Saat pintu lift tertutup perlahan, Rey melirik sekilas ke arah Hana yang masih sibuk memungut barang-barangnya di lantai.
Rey memicingkan matanya, masih terus memperhatikan Hana dengan raut yang datar. “Tuan, dia peserta seminar tadi pagi, duduk di barisan depan,” ujar Bastian, ia paham betul dengan tatapan bos-nya yang penuh tanya tertuju pada wanita itu. Rey hanya mengangguk kecil, ekspresinya tetap datar. Begitu lift tiba di lantai tujuan, ia melangkah keluar dengan tenang namun penuh wibawa. Tatapan tajamnya menyapu ruang kantor, membuat semua yang ada di sana terdiam sejenak. Di depan ruangan Juna, Dara menyambut dengan senyum canggung. “Tuan Rey, kami sudah menunggu.” Rey tidak menjawab, hanya memberi anggukan kecil sebelum masuk. Di dalam, Juna menyambutnya dengan senyum ramah, meski jelas terlihat gugup. “Silakan duduk, Tuan Rey. Nyamankan diri Anda,” katanya. Rey duduk dengan santai, namun tatapannya menusuk seperti sedang menguliti lawan bicaranya. “Langsung saja,” ucapnya pendek. Bastian segera meletakkan dokumen di meja. “Ini daftar artis yang akan terlibat dalam proyek drama terbaru Anda,” katanya tegas. Juna membuka dokumen itu, alisnya berkerut sebelum mendongak. “Maaf, Tuan Rey. Beberapa nama di daftar ini ... mereka punya reputasi kurang baik. Kami tidak bisa mengambil risiko.” Rey mencondongkan tubuhnya ke depan, menatap Juna tajam. “Risiko?” ucapnya pelan, tapi dingin. Bastian dengan sigap menghentakkan amplop berisi dokumen tambahan ke meja. “Kami sudah mengurus semua pemberitaan negatif. Tidak ada lagi skandal. Dan, jangan lupa, sponsor terbesar proyek ini berasal dari kami.” Juna menelan ludah, jelas terlihat panik. “Te-tentu, Tuan Rey. Tapi penulis skrip kami sedang sakit. Kami mengalami kendala...” Rey mengangkat tangannya, memotong alasan Juna tanpa sepatah kata pun. Bastian melanjutkan dengan nada dingin. “Kami yang akan menyediakan penulis pengganti.” Rey tidak merespons. Ia berdiri dari duduknya dan melangkah keluar tanpa sedikit pun menoleh pada Juna. Ia terus berjalan melewati koridor, mengabaikan sapaan para pegawai yang berlalu-lalang. Begitu mereka tiba di lobi, seorang sopir sudah menunggu dengan mobil hitam berkilau di depan pintu utama. Setelah masuk ke dalam mobil, Rey menyandarkan tubuhnya, memejamkan mata sejenak untuk meredakan lelah yang mengendap sejak pagi. Suara mesin mobil yang halus menjadi latar belakang yang menenangkan. Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama. Sebuah suara notifikasi dari tablet Bastian memecah keheningan. Rey membuka matanya sedikit, sekilas memandang Bastian yang sibuk membaca. “Ada CV baru untuk posisi penulis,” ujar Bastian sambil menatap layar. “Ini terlihat menarik.” Rey menutup matanya kembali, nadanya tetap datar. “Panggil dia besok.” “Baik, Tuan,” jawab Bastian sambil menutup aplikasi. ** Di apartemen kecilnya, Hana berdiri di tengah kamar yang pernah ia huni dengan harapan besar. Kini, ruangan itu terasa dingin, hampa, dan penuh kenangan pahit. Dengan tangan gemetar, ia mulai memasukkan pakaian ke dalam koper. Setiap helai pakaian yang ia lipat terasa seperti melepas serpihan hidup yang pernah ia bangun bersama Juna. Matanya tertuju pada sebuah gaun biru di sudut lemari, gaun yang ia kenakan saat ulang tahun pernikahan pertama mereka. Ingatan akan malam itu membuat dadanya kembali sesak. Suara Juna yang penuh kasih, janji-janji manis yang ia percayai sepenuh hati, kini hanya terasa seperti kebohongan yang memuakkan. Ia menggigit bibirnya, mencoba menahan tangis yang kembali menyeruak. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha mengusir bayangan-bayangan menyakitkan itu. Saat koper akhirnya penuh, ia menutupnya dengan paksa. Tangan kanannya mengusap setitik air mata yang sempat lolos, sementara tangan kirinya menarik koper itu keluar dari apartemen. Setiap langkah yang ia ambil di koridor sempit itu terasa seperti merangkak keluar dari lubang gelap. Di depan gedung, angin malam menyentuh wajahnya yang lembab. Hana berdiri diam, koper di sampingnya, dan kepalanya menengadah ke langit. Sudah tidak ada jalan untuknya kembali. Ia melambaikan tangan pada sebuah taksi yang melintas. Saat ia membuka pintu dan masuk, ponselnya tiba-tiba berdering. “Halo?” katanya pelan, suaranya sedikit bergetar, masih terbawa emosi. “Selamat sore, ini dari Astroha Entertainment. Kami menerima CV atas nama Hana Varelly. Apakah benar ini Anda?” Hana terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata di seberang. “I-iya, betul. Saya mengirimkan CV,” jawabnya terbata-bata, jantungnya mulai berdetak kencang. “Besok pagi pukul 10.00, apakah Anda bisa hadir untuk wawancara?” Hana tertegun. Air mata yang tadi terasa berat kini mulai menetes, tapi bukan karena sedih, melainkan karena harapan yang tak terduga. Dengan tangan gemetar, ia menutup mulutnya sendiri, menahan rasa tak percaya. “Sungguh?” gumamnya, suaranya hampir tak terdengar. “Saya akan datang! Terima kasih banyak!” Setelah panggilan berakhir, ia memandang ponselnya dengan mata berkaca-kaca. Senyum tipis muncul di wajahnya. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa seperti melihat secercah cahaya di hidupnya. Hana menggenggam ponselnya erat setelah menutup panggilan telepon. Dadanya bergemuruh, antara lega dan cemas. Tawaran wawancara kerja itu seharusnya menjadi secercah harapan, tetapi bayangan tentang apa yang akan dihadapinya setelah pulang membuat langkahnya berat. Di dalam taksi, pandangannya mengarah keluar jendela, menatap jalan yang melaju cepat. Suara gemuruh mesin mobil dan hiruk-pikuk lalu lintas terasa seperti latar belakang yang samar. Ayahnya sudah tiada. Pikiran itu menghantamnya seperti angin dingin yang menusuk. Sudah enam bulan sejak ayahnya pergi akibat serangan jantung. Kehilangan itu belum sepenuhnya sembuh, dan sekarang ia malah membawa berita yang mungkin akan menghancurkan ibunya. Pikiran itu membuat dadanya sesak. Mata Hana terasa panas, tapi ia buru-buru mengusap sudut matanya dengan punggung tangan. ‘Tidak, aku tidak boleh menangis. Ibu pasti sudah cukup menderita. Aku tidak boleh membuatnya khawatir lagi.’ Paginya Hana telah memakai setelan terbaiknya untuk interview, berdandan rapi namun tidak mencolok. Hana berangkat dari rumah ibunya, setelah beberapa menit berkendara, sampailah Hana di depan gedung pencakar langit yang tinggi menjulang, sekali lagi ia samakan alamat yang tertera dengan kartu nama yang Rey berikan kemarin. Astroha Entertainment, dengan logo bintang berwarna ungu di ujung papan namanya. Hana memasuki gedung, tak lama setelah di pandu resepsionis, ia telah berada di ruang interview, tampak dingin, sesuai dengan aura pria yang duduk di ujung meja. Sudah beberapa menit Hana memperkenalkan dirinya saat Rey menatap berkas di tangannya tanpa sedikit pun memberi perhatian pada Hana yang duduk di depannya. “Kau tampak tak asing.” Rey menatap wanita di depannya. “Ya, Tuan. Kita sempat bertabrakan karena kecerobohanku.” Hana menunduk sedikit malu, kemudian duduk tegak kembali. “Jadi, kau orang yang ceroboh?” Pria ini tampaknya sudah memulai sesi wawancara dengan kejam. Hana menggeleng cepat, “Ti-tidak, Tuan! Itu karena hal pribadi yang tak bisa saya jelaskan di sini!” jawab Hana tegas. Rey mengangguk kecil, “Kenapa Anda ingin bekerja di sini?” tanyanya, suaranya datar, tetapi menusuk. Hana meremas tangannya di bawah meja, mencoba meredakan gugup yang melilit tenggorokannya. “Karena saya yakin pengalaman saya menulis bisa memberikan kontribusi positif bagi proyek drama ini.” Rey mengangkat pandangannya, menatap langsung ke mata Hana. “Keyakinan saja tidak cukup.” Ia meletakkan berkas di meja, suaranya tetap datar. “Naskah Anda akan diuji. Saya ingin melihat skenario pembuka untuk episode pertama ‘Stolen Heart’ sebelum tengah malam.” Hana tertegun, tetapi ia tidak menunjukkan kelemahannya. “Baik, saya akan menyelesaikannya.” “Bagus,” jawab Rey singkat, sebelum berdiri dan meninggalkan ruangan tanpa memberi waktu untuk membalas. Saat itu kantor Astroha Entertainment tampak sibuk, tetapi bagi Hana, setiap tatapan terasa seperti penilaian. Ia duduk di mejanya, menatap layar komputer dengan draft naskah yang telah ia tulis untuk disetorkan sesegera mungkin pada Rey hari ini juga. “Pendatang baru, ya?” Sebuah suara menyela konsentrasinya. Seorang wanita dengan rambut pendek berwarna karamel berdiri di depan meja Hana, menyeringai.“Saya Dina, produser proyek ini,” wanita itu memperkenalkan diri, tetapi nada suaranya menyiratkan sesuatu yang lain. “Kita lihat apakah tulisanmu bisa memenuhi ekspektasi Tuan Rey.” Hana hanya mengangguk kecil. “Saya akan melakukan yang terbaik.” “Semoga,” jawab Dina sambil melirik tajam, lalu berlalu dengan langkah ringan. Hana merasa ada tatapan lain dari arah ruangan kaca Rey, tetapi ketika ia menoleh, Rey sudah berbalik, kembali fokus pada layar komputernya. Sore itu di meja kerja, Hana tengah fokus mengetik uji naskah di laptopnya. Jemarinya berhenti sejenak ketika ia merasakan tekanan berat dari target yang harus diselesaikan. Meski begitu, ia mencoba menenangkan diri, mengingat bahwa ini adalah kesempatan besar yang tak boleh ia sia-siakan. “Permisi,” suara Bastian memecah keheningan. Hana mendongak, melihat pria itu berdiri di depan mejanya dengan map di tangan. “Kau diminta untuk ikut rapat sore ini. Tuan Rey ingin kau mendapatkan gambaran lebih jelas tentang proyek
Hana terbangun pagi itu dengan rasa letih yang masih tersisa dari malam sebelumnya. Pertemuan dengan Rey masih teringat di pikirannya, seperti film yang terus diputar ulang tanpa akhir. Kata-katanya yang dingin, tatapan skeptisnya, dan tantangan tersirat itu mengisi pikirannya sejak ia meninggalkan ruangannya. Namun, pagi ini, ada sesuatu yang berbeda. Sambil menyesap teh hangat di meja makan, ponselnya bergetar di atas meja. Notifikasi email masuk. Hana meletakkan cangkirnya dan meraih ponselnya dengan cepat. Matanya menyipit membaca nama pengirimnya: Astroha Entertainment. Hatinya berdegup kencang. Dengan jari yang sedikit gemetar, ia membuka email itu. [Selamat kepada Yth. Hana Varelly, Anda diterima di Agency Astroha Entertainment sebagai penulis dengan masa training 3 bulan .…]Kalimat itu seperti musik yang mengalun indah di telinganya. Hana menutup mulutnya dengan tangan, mencoba menahan teriakan bahagia yang hampir lolos. Senyum lebar merekah di wajahnya. “Ya Tuhan... ak
“Apa yang kau lakukan pada wanitaku?”Suara Rey seketika. membuat Hana dan Juna membeku. Dengan Cepat Hana menoleh pada sosok tinggi tegap itu, begitu pula Juna yang reflek melepaskan cengkramannya juga.Pipi Hana memanas, dan jantungnya berdetak tak karuan, tapi dia tidak tahu apakah itu karena malu, marah, atau bingung. Pandangannya terarah pada Rey, yang tampak begitu tenang, seolah ucapan tadi adalah sesuatu yang wajar saja."Tu-Tuan Rey," gumamnya hampir seperti bisikan.Juna, di sisi lain, tampak benar-benar terusik. Rahangnya mengeras, dan matanya menatap tajam pada Rey, penuh dengan rasa tidak percaya sekaligus kemarahan yang terpendam. Tangannya mengepal, seakan mencoba mengendalikan emosinya."Wanitamu?" tanya Juna dengan nada bergetar.Hana menoleh sekilas ke arah Juna. Dia mengenali nada itu, nada pria yang egonya terluka. 'Seharusnya aku merasa puas melihatnya seperti ini. Tapi kenapa aku malah merasa ... canggung?" batin Hana. Matanya kembali pada Rey, yang tetap berdi
Ruangan itu terasa lebih dingin dari biasanya, meskipun sinar matahari menembus tirai yang terbuka.Rey berdiri tegap di dekat meja kerjanya, tak menjawab pertanyaan sang kakek.Sementara kakeknya duduk dengan tenang, tapi sorot matanya penuh tuntutan. Di balik ketenangan itu, ada ambisi besar yang tersirat.Kakeknya, pria yang membangun Astroha Entertainment dari nol, tahu usianya tidak lagi muda. Masa kejayaan sudah berlalu, dan kini dia mengandalkan Rey untuk menjaga warisan itu tetap hidup.Bagi sang kakek, pernikahan Rey adalah langkah strategis, lebih dari sekadar urusan keluarga. Kerja sama dengan keluarga pengusaha lain akan memperkuat perusahaan mereka, memastikan Astroha tetap berada di puncak. Namun, Rey, dengan status lajangnya, dianggap kurang stabil di mata mitra bisnis yang mereka targetkan.Kakek Rey menghela napas panjang, memecah keheningan yang menyelimuti ruangan. Dia bersandar di kursi dengan tongkat di pan
Setelah kakeknya pergi, Rey keluar dari ruangannya dengan langkah tenang namun tegas. Sepatu kulitnya berbunyi ringan di atas lantai marmer, menarik perhatian karyawan yang berada di area meja kerja. Semua karyawan serempak berdiri menyambut kedatangan CEO mereka. Di antara mereka, Rocky, salah satu supervisor tim, melangkah maju dan memberi salam dengan hormat. “Ada yang bisa saya bantu, Tuan?” tanya Rocky dengan nada formal namun penuh rasa hormat. Rey mengedarkan pandangannya ke seluruh area, matanya sekilas berhenti di meja Hana sebelum ia menjawab dengan suara yang tenang namun tegas. “Setelah pulang kerja, mari makan malam bersama untuk penyambutan karyawan baru.” Rocky, yang menangkap maksud itu, melirik cepat ke arah Hana sebelum kembali menatap Rey. “Oh, tentu, Tuan! Saya akan mengatur semuanya.” Rey mengangguk singkat. “Saya yang traktir,” tam
Hana tertegun, matanya membesar karena keterkejutan. "Maaf, Tuan? Saya rasa saya salah dengar," katanya gugup, langkahnya secara refleks mundur sedikit. Rey tetap tenang, seolah tidak terganggu oleh reaksi Hana. Ia menghela napas panjang, memperhatikan sekeliling sebentar, lalu kembali menatapnya. "Mari kita bicara di tempat lain," ujarnya dengan nada datar namun penuh keyakinan. Hana membuka mulut hendak menolak, tetapi Rey sudah melangkah mendekat, memberikan isyarat agar ia mengikuti. Meski ragu, Hana akhirnya menurut, pikirannya penuh tanda tanya. Mereka masuk ke dalam mobil Rey, sebuah Mercedes-Benz S-Class yang terlihat mengilap di bawah lampu jalan. Suasana di dalam mobil hening, hanya diisi suara lembut musik klasik dari speaker mobil. Setelah beberapa menit berkendara, mereka tiba di sebuah kafe kecil dengan suasana hangat. Rey memesan ruang makan tertutup yang dirancang khusus untuk privasi
Rey baru saja memasuki apartemennya yang luas dan modern, dengan pemandangan kota yang berkilauan di malam hari. Ia melepas jasnya, menggantungnya di sandaran kursi, dan duduk di meja kerjanya. Di depan Rey, tumpukan dokumen menunggu untuk diperiksa, tetapi pikirannya melayang-layang, memikirkan rencana besar yang mulai terbentuk. Saat ia baru hendak membuka salah satu dokumen, teleponnya berdering. Nama "Hana" tertera di layar. Rey melirik ponselnya, lalu menjawab dengan suara tenang. “Ya, Hana?” Ia bersandar di kursi putarnya, menunggu apa yang akan dikatakan wanita itu. Di seberang, suara Hana terdengar jelas meski sedikit gemetar, “Saya bersedia menjadi tunangan palsu Anda.” Mendengar itu, sudut bibir Rey terangkat tinggi, membentuk senyuman penuh kemenangan. Ia menunggu sejenak, menikmati momen itu sebelum menjawab, “Baiklah, akan kusiapkan kontrak kerja sama kita.”
Petang menjelang, dan suasana kantor perlahan berubah menjadi sepi. Hana dan timnya baru saja menyelesaikan pekerjaan mereka hari itu. Naskah yang tengah mereka kerjakan sudah mencapai 80 persen. Dalam hati, Hana merasa bangga karena usahanya untuk terus belajar dan bertanya saat menemui kesulitan benar-benar membuahkan hasil.Rekan-rekan satu timnya pun tampak senang bekerja sama dengannya. Hana adalah tipe orang yang mau mendengarkan kritik dan menerima masukan dengan lapang dada, membuat suasana kerja menjadi lebih nyaman."Bye, Hana! Besok kita tempur lagi! Sepertinya naskah kita sudah selesai sepenuhnya besok. Semangat, ya!" seru Rocky, salah satu rekan yang terkenal enerjik, sambil melambai dengan penuh semangat."Iya, bye! Terima kasih untuk hari ini!" balas Hana ceria, melambai-lambaikan tangannya. Suaranya yang ceria menyelimuti kantor yang mulai sepi, menghangatkan suasana sebelum akhirnya Rocky dan yang lain keluar. TING!
Veronica masih mempertahankan senyumannya, tetapi sorot matanya tak bisa menyembunyikan kilatan emosi yang terselip di sana.Ia menarik kembali tangannya dengan anggun, lalu melirik sekilas ke arah Rey yang sejak tadi diam, hanya mengamati interaksi mereka dengan ekspresi yang sulit ditebak.Hana tetap tenang. Ia sudah terlalu sering berhadapan dengan orang-orang seperti Veronica, wanita yang merasa lebih unggul, namun sekaligus terancam.Tetapi kali ini, ia tidak akan mundur atau merasa kecil hati. Ia menegakkan bahunya dengan percaya diri, menunjukkan bahwa ia bukan wanita yang bisa digertak hanya dengan kata-kata manis berbalut ancaman halus.“Baguslah.” Veronica tersenyum tipis, lalu sedikit mendekat, menatap Hana dari dekat. “Aku hanya ingin memastikan kita memiliki pemahaman yang sama, Miss Hana.”Hana tak bergeming, malah balas menatap dengan tatapan yang lebih dalam. “Aku juga ingin memastikan hal yang sama, Miss Veronica.”
Hana menarik napas perlahan, mencoba mengendalikan debaran jantungnya yang entah kenapa berdetak lebih cepat dari biasanya. Ia menatap sampagne di tangannya, lalu meneguk sedikit sebelum menoleh pada Rey."Yah, boleh juga ... Aku butuh udara segar," jawabnya dengan suara yang dibuat setenang mungkin, meski dalam hatinya ada sedikit keraguan tentang maksud Rey mengajaknya keluar.Rey tidak segera menanggapinya dengan kata-kata, hanya tersenyum tipis sebelum berdiri dari duduknya, tubuhnya tegap seperti biasa. Dengan gerakan santai, ia mengulurkan tangan ke arah Hana, memberi isyarat agar wanita itu menggenggamnya.Ada sedikit jeda sebelum Hana akhirnya menyambut uluran tangan Rey, dan saat jari-jemari mereka bersentuhan, hawa hangat dari kulit pria itu seketika menjalar ke telapak tangannya.Di seberang meja mereka, Veronica yang sejak tadi memperhatikan interaksi mereka hanya bisa memandang dengan tatapan sinis. Mata tajamnya menelusuri setiap ger
Hana menyapu pandangannya ke seluruh penjuru ballroom. Sorot matanya tajam, penuh percaya diri. Para tamu masih bertepuk tangan, beberapa terlihat kagum, yang lain berbisik-bisik membahas betapa mengejutkannya pengungkapan ini. Namun, mata Hana akhirnya berhenti pada satu orang. Juna. Pria itu masih berdiri membeku di tempatnya, mata cokelatnya masih terpaku pada Hana seolah mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini bukan mimpi. Hana tersenyum. Senyum yang bukan hanya sekadar ekspresi kemenangan, tetapi juga kebanggaan. Ia meninggikan dagunya, menatap Juna dengan sorot mata yang seolah berkata, "Lihatlah aku sekarang." Juna menelan ludah, rahangnya mengeras. Ada sesuatu yang berkecamuk dalam dirinya, perasaan yang berkisar antara keterkejutan, penyesalan, dan kekalahan telak. Bagaimana bisa ia mengira Hana masih sama seperti dulu? Baga
Bibir lembab Rey melumat bibir Hana, basah, lembut, dan menguasai. Wangi parfumnya menyelimuti Hana, bercampur dengan hangat napas mereka yang beradu. Dada Hana naik turun, tapi tubuhnya tetap membeku. Ia tak tahu harus bereaksi seperti apa. Sampai akhirnya, Rey perlahan menarik diri. Jarak di antara mereka masih begitu dekat. Mata gelap Rey menatapnya, mengunci seluruh perhatian Hana. Lalu, tangannya yang besar terangkat, mengelus bibir Hana dengan lembut. "Acara akan segera dimulai, ayo pergi ...," bisik Rey, suaranya rendah dan menggetarkan. Hana menelan ludah. Jantungnya berdebar keras. "A-ayo, Rey ...," katanya, berusaha terdengar natural, meski jelas nada suaranya sedikit bergetar. Tanpa menunggu lagi, Rey menariknya meninggalkan lorong itu. Mereka berjalan beriringan menuju lift, melewati Veronica yang berdiri mematung
Di saat Hana menghadapi ketegangannya dengan Juna, di lobby, Rey mendapati dirinya berhadapan dengan sosok yang kemarin sempat membuat suasana menegang pula.Veronica.Wanita itu melangkah anggun ke arahnya, mengenakan gaun berpotongan elegan yang menonjolkan aura percaya dirinya. Senyum puas terukir di bibirnya, seolah ia telah menantikan pertemuan ini.“Kita bertemu lagi, Rey …,” sapa Veronica dengan suara lembut, namun sarat dengan sesuatu yang sulit diartikan.Rey hanya menarik napas panjang, tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Ia tidak tertarik terlibat dalam percakapan basa-basi dengan wanita itu.Sebagai gantinya, matanya tetap terarah ke lorong di belakang lobi, tempat toilet berada. Ia sedang menunggu Hana, berharap wanita itu segera datang.Namun, Veronica bukan wanita yang mudah diabaikan. Saat Rey tetap bungkam, ia beralih pada sosok yang lebih tua di sampingnya, Tuan Noh.“Apa kabar, Tuan Noh? Lama tak berju
Di dalam kamar kecilnya yang sederhana, Hana berdiri di depan cermin panjang, menatap pantulan dirinya dengan tatapan tajam dan penuh tekad.Perlahan, ia meraih gaun yang tergantung rapi di sisi ranjangnya, gaun krem elegan dengan potongan A-line yang sempurna, menonjolkan siluet tubuhnya dengan garis vertikal yang memberi kesan jenjang.Bagian atasnya dihiasi dengan kain transparan yang membalut satu bahunya, memberi sentuhan anggun namun tetap berkarakter.Ia mengenakannya dengan gerakan tenang, menikmati setiap detik saat dirinya bertransformasi. Tak ada lagi gadis yang dulu dipandang sebelah mata. Hari ini, ia akan menjadi pusat perhatian.Jemarinya yang ramping mengambil kuas bedak, memoles wajahnya dengan riasan lembut namun elegan. Bibirnya dipoles warna nude dengan sedikit kilau, sementara eyeliner tipis menegaskan matanya yang tajam. Ia ingin tampil sempurna, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk mereka yang telah
Genap satu bulan setelah investasi akhirnya di tarik ...Di dalam ruang kantornya yang megah, suara benturan keras menggema. Sebuah vas kristal jatuh menghantam lantai, pecah berkeping-keping. Dokumen-dokumen berhamburan di udara, lembaran laporan keuangan beterbangan seperti daun kering dihempas badai.Juna mengamuk.Meja besar yang biasa menjadi simbol kekuasaannya kini berantakan. Laptop yang sebelumnya tertata rapi kini tergeletak miring di tepi meja, nyaris jatuh. Kursinya terjungkal ke belakang, menciptakan kekacauan total.Napas Juna memburu, dadanya naik turun dengan liar. Ia meraih satu lembar laporan yang tercecer di lantai, mencengkeramnya erat seolah ingin merobek kertas itu dengan tangannya sendiri.Laporan resmi dari First Food.[Penarikan investasi tahap akhir telah selesai dilakukan. Dengan ini, PT.First Food tidak lagi memiliki hubungan finansial dengan BG.TV]Tangannya mengepal, meremas kertas itu hingg
Tok tok! Pintu ruangan Rey diketuk pelan, lalu terbuka. Bastian masuk dengan langkah ragu, wajahnya menyiratkan kegelisahan yang tidak biasa. "Tu-Tuan …," panggilnya, suaranya terdengar sedikit goyah. Rey yang sedang fokus membaca dokumen di tangannya mendongak, alisnya berkerut melihat ekspresi asistennya. "Ada apa?" tanyanya datar. Bastian membuka mulut, hendak bicara, "Di luar ada_" Tetapi suara lain lebih dulu terdengar. "Hai, Rey!" Seseorang menerobos masuk begitu saja, melewati Bastian yang masih berdiri di ambang pintu. Rey mendongak lebih tinggi, matanya melebar seketika. Namun, hanya dalam hitungan detik, rahangnya mengeras, dan sorot matanya berubah tajam. Wanita itu berdiri di hadapannya dengan percaya diri, mengenakan gaun berpotongan elegan yang membungkus tubuh semampainya dengan sempurna. Rambut coklatnya dita
Dua insan yang pernah mengukir kisah di masa lalu kini duduk berhadapan di sebuah kafe, di tengah hiruk-pikuk jam makan siang. Namun, bagi Juna, ini bukan sekadar waktu istirahat. Jam makan siang hanyalah alasan agar ia bisa berbicara dengan Hana tanpa ada gangguan.Hana sendiri tidak terlalu nyaman dengan pertemuan ini, tapi mengingat pekerjaan mereka ke depan akan melibatkan banyak interaksi, ia tidak bisa menghindarinya.Juna menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap Hana dengan ekspresi serius. "Maafkan aku, Hana. Kita akan bekerja sama dalam waktu yang panjang ... jadi mari kita lupakan masa lalu di antara kita agar suasana di pekerjaan menjadi nyaman."Hana terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk. Ia tahu, memang itulah yang terbaik. Tidak ada gunanya menggali kenangan yang sudah seharusnya terkubur."Ya, mari kita bekerja sama dengan baik, Tuan Juna," jawabnya, berusaha terdengar profesional. Senyum yang ia tunjukkan ramah, tetapi cara