“Ibu berkunjung ke rumah teman.” Bu Welly menjawab seraya memperhatikan Sella.Ia tidak pernah bertemu atau melihat Sella sebelumnya.“Terus sekarang mau kemana? Pulang? Ayo, aku anter.”“Ibu baru sampai kok, tadi ayah kamu nurunin ibu di depan makanya jalan ke sini.”“Mas, ini ibu kamu?” Sella menatap Langit yang tampak ketakutan.“Iya.”“Halo, Tante. Aku temennya Mas Langit.”Mendengar pengakuan Sella rasanya Langit bisa bernapas lega, tapi tatapan penuh curiga tetap tak bisa hilang dari mata wanita paruh baya itu.Karena sudah dipanggil temannya, Bu Welly akhirnya pamit.“Ingat, Sell. Jangan macam-macam!”“Kamu juga harus ingat, Mas. Segera nikahi aku dan penuhi semua kebutuhan aku.” Setelah mengatakan itu Sella masuk ke dalam rumah dan menguncinya dari dalam.“Argh!” Langit mengerang frustasi seraya menjambak rambutnya.Sekarang ia tidak akan bisa tenang karena dampak dari keburukannya menghantui pada saat ia ingin membangun kebahagiaan baru bersama dengan istri dan anak-anaknya.
“Abang, bisa diem nggak. Aku lagi masak ini.” Alin kesal sendiri karena dari tadi Samudra enggan melepaskannya.Lelaki itu memeluk sang istri dari belakang seraya mengusap perut wanita itu dengan lembut.“Yang masak ‘kan tangan kamu. Abang nggak ganggu tangan kamu kok. Cuman meluk doang.”“Abang ah. Lepas atau nanti malam tidur sendiri?”Dengan sebuah ancaman akhirnya Samudra mengalah, ia mundur meski tak rela melepaskan sang istri.“Abang duduk saja, nggak usah ganggu. Nggak usah bantuin, aku mau masak sendiri. Mending mandi sana, harus ngantor ‘kan.”“Libur saja deh hari ini.”Alin langsung mendelik tajam. “Nggak boleh, pemales banget jadi orang. Harus jadi contoh dong buat dedek bayi.”Senyum langsung tersungging di bibir Samudra. “Oke.” Ia pun beranjak, setengah berlari masuk ke dalam kamarnya.Alin terkekeh geli melihat tingkah Samudra. Ia tahu suaminya sangat bahagia dengan kabar ini, makanya Alin juga memutuskan untuk tidak melakukan kegiatan berat. Ia tidak mau kehilangan anak
Kalau di rumah Tania sering merasa melarang Langit untuk melakukan pekerjaan rumah tapi di sini malah sebaliknya. Sella menyuruhnya untuk beberes rumah yang sudah seperti kapal pecah.Butuh waktu berjam-jam untuk membuat semuanya bersih seperti sebelumnya dan itu sangat menguras tenaga. Padahal Langit berpikir jika pulang akan langsung istirahat setelah seharian bekerja apalagi ia baru pulang dari luar kota.Kalau tahu begini tadi Langit mending di rumahnya sendiri, menghabiskan waktu dengan anak-anak.“Mas.” Sella mengguncangkan pundak Langit.Lelaki itu baru saja membaringkan tubuhnya di sofa karena ingin istirahat.“Apa lagi?”“Laper.”“Tinggal makan, nggak usah ganggu aku. Aku capek.” Langit membalikkan tubuhnya membelakangi Sella.“Nggak ada makanan.”“Ya pesen, Sella.”“Kamu bayar ya, uang aku habis.”Langit mengurut pangkal hidungnya yang terasa berdenyut. Padahal Sella diberikan uang untuk satu bulan ini malah dihabiskan satu minggu.“Mas.”“Iya. Pesen sana, jangan ganggu aku!
5 Tahun BerlaluLangit terpaku melihat seorang gadis kecil berdiri tak jauh dari tempatnya. Pandangan gadis itu tertuju pada Keanu yang sibuk menikmati es krim di tangannya.Entah kenapa gadis dengan pakaian lusuh itu menarik perhatiannya."Adek, satu lagi boleh papa minta nggak?"Keanu memegang dua es krim di tangannya."Boleh." Ia menyerahkan satu es krim yang masih terbungkus itu pada sang papa.Langit menghampiri gadis kecil itu. Berjongkok untuk mensejajarkan tinggi mereka."Mau?"Gadis berambut panjang dengan kulit sawo matang itu menggeleng. "Nggak. Ibu biyang nggak boyeh teyima makan dali olang yain."Pria dewasa itu meringis, ia tidak mengerti apa yang dikatakan bocah cadel di depannya. Gadis pintar, ia ingat pesan ibunya untuk tidak menerima dari orang yang tak dikenal. Sekarang marak penculikan."Atau mau beli sendiri?" Langit mengeluarkan selembar uang biru dari dompetnya."Telima kacih, Om." Senyumnya merekah. "Yuna bica jajan ec kim.""Nama kamu Yuna?"Gadis itu menggele
“Kamu yakin itu Sella, Lin?” Langit mengulang pertanyaannya.“Aku sih lihatnya iya, tapi mending kamu pergi kesana pastikan. Jangan sampai kamu menyesal nantinya, Mas.”Meski masih ada di kota yang sama kalau memang belum ditakdirkan untuk berjumpa.Membayangkan putrinya hidup susah membuat Langit tak bisa tenang. Selama ini ia berpikir kalau Luna pasti akan hidup berkecukupan karena keluarga Sella orang berada.“Aku titip anak-anak bentar ya?”Alin mengangguk. “Tapi nanti kalau istrimu tanya, aku bilang apa, Mas?”“Bilang aja aku ada urusan. Jangan dulu bilang soal ini ya. Tania lagi sakit, jangan sampai dia banyak pikiran.”“Ya udah, cepet pergi sana.”Langit menyambar kunci mobil, melangkah lebar keluar dari rumah dengan tergesa-gesa.Alin bukan ingin ikut campur, ia hanya iba saja saat melihat Sella waktu itu. Tapi karena tidak benar-benar kenal, ia ragu untuk menegur. Lebih baik memang Langit yang mencari tahu karena lelaki itu yang lebih berhak. Bukan soal Sella tapi soal Luna y
Karena beberapa orang mengatakannya pelupa belakangan ini membuat Tania berinisiatif untuk pergi periksa seorang diri. Ia bukan wanita yang bodoh dan abai akan teguran orang-orang terdekatnya.“Penyakit Alzheimer adalah penyakit otak yang menyebabkan penurunan daya ingat, menurunnya kemampuan berpikir dan berbicara, serta perubahan perilaku. Penyakit ini bisa memburuk seiring waktu sehingga membuat penderitanya tidak mampu lagi melakukan pekerjaan sehari-hari.”Penjelasan dari dokter terus berputar dalam otaknya. Tania bahkan tidak bisa berpikir apa-apa mengetahui dirinya mengidap penyakit yang mengerikan.Bagaimana dengan anak-anak dan suamiku nanti?Bukan mengkhawatirkan diri sendiri“Penyakit Alzheimer bisa berkembang seiring berjalannya waktu dan memengaruhi beberapa fungsi otak. Penyakit ini termasuk salah satu jenis penyakit degeneratif. Pada tahap awal, penderitanya akan mengalami gangguan daya ingat bersifat ringan, seperti tidak mengingat nama benda, percakapan, atau peristiw
Langit tidak langsung ke rumah orang tuanya, ia memutuskan untuk mencari keberadaan Tania.Bayang-bayang surat rumah sakit itu membuat Langit semakin takut. Ia merasa menjadi suami tak berguna, istri sakit saja tidak tahu. Terpukul? Jangan ditanya lagi. Melihat istrinya mengidap penyakit berbahaya sangat melukainya.“Kamu dimana, Tania?” Langit mengedarkan pandangannya, berharap bisa menemukan wanita itu.Mengunjungi beberapa tempat yang memiliki kemungkinan besar Tania ada di sana. Belum bisa melaporkan kehilangan ke pihak berwajib karena Tania belum hilang 24 jam. Langit hanya meminta bantuan beberapa orang keluarganya untuk mencari keberadaan sang istri.Hampir putus asa saat awas sudah menghitam dengan hujan deras mengguyur bumi. Jam sudah menunjukkan pukul lima sore.Helaan napas berat terdengar. Lelaki itu menyugar rambutnya frustasi.Ponselnya berdering membuat sang pemilik yang sibuk dengan lamunan langsung terperanjat.“Tania.” Matanya berbinar saat melihat nama snag istri me
“Maaf.” Sella menunduk dalam, merasa bersalah.Langit menggeleng. “Aku nggak butuh kata maaf. Luna anak aku ‘kan?”Kepala ibu muda itu mendongak. “Maaf, Mas. Aku lancang ... aku kasih tahu Luna soal kamu.”Selama ini Luna selalu menanyakan keberadaan ayahnya dan Sella tidak berani buka suara, saat Langit di depan mata ia tidak ada alasan untuk menyembunyikan lagi karena Langit pun masih peduli pada Luna.“Aku kira ....” “Kamu bisa tes DNA kalau nggak percaya. Aku juga nggak akan nuntut apa-apa kalaupun kamu percaya Luna anak kamu.”“Tinggal di apartemenku, Luna butuh tempat yang layak. Biar aku menebus beberapa tahun ini karena nggak ada di samping dia. Dia anakku, dia berhak dapat apa yang anak-anakku lain dapatkan, Sella. Jadi tolong ... jangan egois. Aku nggak mau Luna menghabiskan masa kecil di tempat yang bagi aku nggak layak.”Langit sudah yakin dengan keputusannya untuk membiarkan Sella menempati apartemennya. Ia tidak tahu seperti apa hubungan Sella dan keluarganya sampai bis
Setelah kejadian itu, Jelita memutuskan untuk berhenti kuliah, ia tidak akan sanggup. Baginya lebih penting menjaga mental karena ia seorang ibu, harus tetap dalam kewarasan agar bisa merawat bayinya.Hubungannya dan Devan semakin hari semakin memburuk, apalagi setelah Bu Irma tidak tinggal bersama mereka. Mereka bahkan sudah berpisah kamar beberapa minggu ini, tepatnya saat ibunya Devan pulang kampung.Devan mencoba untuk mendekat dan membuat suasana mencari tapi Jelita terus menghindar. Bukan soal masalah di kampus saja yang menjadi beban Jelita namun ada sangkutannya dengan hubungan mereka.Jelita duduk di teras, ia tidak fokus, bahkan tidak menanggapi putrinya yang meracau tidak jelas. Biasanya Jelita paling senang melihat Arunika berceloteh tapi kali ini, pikirannya kosong.Helaan napas terdengar jelas.“Aku nggak bisa begini terus.” Jelita bangkit, masuk ke dalam rumah.
Berita soal Jelita sudah tersebar luas, setiap saat ponselnya berdenting tapi ia tidak berani untuk membukanya karena sudah jelas mereka hanya akan menghinanya saja.Jelita bahkan harus merasakan kupingnya panas karena di kelas banyak yang membicarakannya secara terang-terangan. Baginya menjelaskannya pun percuma karena memang itu faktanya, ia merebut calon suami ibunya sendiri.“Ta.” Recca menahan Jelita yang akan keluar dari kelas.“Aku mau pulan, Ca.” Ia melepas cekalan Recca dan buru-buru pergi.Ingin sekali ia menumpahkan tangisnya karena dadanya terasa sangat sesak. Dulu aibnya ditutup rapat-rapat oleh sang ibu, sekarang malah ada yang terang-terangan menyebarkan aib itu.Jelita sangat malu, ia bahkan tidak ingin lagi datang ke kampus karena dirinya menjadi bahan olok-olokan semua orang. Apa yang dirasakannya sekarang itu hasil perbuatannya, jadi jangan sampai menyalahkan orang lain.
“Siapa cowok tadi?” Devan menatap istrinya penuh selidik.Andai tadi ia tidak ditahan Jelita, mungkin laki-laki yang sudah lancang memeluk Jelita akan bonyok di tangan Devan.“Teman aku, kenapa sih. Nggak usah cemburu.” Jelita tampak tidak peduli, ia melewati begitu saja suaminya.“Teman dari mana? Nggak usah bohong.”“Nggak usah percaya kalau begitu, ribet amat.”Devan menahan tangan istrinya. “Kamu kenapa sih? Kalau ada masalah apa-apa itu cerita jangan simpan masalah sendiri.”“Masalahnya ada di kamu, Mas.”Kening Devan berkerut. “Aku? Aku kenapa?”Jelita menyeringai. “Kamu nggak pernah sadar ya, Mas.”“Kalau aku ada salah, bilang. Jangan diem begini, aku takut nggak menyadari kesalahan aku.” Devan mencoba untuk tidak tersulut emosi juga.Sudah seharusnya ia lebih sabar karena istrinya belum b
“Yakin mau tinggal di sini?” Lea menatap sang suami yang tengah memperhatikan kamar yang akan mereka tempati beberapa waktu kedepan.Sekarang mereka ada di kediaman orang tua Lea. Rumah mewah yang hanya ada dua orang dan beberapa art yang menempati. Anak-anaknya sudah memiliki keluarga masing-masing.Baru pertama kali Adnan menginjakkan kaki di kediaman mertuanya. Dulu saat melamar sang istri bukan di rumah ini. Hatinya menciut karena istrinya lebih kaya daripada dugaannya.Tapi semua itu membuat Adnan semakin semangat untuk bekerja, ia tidak mau istrinya hidup susah bersamanya, saat bersama orang tuanya saja Lea diberikan segalanya dan saat hidup dengan Adnan pun akan lelaki itu usahakan untuk apapun yang diminta Lea meski istrinya memang jarang ingin ini atau itu. Lea sudah kenyang dengan limpahan harta orang tuanya. Ia juga bukan wanita yang suka belanja dan menghamburkan uang.“Kalau memang ini yang bisa membuat hubungan kita dan ayah membaik,
Mata wanita itu mengerjap pelan, kepalanya masih terasa berdenyut. Sosok sang suami yang tertangkap retina matanya saat ia bangun.“Mas.”“Iya, sayang. Bagaimana perasaan kamu? Ada yang sakit?”“Lita ....” Hanya Jelita yang ada dalam ingatan Lea sekarang.“Devan menemani Lita, nggak usah khawatir.” Adnan menggenggam tangan Lea, berulang kali mengecupnya penuh cinta.“Aku kenapa tadi, Mas?”“Kata dokter, tekanan darah kamu rendah dan stres makanya bisa pingsan.”Kepanikan bertambah beberapa saat lalu, Jelita akan melahirkan dan Lea tiba-tiba pingsan. Tapi sekarang situasi sudah terkendali.“Mas, aku mau kesana.”“Devan di sana, kamu di sini. Kondisi kamu lemas begini.”“Tapi, Mas.”“Doakan anak kita baik-baik saja. Persalinannya pasti lancar.” Adnan menyelipkan anak rambut Lea k
Lea menggeleng cepat. “Nggak. Lita asal ngomong aja itu.” “Periksa yuk.” Adnan meraih tangan istrinya. Dengan lembut Lea melepaskan tangan Adnan. “Nggak usah, aku nggak hamil, Mas.” Ia mengulum senyum meski hatinya perih. Berulang kali berharap dan berulang kali juga hatinya patah. Lea tidak mau lagi berharap, ia menerima kalau memang tidak akan pernah bisa punya anak meski dalam hatinya tetap ada ketakutan kalau nanti Adnan akan berputar haluan dan mencari wanita lain yang bisa memberikan keturunan. Adnan mengangguk, ia juga tidak mau memaksa istrinya. Ingatan lelaki itu sudah mulai berangsur kembali, ia ingat dulu Lea pernah menangis kecewa karena mengira dirinya hamil karena telat haid dua bulan ternyata hanya karena stres saja. “Ini, beneran buat aku? Nanti kalau habis baru mau.” Adnan mengalihkan pembicaraan. “Nggak. Buat Mas. Aku
“Tolong jangan pergi, Lita. Aku minta maaf.” Devan mulai takut kehilangan. Ia memang belum bisa mencintai istrinya itu tapi ia akan berusaha menjadi suami dan ayah yang baik. “Apa sekarang alesana Mas masih sama?” Devan menggeleng, ia masih memeluk erat istrinya. “Mas, lepas.” Jelita mencoba mendorong Devan. “Nggak mau. Kamu pasti mau ninggalin aku ‘kan?” Jelita memukul punggung suaminya, kesal. “Aku sesak ini, dedeknya kejepit.” Baru Devan mengurai pelukan setelah mendengar protes sang istri. “Maaf.” Wanita hamil itu tercengang karena melihat mata suaminya merah dan basah. Dia menangis? Apa Mas Devan benar-benar menyesalinya. Untuk saat ini Jelita belum bisa percaya, karena hatinya masih terluka karena alasan su
“Mau makan apa?”Jelita menggeleng. “Masih kenyang.”“Nanti kalau aku kerja, kamu ditemani bibik di rumah.”“Nggak bisa ya kalau aku ke rumah Ibu?”“Boleh banget. Senyamannya kamu saja.”Sebenarnya Jelita merasa aneh karena sikap Devan. Sebenarnya bukan pertama kalinya lelaki itu bersikap manis, dulu saja saat menjalin hubungan terlarang, Devan selalu manis dan romantis. Namun setelah menikah malah berubah.Seharian itu Devan tidak pernah beranjak dari samping sang istri.Jelita tampak fokus menikmati tayangan televisi sambil mengunyah keripik kentang.“Mas. Aku bosen di rumah.”“Kamu mau kemana?”“Jalan-jalan, sambil cari makan. Kayaknya kepiting enak.”“Ayo.” Devan berdiri, mengulurkan tangannya untuk membantu sang istri.Perhatian kecilnya membuat debaran
“Mau apa kamu kesini?” Lea berucap ketus.Meski begitu ia tetap menyalami mamanya Devan, bagaimanapun ia menghormati orang tua.“Lea. Mama kesini anter Devan.” Mama Irma memulai pembicaraan.“Ma, biarkan Devan yang bicara.” Lea tidak mau melibatkan orang tua dalam masalah yang ada.Devan tampak gelisah dalam duduknya. Ia tampak baik-baik saja, tidak ada memar di wajah.Saat perjalanan Lea sempat berpikir akan ada baku hantam antara suaminya Devan ternyata itu semua tidak terjadi. Hanya ketakutannya saja.“Silakan kalian bicara, Mama tunggu di luar ya.” Wanita paruh baya itu memilih untuk keluar rumah, membiarkan ruang untuk mereka bicara.Ada percikan cemburu dalam hati Adnan melihat jika istrinya begitu dekat dengan mamanya Devan. Sebenarnya wajar kalau sebelumnya mereka pernah akan menikah.“Aku kesini karena mau tanggung jawab pada Jelita.”Kening Adnan berkerut. “Maksud kamu?”“Izinkan aku kembali sama Jelita, Om. Aku mau rujuk sama dia.”Tiga orang itu terbelalak mendengar perkat