Aku sudah lama bermimpi tentang kebetulan. Seperti peristiwa-peristiwa tak terduga bertemu dengan seseorang yang ada dalam bayanganku.
Dan sekarang seolah di atur takdir, aku dan istri pak Ardi bertemu di perusahaan dengan peristiwa jambangan kristal yang pecah berantakan seperti hatinya kelak saat tahu suaminya pernah menciumiku.
"Maafkan saya, Ibu! Saya tidak sengaja memecahkan jambangan kristal milik perusahaan, nanti saya ganti saat gajian nanti." ucapku setengah ramah. Pak Ardi tak mungkin mempermasalahkan tentang hal ini, apalagi kedua anaknya tadi dengan senang justru mengoper bola kepadaku lagi.
"Saya justru ingin sekali menendang bola sepertimu tadi! Hebat!"
Kalimat yang meluncur dari bibir istri pak Ardi itu sungguh mengejutkan. Apalagi saat kekehan geli dan senyuman tanpa dosa itu memecah suasana.
Hatiku terasa teriris pisau belati. Istri pak Ardi bernama Farah Adzana, berambut panjang hitam dan cantik jelita. Hanya saj
"Cok, bangun, Cok!"Aku menggoyangkan lengannya berkali-kali, Coki mengerang geram. Ia membalikkan badan, memunggungi aku dan pak Ardi yang menunggunya untuk sarapan bersama."Cok, ini ada pak Ardi!" ucapku menahan kesal, dia ini tidur apa balas dendam sih lama banget ngoroknya. Aku menegakkan tubuh, melirik pak Ardi yang sejak tadi membuntutiku kemana saja seperti anak ayam.Pak Ardi menghembuskan nafas kasar. "Coba saya saja yang bicara!" ucapnya penuh tekad.Aku berdecih dalam hati. 'Kita lihat, apa Coki mempan mendengar kalimat perintah dari kamu pak! Kalau iya, anda punya efek luar biasa.'Pak Ardi menepuk pundak Coki dengan mantap. "Coki, ayo meeting!""Meeting!" gumam Coki dengan serak. Belum juga sadar dari mimpi indahnya.Aku membeo, 'Meeting apaan, hari libur!'Pak Ardi tersenyum kepadaku. Aku mlengeh dengan malas. Sudah jelas dia ini sarap, otaknya tidak sehat.Tan
Acara selametan dan pemotongan tumpeng sebagai penanda awal produksi series Nikah SMA sudah selesai, namun keriuhan acara baru dimulai karena awak pewarta mulai memburu para artis yang akan memerankan serial tersebut.Di sudut lain ruangan press release siang ini, para penggede Jaff Corporations dan JaffFilm asyik sendiri membuat obrolan hal-hal tinggi.Pak Ardi terlihat begitu perlente dengan gesture yang baik sekali saat menemani Farah dan kedua anaknya bercakap-cakap dengan rekan kerja mereka. Seolah apa yang ia tunjukkan pada khalayak umum adalah keharmonisan keluarga yang benar-benar utuh.Aku tersenyum formal saat insan pers mendatangiku bersama Coki untuk melakukan tanya-jawab mengenai novel besutan kami berdua.Kami bertiga membuat koalisi sendiri yang di penuhi gelak tawa."Terimakasih atas kerjasamanya kak, saya harap ini bisa menaikkan rating kerja saya!" Insan pers ini tersenyum jenaka seraya menyalami kami berdu
Sesampainya di wahana bermain dalam studio. Bu Farah tersenyum masam seraya memegang tangan pak Ardi yang menyentuh bahunya."Andai aku gak kecelakaan, aku bisa menemani mereka berdua!"Pak Ardi tersenyum hangat, ia terlihat mengeratkan genggaman tangannya. "Sudah terjadi mau bagaimana lagi! Berhentilah meratap, kamu akan sembuh."Bu Farah mendongkak. "Ini semua karena kamu, mas! Andai saja malam itu kita tidak bertengkar! Pasti semua ini tidak terjadi."Mataku membeliak, jadi Bu Farah bisa seperti itu karena bertengkar? Wow, karena apa?Aku penasaran, tapi kedua bocah ini tidak mungkin melihat kedua orangtuanya bertengkar. Rasanya akan sakit sekali karena aku pernah berada di posisi mereka.Aku membawa Kenzo dan Naufal pergi dari orangtuanya karena aku rasa perdebatan akan terjadi sekarang juga.Aku juga perlu was-was karena mungkin kecelakaan itu gara-gara aku! Ngeri banget hidupku. Secara tidak l
Aku menatapnya dan memikirkan kembali ucapannya tadi. Benarkah pak Ardi sudah siap mengatakan kejujurannya, oh mengerikan sekali jika begitu."Bapak mau main apa? Gundu? Atau kucing-kucingan seperti bocah-bocah?" cibirku sambil tersenyum miring. Pak Ardi mendorong bahu, menahannya di tembok dengan cengkeraman yang begitu erat."Kamu mau main apa, Anna? Saya akan menurutinya!"Aku membalasnya dengan pukulan keras di perutnya. Pak Ardi mengaduh dengan mata yang mendelik kepadaku. "Mau main kasar, Anna?"Neraka bocor, aku panas. Ku dorong bahunya dan ia menarikku ke pelukannya."Apa enaknya, Anna? Saya suka yang pelan namun menggairahkan!" gumamnya dengan bibir yang ditempelkan ke leherku.Aku belum mandi lho ini, apa dia tidak kebauan dengan keringatku setelah main di wahana permainan tadi. Indra penciumannya pasti sudah rusak sebab seks sudah meracuni seluruh isi otaknya."Satu hal yang tidak enak dengan h
"Bagaimana menurutmu?"Mataku berkilat-kilat penuh spekulasi. "Menurut anda sendiri bagaimana, pak?"Pak Ardi menyandarkan tubuhnya di palang balkon, membelakangi senja yang benar-benar indah di ufuk barat. Tak seharusnya kami ada disini karena rasa-rasanya aku ingin dipeluk dari belakang."Banyak hal yang slalu terpikirkan olehku, Anna! Ada masanya saya jengah dengan rutinitas yang padat! Saya berpikir mungkin affair akan membangkitkan semangatku dalam mengatasi risiko-risikonnya!"Aku mengernyit dan bertanya. "Ini yang pertama?"Pak Ardi menyunggingkan senyum. "Kamu mau penjelasan sekarang? Apa karena sudah tidak bersabar dalam menghadapiku?"Aku berdecih. Sangat dibutuhkan kesabaran ekstra untuk menghadapi pria satu ini."Penjelasan memang diperlukan, jadi kapan bapak bisa?" tantangku.Pak Ardi bersedekap, menatapku dengan kening yang berkerut dalam."Farah kecelakaan karena kamu, Anna!"&nb
Aku tidak yakin apakah sudah melakukan hal yang benar dengan pak Ardi. Frustasi, aku menyibukkan diri dengan bekerja dan bekerja, sebisanya mungkin aku ingin acuh tak acuh dengannya namun tetap saja aku tak mampu mengacuhkannya.Terlebih sangat kebetulan sekali pak Ardi akhir-akhir ini tidak menggangguku, aku jadi penasaran kemana dia? Oh astaga suami orang... Menyebalkan.Pintu terbuka, aku menelengkan kepalanya. Anthony membawa satu cangkir kopi susu dan satu slice roti gembong keju seraya menaruhnya di mejaku."Untukmu, dari pengagum rahasia!""Pengagum rahasia? Siapa?" tanyaku heran. Aku punya pengagum rahasia dikantor ini, bukan pak Ardi, jelas, karena jika dia yang membelikan kopi untukku pasti tetap menggunakan namanya. Lalu siapa?Anthony mengendikkan bahu. "Tidak tahu, hanya pesan untuk kak Anna yang menjadi penulis di Jaff Corporations. Anna itu kamu kan?"Mata sipit itu semakin sipit. Aku mengangguk dan mem
Aku memasuki dapur untuk mencari kudapan dan menemukan ibu sedang memasak di depan tungku api."Gak beli kompor aja, bu? Lebih efisien." kataku, ikut berjongkok di depan tungku api yang menghantarkan rasa hangat di telapak kulitku.Ibuku meringis. "Untuk apa? Kayu masih mudah dicari, Na! Lagian ibu juga sendiri, ngirit."Aku tersenyum maklum. Hidup di pedesaan memang dimudahkan untuk mendapatkan hasil alam. Apalagi di daerah ini adalah dataran tinggi, tempat yang cocok untuk menanam sayuran hijau. Tak ayal, harga-harga sayuran disini sangat terjangkau. Namun, harap diingat, sesuatu yang murah tidak menjamin nasib para petaninya.Ibu mengaduk sayur lodeh rebung, aku menyunggingkan senyum. Di ibukota aku jarang mendapatkan masakan seenak buatan ibu, apalagi sekarang circle pertemananku sudah berubah. Berubah juga menu makanku."Sudah matang, ayo makan!"Kami berdua menyiapkan semuanya di meja makan minimalis, tidak ada
"Jadi tempat wisata mana yang akan kita kunjungi, Anna?"Aku menghela nafas. Aku kehilangan minat untuk berbicara, apalagi pengawal sialan ini tetap saja menyuruhku untuk tunduk walau aku sudah terang-terangan menolak ajakan mereka untuk pergi ke kota."Kemana sajalah, terserah! Lagian pak Ardi ganggu! Ngapain juga harus kesini, ngapain gak ke pluto aja ke lokalisasi kalau pengen kawin!"gerutuku sambil membuang muka.Pak Ardi terkekeh kecil, tak ada satupun rasa bersalah yang ia tunjukkan disini apalagi ketakutan."Saya tidak suka perempuan murahan, Anna! Saya suka mengeluarkan uang demi sebuah kesepakatan!" balasnya sambil menarik ujung rambutku, memainkannya dengan lembut."Kamu masih tidak mau menerima saya sebagai laki-laki dihidupmu, Anna?"Wait! Pertanyaan macam apa ini? Apa dia lupa dia sudah nikah, anaknya bahkan akrab denganku. Aku sampai setengah mati heran padanya. Cinta tidak, nafsu iya.Dan y
Beberapa menit yang terjadi dalam hidup saya, dalam keadaan terengah-engah Anna mencengkram rambut belakang saya dengan keras. "Kayaknya aku mau melahirkan sekarang mas, kayaknya aku..." Wajahnya mulai mengeras, kakinya mulai terbuka dan saya mendadak pontang-panting dalam hati ingin sekali memintanya lebih lama bertahan lama dalam perjalanan. "Bagaimana pak?" sahut Johan."Usahakan lebih cepat, Han! Jika di tilang polisi tidak masalah. Saya lebih takut jika anak saya lahir di dalam mobil dan di jalan raya, dia akan menjadi pembalap!"Johan tidak menjawab sebab ia langsung menghidupkan lampu hazard di tengah jalan dan membunyikan klakson mobil berulang kali. Di belakang, mobil yang membuntuti kami ikut menghidupkan lampu hazard—lampu darurat—, tak ayal kejadian itu membuat beberapa pengguna jalan lain melihat ke arah mobil kami di tengah kemacetan."Istri saya mau melahirkan, tolong beri jalan!" teriak saya dari jendela mobil. "Tolong bapak, ibu, kakak... Anna sudah bukaan lima–aaaw
"Honeymoon, are you sure?" omel Anna sembari berkacak pinggang. Saya mengangguk sambil merapatkan jaket, lama-lama dingin ternyata."Han, tutup semua pintu dan pergilah bersama kuncinya!""Whyyyyy...." teriak Anna dengan panik, "Mas, kamu makin lama malah makin mirip penjahat ya. Han, Han. Jangan..." Anna mendekap tubuh Johan dengan spontan. "Han, delapan tahun kita berusaha menjadi partner kerja dan keluarga yang baik. Tolong dong kali ini aja kamu membantah bos kita! Gak bisa apa sedikit aja membangkang." rengek Anna dengan lucu.Johan menatap saya dengan takut-takut. "Maaf bapak, ini bukan salah saya." katanya sambil berusaha melepas tangan Anna yang tetap kekeh menahannya di dapur.Saya beranjak sembari mengulum senyum. "Lepaskan Johan, Anna. Ada saya yang bisa kamu peluk seperti itu. Jangan dia, dia tidak akan tergoda dengan omelanmu apalagi rayuanmu!" kata saya mengingatkan.Saya hendak meraih rambutnya yang panjang dan pirang keemasan, namun secepat yang saya duga, Anna mengh
Desember, Musim dingin yang sangat menyejukkan kulit, hati, jiwa tapi tidak dengan isi kepala.Kami sekeluarga bersama rekan seperjuangan meninggalkan musim hujan bulan Desember di tanah air demi menuruti Alinka pergi ke London untuk melihat salju turun dan bisa menjadi keluarga ‘dingin’ dengan kualitas sekian. Saya termenung di depan pemanas ruangan, mendengar obrolan anak muda di belakang saya yang sedang seru-serunya bermain kartu. Naufal membawa pacarnya yang berambut cokelat tua panjang, anak pejabat negara yang kapan hari bapaknya menemui saya untuk mengajak kolaborasi bisnis dan mencocokkan anak kami berdua. Saya tidak tahu jodoh Naufal nantinya siapa, jadi saya cuma bisa senyum-senyum sambil mengambil tawaran pertama saja. Kolaborasi bisnis biar enakan hidup saya, urusan itu kan bisa di atur, kalau jodoh anak saya tidak.Kenzo membawa sahabatnya, laki-laki, tukang nge-game. Saya heran, dulu saya tidak nge-game, tapi anak saya yang satu itu sangat menyukai permainan. Entah y
Tina memasang muka datarnya setelah bunyi bell berdentang berkali-kali. Parasnya yang semakin berusia dan jompo, dia menyebutkan begitu karena tidak bisa lagi memakai hak tinggi menatap saya dengan wajah jengkel."Masuk aja kali..." ucapnya dengan suara malas di mic rapat yang tertempel di meja kerja, suara itu akan terdengar di louds speaker di depan ruangan saya. Seseorang di luar saya yang pasti adalah keluargaku—bel itu bel khusus private family—mendorong pintu. Seorang wanita dengan anggun melangkah sembari menggandeng tangan anak laki-lakinya yang berekspresi cemberut. Saya menaruh pulpen di meja seraya beranjak. Menyambut keduanya dengan pelukan. "Sebelum kita makan siang, ada yang perlu kamu urus, mas."Apa?Anna merogoh tas kerjanya yang besar, mobil derek mainan Alinskie rusak, dereknya copot dan gigi Sir Tow Mater nama karakter di film kartun itu rompel. Saya menerima mainan yang nyaris pasti akan menjadi rosokan ini dengan wajah ternganga. "Harus aku apakan ini sayang?
"London, papa. London, aku ingin ke sana. Aku ingin menikmati musim dingin di sana, aku ingin main salju seperti Elsa dan Anna, papa." seru Alinka sembari menarik-narik ujung jas kerja saya di depan lemari kacanya berisi mainannya dan Alinskie. Dua bayi saya yang kami bertiga perjuangkan dan tumbuhkan dengan suka duka cita atas harapan yang besar di rumah ini sudah tumbuh menjadi anak sekolah dasar berusia delapan tahun."Ayolah papa jawab, aku maksa ini." desak Alinka keras kepala. Saya mendesah, batal berangkat ke kantor dengan tertib dan memilih berlutut untuk melihat wajah manis, pipi putih dan tidak suka memakai rok atau dress, dia benci katanya tidak keren seperti kakak-kakaknya juga ampuh memberi contoh baju keren cowok ganteng ibu kota."Anna dan Elsa bukan di London sayang, tapi di Norwegia dan Irlandia. Kita tidak bisa ke sana, kamu belum libur sekolah." kata saya menasihati, tapi tepat seperti yang saya duga ini bukan jawaban yang tepat. Mawar berduriku menjerit, memanggi
Saya merenung, meyakini diri sekuat mungkin dengan apa terjadi di dalam sana bahwa Anna memang berbicara dari hati ke hati kepada Farah, mengungkap segalanya yang terpendam dan meyakinkan Farah jika ia mampu menjadi yang terakhir, mengalah dan menjadi ibu sambung yang mumpuni. Saya yakin itu, saya yakin karena kerap kali Anna berkata bahwa ia tidak ingin mengambil lebih dari haknya. Walau sejujurnya dengan amat sangat, banyak ragu yang menyapa silih berganti di dalam dada saya. Saya kalut. Bagaimana jika Farah tiada? Tapi logika berkata, jangan Tuhan, jangan dulu. Jangan sekarang, jangan Tuhan. Dia harus kembali padaku, harus kembali bagaimanapun kondisinya. Saya harus memperbaiki kesalahan ini, saya harus memperbaikinya dulu dan akan saya serahkan perhatian lebih.Saya membenturkan kepala belakang di tembok berkali-kali dengan frustrasi seraya mengusap wajah dan tertunduk.•••Derap langkah sepatu yang tergesa-gesa dari ujung koridor yang senyap membuat saya beranjak dan tertegun me
Dalam keremangan lampu kamar rumah sakit, saya membelai rambut Farah yang terasa kusut dan lembab. Ia masih terlelap seperti tak punya beban apapun. Wajahnya tenang, napasnya teratur, air susu ibu yang seharusnya keluar sebagai insting terkuat seorang ibu menyusui hanya merembes sesekali dan sangat jarang seakan tubuhnya berhenti beroperasi dalam tenang yang menegangkan. "Sepertinya kamu ingin menjadi putri tidur, Fa. Mimpimu bagus?" tanya saya seraya membelai wajahnya. "Kamu mimpi apa? Apa seindah waktu kencan pertama kita di kebun teh Cisarua Bogor? Seindah itu, ah... Kamu membuatku iri jadinya."Saya tersenyum sendiri, entah kenapa ingatan akan masa kencan pertama kami, pendekatan yang lucu itu menggelikan dan menyenangkan."Aku ingat, kamu mengeluh kedinginan dan tidak mau aku peluk. Katamu aku simpanse bonobo yang tidak cukup punya satu pasangan dan kamu yakin itu walaupun kamu mencintaku dengan tulus. Dan kamu tau, itu kata-kata paling kejam yang aku dengar selain buaya darat,
Entah berapa lama waktu yang saya habiskan untuk menunggu Farah di rumah sakit, keadaannya yang belum stabil mengharuskan Farah mendapatkan perawatan intensif yang lebih dari apa yang saya perkirakan."Makan dulu mas." Anna mengusap kedua bahu saya dari belakang seraya mengecup puncak kepala saya. "Semuanya akan membaik mas, percayalah." bisiknya sambil merangkul pundak saya. "Kamu yang kuat, banyak orang yang membutuhkanmu hari ini dan selamanya sampai waktu berhenti."Saya menelengkan kepala untuk mengecup pipinya yang masih terlihat tembam meski Alinka sudah berusia nyaris tiga bulan. "Terima kasih, makanlah lebih dulu Anna." pinta saya, dia mengasihi dua bayi, Alinka dan Alinskie sekarang, selama seminggu kami di rumah sakit. Anna butuh banyak makan, sementara saya, saya tidak tahu kenapa akhir-akhir ini rasanya energi dalam tubuh saya tidak sekuat dan seegois biasanya. Pikiran saya hanya tersita untuk kepulihan Farah.Saya hanya kerja sebentar lalu ke sini, tidur di sofa dan me
Dua bulan kemudian. Saya menuruni anak tangga dengan cepat setelah mendengar Naufal berteriak dari bawah memanggil nama saya dan mengatakan mama-nya menyuruh saya turun."Iya, papa turun. Papa turun sayang." kata saya menggebu-gebu.Naufal berkacak pinggang di depan anak tangga paling bawah. Ia mengerut marah, saya tersenyum kanak-kanak. Aturan main di rumah ini sudah berjalan selama dua bulan setelah saya dengan berani dan bertanggung jawab mengatakan pada semua keluarga, rekan bisnis, teman nongkrong, dan media jika saya memiliki dua istri dan bayi mungil. Meski sempat terjadi gonjang-ganjing gosip yang makin lama di gosok makin sip saya percaya waktu akan menjawab semua getir dan getar yang ada. "Papa tadi baru ganti popok adikmu, Fal. Maaf lama, adikmu bawel." seloroh saya, Naufal menutup telinganya. Dia sering begitu jika saya membicarakan Alinka, berbeda dengan Kenzo. Oh anakku yang satu itu memang anak pintar, dia menjadi kakak yang baik dan sering tidur bersama Anna karena b