"Mas Ardi." ulangku, tapi ternyata suaraku terdengar seperti bisikan yang menggoda, bukannya ketus seperti yang aku inginkan.
Pak Ardi terkekeh-kekeh. Ia membungkuk untuk mengecupi pelipisku hingga ke rahang dengan spontan. Hingga aku hanya tertegun di pangkuannya.
"Saya suka panggilan itu. Lakukan lagi, Anna!"
Sejujurnya ini hanya sandiwara, aku tak benar-benar menyebutnya dengan panggilan mesra ini. Pikirku, ini hanya sebatas perangai gila yang akan membuatnya jatuh cinta kepadaku.
"Kenapa, Bu Farah tidak pernah memanggilmu begitu?" Aku menatapnya, membetulkan posisiku agar nyaman duduk di atasnya.
Pak Ardi meringis, ia membelai wajahku. "Kamu lupa, Farah pernah memanggilku begitu kalau lagi marah!" jawabnya jujur.
"Ya, waktu marah kemarin di taman hiburan aku sempat mendengarnya langsung. Memang tidak mesra karena marah, coba kalau enggak. Pasti so sweet, bikin iri!"
Pak Ardi mengedik. "Ini bukan oase baru! Memang tidak
Alisku terangkat sinis dan tidak berkata-kata, sementara pak Ardi bersedekap, menatapku dengan pandangan aneh penuh tanda tanya."Apa kamu ingin menghukumku, Anna?"Mataku menyipit. "Untuk apa?" tanyaku ketus, "lagian aku harus menghukum orang kaya dengan cara apa? Yang ada aku rugi sendiri!" Aku mengakhiri ucapanku dengan dengusan pendek.Tawa samar terdengar dari mulut pengawal ini yang memakai kupluk untuk menyembunyikan kepalanya yang plontos. "Kamu pintar, Anna! Aku setuju dengan pilihanmu. Sip, sip." Ia mengacungkan kedua jempolnya yang sebesar jempol kakiku."Aku gak butuh dukunganmu, botak!" tukasku sambil menopang dagu, "lama banget, ya! Terlalu banyak ngegas jadi cepet laper." Aku menghela napas, tidak tahu apa yang harus aku lakukan disini, sementara aku sedang berpura-pura tidak punya ponsel lagi."Itu karena kamu pesannya banyak, Anna! Coba kalau hanya air putih, belum lima menit pun sudah tersaji disini." Pak Ardi merapikan anak
Kepura-puraan ini membuatku tak berdaya, aku tidak bisa santai atau mainan hp. Aku hanya duduk di tepi ranjang, mengayunkan kakiku pelan sambil melihat televisi."Membosankan." gumamku, ingin rebahan tapi pria empat puluhan tahun ini pasti akan melihatku sebagai guling yang empuk dan hangat untuk dipeluk.Tapi beruntunglah aku membawa laptop, aku membukanya, diam-diam memfoto pak Ardi dengan webcam berkali-kali.Mataku beralih kepada pak Ardi.Wajahnya serius, keningnya berkerut. Aku berani memfotonya karena sejak tadi masuk ke kamar ia langsung berkutat dengan pekerjaannya."Kenapa?" tanyaku heran, ia tampak kesulitan dengan pekerjaannya."Oh, Anna! Kemarilah, duduk dipangkuan lagi." pintanya penuh harap. Bibirnya berkerut.Aku menggeleng, ku tepuk-tepuk ranjang. Sekali tebak saja, aku tahu dia mau grepe-grepe. "Lebih empuk disini, daripada disitu, hangat tapi menyebalkan!""Sebentar saja!" Pak Ardi memohon. Aku teta
Karena tak kunjung ngantuk, aku hanya menatap alang-alang palsu yang berada di sampingku, memainkannya sambil membiarkan malam bergerak menuju pagi. "Sepertinya masalah ini juga memberatkan pikiranmu." Pak Ardi memelukku. "Maafkan sikapku tadi!" Tenggorokanku tercekat, aku tidak mengerti harus percaya atau tidak dengan alibinya sekarang. Dia minta maaf secepat ini? tanpa keraguan? Setelah mengatakan bahwa aku ini murahan? Ya, Tuhan. Aku merasa buruk sekali sekarang, merasa hina namun di satu sisi aku merasa spesial menjadi bagian dari hidupnya. Ini konyol and i am like a devil you know? Tapi lihatlah, vila ini mahal, baju-baju yang dia berikan sama sekali bukan merek rendahan. Pak Ardi sudah berusaha, dia sudah menghabiskan banyak uang untukku, menyempatkan waktu untuk bersamaku disela-sela kesibukannya yang padat, yang berarti semua skedul yang ia punya harus di atur lagi setelah affair yang dilakukan ini. Sungguh pasti sekarang s
Aku mendesah nikmat ketika ia mencicipiku dengan kehangatan mulutnya, saking nikmatnya pinggulku terus bergerak-gerak gelisah menahan kedutan yang akan menerjangku dan membuatku malu, jika aku orgasme hanya dengan isapan mulut di payudaraku.Mulutnya terus menghisap, bergantian dari payudara satunya ke satunya lagi, seolah tidak mau ada yang iri dengan jilatan lidahnya yang menggoda.Aku mencengkeram seprai saat isapan mulutnya semakin menggoda."Stop... it, please!" Suaraku bergetar, sedikit tersengal-sengal karena isapan mulut pak Ardi begitu menguasai payudaraku.Pak Ardi menengadahkan kepalanya, ia menarikku ke dalam ciuman-ciuman panjang sementara satu tangannya terus menangkup payudaraku. Aku mendesah di mulutnya, mataku mulai menggelap saat gairah mulai membutakan hati nuraniku.Pak Ardi ikut mendesah. Napas kami mulai terengah-engah. Aku melepas ciumanku terlebih dahulu, lalu mengusap bibirku dengan jengkel."Cukup!" bentakku s
"Sudah selesai!"Aku mengerjap-ngerjapkan mataku yang basah, dia memanjakan aku dengan teramat baik dan lembut. Pijatan tangannya membuatku rilex dan lupa ini salah.Aku beranjak dari bathtub, telanjang, basah, dan gak tahu lagi harus bersikap bagaimana. "Aku gak tau harus ngucapin terimakasih atau gak, ini..." aku menghela napas, "aku menikmatinya!" kataku jujur. Mau bagaimanapun aku bukan orang munafik. Pak Ardi cukup pintar menggoda apalagi wajah serta tubuhnya teramat menawan untuk diabaikan barang sekejap saja."Bagus kalau kamu menikmatinya, tapi itu hanya pijatan, Anna! Bukan..." Pak Ardi beranjak, ia menggendongku ke bawah pancuran air shower untuk membilas tubuh bersama. Terpaksa sudah aku melingkarkan tanganku di lehernya dan melingkarkan kakiku di pinggangnya jika tidak mau ambruk dan berakhir di tukang pijat urut.Tangannya menangkup bokongku, menepuk-nepuknya seraya menggesekkan tubuhku yang telanjang di bagian tubuhny
Setibanya di area Jaff Corporations, aku diturunkan nun jauh dari pintu lobi perusahaan."Tega ya!" Aku menutup pintu mobil dengan kencang. Mobil melaju dengan kecepatan pelan menuju area parkiran khusus petinggi perusahaan.Aku menghentakkan kaki dengan kesal. Setelah percintaan tadi pagi yang begitu meresahkan, sekarang aku harus jalan kaki dengan rasa nyeri di pangkal pahaku. Sungguh menyedihkan.Tiba di lobi, aku terus berusaha menenangkan seisi pikiranku dan debar jantungku saat ku lihat Bu Farah dan anak-anak ada disini."Hai..." Aku mengusap kepala Kenzo, memaksa senyum agar tak terlihat bersalah."Tante darimana? Aku tadi nyariin Tante ke apartemen gak ada, papa juga." ucap Kenzo dengan rengekan khasnya."Tadi malam Tante nginap di rumah kak Coki, Ken. Lembur kerjaan, ada apa udah cariin Tante aja, kangen ya?" ujarku lagi bersandiwara. Kenzo mengangguk cepat, ia menggandeng tanganku untuk bertemu dengan ibunya
Coki terbahak tak karuan, ia tertawa begitu renyah dan membuatku terus menimpuk punggungnya dengan gulungan majalah."Udah, Cok... udah." pekikku kesal, "kalau gak aku sumpahin kamu gak bisa ngaceng!" ucapku lugas, namun dalam hati aku tak sungguh-sungguh mengatakan sumpah fatalku itu untuknya.Coki membekap mulutku seraya mendelik tajam. "Batalin sumpah lo!" geramnya seolah takut sumpahku di kabulkan Tuhan, padahal aku tidak yakin apa doa pendosa sepertiku bisa di kabulkan dengan cepat, tapi kalau karma aku percaya bisa datang dengan sendirinya tanpa prasangka atau firasat terdahulu terbukti aku kehabisan napas.Ku tepuk-tepuk punggung tangannya seraya memberontak kuat-kuat."Batalin dulu sumpah lo!" ucapnya lagi penuh paksaan. Aku mengangguk cepat. Huh... Coki melepas tangannya yang terasa asin. Huek! Aku meringis. "Takut banget ya?"Coki menghenyakkan tubuhnya di kursi putar. Aku tak bisa berkomentar lagi saat ia melemparku tatapan j
Pintu apartemen terpentang perlahan saat aku mendorongnya dari luar. Aku lelah sekali hari ini, terlebih kegiatan outbound di Kidzona tadi menyita lagi energiku."Darimana kamu?"Aku menghela napas, orang ini menungguku di kamar, di temani seorang wanita paruh baya berdandan seperti seorang pembantu. Sejurus kemudian aku paham dengan situasi ini. Pak Ardi sungguh-sungguh memindahkan aku ke villanya kemarin.Mataku mengedar dengan liar, semua barang-barangku sudah tertata rapi didalam koper dan box besar transparan yang tersusun rapi di pojokan kamar. "Aku capek, bisa tidak aku istirahat dulu?"Aku mencampakkan tas kerjaku dan sepatuku seraya merangkak naik ke ranjang. Tak ada gairah ataupun kerlingan nakal dari pak Ardi yang bersandar di sandaran ranjang. Semudah itu dia kesini dan memiliki kunci apartemenku.Aku memejamkan mataku, aku lelah dan jengah. Pak Ardi mengusap kepalaku. "Kenzo menyusahkanmu sepertinya."Aku mengangguk, cukup
Beberapa menit yang terjadi dalam hidup saya, dalam keadaan terengah-engah Anna mencengkram rambut belakang saya dengan keras. "Kayaknya aku mau melahirkan sekarang mas, kayaknya aku..." Wajahnya mulai mengeras, kakinya mulai terbuka dan saya mendadak pontang-panting dalam hati ingin sekali memintanya lebih lama bertahan lama dalam perjalanan. "Bagaimana pak?" sahut Johan."Usahakan lebih cepat, Han! Jika di tilang polisi tidak masalah. Saya lebih takut jika anak saya lahir di dalam mobil dan di jalan raya, dia akan menjadi pembalap!"Johan tidak menjawab sebab ia langsung menghidupkan lampu hazard di tengah jalan dan membunyikan klakson mobil berulang kali. Di belakang, mobil yang membuntuti kami ikut menghidupkan lampu hazard—lampu darurat—, tak ayal kejadian itu membuat beberapa pengguna jalan lain melihat ke arah mobil kami di tengah kemacetan."Istri saya mau melahirkan, tolong beri jalan!" teriak saya dari jendela mobil. "Tolong bapak, ibu, kakak... Anna sudah bukaan lima–aaaw
"Honeymoon, are you sure?" omel Anna sembari berkacak pinggang. Saya mengangguk sambil merapatkan jaket, lama-lama dingin ternyata."Han, tutup semua pintu dan pergilah bersama kuncinya!""Whyyyyy...." teriak Anna dengan panik, "Mas, kamu makin lama malah makin mirip penjahat ya. Han, Han. Jangan..." Anna mendekap tubuh Johan dengan spontan. "Han, delapan tahun kita berusaha menjadi partner kerja dan keluarga yang baik. Tolong dong kali ini aja kamu membantah bos kita! Gak bisa apa sedikit aja membangkang." rengek Anna dengan lucu.Johan menatap saya dengan takut-takut. "Maaf bapak, ini bukan salah saya." katanya sambil berusaha melepas tangan Anna yang tetap kekeh menahannya di dapur.Saya beranjak sembari mengulum senyum. "Lepaskan Johan, Anna. Ada saya yang bisa kamu peluk seperti itu. Jangan dia, dia tidak akan tergoda dengan omelanmu apalagi rayuanmu!" kata saya mengingatkan.Saya hendak meraih rambutnya yang panjang dan pirang keemasan, namun secepat yang saya duga, Anna mengh
Desember, Musim dingin yang sangat menyejukkan kulit, hati, jiwa tapi tidak dengan isi kepala.Kami sekeluarga bersama rekan seperjuangan meninggalkan musim hujan bulan Desember di tanah air demi menuruti Alinka pergi ke London untuk melihat salju turun dan bisa menjadi keluarga ‘dingin’ dengan kualitas sekian. Saya termenung di depan pemanas ruangan, mendengar obrolan anak muda di belakang saya yang sedang seru-serunya bermain kartu. Naufal membawa pacarnya yang berambut cokelat tua panjang, anak pejabat negara yang kapan hari bapaknya menemui saya untuk mengajak kolaborasi bisnis dan mencocokkan anak kami berdua. Saya tidak tahu jodoh Naufal nantinya siapa, jadi saya cuma bisa senyum-senyum sambil mengambil tawaran pertama saja. Kolaborasi bisnis biar enakan hidup saya, urusan itu kan bisa di atur, kalau jodoh anak saya tidak.Kenzo membawa sahabatnya, laki-laki, tukang nge-game. Saya heran, dulu saya tidak nge-game, tapi anak saya yang satu itu sangat menyukai permainan. Entah y
Tina memasang muka datarnya setelah bunyi bell berdentang berkali-kali. Parasnya yang semakin berusia dan jompo, dia menyebutkan begitu karena tidak bisa lagi memakai hak tinggi menatap saya dengan wajah jengkel."Masuk aja kali..." ucapnya dengan suara malas di mic rapat yang tertempel di meja kerja, suara itu akan terdengar di louds speaker di depan ruangan saya. Seseorang di luar saya yang pasti adalah keluargaku—bel itu bel khusus private family—mendorong pintu. Seorang wanita dengan anggun melangkah sembari menggandeng tangan anak laki-lakinya yang berekspresi cemberut. Saya menaruh pulpen di meja seraya beranjak. Menyambut keduanya dengan pelukan. "Sebelum kita makan siang, ada yang perlu kamu urus, mas."Apa?Anna merogoh tas kerjanya yang besar, mobil derek mainan Alinskie rusak, dereknya copot dan gigi Sir Tow Mater nama karakter di film kartun itu rompel. Saya menerima mainan yang nyaris pasti akan menjadi rosokan ini dengan wajah ternganga. "Harus aku apakan ini sayang?
"London, papa. London, aku ingin ke sana. Aku ingin menikmati musim dingin di sana, aku ingin main salju seperti Elsa dan Anna, papa." seru Alinka sembari menarik-narik ujung jas kerja saya di depan lemari kacanya berisi mainannya dan Alinskie. Dua bayi saya yang kami bertiga perjuangkan dan tumbuhkan dengan suka duka cita atas harapan yang besar di rumah ini sudah tumbuh menjadi anak sekolah dasar berusia delapan tahun."Ayolah papa jawab, aku maksa ini." desak Alinka keras kepala. Saya mendesah, batal berangkat ke kantor dengan tertib dan memilih berlutut untuk melihat wajah manis, pipi putih dan tidak suka memakai rok atau dress, dia benci katanya tidak keren seperti kakak-kakaknya juga ampuh memberi contoh baju keren cowok ganteng ibu kota."Anna dan Elsa bukan di London sayang, tapi di Norwegia dan Irlandia. Kita tidak bisa ke sana, kamu belum libur sekolah." kata saya menasihati, tapi tepat seperti yang saya duga ini bukan jawaban yang tepat. Mawar berduriku menjerit, memanggi
Saya merenung, meyakini diri sekuat mungkin dengan apa terjadi di dalam sana bahwa Anna memang berbicara dari hati ke hati kepada Farah, mengungkap segalanya yang terpendam dan meyakinkan Farah jika ia mampu menjadi yang terakhir, mengalah dan menjadi ibu sambung yang mumpuni. Saya yakin itu, saya yakin karena kerap kali Anna berkata bahwa ia tidak ingin mengambil lebih dari haknya. Walau sejujurnya dengan amat sangat, banyak ragu yang menyapa silih berganti di dalam dada saya. Saya kalut. Bagaimana jika Farah tiada? Tapi logika berkata, jangan Tuhan, jangan dulu. Jangan sekarang, jangan Tuhan. Dia harus kembali padaku, harus kembali bagaimanapun kondisinya. Saya harus memperbaiki kesalahan ini, saya harus memperbaikinya dulu dan akan saya serahkan perhatian lebih.Saya membenturkan kepala belakang di tembok berkali-kali dengan frustrasi seraya mengusap wajah dan tertunduk.•••Derap langkah sepatu yang tergesa-gesa dari ujung koridor yang senyap membuat saya beranjak dan tertegun me
Dalam keremangan lampu kamar rumah sakit, saya membelai rambut Farah yang terasa kusut dan lembab. Ia masih terlelap seperti tak punya beban apapun. Wajahnya tenang, napasnya teratur, air susu ibu yang seharusnya keluar sebagai insting terkuat seorang ibu menyusui hanya merembes sesekali dan sangat jarang seakan tubuhnya berhenti beroperasi dalam tenang yang menegangkan. "Sepertinya kamu ingin menjadi putri tidur, Fa. Mimpimu bagus?" tanya saya seraya membelai wajahnya. "Kamu mimpi apa? Apa seindah waktu kencan pertama kita di kebun teh Cisarua Bogor? Seindah itu, ah... Kamu membuatku iri jadinya."Saya tersenyum sendiri, entah kenapa ingatan akan masa kencan pertama kami, pendekatan yang lucu itu menggelikan dan menyenangkan."Aku ingat, kamu mengeluh kedinginan dan tidak mau aku peluk. Katamu aku simpanse bonobo yang tidak cukup punya satu pasangan dan kamu yakin itu walaupun kamu mencintaku dengan tulus. Dan kamu tau, itu kata-kata paling kejam yang aku dengar selain buaya darat,
Entah berapa lama waktu yang saya habiskan untuk menunggu Farah di rumah sakit, keadaannya yang belum stabil mengharuskan Farah mendapatkan perawatan intensif yang lebih dari apa yang saya perkirakan."Makan dulu mas." Anna mengusap kedua bahu saya dari belakang seraya mengecup puncak kepala saya. "Semuanya akan membaik mas, percayalah." bisiknya sambil merangkul pundak saya. "Kamu yang kuat, banyak orang yang membutuhkanmu hari ini dan selamanya sampai waktu berhenti."Saya menelengkan kepala untuk mengecup pipinya yang masih terlihat tembam meski Alinka sudah berusia nyaris tiga bulan. "Terima kasih, makanlah lebih dulu Anna." pinta saya, dia mengasihi dua bayi, Alinka dan Alinskie sekarang, selama seminggu kami di rumah sakit. Anna butuh banyak makan, sementara saya, saya tidak tahu kenapa akhir-akhir ini rasanya energi dalam tubuh saya tidak sekuat dan seegois biasanya. Pikiran saya hanya tersita untuk kepulihan Farah.Saya hanya kerja sebentar lalu ke sini, tidur di sofa dan me
Dua bulan kemudian. Saya menuruni anak tangga dengan cepat setelah mendengar Naufal berteriak dari bawah memanggil nama saya dan mengatakan mama-nya menyuruh saya turun."Iya, papa turun. Papa turun sayang." kata saya menggebu-gebu.Naufal berkacak pinggang di depan anak tangga paling bawah. Ia mengerut marah, saya tersenyum kanak-kanak. Aturan main di rumah ini sudah berjalan selama dua bulan setelah saya dengan berani dan bertanggung jawab mengatakan pada semua keluarga, rekan bisnis, teman nongkrong, dan media jika saya memiliki dua istri dan bayi mungil. Meski sempat terjadi gonjang-ganjing gosip yang makin lama di gosok makin sip saya percaya waktu akan menjawab semua getir dan getar yang ada. "Papa tadi baru ganti popok adikmu, Fal. Maaf lama, adikmu bawel." seloroh saya, Naufal menutup telinganya. Dia sering begitu jika saya membicarakan Alinka, berbeda dengan Kenzo. Oh anakku yang satu itu memang anak pintar, dia menjadi kakak yang baik dan sering tidur bersama Anna karena b