Ruangan itu terasa lebih dingin dari biasanya, meskipun sinar matahari menembus tirai yang terbuka.
Rey berdiri tegap di dekat meja kerjanya, tak menjawab pertanyaan sang kakek. Sementara kakeknya duduk dengan tenang, tapi sorot matanya penuh tuntutan. Di balik ketenangan itu, ada ambisi besar yang tersirat. Kakeknya, pria yang membangun Astroha Entertainment dari nol, tahu usianya tidak lagi muda. Masa kejayaan sudah berlalu, dan kini dia mengandalkan Rey untuk menjaga warisan itu tetap hidup. Bagi sang kakek, pernikahan Rey adalah langkah strategis, lebih dari sekadar urusan keluarga. Kerja sama dengan keluarga pengusaha lain akan memperkuat perusahaan mereka, memastikan Astroha tetap berada di puncak. Namun, Rey, dengan status lajangnya, dianggap kurang stabil di mata mitra bisnis yang mereka targetkan. Kakek Rey menghela napas panjang, memecah keheningan yang menyelimuti ruangan. Dia bersandar di kursi dengan tongkat di pangkuannya, lalu menatap cucunya dengan ekspresi serius. “Rey, usiaku terbatas,” ujarnya perlahan, nadanya penuh tekanan. “Jika kau masih ingin melihat keberadaanku, segeralah menikah. Bangun keluarga. Apa kau pikir dengan statusmu yang lajang itu kau bisa menopang perusahaan ini seorang diri?” Rey tetap diam, ekspresinya datar. Tapi dalam hatinya, ada badai kecil yang bergolak. Dia tahu kakeknya tidak akan berhenti menekan. Pernyataan itu bukan hanya tuntutan, melainkan juga pengingat tentang tanggung jawab besar yang ada di pundaknya. Namun, Rey memilih untuk tidak menjawab. Dia hanya menggeser pandangannya ke jendela, membiarkan keheningan menjawab semuanya. Kakeknya bangkit perlahan dari kursinya, membenarkan setelan jasnya yang rapi. Dengan langkah pasti, dia menuju pintu. Sebelum pergi, dia menoleh sekali lagi ke arah Rey. “Pikirkan ini baik-baik, Rey. Waktu tidak akan menunggumu.” Rey tetap tak berkata apa-apa, hanya berdiri tegap hingga suara pintu tertutup pelan. Setelah kakeknya pergi, Rey menghela napas panjang, ia berjalan ke arah meja kerjanya. Kursi kulit itu berderit pelan saat dia menjatuhkan tubuhnya ke sana. Sejenak, dia hanya duduk diam, matanya tertuju pada berkas-berkas di mejanya, tetapi pikirannya melayang jauh. Rey mengangkat kedua tangannya, memijat pelan dahinya dengan ujung jari, mencoba meredakan ketegangan yang menumpuk. Matanya terpejam rapat, seolah itu bisa mengusir beban yang terus menghantuinya. “Kenapa semua orang selalu ingin mengatur hidupku?” gumamnya lirih, hampir seperti bisikan yang hanya didengar oleh dirinya sendiri. Akhirnya, dengan napas berat, Rey menurunkan tangannya, menatap kosong ke arah meja. Wajahnya yang biasanya tegas kini memancarkan kelelahan, meski hanya sesaat sebelum dia kembali memulihkan ekspresinya yang dingin dan terkendali. Setelah kakeknya keluar dari ruangan Rey, langkahnya yang tegas menggema di koridor. Tak jauh dari sana, deretan meja kerja para karyawan agensi terlihat. Suasana yang semula dipenuhi suara percakapan ringan kini mendadak sunyi. Semua karyawan yang melihat kehadiran sang kakek dengan sigap berdiri dari kursi masing-masing dan membungkuk hormat, termasuk Hana yang duduk di salah satu meja paling ujung. Meskipun ia belum tahu siapa pria tua berwibawa itu, intuisi dan pengamatannya menyadarkan bahwa sosok itu bukan orang sembarangan. Sang kakek melangkah mendekat ke arah meja Hana. Tatapan tajam dan penuh wibawa miliknya membuat setiap orang di ruangan itu semakin menahan napas. Ketika jaraknya hanya beberapa langkah lagi dari Hana, pemimpin tim kreatif agensi, Rocky, segera melangkah ke samping Hana dengan gerakan sigap. Wajahnya tampak sedikit tegang, namun tetap tersenyum sopan. “Selamat siang, Tuan Noh! Senang melihat Anda berkunjung,” ujar Rocky sambil membungkuk sekali lagi dengan sangat hormat. Tuan Noh mengangguk kecil, pandangannya sekilas menyapu ke arah meja Hana sebelum berhenti tepat pada dirinya. “Ya, senang melihat kalian semua bersemangat,” ujarnya dengan suara rendah tapi penuh kekuatan. Pandangannya kini tertuju langsung pada Hana. “Lalu, siapa dirimu, Nona?” “Oh, dia karyawan baru, Tuan,” jelas Rocky cepat, membantu mempekenalkan diri bawahanannya. Rocky segera menoleh ke arah Hana, memberi isyarat dengan tatapan tegas agar dia segera memperkenalkan diri. Dengan sedikit gugup, Hana melangkah setengah maju. Ia menundukkan kepalanya sedikit sebelum berbicara. “Saya Hana Varelly, Tuan. Penulis baru di agensi ini. Senang bisa diterima di sini. Saya akan berusaha sebaik mungkin.” Ucapannya jelas, namun ia tak bisa menyembunyikan nada gugup di balik kata-katanya. Tuan Noh mengangguk perlahan, senyum tipis menghiasi wajahnya. Namun, senyum itu terasa seperti membawa beban makna yang lebih besar. “Ya, berusahalah sebaik mungkin,” jawabnya, nada suaranya memberi penekanan yang sulit ditebak. Hana membungkuk sekali lagi dengan sopan. Setelah itu, Tuan Noh berbalik tanpa menambahkan apa pun. Langkahnya tetap tegas, diikuti oleh dua bodyguard berjas hitam yang sejak tadi berjaga di belakangnya. Saat sosok Tuan Noh hilang dari pandangan, suasana perlahan kembali hidup, meskipun bisikan-bisikan kecil mulai terdengar di antara para karyawan. Hana hanya berdiri di tempatnya, masih berusaha memahami pertemuan singkat itu. ‘Rupanya dia Owner agensi ini...,’ batin Hana sambil kembali duduk ke mejanya. Rocky menepuk pundaknya pelan. “Kau beruntung dia tidak bertanya lebih banyak,” katanya dengan nada setengah berbisik, sebelum melanjutkan langkah ke meja lain. Tuan Noh melangkah keluar dari gedung agensi dengan tenang, meskipun auranya tetap memancarkan wibawa yang sulit diabaikan. Di depan pintu utama, sebuah Rolls-Royce Phantom hitam mengkilap sudah menunggu, dengan supir berdiri di samping pintu belakang, siap melayani. Tuan Noh masuk ke dalam mobil. Interior mobil itu memancarkan kemewahan kulit premium berwarna krem, ornamen kayu mengilap, dan wangi khas yang menyiratkan keanggunan tanpa cela. Ia bersandar dengan nyaman di kursi belakang, matanya menyipit sedikit, seakan memikirkan sesuatu. Setelah beberapa detik hening, ia menoleh ke pria yang duduk di depannya asisten pribadinya yang selalu sigap. “Cari tahu siapa Hana Varelly,” perintahnya pendek namun tajam. Asistennya mengangguk tanpa bertanya lebih lanjut. “Akan saya urus, Tuan.”Setelah kakeknya pergi, Rey keluar dari ruangannya dengan langkah tenang namun tegas. Sepatu kulitnya berbunyi ringan di atas lantai marmer, menarik perhatian karyawan yang berada di area meja kerja. Semua karyawan serempak berdiri menyambut kedatangan CEO mereka. Di antara mereka, Rocky, salah satu supervisor tim, melangkah maju dan memberi salam dengan hormat. “Ada yang bisa saya bantu, Tuan?” tanya Rocky dengan nada formal namun penuh rasa hormat. Rey mengedarkan pandangannya ke seluruh area, matanya sekilas berhenti di meja Hana sebelum ia menjawab dengan suara yang tenang namun tegas. “Setelah pulang kerja, mari makan malam bersama untuk penyambutan karyawan baru.” Rocky, yang menangkap maksud itu, melirik cepat ke arah Hana sebelum kembali menatap Rey. “Oh, tentu, Tuan! Saya akan mengatur semuanya.” Rey mengangguk singkat. “Saya yang traktir,” tam
Hana tertegun, matanya membesar karena keterkejutan. "Maaf, Tuan? Saya rasa saya salah dengar," katanya gugup, langkahnya secara refleks mundur sedikit. Rey tetap tenang, seolah tidak terganggu oleh reaksi Hana. Ia menghela napas panjang, memperhatikan sekeliling sebentar, lalu kembali menatapnya. "Mari kita bicara di tempat lain," ujarnya dengan nada datar namun penuh keyakinan. Hana membuka mulut hendak menolak, tetapi Rey sudah melangkah mendekat, memberikan isyarat agar ia mengikuti. Meski ragu, Hana akhirnya menurut, pikirannya penuh tanda tanya. Mereka masuk ke dalam mobil Rey, sebuah Mercedes-Benz S-Class yang terlihat mengilap di bawah lampu jalan. Suasana di dalam mobil hening, hanya diisi suara lembut musik klasik dari speaker mobil. Setelah beberapa menit berkendara, mereka tiba di sebuah kafe kecil dengan suasana hangat. Rey memesan ruang makan tertutup yang dirancang khusus untuk privasi
Rey baru saja memasuki apartemennya yang luas dan modern, dengan pemandangan kota yang berkilauan di malam hari. Ia melepas jasnya, menggantungnya di sandaran kursi, dan duduk di meja kerjanya. Di depan Rey, tumpukan dokumen menunggu untuk diperiksa, tetapi pikirannya melayang-layang, memikirkan rencana besar yang mulai terbentuk. Saat ia baru hendak membuka salah satu dokumen, teleponnya berdering. Nama "Hana" tertera di layar. Rey melirik ponselnya, lalu menjawab dengan suara tenang. “Ya, Hana?” Ia bersandar di kursi putarnya, menunggu apa yang akan dikatakan wanita itu. Di seberang, suara Hana terdengar jelas meski sedikit gemetar, “Saya bersedia menjadi tunangan palsu Anda.” Mendengar itu, sudut bibir Rey terangkat tinggi, membentuk senyuman penuh kemenangan. Ia menunggu sejenak, menikmati momen itu sebelum menjawab, “Baiklah, akan kusiapkan kontrak kerja sama kita.”
Petang menjelang, dan suasana kantor perlahan berubah menjadi sepi. Hana dan timnya baru saja menyelesaikan pekerjaan mereka hari itu. Naskah yang tengah mereka kerjakan sudah mencapai 80 persen. Dalam hati, Hana merasa bangga karena usahanya untuk terus belajar dan bertanya saat menemui kesulitan benar-benar membuahkan hasil.Rekan-rekan satu timnya pun tampak senang bekerja sama dengannya. Hana adalah tipe orang yang mau mendengarkan kritik dan menerima masukan dengan lapang dada, membuat suasana kerja menjadi lebih nyaman."Bye, Hana! Besok kita tempur lagi! Sepertinya naskah kita sudah selesai sepenuhnya besok. Semangat, ya!" seru Rocky, salah satu rekan yang terkenal enerjik, sambil melambai dengan penuh semangat."Iya, bye! Terima kasih untuk hari ini!" balas Hana ceria, melambai-lambaikan tangannya. Suaranya yang ceria menyelimuti kantor yang mulai sepi, menghangatkan suasana sebelum akhirnya Rocky dan yang lain keluar. TING!
Hana akhirnya sampai di depan gedung pencakar langit dengan logo besar bertuliskan "BG TV."Gedung itu berdiri megah, memancarkan aura arogan. Hana menatapnya dengan mata tajam, penuh kebencian. Seolah dengan pandangannya saja, ia mampu meruntuhkan seluruh bangunan.Setelah menarik napas panjang, ia melangkah masuk. Suara langkah sepatunya menggema di lantai lobby yang sepi. Tanpa ragu, ia menuju lift, menekan tombol menuju lantai tempat Juna berada.Ketika pintu lift terbuka, lantai itu masih dipenuhi beberapa karyawan yang lembur. Namun, Hana tidak peduli. Pandangannya lurus ke depan, langkahnya mantap, hingga ia berhenti di depan pintu ruangan Juna.Di luar, ia melirik sekilas meja wanita yang sering ia lihat bersama Juna, si wanita j*lang Dara. Wanita itu tampak masih menunggu, entah untuk pekerjaan atau untuk menunggu Juna.Hana tak mengetuk pintu. Ia langsung mendorongnya dengan kuat dan masuk ke dalam ruangan.Juna yang s
Di sebuah ruangan kerja yang megah, Tuan Noh duduk di belakang meja kayu mahoni yang besar dan elegan. Di sekitarnya, rak-rak penuh buku dan penghargaan bisnis berjajar rapi, menandakan betapa panjang dan gemilang perjalanan hidupnya sebagai seorang pengusaha.Di atas meja, tergeletak sebuah berkas dengan tulisan Hana Varelly di sudutnya. Tuan Noh menyandarkan tubuhnya di kursi, tangannya perlahan membuka berkas itu. Sebuah CV sederhana terlihat di dalamnya, memuat informasi tentang seorang wanita muda dengan riwayat pendidikan dan pengalaman kerja yang tak terlalu mencolok.Namun, yang membuatnya berhenti adalah kolom data keluarga. Di sana, tertera nama Federic Varelly sebagai ayah Hana. Tatapannya berubah tajam, jari-jarinya mengetuk ringan permukaan meja.“Federic Varelly ...,” gumamnya dengan nada rendah, mengingat nama yang begitu familiar baginya. Federic adalah rekan bisnis lamanya yang dulu sangat ia hormati, seorang pria yang dikenal karena kecer
Semilir angin pagi membelai lembut rambut Rey, menambah kesan memukau pada dirinya. Rambutnya yang masih setengah basah memberi kesan segar, sementara sorot matanya tajam namun tenang saat ia berbalik dan mendapati Hana berdiri di ambang pintu.Hana awalnya terkejut. Pertanyaan "Kenapa Tuan Rey tiba-tiba menjemput?" sempat terlintas di pikirannya. Namun, seketika ia menyadari, ini adalah bagian dari peran yang harus ia jalani.Wajahnya yang semula menunjukkan kebingungan berubah dengan cepat. Ia menyunggingkan senyum, sepenuhnya sadar bahwa permainannya telah dimulai.Rey melangkah mendekat, angin pagi ikut membawa aroma maskulin samar dari tubuhnya. Ia berhenti tepat di hadapan Hana, lalu membungkuk sedikit, bibirnya nyaris menyentuh telinga Hana.“Bersikaplah seperti pasangan pada umumnya. Kakekku memantau dari jauh,” bisiknya datar namun tegas, nyaris seperti sebuah perintah.Hana langsung merespons. Senyumnya meluas, kali ini lebih ce
"Astaga, Hana! Minum pelan-pelan," seru Lauren, meski masih terguncang dengan pernyataan Rey tadi.Rey, di sisi lain, hanya duduk dengan tenang, sesekali menatap Hana yang mencoba menenangkan diri. "Kau baik-baik saja, Hana?" tanyanya, suaranya terdengar seperti ejekan samar.Hana hanya bisa menatap Rey dengan mata melebar. Pipinya mulai memerah, baik karena tersedak maupun karena pernyataan Rey yang sama sekali tidak ia duga.Lauren kembali ke tempat duduknya saat Hana mulai stabil, sementara Hana hanya bisa menunduk, menggigit bibirnya untuk menahan diri agar tidak mengatakan sesuatu yang salah. Di dalam hatinya, ia memaki Rey habis-habisan.'Apa maksud semua ini, Tuan Rey?!' batin Hana dalam hati, sambil meneguk susu yang tersisa dengan gelisah.Namun, Rey tetap terlihat tak terganggu, seolah semua berjalan sesuai rencananya.Setelah sarapan selesai, Rey dan Hana pun berdiri dari meja makan.“Terima kasih atas sarapannya,
Sebelum Rey sempat membuka mulut untuk menjawab, mobil mereka melambat, mendekati sebuah tempat dengan cahaya warna-warni yang berkelap-kelip di kejauhan.Luminaria Park.Hana langsung teralihkan. Matanya berbinar melihat area pintu masuk yang dihiasi lampu gantung berbentuk bintang dan lentera warna-warni. Ada suara musik dari wahana, tawa anak-anak, dan aroma manis dari gerai makanan di sekitar area.Begitu mobil berhenti di parkiran, Hana segera membuka pintu dan turun dengan penuh semangat. Ia berbalik, menepuk jendela mobil Rey yang belum juga keluar."Ayo, Rey!" serunya girang.Rey turun perlahan, jauh lebih santai dibandingkan Hana. Ia sempat mengusap wajahnya sejenak sebelum menutup pintu mobil dan berdiri tegak. Melihat Hana yang begitu antusias, ia hanya bisa menggeleng kecil."Seperti anak kecil saja," gumamnya pelan, tapi senyum tipis terselip di sudut bibirnya.Hana menatapnya tak sabar. Saat melihat Rey mas
'Hubungan?' batin Hana, seketika pipinya merona lebih merah. Ia mengingat bagaimana ia bisa berakhir di apartemen Rey kemarin. Kenangan samar itu membuat jantungnya berdebar lebih kencang.Mata Hana melebar, refleks berbalik menghadap Rey. "Rey …, maafkan aku …, yang kemarin itu aku dalam pengaruh alkohol! A-aku akan tetap mematuhi peraturan kontrak hubungan palsu ini…, t-tapi…"Hana sebentar menunduk, menggigit bibirnya. Dengan suara nyaris berbisik, ia melanjutkan, "Apa kau … memakai pengaman?"Wajahnya memanas seketika. Ia bahkan terpejam mengatakannya, matanya mengerut lebih rapat karena menahan malu, sementara jemarinya memilin ujung blouse-nya tanpa sadar.Rey berdecih kecil. Kedua sudut bibirnya sedikit tertarik, matanya menyipit penuh godaan. Bahunya bahkan sedikit bergetar menahan tawa.Dengan langkah tenang, Rey mendekat, mencondongkan tubuhnya hingga bibirnya nyaris menyentuh telinga Hana. Suaranya terdengar rendah dan berbahay
Break syuting akhirnya tiba. Kru dan para pemain berbondong-bondong menuju meja tempat makanan kotak dibagikan. Suasana sedikit riuh dengan suara mereka yang bercengkerama, membahas adegan yang baru saja mereka lakukan atau sekadar mengeluhkan betapa panasnya cuaca hari ini. Hana ikut mengambil jatahnya. Begitu membuka kotak, ia melihat deretan sushi tertata rapi di dalamnya. Alisnya mengernyit sejenak sebelum beralih ke pilihan lainnya, bulgogi. "Ah, ini sushi. Aku tak suka," gumamnya, lalu segera mengganti pilihannya dengan bulgogi. Ia pun beranjak pergi menuju meja tempat teman-temannya duduk, tanpa sadar bahwa seseorang berdiri tak jauh darinya. Juna. Pria itu juga baru saja mengambil makan siangnya, tanpa sengaja berdiri di samping Hana saat memilih. Tatapannya mengikuti sosok wanita itu yang pergi tanpa menoleh sedikit pun ke arahnya. Ia menurunkan pandangan ke kotak sushi di tangannya, m
Dara berjalan keluar dari toilet dengan langkah cepat, napasnya memburu menahan amarah yang bergolak di dadanya. Tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya, jari-jarinya gemetar akibat emosi yang nyaris tak bisa ia kendalikan. Hana. Perempuan itu benar-benar berani menantangnya! Dengan wajah kesal, pandangan Dara menyapu lokasi syuting, mencari sosok yang bisa melampiaskan emosinya. Matanya dengan cepat menangkap keberadaan Juna yang masih berdiri di tempat yang sama, bersandar santai pada pagar pembatas area syuting. Namun, yang membuat darah Dara semakin mendidih adalah arah tatapan Juna, pria itu sedang memperhatikan Hana dari kejauhan. Hana, yang berjalan di antara kru dan tim produksi, tampak tidak peduli dengan keberadaan mereka berdua. Ia sibuk berbicara dengan rekan-rekannya, fokus pada pekerjaannya, seolah Juna bukan siapa-siapa lagi baginya. Dada Dara naik turun dengan cepat. Napasnya tersengal menah
Setibanya di lokasi syuting, Hana langsung mencari rekan-rekan satu timnya. Area itu sudah dipenuhi oleh kru produksi yang sibuk mempersiapkan peralatan dan memastikan semua berjalan lancar. Beberapa anggota tim agensi tengah mengurus artis mereka, ada yang membantu wardrobe, memastikan kostum para pemeran sesuai dengan karakter mereka, ada pula yang bertanggung jawab dalam makeup dan hairstyling, membuat para aktor dan aktris tampak sempurna di depan kamera. Yang lain sibuk berkoordinasi dengan sutradara dan manajer produksi, mengatur jadwal syuting, serta memastikan kebutuhan para artis terpenuhi. Hana, sebagai penulis, memiliki tugasnya sendiri. Ia berdiri di dekat monitor, memperhatikan bagaimana adegan demi adegan diambil, memastikan dialog yang diucapkan para pemeran sesuai dengan naskah yang telah ia susun. Ia juga mengamati latar belakang, set dekorasi, dan properti yang disorot kamera, semua harus sesuai dengan kon
Lift pun berhenti di lantai demi lantai, mengurangi jumlah orang di dalamnya. Perlahan suasana menjadi lebih lenggang, memberi ruang untuk bergerak.Rey tentu saja langsung menarik diri dari Hana begitu ada celah. Ia kembali berdiri tegak di sampingnya dengan sikap santai, seolah tidak pernah terjadi apa pun.Sementara itu, Hana menundukkan kepala. Wajahnya terasa panas, bahkan telinganya pun ikut memerah. Ia masih bisa merasakan hawa tubuh Rey begitu dekat tadi.Napasnya belum sepenuhnya stabil, dan jari-jarinya tanpa sadar memilin ujung blouse-nya, sebuah kebiasaan yang selalu ia lakukan saat gugup.Rey, di sisi lain, tampak menikmati ekspresi canggung yang ditunjukkan Hana. Bahkan, senyum tipis masih tersungging di bibirnya, meski samar.Ketika akhirnya lift sampai di lantai yang dituju, mereka berdua keluar tanpa kata. Rey berjalan lebih dulu, langkahnya tegap dan penuh percaya diri, meninggalkan Hana yang masih berusaha menenangkan d
Rey sudah duduk di dalam mobilnya, baru saja berhenti di depan lobi apartemen. Tangannya terangkat untuk melihat jam. Tepat sepuluh menit.Dari kaca depan, ia melihat Hana berlari kecil mendekat dengan napas terengah-engah, wajah polos tanpa riasan. Begitu masuk ke dalam mobil, Hana langsung bersandar lega, tangannya menekan dadanya, masih berusaha menstabilkan napasnya yang tersengal.Rey menoleh dan menatapnya diam-diam. Lalu tanpa peringatan, tubuhnya condong lebih dekat, wajahnya mendekati wajah Hana.Hana terkesiap, punggungnya otomatis menegang."T-Tuan...," rintihnya lirih, tangannya meremas jok mobil dengan gugup.Jarak di antara mereka semakin menipis. Hana bahkan bisa merasakan hembusan napas Rey begitu dekat. Jantungnya berpacu liar, pikirannya mulai dipenuhi berbagai kemungkinan.Namun, alih-alih melakukan sesuatu seperti yang Hana pikirkan, Rey hanya mengulurkan tangannya untuk ... memakaikan sabuk pengaman.
Hana berdiri terpaku di depan cermin, matanya menelusuri bayangannya sendiri dengan ekspresi campur aduk, kaget, panik, dan frustasi.Bajunya masih sama seperti semalam, kusut dan berantakan. Bahkan kancing atasnya terbuka lebar."Astaga!"Tangannya refleks menutup bagian depan bajunya sambil menggigit bibir. Ia benar-benar tidak bisa mengingat apa pun yang terjadi semalam. Dan sekarang, ia harus segera berangkat kerja, tapi ...Ia tidak membawa baju ganti!Hana mengacak-acak rambutnya sendiri, frustasi. Kalau dia datang ke kantor dengan pakaian ini, teman-temannya pasti langsung curiga!"Mampus aku ..." gumamnya pelan.Tidak ada pilihan lain. Mau tak mau, ia harus meminta izin terlambat pada Rey.Hana melirik ke arah ruang ganti, menunggu Rey selesai berganti pakaian. Tangannya sibuk menyisir rambutnya dengan gelisah, berharap setidaknya wajahnya tidak terlihat seperti orang yang baru mengalami kejadian ... men
Hana menatap Rey yang berada di atasnya, tetapi dalam pikirannya yang sudah kacau karena alkohol, ia mengira ini hanya mimpi.Alih-alih panik atau terkejut, ia justru tersenyum samar, lalu dengan tangan yang masih lemas, ia meraih dasi Rey dan menariknya perlahan. Rey sempat membelalak, tapi tak segera bergerak. Jarak di antara mereka semakin mengecil, hingga ia bisa merasakan napas hangat Hana menyentuh kulitnya.Hana memainkan ujung dasi itu dengan jemarinya, melonggarkan ikatan dasi di leher Rey sebelum terkekeh."Santailah, Tuan ...," bisiknya dengan suara bergetar. "Ups, maksudku ... Rey. Kau bilang kita harus santai saat berdua, kan?"Rey diam, tatapannya mengunci ke wajah wanita di depannya ini. Bibir Hana yang lembap masih bergerak, terus meracau dalam gumaman yang nyaris seperti bisikan.Setiap ekspresi yang Hana tunjukkan sekarang terasa begitu jujur. Tawanya, caranya berbicara, semua tanpa filter. Menampilkan sisi lai