Aku memasuki dapur untuk mencari kudapan dan menemukan ibu sedang memasak di depan tungku api.
"Gak beli kompor aja, bu? Lebih efisien." kataku, ikut berjongkok di depan tungku api yang menghantarkan rasa hangat di telapak kulitku.
Ibuku meringis. "Untuk apa? Kayu masih mudah dicari, Na! Lagian ibu juga sendiri, ngirit."
Aku tersenyum maklum. Hidup di pedesaan memang dimudahkan untuk mendapatkan hasil alam. Apalagi di daerah ini adalah dataran tinggi, tempat yang cocok untuk menanam sayuran hijau. Tak ayal, harga-harga sayuran disini sangat terjangkau. Namun, harap diingat, sesuatu yang murah tidak menjamin nasib para petaninya.
Ibu mengaduk sayur lodeh rebung, aku menyunggingkan senyum. Di ibukota aku jarang mendapatkan masakan seenak buatan ibu, apalagi sekarang circle pertemananku sudah berubah. Berubah juga menu makanku.
"Sudah matang, ayo makan!"
Kami berdua menyiapkan semuanya di meja makan minimalis, tidak ada
"Jadi tempat wisata mana yang akan kita kunjungi, Anna?"Aku menghela nafas. Aku kehilangan minat untuk berbicara, apalagi pengawal sialan ini tetap saja menyuruhku untuk tunduk walau aku sudah terang-terangan menolak ajakan mereka untuk pergi ke kota."Kemana sajalah, terserah! Lagian pak Ardi ganggu! Ngapain juga harus kesini, ngapain gak ke pluto aja ke lokalisasi kalau pengen kawin!"gerutuku sambil membuang muka.Pak Ardi terkekeh kecil, tak ada satupun rasa bersalah yang ia tunjukkan disini apalagi ketakutan."Saya tidak suka perempuan murahan, Anna! Saya suka mengeluarkan uang demi sebuah kesepakatan!" balasnya sambil menarik ujung rambutku, memainkannya dengan lembut."Kamu masih tidak mau menerima saya sebagai laki-laki dihidupmu, Anna?"Wait! Pertanyaan macam apa ini? Apa dia lupa dia sudah nikah, anaknya bahkan akrab denganku. Aku sampai setengah mati heran padanya. Cinta tidak, nafsu iya.Dan y
Aku mengibaskan tangan pak Ardi ditengah jalan setapak yang sepi. Mataku tajam memandangnya, yang aku pandangi juga menatapku tajam. Nyaris naik darah!"Gimana orang gak salah paham dengan kita, pak! Cerita ini akan menjadi cerita kelam untuk bahtera rumah tangga anda.""Apa yang kamu takutkan, Anna? Selama kamu diam dan orang-orang masih dibawah kekuasaanku, rahasia ini akan terjaga rapi!" ucap pak Ardi tenang, ia menarik nafas panjang-panjang dan menghembuskannya perlahan.Aku menggeleng kuat-kuat. "Naluri istri itu tajam, harus saya ingatkan lagi, bangkai apa yang mudah tercium?""Apa?""Bangkai perselingkuhan!"Pak Ardi terkekeh. Ia justru mengacak-acak rambutku dengan gemas."Kamu lucu, Anna!""Oh ya? Aku tidak percaya!""Sampai kapanpun kamu tidak akan percaya dengan ucapan saya, saya tahu! Tapi yang perlu kamu tahu, Anna! Dalam kamus saya tidak ada kata gagal!"Pak
Aku menjamin bahwa pak Ardi benar-benar nongol di pagi buta bersama ayam milik tetangga yang berkokok ria.Aku tersenyum manis, ku sambut kedatangannya dengan memberikan teh hangat spesial untuknya."Kita mulai bermain pak Ardi, siapa yang akan jatuh cinta duluan! Benar-benar jatuh cinta, bukan hanya sebatas teman seks atau affair!"Aku tersenyum garang dengan batin yang terus menguatkan sinyal perlawanan terhadapnya."Sepertinya suasana hatimu sedang baik, Anna! Dimana ibumu?" Pak Ardi memandangi sekeliling.Udara dingin yang masih lekat, dan embun yang masih menghiasi dedaunan, bahkan sinar matahari yang belum menyusup ke celah pepohonan membuat ibu hanya diam didepan tungku perapian. Menanak nasi dan membuat bakwan jagung."Di dapur, kenapa? Mau ketemu ibu? Atau ketemu aku sih?"Pak Ardi menyunggingkan senyum lembut. "Kamu, tapi ibumu juga! Saya bukan pria yang tidak sopan kepada orangtua.""Tap
Aku menatap nanar mata ibu di bawah pancaran lampu lima watt di teras rumah. Ibu tersenyum hangat, mengelus-elus kedua lenganku. Menguatkan aku dan mengatakan bahwa ibu sudah biasa sendiri, sudah biasa menelan rindu tak bersua dengan putri satu-satunya."Tidak apa-apa, Na! Nanti bisa main lagi kalau liburan."Liburan tidak ada dikamusku, Bu! Aku kesini karena kabur, benar kata pria disampingku ini. Aku kabur darinya, dia mencariku, meninggalkan keluarganya dan pekerjaannya. Entah ini hal romantis atau kebodohan dari seorang Presdir, aku tidak sanggup menyimpulkan arti dari semua yang telah ia lakukan ini.Ini salah dan untuk mengurainya aku buntu.Belum sampai disitu saja kejutan yang pak Ardi berika, kejutan yang kedua adalah ia membelikan sembako untuk ibu dan segala kebutuhan pokok rumah tangga lainnya plus, kompor gas dan gasnya pula. Mungkin pikirnya menanak nasi dan masak menggunakan tungku api itu merepotkan, tapi bagi kami yang hidup dan tum
Senja tidak datang membawa rona merahnya, namun semburat warna ungu yang berpendar di langit Jakarta setelah hujan reda. Sungguh cantik dan anggun seperti perempuan."Sudah sore, pak! Pulang sana." ucapku sambil menggeser pintu yang mengarah ke balkon.Pak Ardi menguap, ia merenggangkan otot-ototnya yang kaku sebelum duduk di ranjang, seulas senyum terlihat dari sudut bibirnya ketika ia mengancingkan kemejanya.Aku memberengut karena sesampainya kami di Jakarta bos besar ini justru menginap di apartemenku, sementara pengawal sialan itu berleha-leha di kamar pak Ardi yang super mewah."Saya mau mandi dulu, Ann! Tapi sepertinya tidak ada bajuku disini, bisakah kamu ambilkan di atas?"Aku menoleh seperti leher burung hantu dengan ekspresi wajah yang sama. Melotot."Aku ini cuma wanita simpananmu, pak! Bukan babu!" sungutku kesal, lagian baru senja lho ini, sayang sekali melewatkannya hanya untuk mengambil potongan baju dari bo
Pak Ardi tampak santai, percaya diri dan sama antusiasnya dengan Kenzo dan Naufal saat aku bertandang ke rumahnya."Terimakasih Tante, ini hadiah ulang tahunku paling sederhana tapi lucu." Kenzo memeluk lipatan kakiku, binar matanya terlihat senang karena aku bisa datang ke ulangtahunnya walau terlambat satu jam lebih."Maafin Tante ya, Jakarta macet!" dustaku sambil terkekeh, padahal aku baru saja meeting dengan Coki di kantor JaffFilm membahas hal-hal yang sempat aku singkirkan kemarin saat mudik. Ternyata setelah aku tinggalkan beberapa hari, semua kerjaan menumpuk jadi gunung, mana Coki senewen lagi."Alasan saja kamu, Ann!" Bu Farah menimpalinya dengan lucu, ia merentangkan tangannya untuk memelukku.Aku mengacak-acak rambut Kenzo sebelum beralih ke Bu Farah. "Nanti main lagi sama tante." Kenzo mengangguk, bergabung dengan teman-temannya lagi untuk bersenda gurau.Aku tersenyum hangat. Maaf seribu maaf hanya bisa aku ucapkan
Aku mengerjap. Mataku otomatis mencari-cari seseorang yang terus mengguncang bahuku, sesekali dalam alam bawah sadarku tadi aku merasakan payudaraku di remas-remas."Astaga!" Aku terkejut bukan main, buru-buru membuka mulutku sendiri saat pak rebahan disampingku, diranjang anaknya yang sempit ini."Diam, jangan buat Kenzo bangun!" bisiknya begitu lirih.Sialan! Aku mengepalkan tanganku dengan kesal, sudah tidur diganggu dan setelah aku mengecek blouseku yang berbahan satin, bagian dadanya terlihat lecek, benar-benar seperti habis diremas-remas, bahkan dua kancing paling atas terlepas."Apa yang bapak lakukan?" Mataku melotot kepadanya.Pak Ardi tersenyum senang. "Just touching slowly."Bangsat! Dia udah curi start disaat aku tak berdaya. Aku mendorongnya sampai terjatuh ke lantai. Pak Ardi mengaduh sakit, ia menggeram pelan.Aku ikut beranjak dengan gerakan pelan agar Ardi kecil ini tidak bangun dan mendapati bapakny
"Aku suka, Tante! Aku suka semua hadiahnya."Kenzo bersorak gembira diantara setumpuk mainan dan pakaian yang berjibun di kamarnya. Ia tertawa sambil bersandar dilenganku. "Terimakasih Tante."Aku ikut tertawa dan mengangguk. Sejak tadi setelah mandi dan makan sore, kami berdua sudah berkutat dengan pembungkus kado, membaca lipatan kertas yang bertuliskan ucapan ulangtahun, lalu tertawa-tawa sambil bercanda.Astaga, aku menyadari bahwa aku semakin menancapkan diriku sendiri kepada keluarga pak Ardi jika begini terus."Jadi apa Tante boleh pulang? Tante masih harus kerja ke kantor." kataku menjelaskan. Bisa ngamuk Coki kalau aku libur lagi, terlebih sejak tadi ia sudah menghubungiku kapan bisa ketemu lagi.Kenzo menggeleng, astaga. Bocah ini ketularan bapaknya. Kecanduan padaku."Tante disini aja, aku kesepian gak ada teman main!" Kenzo cemberut, mengeratkan tangannya di lenganku.Aku menggeleng perlahan, dengan hati-