“Wi, oke kalau kamu mau ambil hak asuh anak silahkan tapi tolong, setidaknya izinkan Mas bertemu mereka, seminggu sekali atau sebulan dua kali tak masalah.”
“Jangankan sebulan Mas setahun sekali pun enggak akan aku kasih.”“Jangan kayak gini Wi? Itu namanya kamu egois, suatu saat pasti mereka bakal nanyain aku.”“Seyakin itu kamu Mas? Mereka aja benci kok sama kamu.”“Mau kamu itu apa sebenarnya Wi? Aku datang jauh-jauh ke sini, dengan niat baik, ngasih tau kamu soal kemungkinan terinveksi HIV, tapi niat baikku malah kamu tolak, uang juga kamu tolak, aku minta kamu hukum aku atas kelalaian yang membuat kita kehilangan Yuri pun kamu enggak mau terima, aku ini benar-benar ingin berubah, kenapa kamu begitu menyulitkanku, bahkan untuk sebuah tanggung jawab seorang ayah pun kamu menolaknya.”“Aku enggak butuh!”“Kamu jangan sombong, ngurus anak tiga kamu pikir gampang, apa lagi dengan kondisi kamu sekarang.”“Jadi kamu ingin aku bagaimana?”“Setidaknya ter“Munafik! Apa bedanya kamu denganku Wi? Sama-sama selingkuh!”Melihat mereka tertawa layaknya pasangan suami istri, ada yang berdenyut nyeri di dalam sini. Tak tahan lagi, akhirnya kuputuskan untuk bergabung dengan mereka. Ada anak-anakku di sana, meski emosi yang kian menggebu, nyatanya rinduku pada mereka telah berhasil meredam segalanya. Aku tak mau melakukan kesalahan yang kedua kalinya.“Adit, Rio!” panggilku. Seketika mereka menengok dengan ekspresi keterkejutannya, namun tidak dengan Dewi wajahnya datar saja.“Papaaaah!” Anak-anak lantas berhamburan memeluk, kecuali Rafa yang baru datang entah dari mana. Sekilas dia menatap namun kembali meneruskan langkah, seolah kami bukanlah orang yang saling mengenal. “Begitu kah caramu mendidik anak Wi? Sampai-sampai dia enggak punya rasa hormat sama orang tuanya sendiri!”“Untuk apa menghormati pembun*h!” katanya lirih, mungkin takut di dengar anak-anak, namun tidak dengan Mas Hasan yang bergitu terkejut mendengar p
“Masa iya harus jual rumah, mau tinggal di mana coba! Kenapa harus cash sih!”Pikiranku buntu, kalau saja Dewi bersedia menerima uang itu dalam bentuk aset yang kumiliki, hal itu mudah saja bagiku. Hanya tinggal balik nama lalu selesai. Di perjalanan pulang kusempatkan untuk mampir di rumah makan. Sejak kepergian Dewi tempat ini sudah seperti rumah ke duaku. Eiden yang tak pandai memasak, mau tak mau aku jadi lebih banyak makan di luar.Kalau Dewi yang lemah lembut saja bisa sekerasini di persidangan, lalu bagaimana dengan Eiden, apa yang akan dia minta nantinya. Memikirnya sungguh membuatku frustasi. Hidup sendirian nyatanya tak selalu menyenangkan. Satu-satunya keluarga yang kumiliki, sekarang tak bisa lagi diharapkan, tetapi tak ada salahnya mencoba bukan?“Hallo Mas?”“Ya.”“To the point aja Mas aku mau bicara masalah Dewi.”“Ckk, apa lagi? Mau nuduh aku dan Dewi selingkuh?”Dari mana dia tahu, apa jangan-jangan Dewi
“Aku enggak akan biarkan kamu menikah sama Mas Hasan Wi, dia enggak salah apa-apa, aku yang salah, kamu lampiaskan saja ke aku, kamu bilang mau penjarakan aku kan, ya sudah lakukan saja.”“Aku berubah pikiran, ingat satu hal Mas, aku enggak akan membuat semua hal mudah bagi kamu.”Kali ini dia pergi, sungguh wanita kenapa sulit sekali dimengerti, jelas kulihat dia meneteskan air mata saat hakim mengetuk palu, tetapi tetap saja, rasa ingin balas dendamnya masih mengakar di sana. Tak mau kehilangan kesempatan aku mengejarnya.“Wi tapi kamu sudah janji mengizinkan aku bertemu sama anak-anak, sekarang aku mau ketemu sama dia.”“Kalau uang yang kamu janjikan sudah ada di tanganku baru kuberikan apa yang kamu inginkan.”Sial ada saja alasannya untuk mencegahku bertemu dengan mereka. Lihat saja setelah kupenuhi tuntutanmu kamu tak akan bisa menahanku lagi. Tadinya aku ingin diam-diam mengikuti Dewi tetapi panggilan di ponselku membuat perhatianku teralihkan. Panggilan
“Sakit banget Mas tolong aku.”Eiden memegangi perutnya yang berlumur darah. Entah siapa yang baru saja menusuknya, aku hanya berpikir untuk segera membawanya pergi ke rumah sakit.“Rum! Ayo ikut Bapak!” Tak ada jawaban. Aneh! Bukankah biasanya dia akan sangat mengkhawatirkan Ibunya.“Kamu enggak mau ikut?” Mengingat kondisi Arumi yang ketakutan aku berniat mengajaknya pergi karena khawatir kalau pencuri itu mungkin akan datang lagi. Namun gadis itu malah menggeleng tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Sementara Eiden yang kesakitan tak mungkin bisa menunggu lebih lama. Akhirnya aku memutuskan untuk pergi.“Siapa yang melakukannya Eiden? Apa ada pencuri yang masuk?”Dia terdiam sejenak. Seperti memikirkan apa yang hendak dia ucapkan tetapi beberapa saat kemudian. Eiden mengangguk walau jelas sekali tampak keraguan dalam sorot matanya.~Untunglah lukanya tak terlalu dalam. Namun karena penanganannya sedikit terlambat Eiden tidak dip
Aku terdiam menyadari kalau ada yang tak beres. Mata kami bertemu, sorot mata Mas Hasan saat itu masih memerah.Aku masih terdiam di tempat. Saat menyaksikan Mas Hasan mulai menurunkan keranda. Lalu dia tampak acuh padaku memilih langsung turun ke liang lahad.“Mamah!”Dari arah pintu utama pemakaman teriakan yang begitu akrab di telinga menggema. Seketika menghentikan prosesi pemakaman saat itu.Itu Rafa, anakku.“Jangan memasukkan Mamah ke situ Ayah!” katanya dengan wajah berderai.“Mbak Erna tolong bawa Rafa ke rumah ya, pastikan dia enggak ke sini.” Suara Mas Hasan bergetar.Aku ingin turun untuk membantu. Namun hanya dengan mengebaskan tangan Mas Hasan orang-orang di sana menahanku.Hingga prosesi pemakaman selesai. Mereka baru melepasku.“Mas tolong jelaskan sesuatu, jangan diam saja.”BUKK!!Mas Hasan malah memukulku.“Minggir!”“Mas terus anak-anak bagaimana?”“Bukan urusan kamu!”“Hahahaha.”Entah ada apa deng
“Kamu selingkuh lagi, Mas? Aku sudah pernah bilang ‘kan, Cukup sekali! Enggak ada dua kali!” lirih Dewi, istriku.“Bon belanjaan sebanyak ini buat siapa? Mana semuanya juga barang-barang perempuan. Ini juga tiket bioskop,” ucap Dewi yang mulai mendikte satu persatu barang yang ia temukan.Saat itu ia bahkan sampai menggeleng, sekalipun saat itu ia berbicara cukup pelan, tetapi jelas ada kemarahan yang teramat sangat.“Aku bisa jelaskan!” ucapku.“Cukup!”Tiba-tiba Dewi meninggikan suaranya dan itu membuat aku cukup terkejut. Bisa dibilang ini adalah kali pertama banginya yang terbiasa bersikap lemah lembut, lantas mendadak menunjukkan emosinya.Seketika itu juga ia menangkupkan wajah. Lalu bersandar pada dinding ruang tamu, kala itu ia bahkan menangis sampai kedua bahunya berguncang hebat. Tangis yang sejak tadi dia tahan akhirnya pecah juga.Kala itu aki juga tidak diam saja. Aku sudah berusaha merangkul, tetapi apa daya ia seolah memberi jarak dengan mendorong dadaku. Seolah ia suda
“Ya apa alasannya? Kami sama-sama perempuan, apa yang dia punya sampai-sampai kamu enggak bisa melepaskan dia? Atau jangan-jangan kalian sudah menikah diam-diam?”Prayy!!!Suara piring terjatuh, lalu seketika saat kami berpaling mertuaku berada di balik sana.Dia menatap nanar tetapi tak lama, berteriak memanggil suaminya. Sekarang bukan hanya suaminya yang hadir, anak-anakku pun ikut penasaran dengan keributan yang kembali kami ciptakan. Kurasa memang hubungan kami sudah tak sehat. Begitu banyak keributan, amarah juga sikap anak-anak yang jadi keras padaku, semakin memperjelas semuanya. Meski aku tahu ini semua salahku, namun tak bisakah Dewi menahannya sejenak, setidaknya sampai mereka pulang. Sehingga kita bisa menyelesaikan masalah ini berdua. Sekarang karena ada mereka di sini, semuanya tentu akan bertambah kacau.“Ada apa Bu? Astagfirullah kok pecah begini, awas anak-anak jangan ke sini, hati-hati ini loh nanti kena pecahannya, kamu jaga anak-anak sebentar, biar Bapak yang ambil
“Ya apa alasannya? Kami sama-sama perempuan, apa yang dia punya sampai-sampai kamu enggak bisa melepaskan dia? Atau jangan-jangan kalian sudah menikah diam-diam?”Prayy!!!Suara piring terjatuh, lalu seketika saat kami berpaling mertuaku berada di balik sana.Dia menatap nanar tetapi tak lama, berteriak memanggil suaminya. Sekarang bukan hanya suaminya yang hadir, anak-anakku pun ikut penasaran dengan keributan yang kembali kami ciptakan. Kurasa memang hubungan kami sudah tak sehat. Begitu banyak keributan, amarah juga sikap anak-anak yang jadi keras padaku, semakin memperjelas semuanya. Meski aku tahu ini semua salahku, namun tak bisakah Dewi menahannya sejenak, setidaknya sampai mereka pulang. Sehingga kita bisa menyelesaikan masalah ini berdua. Sekarang karena ada mereka di sini, semuanya tentu akan bertambah kacau.“Ada apa Bu? Astagfirullah kok pecah begini, awas anak-anak jangan ke sini, hati-hati ini loh nanti kena pecahannya, kamu jaga anak-anak sebentar, biar Bapak yang ambil
Aku terdiam menyadari kalau ada yang tak beres. Mata kami bertemu, sorot mata Mas Hasan saat itu masih memerah.Aku masih terdiam di tempat. Saat menyaksikan Mas Hasan mulai menurunkan keranda. Lalu dia tampak acuh padaku memilih langsung turun ke liang lahad.“Mamah!”Dari arah pintu utama pemakaman teriakan yang begitu akrab di telinga menggema. Seketika menghentikan prosesi pemakaman saat itu.Itu Rafa, anakku.“Jangan memasukkan Mamah ke situ Ayah!” katanya dengan wajah berderai.“Mbak Erna tolong bawa Rafa ke rumah ya, pastikan dia enggak ke sini.” Suara Mas Hasan bergetar.Aku ingin turun untuk membantu. Namun hanya dengan mengebaskan tangan Mas Hasan orang-orang di sana menahanku.Hingga prosesi pemakaman selesai. Mereka baru melepasku.“Mas tolong jelaskan sesuatu, jangan diam saja.”BUKK!!Mas Hasan malah memukulku.“Minggir!”“Mas terus anak-anak bagaimana?”“Bukan urusan kamu!”“Hahahaha.”Entah ada apa deng
“Sakit banget Mas tolong aku.”Eiden memegangi perutnya yang berlumur darah. Entah siapa yang baru saja menusuknya, aku hanya berpikir untuk segera membawanya pergi ke rumah sakit.“Rum! Ayo ikut Bapak!” Tak ada jawaban. Aneh! Bukankah biasanya dia akan sangat mengkhawatirkan Ibunya.“Kamu enggak mau ikut?” Mengingat kondisi Arumi yang ketakutan aku berniat mengajaknya pergi karena khawatir kalau pencuri itu mungkin akan datang lagi. Namun gadis itu malah menggeleng tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Sementara Eiden yang kesakitan tak mungkin bisa menunggu lebih lama. Akhirnya aku memutuskan untuk pergi.“Siapa yang melakukannya Eiden? Apa ada pencuri yang masuk?”Dia terdiam sejenak. Seperti memikirkan apa yang hendak dia ucapkan tetapi beberapa saat kemudian. Eiden mengangguk walau jelas sekali tampak keraguan dalam sorot matanya.~Untunglah lukanya tak terlalu dalam. Namun karena penanganannya sedikit terlambat Eiden tidak dip
“Aku enggak akan biarkan kamu menikah sama Mas Hasan Wi, dia enggak salah apa-apa, aku yang salah, kamu lampiaskan saja ke aku, kamu bilang mau penjarakan aku kan, ya sudah lakukan saja.”“Aku berubah pikiran, ingat satu hal Mas, aku enggak akan membuat semua hal mudah bagi kamu.”Kali ini dia pergi, sungguh wanita kenapa sulit sekali dimengerti, jelas kulihat dia meneteskan air mata saat hakim mengetuk palu, tetapi tetap saja, rasa ingin balas dendamnya masih mengakar di sana. Tak mau kehilangan kesempatan aku mengejarnya.“Wi tapi kamu sudah janji mengizinkan aku bertemu sama anak-anak, sekarang aku mau ketemu sama dia.”“Kalau uang yang kamu janjikan sudah ada di tanganku baru kuberikan apa yang kamu inginkan.”Sial ada saja alasannya untuk mencegahku bertemu dengan mereka. Lihat saja setelah kupenuhi tuntutanmu kamu tak akan bisa menahanku lagi. Tadinya aku ingin diam-diam mengikuti Dewi tetapi panggilan di ponselku membuat perhatianku teralihkan. Panggilan
“Masa iya harus jual rumah, mau tinggal di mana coba! Kenapa harus cash sih!”Pikiranku buntu, kalau saja Dewi bersedia menerima uang itu dalam bentuk aset yang kumiliki, hal itu mudah saja bagiku. Hanya tinggal balik nama lalu selesai. Di perjalanan pulang kusempatkan untuk mampir di rumah makan. Sejak kepergian Dewi tempat ini sudah seperti rumah ke duaku. Eiden yang tak pandai memasak, mau tak mau aku jadi lebih banyak makan di luar.Kalau Dewi yang lemah lembut saja bisa sekerasini di persidangan, lalu bagaimana dengan Eiden, apa yang akan dia minta nantinya. Memikirnya sungguh membuatku frustasi. Hidup sendirian nyatanya tak selalu menyenangkan. Satu-satunya keluarga yang kumiliki, sekarang tak bisa lagi diharapkan, tetapi tak ada salahnya mencoba bukan?“Hallo Mas?”“Ya.”“To the point aja Mas aku mau bicara masalah Dewi.”“Ckk, apa lagi? Mau nuduh aku dan Dewi selingkuh?”Dari mana dia tahu, apa jangan-jangan Dewi
“Munafik! Apa bedanya kamu denganku Wi? Sama-sama selingkuh!”Melihat mereka tertawa layaknya pasangan suami istri, ada yang berdenyut nyeri di dalam sini. Tak tahan lagi, akhirnya kuputuskan untuk bergabung dengan mereka. Ada anak-anakku di sana, meski emosi yang kian menggebu, nyatanya rinduku pada mereka telah berhasil meredam segalanya. Aku tak mau melakukan kesalahan yang kedua kalinya.“Adit, Rio!” panggilku. Seketika mereka menengok dengan ekspresi keterkejutannya, namun tidak dengan Dewi wajahnya datar saja.“Papaaaah!” Anak-anak lantas berhamburan memeluk, kecuali Rafa yang baru datang entah dari mana. Sekilas dia menatap namun kembali meneruskan langkah, seolah kami bukanlah orang yang saling mengenal. “Begitu kah caramu mendidik anak Wi? Sampai-sampai dia enggak punya rasa hormat sama orang tuanya sendiri!”“Untuk apa menghormati pembun*h!” katanya lirih, mungkin takut di dengar anak-anak, namun tidak dengan Mas Hasan yang bergitu terkejut mendengar p
“Wi, oke kalau kamu mau ambil hak asuh anak silahkan tapi tolong, setidaknya izinkan Mas bertemu mereka, seminggu sekali atau sebulan dua kali tak masalah.”“Jangankan sebulan Mas setahun sekali pun enggak akan aku kasih.”“Jangan kayak gini Wi? Itu namanya kamu egois, suatu saat pasti mereka bakal nanyain aku.”“Seyakin itu kamu Mas? Mereka aja benci kok sama kamu.”“Mau kamu itu apa sebenarnya Wi? Aku datang jauh-jauh ke sini, dengan niat baik, ngasih tau kamu soal kemungkinan terinveksi HIV, tapi niat baikku malah kamu tolak, uang juga kamu tolak, aku minta kamu hukum aku atas kelalaian yang membuat kita kehilangan Yuri pun kamu enggak mau terima, aku ini benar-benar ingin berubah, kenapa kamu begitu menyulitkanku, bahkan untuk sebuah tanggung jawab seorang ayah pun kamu menolaknya.”“Aku enggak butuh!”“Kamu jangan sombong, ngurus anak tiga kamu pikir gampang, apa lagi dengan kondisi kamu sekarang.”“Jadi kamu ingin aku bagaimana?”“Setidaknya ter
“Wi? Mas Hasan? Kalian ngapain di sini?”Mereka terdiam sejenak, mungkin terkejut dengan kehadiranku yang tiba-tiba.“Loh kamu di sini?” tanya Mas Hasan, sementara Dewi malah mundur selangkah, seolah memberi jarak padaku yang memang saat itu persis di sampingnya. Wajah cerianya redup dalam sekejap.“Aku mau ketemu Dewi Mas.”“Oh gitu ya.” Dia mengangguk, lalu lagi-lagi menatap ke arah Dewi dan tersenyum. Sedang Dewi yang terlihat gugup di ujung saja memilih menunduk.“Mas sejak kapan pindah tugas ke sini? Kenapa enggak pernah ngasih tahu aku?”“Loh memangnya kamu pernah nanya, orang nanyain kabar aja enggak pernah kok!”Ya meski kami saudara kandung. Hubungan kami memang tak terlalu dekat. Terhitung sudah sebulan kami tak pernah berkomunikasi.“ibuk aku Mas.”“Sibuk ya?” Dia kembali mengangguk-anggukkan kepala.“Sampai enggak ngasih kabar keluarga kalau anak kamu meninggal?”Laki-laki itu menatap dengan seringai di bibirnya.“Maa
“Kamu lupa waktu kita pertama kali ketemu di bar? Kita pernah melakukan itu!”Seketika pikiranku melayang pada kejadian lawas itu. Tepatnya saat aku punya masalah besar di kantor, karena setres aku pergi ke tempat itu. Tak kusangka kalau hal itu akan membawa kesengsaraan hari ini. Karena mabuk aku sampai tak ingat dengan siapa kuhabiskan malam berdua. Karena saat itu Eiden juga memilih pergi, sudah lama aku mencari keberadan wanita itu. bagaimana pun hatiku tergerak untuk mempertanggung jawabkan perbuatanku padanya. Namun lambat laun kehadiran Eiden membuatku lupa akan kejadian itu. Siaapa sangka kalau ternyata dia perempuan yang kucari.Kalau sejak saat itu Eiden sudah terpapar virus HIV, kemungkinanbesar Dewi ikut terpapar juga. Tetapi lagi-lagi Dewi malah memblokir akses satu-satunya yang bisa menghubungkanku padanya.“Kamu tahu enggak Eiden gara-gara kamu, Dewi juga tertular penyakit itu, dan mungkin juga Yuri, semua gara-gara kamu!”Baru kusadari kalau Yuri yang
“Kamu kenapa sih Mas? Pagi-pagi, senyum-senyum sendiri?” tanya Eiden saat kami sedang berkumpul di meja makan.“Arumi kamu mau punya adik lagi.”“Maksudnya Mamah hamil?”“Aku kan enggak hamil Mas.” Eiden menatap bingung, lagi pula siapa juga yang mau menyentuhnya lagi.“Dewi yang hamil.”“Mas, aku ini istrimu yang sekarang beraninya kamu bahas wanita lain di depanku, pakai bilang segala Arumi mau punya Adik, keterlaluan banget!” Eiden membanting piring yang berisi roti. Membuat Arumi yang berada di sampingnya tersentak.“Kenapa sih di mata kamu, aku enggak pernah ada artinya?”“Dari awal sudah kubilang kita tak perlu menikah, tetapi kamu malah membuat sandiwara gila yang membuat kita terpaksa menikah.”“Jadi kamu terpaksa menikah sama aku?”“Siapa juga yang mau nikah sama perempuan yang peny… .”Sejenak mataku melirik ke arah Arumi yang ketakutan, menutup ke dua telinganya seraya tertunduk menatap piring kosong, yang sejak tadi belum sempat te