal mudah bagi kamu.”Kali ini dia pergi, sungguh wanita kenapa sulit sekali dimengerti, jelas kulihat dia meneteskan air mata saat hakim mengetuk palu, tetapi tetap saja, rasa ingin balas dendamnya masih mengakar di sana. Tak mau kehilangan kesempatan aku mengejarnya.“Wi tapi kamu sudah janji mengizinkan aku bertemu sama anak-anak, sekarang aku mau ketemu sama dia.”“Kalau uang yang kamu janjikan sudah ada di tanganku baru kuberikan apa yang kamu inginkan.”Sial ada saja alasannya untuk mencegahku bertemu dengan mereka. Lihat saja setelah kupenuhi tuntutanmu kamu tak akan bisa menahanku lagi. Tadinya aku ingin diam-diam mengikuti Dewi tetapi panggilan di ponselku membuat perhatianku teralihkan. Panggilan

  • Dosa yang Tak Termaafkan   Bab 22

    “Masa iya harus jual rumah, mau tinggal di mana coba! Kenapa harus cash sih!”Pikiranku buntu, kalau saja Dewi bersedia menerima uang itu dalam bentuk aset yang kumiliki, hal itu mudah saja bagiku. Hanya tinggal balik nama lalu selesai. Di perjalanan pulang kusempatkan untuk mampir di rumah makan. Sejak kepergian Dewi tempat ini sudah seperti rumah ke duaku. Eiden yang tak pandai memasak, mau tak mau aku jadi lebih banyak makan di luar.Kalau Dewi yang lemah lembut saja bisa sekerasini di persidangan, lalu bagaimana dengan Eiden, apa yang akan dia minta nantinya. Memikirnya sungguh membuatku frustasi. Hidup sendirian nyatanya tak selalu menyenangkan. Satu-satunya keluarga yang kumiliki, sekarang tak bisa lagi diharapkan, tetapi tak ada salahnya mencoba bukan?“Hallo Mas?”“Ya.”“To the point aja Mas aku mau bicara masalah Dewi.”“Ckk, apa lagi? Mau nuduh aku dan Dewi selingkuh?”Dari mana dia tahu, apa jangan-jangan Dewi

  • Dosa yang Tak Termaafkan   Bab 21

    “Munafik! Apa bedanya kamu denganku Wi? Sama-sama selingkuh!”Melihat mereka tertawa layaknya pasangan suami istri, ada yang berdenyut nyeri di dalam sini. Tak tahan lagi, akhirnya kuputuskan untuk bergabung dengan mereka. Ada anak-anakku di sana, meski emosi yang kian menggebu, nyatanya rinduku pada mereka telah berhasil meredam segalanya. Aku tak mau melakukan kesalahan yang kedua kalinya.“Adit, Rio!” panggilku. Seketika mereka menengok dengan ekspresi keterkejutannya, namun tidak dengan Dewi wajahnya datar saja.“Papaaaah!” Anak-anak lantas berhamburan memeluk, kecuali Rafa yang baru datang entah dari mana. Sekilas dia menatap namun kembali meneruskan langkah, seolah kami bukanlah orang yang saling mengenal. “Begitu kah caramu mendidik anak Wi? Sampai-sampai dia enggak punya rasa hormat sama orang tuanya sendiri!”“Untuk apa menghormati pembun*h!” katanya lirih, mungkin takut di dengar anak-anak, namun tidak dengan Mas Hasan yang bergitu terkejut mendengar p

  • Dosa yang Tak Termaafkan   Bab 20

    “Wi, oke kalau kamu mau ambil hak asuh anak silahkan tapi tolong, setidaknya izinkan Mas bertemu mereka, seminggu sekali atau sebulan dua kali tak masalah.”“Jangankan sebulan Mas setahun sekali pun enggak akan aku kasih.”“Jangan kayak gini Wi? Itu namanya kamu egois, suatu saat pasti mereka bakal nanyain aku.”“Seyakin itu kamu Mas? Mereka aja benci kok sama kamu.”“Mau kamu itu apa sebenarnya Wi? Aku datang jauh-jauh ke sini, dengan niat baik, ngasih tau kamu soal kemungkinan terinveksi HIV, tapi niat baikku malah kamu tolak, uang juga kamu tolak, aku minta kamu hukum aku atas kelalaian yang membuat kita kehilangan Yuri pun kamu enggak mau terima, aku ini benar-benar ingin berubah, kenapa kamu begitu menyulitkanku, bahkan untuk sebuah tanggung jawab seorang ayah pun kamu menolaknya.”“Aku enggak butuh!”“Kamu jangan sombong, ngurus anak tiga kamu pikir gampang, apa lagi dengan kondisi kamu sekarang.”“Jadi kamu ingin aku bagaimana?”“Setidaknya ter

  • Dosa yang Tak Termaafkan   Bab 19

     “Wi? Mas Hasan? Kalian ngapain di sini?”Mereka terdiam sejenak, mungkin terkejut dengan kehadiranku yang tiba-tiba.“Loh kamu di sini?” tanya Mas Hasan, sementara Dewi malah mundur selangkah, seolah memberi jarak padaku yang memang saat itu persis di sampingnya. Wajah cerianya redup dalam sekejap.“Aku mau ketemu Dewi Mas.”“Oh gitu ya.” Dia mengangguk, lalu lagi-lagi menatap ke arah Dewi dan tersenyum. Sedang Dewi yang terlihat gugup di ujung saja memilih menunduk.“Mas sejak kapan pindah tugas ke sini? Kenapa enggak pernah ngasih tahu aku?”“Loh memangnya kamu pernah nanya, orang nanyain kabar aja enggak pernah kok!”Ya meski kami saudara kandung. Hubungan kami memang tak terlalu dekat. Terhitung sudah sebulan kami tak pernah berkomunikasi.“ibuk aku Mas.”“Sibuk ya?” Dia kembali mengangguk-anggukkan kepala.“Sampai enggak ngasih kabar keluarga kalau anak kamu meninggal?”Laki-laki itu menatap dengan seringai di bibirnya.“Maa

  • Dosa yang Tak Termaafkan   Bab 18

    “Kamu lupa waktu kita pertama kali ketemu di bar? Kita pernah melakukan itu!”Seketika pikiranku melayang pada kejadian lawas itu. Tepatnya saat aku punya masalah besar di kantor, karena setres aku pergi ke tempat itu. Tak kusangka kalau hal itu akan membawa kesengsaraan hari ini. Karena mabuk aku sampai tak ingat dengan siapa kuhabiskan malam berdua. Karena saat itu Eiden juga memilih pergi, sudah lama aku mencari keberadan wanita itu. bagaimana pun hatiku tergerak untuk mempertanggung jawabkan perbuatanku padanya. Namun lambat laun kehadiran Eiden membuatku lupa akan kejadian itu. Siaapa sangka kalau ternyata dia perempuan yang kucari.Kalau sejak saat itu Eiden sudah terpapar virus HIV, kemungkinanbesar Dewi ikut terpapar juga. Tetapi lagi-lagi Dewi malah memblokir akses satu-satunya yang bisa menghubungkanku padanya.“Kamu tahu enggak Eiden gara-gara kamu, Dewi juga tertular penyakit itu, dan mungkin juga Yuri, semua gara-gara kamu!”Baru kusadari kalau Yuri yang

  • Dosa yang Tak Termaafkan   Bab 17

    “Kamu kenapa sih Mas? Pagi-pagi, senyum-senyum sendiri?” tanya Eiden saat kami sedang berkumpul di meja makan.“Arumi kamu mau punya adik lagi.”“Maksudnya Mamah hamil?”“Aku kan enggak hamil Mas.” Eiden menatap bingung, lagi pula siapa juga yang mau menyentuhnya lagi.“Dewi yang hamil.”“Mas, aku ini istrimu yang sekarang beraninya kamu bahas wanita lain di depanku, pakai bilang segala Arumi mau punya Adik, keterlaluan banget!” Eiden membanting piring yang berisi roti. Membuat Arumi yang berada di sampingnya tersentak.“Kenapa sih di mata kamu, aku enggak pernah ada artinya?”“Dari awal sudah kubilang kita tak perlu menikah, tetapi kamu malah membuat sandiwara gila yang membuat kita terpaksa menikah.”“Jadi kamu terpaksa menikah sama aku?”“Siapa juga yang mau nikah sama perempuan yang peny… .”Sejenak mataku melirik ke arah Arumi yang ketakutan, menutup ke dua telinganya seraya tertunduk menatap piring kosong, yang sejak tadi belum sempat te

DMCA.com Protection Status