Irene tentu bisa mengenali Pandu. Dia tahu Pandu yang mencari masalah dengan Tirta di toko tadi."Kami mau mencari keponakan kami. Aku bibinya. Meskipun kamu berstatus tinggi, kurang pantas untuk ikut campur urusan keluarga kami, 'kan?" jelas Elvi sambil berkacak pinggang."Kamu bibi Tirta?" Irene tak kuasa mengernyit. Dia tidak merasa penampilan Elvi ini seperti ingin menemui keponakannya."Kenapa mencariku?" tanya Tirta dengan tidak acuh."Aku bibimu. Masa kamu nggak menyapa seniormu? Kami mau pindah rumah dan kurang 2 miliar. Bukan, kurang 4 miliar. Cepat pinjam kami uang. Kami akan bayar setelah punya uang," sahut Elvi dengan lantang."Nggak mau," tolak Tirta langsung."Kamu bisa membeli mobil semahal ini, tapi nggak mau pinjam kami uang?" bentak Elvi yang mulai geram. Dia tentu tahu semahal apa mobil ini. Itu sebabnya, dia merasa sangat iri sekarang. Dia ingin sekali menarik pintu mobil dan menarik Tirta keluar."Apa hubungannya aku kaya dengan kalian? Kenapa aku harus meminjamkan
Irene membawa Tirta ke restoran bintang 5. Setelah memesan makanan, Irene bertanya, "Tirta, kedua orang tadi benaran kerabatmu? Kenapa mereka lebih mirip penagih utang? Apa aku perlu mencari orang untuk memberi mereka pelajaran?""Nggak perlu. Kalau mereka cari masalah lagi, aku akan memberi mereka pelajaran sendiri," timpal Tirta sambil menggeleng."Baiklah, beri tahu saja aku kalau butuh bantuan," ujar Irene yang mengangguk. Tiba-tiba, ponselnya berdering. Setelah menjawab panggilan, dia berkata kepada Tirta, "Aku sudah mengatur orang dan menyiapkan bahan untuk bangun rumah. Mereka akan ke desamu besok.""Ini nomor teleponnya. Kemudian, simpan kartu bank ini baik-baik. Isinya 100 miliar. Mobil dan biaya bangun rumah sudah kubayar semuanya," ujar Irene sambil menyerahkan sebuah kartu bank.Tirta menyimpan nomor telepon yang diberikan Irene dan menerima kartu itu, lalu bertanya dengan heran, "Kak, kenapa kamu sebaik ini padaku?"Tidak ada yang gratis di dunia ini. Sikap Irene terhadapn
Tirta tentu ingin meniduri Irene. Begitu mendengar syarat Irene, Tirta akhirnya memahami semuanya. Dia langsung mendekapkan Irene ke pelukannya. Tubuh yang hangat membuat Tirta menjadi makin bergairah. Dia mencium aroma tubuh Irene yang wangi."Kak, bukannya permintaanmu ini kurang realistis?" ejek Tirta."Jangan bertele-tele, katakan saja kamu mau atau nggak?" balas Irene dengan wajah tersipu dan mencoba bangkit dari tubuh Tirta.Tirta hanya jual mahal. Dia terkekeh-kekeh sambil memeluk Irene dengan erat, lalu bertanya, "Kak, kamu bisa mengajariku cara menyetir sambil bercinta denganku nggak?""Hah? Memangnya bisa? Kamu ini psikopat, ya?" Ekspresi Irene seketika menjadi aneh. Dia tidak sanggup membayangkan adegan semacam itu."Tentu saja bisa. Aku duduk di bawah, kamu duduk di atas. Kita cari tempat yang nggak ada orang," sahut Tirta yang mulai dipenuhi penantian. Belakangan ini, dia jadi suka bercinta di mobil.Meskipun ruang di mobil agak sempit, suasananya sangat romantis. Apalagi
Tirta sudah bisa membayangkan adegan selanjutnya. Dia akan mengemudi dengan baik nanti. Memegang kemudi dengan erat dan menginjak pedal gas sekuat tenaga sampai mesin panas dan berdengung!"Ka ... kamu mundur sedikit. Aku nggak berani duduk di atasnya," ujar Irene sambil mundur saat melihat celana Tirta yang menggembung."Apa perlu setakut ini? Tenanglah. Ayo, cepat naik." Tirta terkekeh-kekeh melihat tingkah Irene yang malu-malu begini.Irene tetap tidak berani. Akan tetapi, Tirta yang sudah tidak sabar langsung menariknya masuk dan mendekapkannya ke pelukan."Kalau takut, jangan dilihat. Kamu hanya perlu mengajariku cara menyetir. Sisanya serahkan saja kepadaku," ucap Tirta. Kemudian, pintu mobil ditutup.Tangan Tirta melewati pinggang Irene dan memegang kemudi dengan kuat. Irene berkata, "Baiklah. Tanganmu jangan bergerak, biar kupegang. Lihat gimana aku menginjak pedal gas. Sebelum mulai, kuajari dulu cara maju dan mundur."Sekujur tubuh Irene menjadi panas karena Tirta, napasnya j
Mobil melaju dengan liar, sampai-sampai Tirta kesulitan mengendalikan kemudi. Irene segera menghentikan, "Tirta, ini mobil baru! Jangan begitu! Nanti rusak!"Jika Tirta tidak memeluknya dengan erat, Irene mungkin sudah terhempas. Tirta menyahut, "Nggak apa-apa. Mobil ini harus terbiasa dengan kecepatan seperti ini. Ajari aku lagi. Aku rasa aku sudah hampir bisa."Tirta tidak akan berhenti sebelum merasa puas. Irene terus membujuk, "Nggak boleh! Mobil baru nggak boleh dibawa seperti ini! Ayolah, pelankan gasnya!"Irene tidak menyangka Tirta akan segila ini. Semua mobil akan rusak jika dikemudikan Tirta dengan cara seperti ini."Tenang saja, Kak. Mobilnya akan terbiasa nanti. Kamu duduk baik-baik. Aku tahu apa yang harus kulakukan," sahut Tirta.Detik berikutnya, Irene yang mabuk mobil tidak kuat untuk bersuara lagi. Tirta menginjak lagi pedal gas dengan kuat. Alhasil, mesin mobil mati."Sepertinya mobil ini kurang kuat," gumam Tirta. Dia mencoba menginjak lagi, tetapi tidak ada reaksi a
"Apa? Harganya miliaran? Astaga, mobil apa semahal ini? Cepat menyingkir, jangan sampai mobil orang kegores. Mau jual diri pun aku nggak akan bisa ganti rugi!"Mendengar harganya, Betari langsung menyingkir sejauh mungkin."Ya, jauh-jauh dari mobil itu! Sialan, sejak kapan jadi ada banyak sekali orang kaya di sini? Agatha juga dulu mengendarai mobil Maybach. Sekarang muncul satu lagi! Mobil siapa ini? Kenapa berhenti di depan pintu rumah kita?"Agus menelan ludah dengan gugup dan bergerak mundur beberapa langkah. Dia tidak beranggapan bahwa punya kerabat yang sanggup membeli mobil semahal ini.Pada saat ini, Tirta tiba-tiba membuka pintu mobil dan berjalan turun."Pak Agus, apa Kak Nabila ada di rumah?" tanya Tirta."Astaga, bukannya ini Tirta? Mobil ini milikmu?" teriak Agus dengan kaget. Kini penampilan Tirta telah berubah. Bisa dibilang, dia benar-benar keren sekarang. Saat berdiri di samping mobil mewah, Tirta terlihat seperti pria kaya. Betari juga terkejut saat mengenali Tirta. D
"Tirta, kenapa kamu jadi nggak tahu malu sekarang? Aku sudah kesakitan begini, kamu masih menyuruhku menggigitmu!" tolak Nabila seraya meringkukkan badannya."Kak, aku juga menderita!" balas Tirta."Jangan macam-macam, Tirta. Nanti orang tuaku pulang ... nggak baik kalau sampai terlihat mereka!" Nabila bahkan sudah kesulitan untuk berjalan. Dia tidak punya tenaga lagi untuk mendorong Tirta."Sudahlah, Kak. Aku nggak menggodamu lagi. Setelah selesai pijat nanti, aku akan pulang.""Kamu nggak makan dulu di sini?" tanya Nabila buru-buru. Kelihatan jelas dia tidak ingin Tirta pergi. Meski Tirta suka menindasnya, Nabila tetap merasa senang dan rela disiksa oleh Tirta. Tirta juga ingin bersenang-senang dengan Nabila, tetapi masih ada Melati dan Ayu yang menunggunya di rumah.Oleh karena itu, dia hanya mengecup Nabila dan berkata, "Aku nggak makan lagi. Hari sudah malam. Kalau kamu sudah bisa jalan besok, aku akan cari kamu lagi."Nabila juga tidak memaksa Tirta lagi begitu mengingat bahwa Ay
"Bibimu di dalam rumah. Ada masalah apa yang mau kamu bicarakan?" tanya Melati dengan penasaran."Nanti kamu akan tahu," balas Tirta.Akhir-akhir ini, Melati jadi semakin patuh pada Tirta. Dia selalu membiarkan Tirta menyentuh bagian mana pun yang dikehendakinya. "Kak, ayo kita masuk dulu," ajaknya.Setelah masuk ke rumah, Ayu sedang berbaring di ranjang dengan mengantuk. Di meja masih tersedia beberapa lauk yang masih hangat. Jelas sekali mereka belum makan karena menunggu Tirta pulang. Begitu mendengar ada pergerakan, Ayu langsung tersadar. "Tirta sudah pulang ya?"Melihat kekhawatiran Ayu, Tirta jadi merasa tidak nyaman. Dia bersenang-senang di luar sana, tapi malah tidak ingat Ayu sedang menunggunya di rumah."Ini aku, Bibi. Kamu lapar nggak? Kita makan dulu. Kebetulan ada sesuatu yang mau kusampaikan padamu." Tirta memapah Ayu untuk duduk di meja dan menyiapkan peralatan makan."Ada apa?" tanya Ayu dengan bingung."Itu ...." Tirta tidak tahu harus bagaimana menjelaskan agar Ayu bi
Setelah melontarkan sindiran, para tamu tertawa terbahak-bahak. Mereka menganggap Tirta yang berpenampilan biasa sebagai bahan lelucon. Kalau bukan Darwan yang membawa Tirta masuk, mungkin mereka sudah mengusir Tirta.Ayu berucap, "Tirta, kalau tahu banyak orang kaya menghadiri acara ini, seharusnya aku bawa kamu beli baju dulu sebelum datang. Kalau kamu berpakaian rapi, mereka pasti nggak akan mentertawakanmu."Meskipun Ayu merasa kesal dan ingin mengkritik para tamu, dia lebih khawatir Tirta bersedih. Tirta memang merasa tidak senang, tetapi dia tetap tersenyum kepada Ayu dan menanggapi, "Nggak apa-apa, Bibi. Biarkan mereka mentertawakanku. Bagaimanapun, aku dan Bu Bella tetap akan tunangan."Tirta menambahkan, "Selain itu, kita nggak melakukan kesalahan apa pun. Nggak usah pedulikan omongan mereka."Mendengar ucapan Tirta, Darwan makin mengaguminya. Kemudian, dia menyipitkan matanya dan menegur para tamu, "Ini acara penting, aku nggak mungkin menjadikan reputasi putriku sebagai baha
Bahkan, lampu di luar juga dihiasi dengan giok. Semua barang-barang ini menunjukkan kekayaan Keluarga Purnomo yang luar biasa.Kala ini, perasaan Ayu campur aduk. Awalnya, dia mendengar Tirta mengatakan Bella adalah putri konglomerat di ibu kota provinsi.Sebelumnya, Ayu tidak tahu jelas bagaimana kehidupan putri konglomerat. Dia hanya menganggap mereka mempunyai banyak uang.Setelah melihat vila Keluarga Purnomo dan Darwan yang berwibawa, Ayu baru tahu ternyata Keluarga Purnomo memiliki kekayaan yang luar biasa! Orang biasa tidak mungkin bisa mencapai posisi yang telah dicapai Keluarga Purnomo.Tirta adalah anak yatim piatu yang tidak mempunyai sokongan hebat. Dia benar-benar beruntung bisa disukai putri konglomerat seperti Bella dan bertunangan dengannya. Orang biasa tidak mungkin mendapatkan kesempatan seperti ini.Namun, Tirta malah mendapatkannya. Bahkan, Kepala Keluarga Purnomo juga bersikap sungkan kepada Tirta, bukan meremehkannya.Ayu memandangi Tirta sambil membatin, 'Tirta s
Saat Fakhri membawa Tirta dan Ayu masuk ke vila Keluarga Purnomo, seorang bawahan berlari ke aula yang paling luas dan mewah. Dia menghampiri Darwan yang sedang berbincang dengan para tokoh hebat.Bawahan itu melapor, "Pak Darwan, Pak Fakhri sudah membawa Pak Tirta dan Bu Ayu masuk. Apa kamu mau menyambut mereka?"Darwan mengangguk dan menimpali, "Mereka sudah sampai? Oke, aku ke sana sekarang."Darwan berkata kepada para tamu, "Maaf, aku harus pergi sebentar. Aku mau menyambut 2 tamu yang sangat penting. Aku akan segera kembali."Selesai bicara, Darwan merapikan pakaiannya. Dia membawa anggota Keluarga Purnomo untuk menyambut Tirta dan Ayu.Respons Darwan dan anggota Keluarga Purnomo membuat para tamu terkejut. Hal ini karena mereka tidak pernah melihat Darwan begitu menghormati seseorang. Jadi, para tamu langsung berkomentar begitu Darwan dan lainnya pergi."Apa kehebatan tunangan Bu Bella?""Bahkan, Kepala Keluarga Purnomo merendahkan dirinya untuk menyambut pria itu.""Aku nggak ta
"Bella nggak pantas rebutan denganmu," tegas Simon sambil menepuk tangan Camila. Dengan kemampuannya, Simon bisa melakukan hal ini dengan mudah."Terima kasih, Simon. Aku ini wanita yang paling bahagia di dunia karena bisa bersamamu," balas Camila dengan ekspresi gembira. Dia bersandar di bahu Simon.Camila membatin, 'Bella, sekarang Simon ini pacarku. Apa kamu bisa menandingiku? Nantinya kamu akan kupermalukan! Sudah saatnya aku membuat perhitungan atas penderitaan yang kualami selama ini.'....Setelah mobil Simon melaju pergi, Diego menghela napas dan bergumam, "Sialan! Ternyata dia itu cucu kandung Pak Yahsva, untung saja dia meremehkanku. Kalau nggak, aku bukan cuma celakai diri sendiri. Tapi, aku akan mencelakai Keluarga Bazan."Diego melanjutkan, "Ternyata wanita di samping Simon itu saudara sepupu Bella. Sepertinya dia mau membawa Simon untuk mempermalukan Bella. Kalau Simon bisa menakuti tunangan Bella, mungkin aku punya kesempatan untuk mengejar Bella. Aku harus segera pergi
Mendengar ucapan Simon, Diego sama sekali tidak takut. Dia malah menghina Simon, "Apa? Orang sepertimu mau melenyapkan Keluarga Bazan? Bahkan, Keluarga Purnomo yang paling berkuasa di ibu kota provinsi juga nggak berani bicara seperti itu!"Diego melanjutkan, "Kamu memang pandai membual! Kamu lagi mimpi, ya? Apa perlu aku bangunkan kamu?"Camila tidak bisa menahan emosinya lagi. Dia langsung membeberkan identitas Simon. Camila berbicara dengan Diego dengan ekspresi sinis, "Orang kampungan, Simon itu cucu kandung sesepuh dalam dunia pemerintahan, Yahsva Unais! Dia itu penerus dan calon pemimpin Keluarga Unais!"Camila menambahkan, "Keluarga Bazan yang kamu banggakan itu nggak ada apa-apanya bagi Simon. Kalau kamu berani macam-macam lagi, Keluarga Bazan akan didepak dari ibu kota provinsi!""Apa? Dia itu cucu kandung Pak Yahsva? Nggak mungkin! Jangan kira kalian bisa takut-takuti aku!" timpal Diego.Diego menegaskan, "Aku nggak percaya dia itu Simon Unais! Pak Simon tinggal di ibu kota n
Kaki Diego gemetaran saking kagetnya. Setelah tersadar, dia mengepalkan tangannya dengan erat dan berteriak kepada sopir, "Kamu buta, ya? Apa kamu bisa menyetir? Kamu nggak lihat ada orang di depan?"Namun, sopir itu mengabaikan Diego. Dia malah berkata kepada pria dan wanita muda di kursi belakang dengan ekspresi panik, "Tuan Simon, Nona Camila, orang ini yang tiba-tiba keluar dari mobil. Aku nggak sengaja buat kalian kaget ...."Camila menyergah, "Kalau dia tiba-tiba keluar dari mobil, kamu langsung tabrak dia saja! Kalau Simon terluka, kamu nggak akan mampu menebus kesalahanmu!"Camila memang memiliki paras yang cantik dan postur tubuh yang bagus, tetapi ternyata dia sangat galak. Bahkan, dia hanya melirik Diego dengan dingin. Sikapnya benar-benar arogan.Sopir tidak berani melawan. Dia segera berucap sembari menunduk, "Iya, Nona Camila. Aku memang salah. Kalau lain kali ada kejadian seperti ini lagi, aku pasti langsung tabrak orangnya."Sikap Camila langsung berubah begitu melihat
Melihat respons Tirta dan Ayu, Fakhri menanggapi dengan ekspresi terkejut, "Aku kira Pak Tirta sudah tahu. Mungkin Bella nggak beri tahu kalian karena ada alasannya. Nanti setelah sampai di kediaman Keluarga Purnomo, Pak Tirta langsung tanya Bella saja.""Oke. Nanti aku tanya Bu Bella alasannya setelah sampai di kediaman Keluarga Purnomo," timpal Tirta.Sebenarnya Tirta merasa gelisah. Dia bukan tidak ingin bertunangan dengan Bella, tetapi hal ini terlalu mendadak. Jadi, Tirta tidak bisa menerimanya.Bahkan, Tirta berpikir kemungkinan Bella menghadapi masalah sehingga dia buru-buru ingin bertunangan dengannya. Itulah sebabnya Bella tidak memberi tahu Tirta masalah tunangan terlebih dahulu.Sementara itu, Ayu yang mendengar kabar pertunangan Tirta merasa kalut. Dia tidak tahu harus merasa senang atau sedih. Ayu tidak banyak bicara di sepanjang perjalanan.....Tak lama setelah Tirta dan lainnya pergi, mobil Diego yang rusak baru keluar dari jalan tol dengan perlahan. Sepertinya mesin mo
Bella berkata dengan antusias, "Nggak usah. Ayahku sudah utus bawahannya untuk menunggumu di setiap pintu keluar tol. Kamu langsung bilang kamu keluar dari tol mana, biar aku suruh orang untuk jemput kalian."Tirta menyahut, "Bu Bella, aku keluar dari tol di kota bagian timur.""Oke, kamu tunggu sebentar. Kamu cari tempat untuk hentikan mobilmu dulu. Aku segera suruh bawahan jemput kamu," timpal Bella.Selesai bicara, Bella langsung mengakhiri panggilan telepon. Sementara itu, Tirta menghentikan mobilnya di tepi jalan.Beberapa menit kemudian, belasan mobil Rolls-Royce berwarna hitam berhenti di depan mobil Tirta. Sekumpulan mobil mewah ini menarik perhatian orang-orang.Pintu mobil Rolls-Royce yang berada di paling depan dibuka. Seorang pria paruh baya yang parasnya mirip dengan Darwan turun dari mobil. Dia menghampiri Tirta dan bertanya, "Apa kamu ini Pak Tirta?"Tirta turun dari mobil, lalu menyahut seraya tersenyum, "Benar, aku Tirta. Apa kamu diutus Keluarga Purnomo?"Fakhri mempe
Beberapa menit kemudian, mereka sudah sampai di ibu kota provinsi. Tampak banyak gedung tinggi dan jalanan dipadati mobil. Pemandangannya sangat indah.Namun, Ayu tidak berminat untuk menikmati pemandangannya. Dia malah berpesan kepada Tirta dengan ekspresi cemas, "Tirta, lain kali kita abaikan saja kalau menghadapi masalah seperti ini lagi. Anggap saja kita nggak dengar omongan mereka. Aku takut kamu gegabah dan melakukan hal yang akibatnya fatal."Tirta menimpali, "Bibi, aku paham maksudmu. Aku juga nggak ingin memukul orang. Tapi, bukan kita yang cari masalah. Kita juga nggak bisa menghindari masalah yang tiba-tiba muncul."Tirta melanjutkan, "Kalau kita mengalah, orang lain akan merasa kita gampang ditindas. Tindakan mereka juga makin keterlaluan. Bibi, coba kamu pikirkan. Bukannya Elvi dan keluarganya juga begitu?"Tirta meneruskan, "Kita melawan orang yang menindas kita agar ke depannya kita nggak ditindas lagi. Sekarang aku baru paham terkadang kita harus melawan terlebih dulu s