Aku mengibaskan tangan pak Ardi ditengah jalan setapak yang sepi. Mataku tajam memandangnya, yang aku pandangi juga menatapku tajam. Nyaris naik darah!
"Gimana orang gak salah paham dengan kita, pak! Cerita ini akan menjadi cerita kelam untuk bahtera rumah tangga anda."
"Apa yang kamu takutkan, Anna? Selama kamu diam dan orang-orang masih dibawah kekuasaanku, rahasia ini akan terjaga rapi!" ucap pak Ardi tenang, ia menarik nafas panjang-panjang dan menghembuskannya perlahan.
Aku menggeleng kuat-kuat. "Naluri istri itu tajam, harus saya ingatkan lagi, bangkai apa yang mudah tercium?"
"Apa?"
"Bangkai perselingkuhan!"
Pak Ardi terkekeh. Ia justru mengacak-acak rambutku dengan gemas.
"Kamu lucu, Anna!"
"Oh ya? Aku tidak percaya!"
"Sampai kapanpun kamu tidak akan percaya dengan ucapan saya, saya tahu! Tapi yang perlu kamu tahu, Anna! Dalam kamus saya tidak ada kata gagal!"
Pak
Aku menjamin bahwa pak Ardi benar-benar nongol di pagi buta bersama ayam milik tetangga yang berkokok ria.Aku tersenyum manis, ku sambut kedatangannya dengan memberikan teh hangat spesial untuknya."Kita mulai bermain pak Ardi, siapa yang akan jatuh cinta duluan! Benar-benar jatuh cinta, bukan hanya sebatas teman seks atau affair!"Aku tersenyum garang dengan batin yang terus menguatkan sinyal perlawanan terhadapnya."Sepertinya suasana hatimu sedang baik, Anna! Dimana ibumu?" Pak Ardi memandangi sekeliling.Udara dingin yang masih lekat, dan embun yang masih menghiasi dedaunan, bahkan sinar matahari yang belum menyusup ke celah pepohonan membuat ibu hanya diam didepan tungku perapian. Menanak nasi dan membuat bakwan jagung."Di dapur, kenapa? Mau ketemu ibu? Atau ketemu aku sih?"Pak Ardi menyunggingkan senyum lembut. "Kamu, tapi ibumu juga! Saya bukan pria yang tidak sopan kepada orangtua.""Tap
Aku menatap nanar mata ibu di bawah pancaran lampu lima watt di teras rumah. Ibu tersenyum hangat, mengelus-elus kedua lenganku. Menguatkan aku dan mengatakan bahwa ibu sudah biasa sendiri, sudah biasa menelan rindu tak bersua dengan putri satu-satunya."Tidak apa-apa, Na! Nanti bisa main lagi kalau liburan."Liburan tidak ada dikamusku, Bu! Aku kesini karena kabur, benar kata pria disampingku ini. Aku kabur darinya, dia mencariku, meninggalkan keluarganya dan pekerjaannya. Entah ini hal romantis atau kebodohan dari seorang Presdir, aku tidak sanggup menyimpulkan arti dari semua yang telah ia lakukan ini.Ini salah dan untuk mengurainya aku buntu.Belum sampai disitu saja kejutan yang pak Ardi berika, kejutan yang kedua adalah ia membelikan sembako untuk ibu dan segala kebutuhan pokok rumah tangga lainnya plus, kompor gas dan gasnya pula. Mungkin pikirnya menanak nasi dan masak menggunakan tungku api itu merepotkan, tapi bagi kami yang hidup dan tum
Senja tidak datang membawa rona merahnya, namun semburat warna ungu yang berpendar di langit Jakarta setelah hujan reda. Sungguh cantik dan anggun seperti perempuan."Sudah sore, pak! Pulang sana." ucapku sambil menggeser pintu yang mengarah ke balkon.Pak Ardi menguap, ia merenggangkan otot-ototnya yang kaku sebelum duduk di ranjang, seulas senyum terlihat dari sudut bibirnya ketika ia mengancingkan kemejanya.Aku memberengut karena sesampainya kami di Jakarta bos besar ini justru menginap di apartemenku, sementara pengawal sialan itu berleha-leha di kamar pak Ardi yang super mewah."Saya mau mandi dulu, Ann! Tapi sepertinya tidak ada bajuku disini, bisakah kamu ambilkan di atas?"Aku menoleh seperti leher burung hantu dengan ekspresi wajah yang sama. Melotot."Aku ini cuma wanita simpananmu, pak! Bukan babu!" sungutku kesal, lagian baru senja lho ini, sayang sekali melewatkannya hanya untuk mengambil potongan baju dari bo
Pak Ardi tampak santai, percaya diri dan sama antusiasnya dengan Kenzo dan Naufal saat aku bertandang ke rumahnya."Terimakasih Tante, ini hadiah ulang tahunku paling sederhana tapi lucu." Kenzo memeluk lipatan kakiku, binar matanya terlihat senang karena aku bisa datang ke ulangtahunnya walau terlambat satu jam lebih."Maafin Tante ya, Jakarta macet!" dustaku sambil terkekeh, padahal aku baru saja meeting dengan Coki di kantor JaffFilm membahas hal-hal yang sempat aku singkirkan kemarin saat mudik. Ternyata setelah aku tinggalkan beberapa hari, semua kerjaan menumpuk jadi gunung, mana Coki senewen lagi."Alasan saja kamu, Ann!" Bu Farah menimpalinya dengan lucu, ia merentangkan tangannya untuk memelukku.Aku mengacak-acak rambut Kenzo sebelum beralih ke Bu Farah. "Nanti main lagi sama tante." Kenzo mengangguk, bergabung dengan teman-temannya lagi untuk bersenda gurau.Aku tersenyum hangat. Maaf seribu maaf hanya bisa aku ucapkan
Aku mengerjap. Mataku otomatis mencari-cari seseorang yang terus mengguncang bahuku, sesekali dalam alam bawah sadarku tadi aku merasakan payudaraku di remas-remas."Astaga!" Aku terkejut bukan main, buru-buru membuka mulutku sendiri saat pak rebahan disampingku, diranjang anaknya yang sempit ini."Diam, jangan buat Kenzo bangun!" bisiknya begitu lirih.Sialan! Aku mengepalkan tanganku dengan kesal, sudah tidur diganggu dan setelah aku mengecek blouseku yang berbahan satin, bagian dadanya terlihat lecek, benar-benar seperti habis diremas-remas, bahkan dua kancing paling atas terlepas."Apa yang bapak lakukan?" Mataku melotot kepadanya.Pak Ardi tersenyum senang. "Just touching slowly."Bangsat! Dia udah curi start disaat aku tak berdaya. Aku mendorongnya sampai terjatuh ke lantai. Pak Ardi mengaduh sakit, ia menggeram pelan.Aku ikut beranjak dengan gerakan pelan agar Ardi kecil ini tidak bangun dan mendapati bapakny
"Aku suka, Tante! Aku suka semua hadiahnya."Kenzo bersorak gembira diantara setumpuk mainan dan pakaian yang berjibun di kamarnya. Ia tertawa sambil bersandar dilenganku. "Terimakasih Tante."Aku ikut tertawa dan mengangguk. Sejak tadi setelah mandi dan makan sore, kami berdua sudah berkutat dengan pembungkus kado, membaca lipatan kertas yang bertuliskan ucapan ulangtahun, lalu tertawa-tawa sambil bercanda.Astaga, aku menyadari bahwa aku semakin menancapkan diriku sendiri kepada keluarga pak Ardi jika begini terus."Jadi apa Tante boleh pulang? Tante masih harus kerja ke kantor." kataku menjelaskan. Bisa ngamuk Coki kalau aku libur lagi, terlebih sejak tadi ia sudah menghubungiku kapan bisa ketemu lagi.Kenzo menggeleng, astaga. Bocah ini ketularan bapaknya. Kecanduan padaku."Tante disini aja, aku kesepian gak ada teman main!" Kenzo cemberut, mengeratkan tangannya di lenganku.Aku menggeleng perlahan, dengan hati-
"Mas Ardi." ulangku, tapi ternyata suaraku terdengar seperti bisikan yang menggoda, bukannya ketus seperti yang aku inginkan.Pak Ardi terkekeh-kekeh. Ia membungkuk untuk mengecupi pelipisku hingga ke rahang dengan spontan. Hingga aku hanya tertegun di pangkuannya."Saya suka panggilan itu. Lakukan lagi, Anna!"Sejujurnya ini hanya sandiwara, aku tak benar-benar menyebutnya dengan panggilan mesra ini. Pikirku, ini hanya sebatas perangai gila yang akan membuatnya jatuh cinta kepadaku."Kenapa, Bu Farah tidak pernah memanggilmu begitu?" Aku menatapnya, membetulkan posisiku agar nyaman duduk di atasnya.Pak Ardi meringis, ia membelai wajahku. "Kamu lupa, Farah pernah memanggilku begitu kalau lagi marah!" jawabnya jujur."Ya, waktu marah kemarin di taman hiburan aku sempat mendengarnya langsung. Memang tidak mesra karena marah, coba kalau enggak. Pasti so sweet, bikin iri!"Pak Ardi mengedik. "Ini bukan oase baru! Memang tidak
Alisku terangkat sinis dan tidak berkata-kata, sementara pak Ardi bersedekap, menatapku dengan pandangan aneh penuh tanda tanya."Apa kamu ingin menghukumku, Anna?"Mataku menyipit. "Untuk apa?" tanyaku ketus, "lagian aku harus menghukum orang kaya dengan cara apa? Yang ada aku rugi sendiri!" Aku mengakhiri ucapanku dengan dengusan pendek.Tawa samar terdengar dari mulut pengawal ini yang memakai kupluk untuk menyembunyikan kepalanya yang plontos. "Kamu pintar, Anna! Aku setuju dengan pilihanmu. Sip, sip." Ia mengacungkan kedua jempolnya yang sebesar jempol kakiku."Aku gak butuh dukunganmu, botak!" tukasku sambil menopang dagu, "lama banget, ya! Terlalu banyak ngegas jadi cepet laper." Aku menghela napas, tidak tahu apa yang harus aku lakukan disini, sementara aku sedang berpura-pura tidak punya ponsel lagi."Itu karena kamu pesannya banyak, Anna! Coba kalau hanya air putih, belum lima menit pun sudah tersaji disini." Pak Ardi merapikan anak
Beberapa menit yang terjadi dalam hidup saya, dalam keadaan terengah-engah Anna mencengkram rambut belakang saya dengan keras. "Kayaknya aku mau melahirkan sekarang mas, kayaknya aku..." Wajahnya mulai mengeras, kakinya mulai terbuka dan saya mendadak pontang-panting dalam hati ingin sekali memintanya lebih lama bertahan lama dalam perjalanan. "Bagaimana pak?" sahut Johan."Usahakan lebih cepat, Han! Jika di tilang polisi tidak masalah. Saya lebih takut jika anak saya lahir di dalam mobil dan di jalan raya, dia akan menjadi pembalap!"Johan tidak menjawab sebab ia langsung menghidupkan lampu hazard di tengah jalan dan membunyikan klakson mobil berulang kali. Di belakang, mobil yang membuntuti kami ikut menghidupkan lampu hazard—lampu darurat—, tak ayal kejadian itu membuat beberapa pengguna jalan lain melihat ke arah mobil kami di tengah kemacetan."Istri saya mau melahirkan, tolong beri jalan!" teriak saya dari jendela mobil. "Tolong bapak, ibu, kakak... Anna sudah bukaan lima–aaaw
"Honeymoon, are you sure?" omel Anna sembari berkacak pinggang. Saya mengangguk sambil merapatkan jaket, lama-lama dingin ternyata."Han, tutup semua pintu dan pergilah bersama kuncinya!""Whyyyyy...." teriak Anna dengan panik, "Mas, kamu makin lama malah makin mirip penjahat ya. Han, Han. Jangan..." Anna mendekap tubuh Johan dengan spontan. "Han, delapan tahun kita berusaha menjadi partner kerja dan keluarga yang baik. Tolong dong kali ini aja kamu membantah bos kita! Gak bisa apa sedikit aja membangkang." rengek Anna dengan lucu.Johan menatap saya dengan takut-takut. "Maaf bapak, ini bukan salah saya." katanya sambil berusaha melepas tangan Anna yang tetap kekeh menahannya di dapur.Saya beranjak sembari mengulum senyum. "Lepaskan Johan, Anna. Ada saya yang bisa kamu peluk seperti itu. Jangan dia, dia tidak akan tergoda dengan omelanmu apalagi rayuanmu!" kata saya mengingatkan.Saya hendak meraih rambutnya yang panjang dan pirang keemasan, namun secepat yang saya duga, Anna mengh
Desember, Musim dingin yang sangat menyejukkan kulit, hati, jiwa tapi tidak dengan isi kepala.Kami sekeluarga bersama rekan seperjuangan meninggalkan musim hujan bulan Desember di tanah air demi menuruti Alinka pergi ke London untuk melihat salju turun dan bisa menjadi keluarga ‘dingin’ dengan kualitas sekian. Saya termenung di depan pemanas ruangan, mendengar obrolan anak muda di belakang saya yang sedang seru-serunya bermain kartu. Naufal membawa pacarnya yang berambut cokelat tua panjang, anak pejabat negara yang kapan hari bapaknya menemui saya untuk mengajak kolaborasi bisnis dan mencocokkan anak kami berdua. Saya tidak tahu jodoh Naufal nantinya siapa, jadi saya cuma bisa senyum-senyum sambil mengambil tawaran pertama saja. Kolaborasi bisnis biar enakan hidup saya, urusan itu kan bisa di atur, kalau jodoh anak saya tidak.Kenzo membawa sahabatnya, laki-laki, tukang nge-game. Saya heran, dulu saya tidak nge-game, tapi anak saya yang satu itu sangat menyukai permainan. Entah y
Tina memasang muka datarnya setelah bunyi bell berdentang berkali-kali. Parasnya yang semakin berusia dan jompo, dia menyebutkan begitu karena tidak bisa lagi memakai hak tinggi menatap saya dengan wajah jengkel."Masuk aja kali..." ucapnya dengan suara malas di mic rapat yang tertempel di meja kerja, suara itu akan terdengar di louds speaker di depan ruangan saya. Seseorang di luar saya yang pasti adalah keluargaku—bel itu bel khusus private family—mendorong pintu. Seorang wanita dengan anggun melangkah sembari menggandeng tangan anak laki-lakinya yang berekspresi cemberut. Saya menaruh pulpen di meja seraya beranjak. Menyambut keduanya dengan pelukan. "Sebelum kita makan siang, ada yang perlu kamu urus, mas."Apa?Anna merogoh tas kerjanya yang besar, mobil derek mainan Alinskie rusak, dereknya copot dan gigi Sir Tow Mater nama karakter di film kartun itu rompel. Saya menerima mainan yang nyaris pasti akan menjadi rosokan ini dengan wajah ternganga. "Harus aku apakan ini sayang?
"London, papa. London, aku ingin ke sana. Aku ingin menikmati musim dingin di sana, aku ingin main salju seperti Elsa dan Anna, papa." seru Alinka sembari menarik-narik ujung jas kerja saya di depan lemari kacanya berisi mainannya dan Alinskie. Dua bayi saya yang kami bertiga perjuangkan dan tumbuhkan dengan suka duka cita atas harapan yang besar di rumah ini sudah tumbuh menjadi anak sekolah dasar berusia delapan tahun."Ayolah papa jawab, aku maksa ini." desak Alinka keras kepala. Saya mendesah, batal berangkat ke kantor dengan tertib dan memilih berlutut untuk melihat wajah manis, pipi putih dan tidak suka memakai rok atau dress, dia benci katanya tidak keren seperti kakak-kakaknya juga ampuh memberi contoh baju keren cowok ganteng ibu kota."Anna dan Elsa bukan di London sayang, tapi di Norwegia dan Irlandia. Kita tidak bisa ke sana, kamu belum libur sekolah." kata saya menasihati, tapi tepat seperti yang saya duga ini bukan jawaban yang tepat. Mawar berduriku menjerit, memanggi
Saya merenung, meyakini diri sekuat mungkin dengan apa terjadi di dalam sana bahwa Anna memang berbicara dari hati ke hati kepada Farah, mengungkap segalanya yang terpendam dan meyakinkan Farah jika ia mampu menjadi yang terakhir, mengalah dan menjadi ibu sambung yang mumpuni. Saya yakin itu, saya yakin karena kerap kali Anna berkata bahwa ia tidak ingin mengambil lebih dari haknya. Walau sejujurnya dengan amat sangat, banyak ragu yang menyapa silih berganti di dalam dada saya. Saya kalut. Bagaimana jika Farah tiada? Tapi logika berkata, jangan Tuhan, jangan dulu. Jangan sekarang, jangan Tuhan. Dia harus kembali padaku, harus kembali bagaimanapun kondisinya. Saya harus memperbaiki kesalahan ini, saya harus memperbaikinya dulu dan akan saya serahkan perhatian lebih.Saya membenturkan kepala belakang di tembok berkali-kali dengan frustrasi seraya mengusap wajah dan tertunduk.•••Derap langkah sepatu yang tergesa-gesa dari ujung koridor yang senyap membuat saya beranjak dan tertegun me
Dalam keremangan lampu kamar rumah sakit, saya membelai rambut Farah yang terasa kusut dan lembab. Ia masih terlelap seperti tak punya beban apapun. Wajahnya tenang, napasnya teratur, air susu ibu yang seharusnya keluar sebagai insting terkuat seorang ibu menyusui hanya merembes sesekali dan sangat jarang seakan tubuhnya berhenti beroperasi dalam tenang yang menegangkan. "Sepertinya kamu ingin menjadi putri tidur, Fa. Mimpimu bagus?" tanya saya seraya membelai wajahnya. "Kamu mimpi apa? Apa seindah waktu kencan pertama kita di kebun teh Cisarua Bogor? Seindah itu, ah... Kamu membuatku iri jadinya."Saya tersenyum sendiri, entah kenapa ingatan akan masa kencan pertama kami, pendekatan yang lucu itu menggelikan dan menyenangkan."Aku ingat, kamu mengeluh kedinginan dan tidak mau aku peluk. Katamu aku simpanse bonobo yang tidak cukup punya satu pasangan dan kamu yakin itu walaupun kamu mencintaku dengan tulus. Dan kamu tau, itu kata-kata paling kejam yang aku dengar selain buaya darat,
Entah berapa lama waktu yang saya habiskan untuk menunggu Farah di rumah sakit, keadaannya yang belum stabil mengharuskan Farah mendapatkan perawatan intensif yang lebih dari apa yang saya perkirakan."Makan dulu mas." Anna mengusap kedua bahu saya dari belakang seraya mengecup puncak kepala saya. "Semuanya akan membaik mas, percayalah." bisiknya sambil merangkul pundak saya. "Kamu yang kuat, banyak orang yang membutuhkanmu hari ini dan selamanya sampai waktu berhenti."Saya menelengkan kepala untuk mengecup pipinya yang masih terlihat tembam meski Alinka sudah berusia nyaris tiga bulan. "Terima kasih, makanlah lebih dulu Anna." pinta saya, dia mengasihi dua bayi, Alinka dan Alinskie sekarang, selama seminggu kami di rumah sakit. Anna butuh banyak makan, sementara saya, saya tidak tahu kenapa akhir-akhir ini rasanya energi dalam tubuh saya tidak sekuat dan seegois biasanya. Pikiran saya hanya tersita untuk kepulihan Farah.Saya hanya kerja sebentar lalu ke sini, tidur di sofa dan me
Dua bulan kemudian. Saya menuruni anak tangga dengan cepat setelah mendengar Naufal berteriak dari bawah memanggil nama saya dan mengatakan mama-nya menyuruh saya turun."Iya, papa turun. Papa turun sayang." kata saya menggebu-gebu.Naufal berkacak pinggang di depan anak tangga paling bawah. Ia mengerut marah, saya tersenyum kanak-kanak. Aturan main di rumah ini sudah berjalan selama dua bulan setelah saya dengan berani dan bertanggung jawab mengatakan pada semua keluarga, rekan bisnis, teman nongkrong, dan media jika saya memiliki dua istri dan bayi mungil. Meski sempat terjadi gonjang-ganjing gosip yang makin lama di gosok makin sip saya percaya waktu akan menjawab semua getir dan getar yang ada. "Papa tadi baru ganti popok adikmu, Fal. Maaf lama, adikmu bawel." seloroh saya, Naufal menutup telinganya. Dia sering begitu jika saya membicarakan Alinka, berbeda dengan Kenzo. Oh anakku yang satu itu memang anak pintar, dia menjadi kakak yang baik dan sering tidur bersama Anna karena b