Aku menatap nanar mata ibu di bawah pancaran lampu lima watt di teras rumah. Ibu tersenyum hangat, mengelus-elus kedua lenganku. Menguatkan aku dan mengatakan bahwa ibu sudah biasa sendiri, sudah biasa menelan rindu tak bersua dengan putri satu-satunya.
"Tidak apa-apa, Na! Nanti bisa main lagi kalau liburan."
Liburan tidak ada dikamusku, Bu! Aku kesini karena kabur, benar kata pria disampingku ini. Aku kabur darinya, dia mencariku, meninggalkan keluarganya dan pekerjaannya. Entah ini hal romantis atau kebodohan dari seorang Presdir, aku tidak sanggup menyimpulkan arti dari semua yang telah ia lakukan ini.
Ini salah dan untuk mengurainya aku buntu.
Belum sampai disitu saja kejutan yang pak Ardi berika, kejutan yang kedua adalah ia membelikan sembako untuk ibu dan segala kebutuhan pokok rumah tangga lainnya plus, kompor gas dan gasnya pula. Mungkin pikirnya menanak nasi dan masak menggunakan tungku api itu merepotkan, tapi bagi kami yang hidup dan tum
Senja tidak datang membawa rona merahnya, namun semburat warna ungu yang berpendar di langit Jakarta setelah hujan reda. Sungguh cantik dan anggun seperti perempuan."Sudah sore, pak! Pulang sana." ucapku sambil menggeser pintu yang mengarah ke balkon.Pak Ardi menguap, ia merenggangkan otot-ototnya yang kaku sebelum duduk di ranjang, seulas senyum terlihat dari sudut bibirnya ketika ia mengancingkan kemejanya.Aku memberengut karena sesampainya kami di Jakarta bos besar ini justru menginap di apartemenku, sementara pengawal sialan itu berleha-leha di kamar pak Ardi yang super mewah."Saya mau mandi dulu, Ann! Tapi sepertinya tidak ada bajuku disini, bisakah kamu ambilkan di atas?"Aku menoleh seperti leher burung hantu dengan ekspresi wajah yang sama. Melotot."Aku ini cuma wanita simpananmu, pak! Bukan babu!" sungutku kesal, lagian baru senja lho ini, sayang sekali melewatkannya hanya untuk mengambil potongan baju dari bo
Pak Ardi tampak santai, percaya diri dan sama antusiasnya dengan Kenzo dan Naufal saat aku bertandang ke rumahnya."Terimakasih Tante, ini hadiah ulang tahunku paling sederhana tapi lucu." Kenzo memeluk lipatan kakiku, binar matanya terlihat senang karena aku bisa datang ke ulangtahunnya walau terlambat satu jam lebih."Maafin Tante ya, Jakarta macet!" dustaku sambil terkekeh, padahal aku baru saja meeting dengan Coki di kantor JaffFilm membahas hal-hal yang sempat aku singkirkan kemarin saat mudik. Ternyata setelah aku tinggalkan beberapa hari, semua kerjaan menumpuk jadi gunung, mana Coki senewen lagi."Alasan saja kamu, Ann!" Bu Farah menimpalinya dengan lucu, ia merentangkan tangannya untuk memelukku.Aku mengacak-acak rambut Kenzo sebelum beralih ke Bu Farah. "Nanti main lagi sama tante." Kenzo mengangguk, bergabung dengan teman-temannya lagi untuk bersenda gurau.Aku tersenyum hangat. Maaf seribu maaf hanya bisa aku ucapkan
Aku mengerjap. Mataku otomatis mencari-cari seseorang yang terus mengguncang bahuku, sesekali dalam alam bawah sadarku tadi aku merasakan payudaraku di remas-remas."Astaga!" Aku terkejut bukan main, buru-buru membuka mulutku sendiri saat pak rebahan disampingku, diranjang anaknya yang sempit ini."Diam, jangan buat Kenzo bangun!" bisiknya begitu lirih.Sialan! Aku mengepalkan tanganku dengan kesal, sudah tidur diganggu dan setelah aku mengecek blouseku yang berbahan satin, bagian dadanya terlihat lecek, benar-benar seperti habis diremas-remas, bahkan dua kancing paling atas terlepas."Apa yang bapak lakukan?" Mataku melotot kepadanya.Pak Ardi tersenyum senang. "Just touching slowly."Bangsat! Dia udah curi start disaat aku tak berdaya. Aku mendorongnya sampai terjatuh ke lantai. Pak Ardi mengaduh sakit, ia menggeram pelan.Aku ikut beranjak dengan gerakan pelan agar Ardi kecil ini tidak bangun dan mendapati bapakny
"Aku suka, Tante! Aku suka semua hadiahnya."Kenzo bersorak gembira diantara setumpuk mainan dan pakaian yang berjibun di kamarnya. Ia tertawa sambil bersandar dilenganku. "Terimakasih Tante."Aku ikut tertawa dan mengangguk. Sejak tadi setelah mandi dan makan sore, kami berdua sudah berkutat dengan pembungkus kado, membaca lipatan kertas yang bertuliskan ucapan ulangtahun, lalu tertawa-tawa sambil bercanda.Astaga, aku menyadari bahwa aku semakin menancapkan diriku sendiri kepada keluarga pak Ardi jika begini terus."Jadi apa Tante boleh pulang? Tante masih harus kerja ke kantor." kataku menjelaskan. Bisa ngamuk Coki kalau aku libur lagi, terlebih sejak tadi ia sudah menghubungiku kapan bisa ketemu lagi.Kenzo menggeleng, astaga. Bocah ini ketularan bapaknya. Kecanduan padaku."Tante disini aja, aku kesepian gak ada teman main!" Kenzo cemberut, mengeratkan tangannya di lenganku.Aku menggeleng perlahan, dengan hati-
"Mas Ardi." ulangku, tapi ternyata suaraku terdengar seperti bisikan yang menggoda, bukannya ketus seperti yang aku inginkan.Pak Ardi terkekeh-kekeh. Ia membungkuk untuk mengecupi pelipisku hingga ke rahang dengan spontan. Hingga aku hanya tertegun di pangkuannya."Saya suka panggilan itu. Lakukan lagi, Anna!"Sejujurnya ini hanya sandiwara, aku tak benar-benar menyebutnya dengan panggilan mesra ini. Pikirku, ini hanya sebatas perangai gila yang akan membuatnya jatuh cinta kepadaku."Kenapa, Bu Farah tidak pernah memanggilmu begitu?" Aku menatapnya, membetulkan posisiku agar nyaman duduk di atasnya.Pak Ardi meringis, ia membelai wajahku. "Kamu lupa, Farah pernah memanggilku begitu kalau lagi marah!" jawabnya jujur."Ya, waktu marah kemarin di taman hiburan aku sempat mendengarnya langsung. Memang tidak mesra karena marah, coba kalau enggak. Pasti so sweet, bikin iri!"Pak Ardi mengedik. "Ini bukan oase baru! Memang tidak
Alisku terangkat sinis dan tidak berkata-kata, sementara pak Ardi bersedekap, menatapku dengan pandangan aneh penuh tanda tanya."Apa kamu ingin menghukumku, Anna?"Mataku menyipit. "Untuk apa?" tanyaku ketus, "lagian aku harus menghukum orang kaya dengan cara apa? Yang ada aku rugi sendiri!" Aku mengakhiri ucapanku dengan dengusan pendek.Tawa samar terdengar dari mulut pengawal ini yang memakai kupluk untuk menyembunyikan kepalanya yang plontos. "Kamu pintar, Anna! Aku setuju dengan pilihanmu. Sip, sip." Ia mengacungkan kedua jempolnya yang sebesar jempol kakiku."Aku gak butuh dukunganmu, botak!" tukasku sambil menopang dagu, "lama banget, ya! Terlalu banyak ngegas jadi cepet laper." Aku menghela napas, tidak tahu apa yang harus aku lakukan disini, sementara aku sedang berpura-pura tidak punya ponsel lagi."Itu karena kamu pesannya banyak, Anna! Coba kalau hanya air putih, belum lima menit pun sudah tersaji disini." Pak Ardi merapikan anak
Kepura-puraan ini membuatku tak berdaya, aku tidak bisa santai atau mainan hp. Aku hanya duduk di tepi ranjang, mengayunkan kakiku pelan sambil melihat televisi."Membosankan." gumamku, ingin rebahan tapi pria empat puluhan tahun ini pasti akan melihatku sebagai guling yang empuk dan hangat untuk dipeluk.Tapi beruntunglah aku membawa laptop, aku membukanya, diam-diam memfoto pak Ardi dengan webcam berkali-kali.Mataku beralih kepada pak Ardi.Wajahnya serius, keningnya berkerut. Aku berani memfotonya karena sejak tadi masuk ke kamar ia langsung berkutat dengan pekerjaannya."Kenapa?" tanyaku heran, ia tampak kesulitan dengan pekerjaannya."Oh, Anna! Kemarilah, duduk dipangkuan lagi." pintanya penuh harap. Bibirnya berkerut.Aku menggeleng, ku tepuk-tepuk ranjang. Sekali tebak saja, aku tahu dia mau grepe-grepe. "Lebih empuk disini, daripada disitu, hangat tapi menyebalkan!""Sebentar saja!" Pak Ardi memohon. Aku teta
Karena tak kunjung ngantuk, aku hanya menatap alang-alang palsu yang berada di sampingku, memainkannya sambil membiarkan malam bergerak menuju pagi. "Sepertinya masalah ini juga memberatkan pikiranmu." Pak Ardi memelukku. "Maafkan sikapku tadi!" Tenggorokanku tercekat, aku tidak mengerti harus percaya atau tidak dengan alibinya sekarang. Dia minta maaf secepat ini? tanpa keraguan? Setelah mengatakan bahwa aku ini murahan? Ya, Tuhan. Aku merasa buruk sekali sekarang, merasa hina namun di satu sisi aku merasa spesial menjadi bagian dari hidupnya. Ini konyol and i am like a devil you know? Tapi lihatlah, vila ini mahal, baju-baju yang dia berikan sama sekali bukan merek rendahan. Pak Ardi sudah berusaha, dia sudah menghabiskan banyak uang untukku, menyempatkan waktu untuk bersamaku disela-sela kesibukannya yang padat, yang berarti semua skedul yang ia punya harus di atur lagi setelah affair yang dilakukan ini. Sungguh pasti sekarang s