Sebenarnya tanpa perlu dipanggil, teriakan Pandu sudah cukup untuk menarik si manajer keluar. Manajer toko ini adalah seorang pria paruh baya berusia 40-an tahun. Dengan satu lambaian tangannya, seluruh karyawan toko bergegas menghampirinya."Siapa bocah itu? Berani sekali membuat keributan di toko kita!" tanya manajer itu dengan murka.Begitu melihatnya, Pandu seolah-olah menemukan penyelamat. Dia mengancam, "Lepaskan aku! Kalau nggak, kamu akan menanggung akibat yang sangat fatal hari ini!"Tirta tidak menghiraukan Pandu. Dia menatap manajer itu dan berkata, "Bukan aku yang membuat keributan, tapi karyawanmu yang kurang ajar.""Serius?" tanya manajer itu sambil menatap Pandu dengan alis berkerut."Jangan percaya padanya! Dia cuma bicara omong kosong! Dia jelas-jelas nggak sanggup membeli baju-baju di sini, tapi masih mau mencobanya! Makanya, aku mengusirnya!" jelas Pandu."Dik, bagaimanapun, kamu yang menggunakan kekerasan duluan. Aku nggak peduli kamu datang untuk membeli baju atau
"Dasar bodoh! Gimana bisa perusahaan kita merekrut orang sebodoh kamu! Kamu dipecat! Bawa barang-barangmu pergi sekarang!" hardik manajer itu."Pak, tolong jangan pecat aku! Keluargaku butuh uang untuk pindah rumah!" pinta Pandu dengan patuh. Dia tidak berani bersikap semena-mena lagi."Kamu masih ingin bekerja setelah menyinggung tamu Bu Irene? Jangan harap! Angkat kakimu dari sini!" pekik manajer itu."Pak, setidaknya tolong bayar gajiku," mohon Pandu dengan ekspresi getir."Cih! Lebih baik kamu cepat pergi atau aku akan menyuruh satpam menyeretmu!" Manajer itu tidak tahan lagi sehingga menendang Pandu."Semua ini gara-gara kamu! Tunggu saja pembalasanku!" Karena masalah sudah seperti ini, Pandu hanya bisa memelototi Tirta dan pergi dengan enggan."Kalau kamu nggak meremehkanku, mana mungkin hasilnya akan seperti ini?" ejek Tirta sambil tersenyum sinis."Bu Irene, apa kamu puas dengan hasil seperti ini?" tanya manajer itu sambil tersenyum canggung."Kalau Tirta puas, berarti aku puas
Tirta tidak tahu bahwa Pandu membuntutinya. Setelah masuk ke showroom, seorang staf wanita berambut panjang dengan postur tubuh yang indah menyambut mereka dengan ramah. "Halo, mau cari mobil apa?"Usia staf wanita ini sekitar 20-an tahun. Kulitnya putih dan mulus, tubuhnya diliputi aroma parfum yang wangi. Kesan yang diberikannya sangatlah bagus."Kak, kenapa mobil yang mau kubeli nggak ada di sini?" tanya Tirta dengan heran setelah mengamati ke sekeliling."Apa aku boleh tahu mobil apa?" tanya staf wanita bernama Cleo itu dengan sabar. Dia bisa menilai bahwa Tirta bukan orang biasa sehingga tidak berani menyinggungnya. Dengan kata lain, asalkan bersikap baik, dia mungkin akan berhasil menjual mobil mahal hari ini."Kami mau Mercedes-Benz Maybach," sahut Irene karena Tirta tidak tahu nama mobil itu.Cleo cukup terkejut mendengarnya. Dia bertanya, "Kalian serius?"Cleo tentu tahu aturan penjualan mobil. Komisi yang akan diperolehnya untuk penjualan mobil ini sangat besar. Tirta bukan h
Tirta seketika memahami apa yang terjadi. Dia lupa menyeka bibirnya setelah menjilat kemaluan Cleo tadi. Dia segera menjilat bibirnya dan membalas, "Bukan apa-apa, tapi aku haus sekali.""Eh, maaf sekali, Pak. Aku ambilkan air untukmu, ya?" tawar Cleo yang merapikan pakaiannya dengan agak canggung."Nggak perlu lagi. Ayo, kita pergi makan." Irene tidak berpikir terlalu jauh. Dia mengambil kunci dari tangan Cleo, lalu membawa mobil itu keluar. Irene sudah membayar dan mengurus semua prosedur. Mobil ini tentu atas nama Tirta."Oke." Kebetulan, Tirta merasa lapar setelah melakukannya dengan Cleo. Jadi, dia langsung naik ke mobil.Ketika melihat keduanya akan pergi, Cleo bertanya, "Pak, Bu, kalian akan langsung pergi? Kami bisa membuat perayaan kecil untuk kalian.""Nggak perlu serepot itu. Kami masih punya urusan lain," tolak Irene langsung."Baiklah. Pak, apa aku boleh meminta nomor ponselmu? Kalau ada masalah pada mobil ini atau ada yang nggak dimengerti, kamu boleh mencariku kapan saja
Irene tentu bisa mengenali Pandu. Dia tahu Pandu yang mencari masalah dengan Tirta di toko tadi."Kami mau mencari keponakan kami. Aku bibinya. Meskipun kamu berstatus tinggi, kurang pantas untuk ikut campur urusan keluarga kami, 'kan?" jelas Elvi sambil berkacak pinggang."Kamu bibi Tirta?" Irene tak kuasa mengernyit. Dia tidak merasa penampilan Elvi ini seperti ingin menemui keponakannya."Kenapa mencariku?" tanya Tirta dengan tidak acuh."Aku bibimu. Masa kamu nggak menyapa seniormu? Kami mau pindah rumah dan kurang 2 miliar. Bukan, kurang 4 miliar. Cepat pinjam kami uang. Kami akan bayar setelah punya uang," sahut Elvi dengan lantang."Nggak mau," tolak Tirta langsung."Kamu bisa membeli mobil semahal ini, tapi nggak mau pinjam kami uang?" bentak Elvi yang mulai geram. Dia tentu tahu semahal apa mobil ini. Itu sebabnya, dia merasa sangat iri sekarang. Dia ingin sekali menarik pintu mobil dan menarik Tirta keluar."Apa hubungannya aku kaya dengan kalian? Kenapa aku harus meminjamkan
Irene membawa Tirta ke restoran bintang 5. Setelah memesan makanan, Irene bertanya, "Tirta, kedua orang tadi benaran kerabatmu? Kenapa mereka lebih mirip penagih utang? Apa aku perlu mencari orang untuk memberi mereka pelajaran?""Nggak perlu. Kalau mereka cari masalah lagi, aku akan memberi mereka pelajaran sendiri," timpal Tirta sambil menggeleng."Baiklah, beri tahu saja aku kalau butuh bantuan," ujar Irene yang mengangguk. Tiba-tiba, ponselnya berdering. Setelah menjawab panggilan, dia berkata kepada Tirta, "Aku sudah mengatur orang dan menyiapkan bahan untuk bangun rumah. Mereka akan ke desamu besok.""Ini nomor teleponnya. Kemudian, simpan kartu bank ini baik-baik. Isinya 100 miliar. Mobil dan biaya bangun rumah sudah kubayar semuanya," ujar Irene sambil menyerahkan sebuah kartu bank.Tirta menyimpan nomor telepon yang diberikan Irene dan menerima kartu itu, lalu bertanya dengan heran, "Kak, kenapa kamu sebaik ini padaku?"Tidak ada yang gratis di dunia ini. Sikap Irene terhadapn
Tirta tentu ingin meniduri Irene. Begitu mendengar syarat Irene, Tirta akhirnya memahami semuanya. Dia langsung mendekapkan Irene ke pelukannya. Tubuh yang hangat membuat Tirta menjadi makin bergairah. Dia mencium aroma tubuh Irene yang wangi."Kak, bukannya permintaanmu ini kurang realistis?" ejek Tirta."Jangan bertele-tele, katakan saja kamu mau atau nggak?" balas Irene dengan wajah tersipu dan mencoba bangkit dari tubuh Tirta.Tirta hanya jual mahal. Dia terkekeh-kekeh sambil memeluk Irene dengan erat, lalu bertanya, "Kak, kamu bisa mengajariku cara menyetir sambil bercinta denganku nggak?""Hah? Memangnya bisa? Kamu ini psikopat, ya?" Ekspresi Irene seketika menjadi aneh. Dia tidak sanggup membayangkan adegan semacam itu."Tentu saja bisa. Aku duduk di bawah, kamu duduk di atas. Kita cari tempat yang nggak ada orang," sahut Tirta yang mulai dipenuhi penantian. Belakangan ini, dia jadi suka bercinta di mobil.Meskipun ruang di mobil agak sempit, suasananya sangat romantis. Apalagi
Tirta sudah bisa membayangkan adegan selanjutnya. Dia akan mengemudi dengan baik nanti. Memegang kemudi dengan erat dan menginjak pedal gas sekuat tenaga sampai mesin panas dan berdengung!"Ka ... kamu mundur sedikit. Aku nggak berani duduk di atasnya," ujar Irene sambil mundur saat melihat celana Tirta yang menggembung."Apa perlu setakut ini? Tenanglah. Ayo, cepat naik." Tirta terkekeh-kekeh melihat tingkah Irene yang malu-malu begini.Irene tetap tidak berani. Akan tetapi, Tirta yang sudah tidak sabar langsung menariknya masuk dan mendekapkannya ke pelukan."Kalau takut, jangan dilihat. Kamu hanya perlu mengajariku cara menyetir. Sisanya serahkan saja kepadaku," ucap Tirta. Kemudian, pintu mobil ditutup.Tangan Tirta melewati pinggang Irene dan memegang kemudi dengan kuat. Irene berkata, "Baiklah. Tanganmu jangan bergerak, biar kupegang. Lihat gimana aku menginjak pedal gas. Sebelum mulai, kuajari dulu cara maju dan mundur."Sekujur tubuh Irene menjadi panas karena Tirta, napasnya j
Kemudian, Ayu kembali sibuk di dapur. Agatha keluar dari klinik, lalu bertanya kepada Tirta, "Tirta, Bibi Ayu bilang apa denganmu? Kenapa kalian kelihatan misterius?"Tirta menjawab dengan tenang, "Nggak apa-apa. Bibi Ayu tanya kenapa Kak Nia tiba-tiba tinggal di klinik.""Oh. Kamu cepat lihat dulu, nanti malam Kak Nia tidur di mana?" timpal Agatha. Dia menarik Tirta masuk ke klinik, lalu melanjutkan dengan ekspresi khawatir, "Selain itu, kita bertiga ... kita tidur di mana? Nggak ada tempat lagi."Nia yang berdiri di depan pintu klinik berujar dengan canggung, "Tirta, apa aku merepotkan kalian? Kalau nggak, aku tinggal di hotel saja."Tirta menepuk dadanya sambil menjamin, "Nggak usah, Kak Nia. Aku sudah atur semuanya. Klinik ini cukup untuk ditempati kita semua.""Kalau begitu, kamu lakukan akupunktur pada Kak Nia. Aku lihat Bibi Ayu butuh bantuan atau nggak," ucap Agatha. Selesai bicara, dia masuk ke dapur.Tirta menutup pintu klinik, lalu mengambil jarum dan berkata kepada Nia, "Ka
Tirta memang kuat. Kalau tidak, dia juga tidak bisa mengancam Agatha. Melihat Agatha sudah setuju, Tirta langsung mengangguk dan berujar, "Kak Agatha, kamu tenang saja. Aku pasti akan membereskan Susanti dan nggak akan membuatmu merasa nggak nyaman."Agatha mendengus, lalu membalas sembari memelototi Tirta, "Cuma kali ini, ya. Ke depannya aku nggak mau melakukannya bersama Susanti."Agatha melepaskan dirinya dari pelukan Tirta, lalu berjalan ke mobil terlebih dahulu. Tirta yang merasa puas segera mengikuti Agatha kembali ke mobil.Nia bertanya, "Agatha, apa perutmu masih sakit?"Agatha berusaha tenang saat menjawab, "Nggak, Kak Nia. Setelah kita kembali, suruh Tirta lakukan akupunktur padamu untuk menyembuhkan sesak napasmu."Nia menyahut seraya mengangguk, "Oke."....Setengah jam kemudian, mereka kembali ke klinik. Kala ini, Ayu, Melati, dan Arum sedang sibuk di dapur. Ayu penasaran ketika melihat Nia juga turun dari mobil dan membawa banyak keperluan sehari-hari.Ayu menarik Tirta k
Tirta langsung berbicara terus terang. Sebelum dia melanjutkan perkataannya, Agatha mencebik dan berujar, "Tirta, kamu memang berengsek! Kamu nggak pernah tiduri aku di klinik. Kamu lebih suka tiduri Susanti atau aku?"Tirta menyahut, "Tentu saja aku lebih suka tiduri kamu. Dadamu lebih besar, bokongmu lebih montok, kakimu ramping, kulitmu mulus, sifatmu juga baik ...."Dalam situasi seperti ini, tentu saja Tirta tahu siapa yang lebih baik. Dia terus memuji Agatha.Agatha memutar bola matanya, tetapi dia tidak terlalu marah lagi. Agatha menyela, "Cukup, kamu itu munafik. Jelas-jelas punya Susanti hampir sama denganku, kamu terlalu berlebihan."Agatha bertanya, "Jadi, apa semua ini ada hubungannya dengan keinginanmu?"Tirta mengusap tangannya seraya menjawab, "Tentu saja ada. Bukannya malam ini Kak Agatha mau tinggal di klinik? Susanti juga pulang ke klinik, kalian ....""Tunggu!" sergah Agatha. Dia merasa ada yang tidak beres. Agatha menegaskan, "Malam ini aku nggak mau tinggal di klin
Tirta menegaskan, "Bu, sudah kubilang kamu nggak usah sungkan. Kebetulan aku ada di sini, jadi aku bisa menyelamatkan anakmu. Untuk urusan bisnis, semuanya tetap harus diperhitungkan dengan jelas. Kalau aku kurang bayar 1 miliar, takutnya kamu nggak dapat keuntungan. Kalau kamu nggak mau terima, aku nggak beli lagi."Bos toko bersikeras berkata, "Jangan begitu. Aku juga nggak marah biarpun kamu nggak beli. Aku cuma punya 1 anak, dia lebih berharga dari nyawaku. Kamu menyelamatkan anakku dan memesan begitu banyak bibit pohon buah dariku. Aku sangat berterima kasih padamu, mana mungkin aku membiarkan kamu menghabiskan begitu banyak uang?"Bos toko menambahkan, "Lagi pula, setelah kamu bayar 3 miliar, aku sudah bisa dapatkan keuntungan 1 miliar lebih. Aku nggak rugi."Tirta terpaksa menanyakan pendapat Agatha dan Nia, "Kak Agatha, Kak Nia, bagaimana menurut kalian?"Agatha bertatapan dengan Nia, lalu menyahut sembari tersenyum, "Tirta, bos mau berterima kasih padamu dan kita memang kekura
Tirta berpikir sejenak, lalu tersenyum licik dan berucap, "Kalau kamu benar-benar merasa bersalah, kamu kabulkan satu keinginanku saja. Anggap sebagai kompensasi."Agatha segera mengangguk seraya menyahut, "Apa keinginanmu? Kamu bilang saja. Asalkan aku bisa melakukannya, aku pasti kabulkan keinginanmu."Tirta mengedipkan matanya, lalu menimpali, "Nanti kita baru bicarakan di mobil. Sekarang kita bicarakan masalah bibit pohon buah dengan bos toko dulu.""Oh. Kalau begitu, nanti kita baru bicarakan di mobil," balas Agatha. Dia merasa Tirta berniat jahat, tetapi dia tidak keberatan.Anak bos toko sudah tertidur setelah minum susu. Bos toko keluar dari kamar. Dia membawa sepiring buah yang sudah dicuci.Bos toko berujar, "Kalian sudah menunggu lama. Istirahat dulu dan makan buah.""Terima kasih, Bu," sahut Tirta. Dia tidak sungkan lagi dan langsung duduk di bangku. Tirta mengambil buah pir dan memakannya.Agatha dan Nia juga mengambil buah, lalu duduk di samping Tirta sambil memakan buahn
"Aduh, maaf ... aku ...," ucap bos toko. Dia baru tersadar. Bos toko segera merapikan pakaiannya dengan ekspresi malu.Bos toko berniat mengambil tisu untuk menyeka punggung Tirta, tetapi dia mengkhawatirkan keselamatan anaknya. Dia merasa bersalah dan juga ragu. Bos toko berputar-putar di tempat.Agatha segera mengambil tisu di mobil, lalu berujar, "Tirta, biar aku yang menyeka punggungmu."Agatha merasa bersalah karena tadi dia salah paham kepada Tirta. Dia menyeka punggung Tirta.Tirta sedang sibuk menyelamatkan anak itu sehingga tidak menanggapi ucapan Agatha. Setelah ditepuk-tepuk Tirta beberapa saat, anak itu memuntahkan potongan buah. Kemudian, kondisinya perlahan menjadi normal kembali.Tirta baru mengembuskan napas lega. Dia menyerahkan anak itu kepada bos dan berpesan, "Bu, sekarang anakmu baik-baik saja. Dia masih terlalu kecil, nggak bisa konsumsi makanan yang terlalu keras. Ingat, ke depannya jangan beri dia makanan yang keras lagi supaya kejadian begini nggak terulang."B
Dada wanita itu pun terlihat. Masalahnya, anak itu tetap menangis meski telah diberi susu. Sepertinya tidak tampak tanda-tanda tangisannya akan mereda.Tirta melihat anak itu. Dia baru menyadari ada yang tidak beres. Ternyata, ada potongan buah yang tersangkut di tenggorokan anak itu.Alhasil, anak itu kesulitan bernapas. Itulah sebabnya dia tidak berhenti menangis. Jika tidak segera ditangani, nyawa anak itu akan terancam.Saat Tirta hendak meminta bos toko untuk menyerahkan anaknya, tiba-tiba Agatha mencubit pinggangnya dan menegur, "Tirta, apa yang kamu lihat? Bos itu lagi menyusui anaknya! Cepat kembali ke mobil!"Agatha berbicara sambil mendorong Tirta ke mobil. Dia merasa Tirta makin keterlaluan. Bisa-bisanya dia diam-diam melihat wanita yang sedang menyusui anaknya!Tirta yang hendak keluar dari mobil buru-buru menjelaskan, "Bukan ... Kak Agatha, kamu salah paham. Aku nggak diam-diam melihat bos itu. Aku lagi lihat anaknya. Dia bukan lapar, tapi ada makanan yang tersangkut di te
Tirta yang berdiri di luar kamar pas bergumam setelah mendengar percakapan Agatha dan Nia, "Aneh, apa setiap wanita yang dadanya kecil berharap dadanya membesar?"Tirta berpikir ukuran dada wanita sama pentingnya dengan ukuran alat kelamin pria. Tentu saja pria tidak ingin mempunyai alat kelamin yang kecil. Bahkan, Agus meminta resep kepada Tirta untuk memperbesar alat kelaminnya.Tirta membatin, 'Nanti waktu melakukan akupunktur pada Kak Nia, aku sekalian bantu Kak Nia perbesar ukuran dadanya.'Tak lama kemudian, Agatha dan Nia keluar dari kamar pas. Agatha menunjukkan pakaian dalam renda yang seksi kepada Tirta, lalu berujar sembari mengerjap, "Tirta, aku sudah selesai pilih. Ukurannya sudah pas, kamu langsung bayar. Malam ini aku nggak pulang lagi."Nia paham maksud Agatha. Dia langsung bergeser ke samping. Sementara itu, Tirta berdeham dan menyahut, "Oke. Aku bayar sekarang."Namun, Tirta merasa khawatir. Malam ini Susanti kembali ke klinik. Pasti akan terjadi keributan lagi. Nanti
Susanti melihat Harto dan lainnya dengan ekspresi dingin. Niko menyahut, "Oke, Bu Susanti!"Kemudian, Niko memerintah bawahan untuk menangkap Harto dan lainnya. Susanti menghampiri Agatha dan Nia, lalu bertanya, "Bu Agatha, Bu Nia, apa kalian disakiti?""Nggak. Tapi, kalau nggak ada Tirta, kami pasti celaka," sahut Agatha yang masih merasa takut.Susanti mengeluarkan pena dan catatan, lalu mencari tahu seluk-beluk kejadiannya. Dia berkata, "Yang penting kalian baik-baik saja. Aku butuh pengakuan kalian. Waktu mengurus kasus, aku butuh ...."Setelah selesai bertanya kepada Agatha dan Nia, Susanti berpamitan dengan Tirta dan buru-buru pergi. Sudah jelas Susanti makin sibuk sejak Mauri dipindahkan. Yang mengejutkan Tirta adalah kali ini Susanti dan Agatha tidak berdebat.Agatha melihat Susanti turun ke lantai bawah, lalu menghampiri Tirta dan merangkul lengannya sembari bertanya, "Tirta, apa yang harus kita lakukan sekarang?"Tirta merangkul pinggang Agatha dan menjawab, "Lanjut beli paka