Hana tertegun, matanya membesar karena keterkejutan. "Maaf, Tuan? Saya rasa saya salah dengar," katanya gugup, langkahnya secara refleks mundur sedikit.
Rey tetap tenang, seolah tidak terganggu oleh reaksi Hana. Ia menghela napas panjang, memperhatikan sekeliling sebentar, lalu kembali menatapnya. "Mari kita bicara di tempat lain," ujarnya dengan nada datar namun penuh keyakinan. Hana membuka mulut hendak menolak, tetapi Rey sudah melangkah mendekat, memberikan isyarat agar ia mengikuti. Meski ragu, Hana akhirnya menurut, pikirannya penuh tanda tanya. Mereka masuk ke dalam mobil Rey, sebuah Mercedes-Benz S-Class yang terlihat mengilap di bawah lampu jalan. Suasana di dalam mobil hening, hanya diisi suara lembut musik klasik dari speaker mobil. Setelah beberapa menit berkendara, mereka tiba di sebuah kafe kecil dengan suasana hangat. Rey memesan ruang makan tertutup yang dirancang khusus untuk privasiRey baru saja memasuki apartemennya yang luas dan modern, dengan pemandangan kota yang berkilauan di malam hari. Ia melepas jasnya, menggantungnya di sandaran kursi, dan duduk di meja kerjanya. Di depan Rey, tumpukan dokumen menunggu untuk diperiksa, tetapi pikirannya melayang-layang, memikirkan rencana besar yang mulai terbentuk. Saat ia baru hendak membuka salah satu dokumen, teleponnya berdering. Nama "Hana" tertera di layar. Rey melirik ponselnya, lalu menjawab dengan suara tenang. “Ya, Hana?” Ia bersandar di kursi putarnya, menunggu apa yang akan dikatakan wanita itu. Di seberang, suara Hana terdengar jelas meski sedikit gemetar, “Saya bersedia menjadi tunangan palsu Anda.” Mendengar itu, sudut bibir Rey terangkat tinggi, membentuk senyuman penuh kemenangan. Ia menunggu sejenak, menikmati momen itu sebelum menjawab, “Baiklah, akan kusiapkan kontrak kerja sama kita.”
Petang menjelang, dan suasana kantor perlahan berubah menjadi sepi. Hana dan timnya baru saja menyelesaikan pekerjaan mereka hari itu. Naskah yang tengah mereka kerjakan sudah mencapai 80 persen. Dalam hati, Hana merasa bangga karena usahanya untuk terus belajar dan bertanya saat menemui kesulitan benar-benar membuahkan hasil.Rekan-rekan satu timnya pun tampak senang bekerja sama dengannya. Hana adalah tipe orang yang mau mendengarkan kritik dan menerima masukan dengan lapang dada, membuat suasana kerja menjadi lebih nyaman."Bye, Hana! Besok kita tempur lagi! Sepertinya naskah kita sudah selesai sepenuhnya besok. Semangat, ya!" seru Rocky, salah satu rekan yang terkenal enerjik, sambil melambai dengan penuh semangat."Iya, bye! Terima kasih untuk hari ini!" balas Hana ceria, melambai-lambaikan tangannya. Suaranya yang ceria menyelimuti kantor yang mulai sepi, menghangatkan suasana sebelum akhirnya Rocky dan yang lain keluar. TING!
Hana akhirnya sampai di depan gedung pencakar langit dengan logo besar bertuliskan "BG TV."Gedung itu berdiri megah, memancarkan aura arogan. Hana menatapnya dengan mata tajam, penuh kebencian. Seolah dengan pandangannya saja, ia mampu meruntuhkan seluruh bangunan.Setelah menarik napas panjang, ia melangkah masuk. Suara langkah sepatunya menggema di lantai lobby yang sepi. Tanpa ragu, ia menuju lift, menekan tombol menuju lantai tempat Juna berada.Ketika pintu lift terbuka, lantai itu masih dipenuhi beberapa karyawan yang lembur. Namun, Hana tidak peduli. Pandangannya lurus ke depan, langkahnya mantap, hingga ia berhenti di depan pintu ruangan Juna.Di luar, ia melirik sekilas meja wanita yang sering ia lihat bersama Juna, si wanita j*lang Dara. Wanita itu tampak masih menunggu, entah untuk pekerjaan atau untuk menunggu Juna.Hana tak mengetuk pintu. Ia langsung mendorongnya dengan kuat dan masuk ke dalam ruangan.Juna yang s
Di sebuah ruangan kerja yang megah, Tuan Noh duduk di belakang meja kayu mahoni yang besar dan elegan. Di sekitarnya, rak-rak penuh buku dan penghargaan bisnis berjajar rapi, menandakan betapa panjang dan gemilang perjalanan hidupnya sebagai seorang pengusaha.Di atas meja, tergeletak sebuah berkas dengan tulisan Hana Varelly di sudutnya. Tuan Noh menyandarkan tubuhnya di kursi, tangannya perlahan membuka berkas itu. Sebuah CV sederhana terlihat di dalamnya, memuat informasi tentang seorang wanita muda dengan riwayat pendidikan dan pengalaman kerja yang tak terlalu mencolok.Namun, yang membuatnya berhenti adalah kolom data keluarga. Di sana, tertera nama Federic Varelly sebagai ayah Hana. Tatapannya berubah tajam, jari-jarinya mengetuk ringan permukaan meja.“Federic Varelly ...,” gumamnya dengan nada rendah, mengingat nama yang begitu familiar baginya. Federic adalah rekan bisnis lamanya yang dulu sangat ia hormati, seorang pria yang dikenal karena kecer
Semilir angin pagi membelai lembut rambut Rey, menambah kesan memukau pada dirinya. Rambutnya yang masih setengah basah memberi kesan segar, sementara sorot matanya tajam namun tenang saat ia berbalik dan mendapati Hana berdiri di ambang pintu.Hana awalnya terkejut. Pertanyaan "Kenapa Tuan Rey tiba-tiba menjemput?" sempat terlintas di pikirannya. Namun, seketika ia menyadari, ini adalah bagian dari peran yang harus ia jalani.Wajahnya yang semula menunjukkan kebingungan berubah dengan cepat. Ia menyunggingkan senyum, sepenuhnya sadar bahwa permainannya telah dimulai.Rey melangkah mendekat, angin pagi ikut membawa aroma maskulin samar dari tubuhnya. Ia berhenti tepat di hadapan Hana, lalu membungkuk sedikit, bibirnya nyaris menyentuh telinga Hana.“Bersikaplah seperti pasangan pada umumnya. Kakekku memantau dari jauh,” bisiknya datar namun tegas, nyaris seperti sebuah perintah.Hana langsung merespons. Senyumnya meluas, kali ini lebih ce
"Astaga, Hana! Minum pelan-pelan," seru Lauren, meski masih terguncang dengan pernyataan Rey tadi.Rey, di sisi lain, hanya duduk dengan tenang, sesekali menatap Hana yang mencoba menenangkan diri. "Kau baik-baik saja, Hana?" tanyanya, suaranya terdengar seperti ejekan samar.Hana hanya bisa menatap Rey dengan mata melebar. Pipinya mulai memerah, baik karena tersedak maupun karena pernyataan Rey yang sama sekali tidak ia duga.Lauren kembali ke tempat duduknya saat Hana mulai stabil, sementara Hana hanya bisa menunduk, menggigit bibirnya untuk menahan diri agar tidak mengatakan sesuatu yang salah. Di dalam hatinya, ia memaki Rey habis-habisan.'Apa maksud semua ini, Tuan Rey?!' batin Hana dalam hati, sambil meneguk susu yang tersisa dengan gelisah.Namun, Rey tetap terlihat tak terganggu, seolah semua berjalan sesuai rencananya.Setelah sarapan selesai, Rey dan Hana pun berdiri dari meja makan.“Terima kasih atas sarapannya,
Rocky memperhatikan kedatangan Hana dan Rey dari kejauhan. Ketika Rey berjalan masuk ke ruangannya tanpa banyak bicara, Rocky langsung mendekati meja Hana dengan membawa setumpuk berkas."Wah, Hana. Kau datang bersama dengan Tuan Rey?" tanyanya, meletakkan dokumen itu di meja Hana dengan ekspresi penuh rasa ingin tahu.Hana yang masih berusaha menenangkan pikirannya dari kejadian di lift tadi, tersenyum tipis. “Ah, tidak. Hanya kebetulan saja,” jawabnya asal, berharap Rocky tidak menggali lebih jauh.Namun, Rocky bukan tipe yang mudah puas. Ia menarik kursinya dan duduk di sebelah Hana, pandangan matanya penuh rasa penasaran. “Tuan Rey itu tipe pria yang jarang sekali berinteraksi secara pribadi dengan karyawan. Padahal, banyak sekali wanita di kantor ini yang mengidolakannya. Kau benar-benar beruntung bisa dekat dengannya.”Hana terbatuk kecil, merasa semakin canggung. Ia berusaha tertawa ringan untuk meredakan suasana. “Ah, tidak seper
Rey merintih pelan, matanya terpejam sesaat, menahan rasa sakit yang tampak mengganggu."Apa Anda terluka, Tuan?" tanya Hana panik, masih berada di atas tubuh Rey. Matanya memeriksa wajah Rey dengan cemas.Rey menghela napas berat, perlahan bangkit setengah duduk dari lantai, bersamaan dengan suara teriakan kru dan anggota tim lainnya yang bergegas mendekat."Betapa cerobohnya kau...," ucap Rey lirih dengan rintihan kecil, sebelum duduk sepenuhnya sambil menopang Hana hingga mereka sama-sama bisa duduk tegak."Maaf, Tuan...," lirih Hana. Ia menundukkan wajahnya, merasa bersalah, bahkan belum sadar bahwa kakinya terluka.Namun, Rey yang lebih sigap. Tatapannya tertuju ke kaki Hana, memperhatikan luka menganga akibat goresan pecahan kaca yang baru saja ia lindungi.Beberapa kru akhirnya tiba, terengah-engah, diikuti Rocky dan anggota tim lainnya. "Apa ada yang terluka?" tanya Rocky dengan wajah khawatir.Rey perlahan berdi
Hari-hari Hana berlalu dalam kesunyian yang sibuk. Ia tenggelam dalam tumpukan pekerjaan yang sengaja ia cari-cari, seolah sibuk adalah pelarian terbaik dari kenyataan yang terus membayanginya.Meski tubuhnya mulai terasa mudah lelah, ia tetap memaksa diri untuk aktif, menyibukkan tangan dan pikirannya, agar tak terlalu larut dalam rasa sepi.Dalam sela-sela rutinitasnya, saat malam tiba atau waktu istirahat siang, Hana punya satu hiburan kecil yang setia menemani, game restoran favoritnya. Ia memainkan game itu bukan sekadar untuk kesenangan, tapi juga sebagai tempat di mana ia merasa bebas, bebas dari penilaian, dari kenyataan, dan dari rasa sesak di dada. Ia pun mulai aktif di grup chat dalam game, sesekali ikut dalam obrolan ringan yang membuatnya tertawa kecil.Waktu berlalu, dan sedikit demi sedikit Hana membuka diri. Ia menulis dengan hati-hati, seolah masih ragu, namun merasa ada kehangatan dari komunitas kecil itu."Aku sedang mengandung," tulisnya di salah satu obrolan grup
Juna menatap tajam ke arah Rey, tidak gentar sedikit pun dengan emosi yang membara di mata pria itu. Dengan satu gerakan tegas, ia menepis tangan Rey yang masih mencengkeram kerah bajunya."Sebaiknya kau yang menjauhi Hana! Bukan aku!" desis Juna, suaranya rendah namun penuh tekanan. Ia sadar ini adalah koridor rumah sakit, dan pertengkaran terbuka hanya akan menarik perhatian yang tidak diinginkan.Rey terdiam sejenak. Rahangnya mengeras, wajahnya menegang dalam campuran emosi yang sulit dijelaskan. Perlahan, ia mengendurkan cengkeramannya, melangkah mundur selangkah demi selangkah, tapi sorot matanya masih tertuju ke pintu ruangan dokter.Hana masih di dalam sana.Ia ingin masuk, ingin bertanya langsung kepada wanita itu, ingin mendapatkan kepastian dari bibirnya sendiri. Tapi sebelum ia sempat bergerak lagi, Juna mendorongnya. Bukan dorongan kasar, melainkan gerakan halus, namun bagi Rey, dorongan itu terasa seperti hantaman yang mengguncang hatinya."Pergi," bisik Juna, nada suara
Sudah hampir sebulan sejak Hana mulai bekerja sebagai owner PT. First Food. Waktu berlalu begitu cepat, dan meskipun ia masih menyesuaikan diri dengan peran barunya, ia mulai terbiasa dengan ritme pekerjaannya.Namun, di balik kesibukannya, ada sesuatu yang lebih penting yang harus ia perhatikan, kehamilannya. Hari ini adalah jadwal kontrolnya, dan tanpa bisa dihindari, seseorang menawarkan diri untuk mengantarnya.Juna.Pria itu masih saja muncul dalam hidupnya, berusaha mengambil celah sekecil apa pun untuk mendekat lagi. Meski Hana berusaha menjaga jarak, Juna selalu menemukan alasan agar tetap ada di sekitarnya.Dan sekarang, di dalam mobil yang melaju menuju rumah sakit, suasana terasa canggung.“Apa masih sering mual?” tanya Juna sambil menyetir.Hana yang sejak tadi hanya menatap keluar jendela, menghela napas. “Udah mulai berkuran, nggak separah pertama kali.”Juna meliriknya sekilas. “Aku masih sering kepikiran. Kalau aja aku dulu lebih—”“Jangan bahas masa lalu, Juna.” Suara
Malam semakin larut, dan Hana yang awalnya hanya berniat merebahkan diri di kasur akhirnya tertidur dengan tenang. Rasa lelah yang menggelayuti tubuhnya perlahan memudar seiring napasnya yang semakin teratur.Keesokan paginya, sinar matahari yang menerobos melalui celah tirai membangunkannya. Hana menggeliat pelan sebelum meraih ponselnya yang tergeletak di samping bantal. Saat layar menyala, sebuah notifikasi dari game yang biasa ia mainkan menarik perhatiannya.Notifikasi dari akun bernama Reys_toran muncul di layar:[Hi, apa kau mau masuk grup?]Hana tersenyum kecil, lalu mengetik balasannya dengan ringan.[Ya, tentu]Setelah itu, ia meletakkan kembali ponselnya dan bangkit dari tempat tidur. Hari ini adalah hari penting, ia harus bersiap-siap untuk pergi ke kantor PT. First Food sebagai owner baru. Meskipun pagi harinya masih dihiasi rasa mual seperti biasa, kali ini tidak separah sebelumnya. Ia menarik napas dalam, berusaha menenangkan perutnya sebelum beranjak ke kamar mandi.Se
Malam itu, Hana kembali duduk di kursi makan dengan wajah pucat. Tangannya menggenggam sendok, tetapi setiap kali ia hendak menyendok makanan, rasa mual kembali menghantam.Aroma makanan yang dulu ia sukai, kini terasa begitu menyiksa. Bahkan sekadar mencium bau kopi yang diseduh ibunya pagi tadi saja sudah cukup membuat perutnya bergejolak.Bu Lauren yang sudah mengamati putrinya sejak tadi, akhirnya meletakkan semangkuk sup hangat di hadapan Hana."Ibu buat yang ringan saja. Setidaknya sup ini bisa kamu terima di perutmu," ucapnya lembut, duduk di seberang meja.Hana menatap sup yang mengepul itu. Aroma kaldu yang ringan sedikit menenangkannya, dan tanpa banyak kata, ia mulai menyendok sup tersebut pelan-pelan.Setelah beberapa suap, tubuhnya mulai terasa sedikit lebih baik. Ia meletakkan sendok, lalu menghela napas panjang.Hening menyelimuti mereka sejenak sebelum tiba-tiba Hana terisak.Tanpa peringatan, ia bangkit dari tempat duduknya dan memeluk ibunya erat. Bahunya terguncang
Siang itu, Rey melewati meja kerja Hana, dan di sana telah kosong.Tak ada lagi tumpukan naskah atau secangkir kopi yang biasa menemani wanita itu bekerja. Tak ada jejaknya di sini. Hanya ruang hampa yang tersisa, sama seperti hatinya yang kini terasa kosong tanpa kehadiran Hana.Dulu, ia mungkin tidak menyadari betapa terbiasanya melihat wanita itu di sekelilingnya. Tapi sekarang, setiap sudut gedung ini mengingatkannya pada sosoknya, suara lembutnya saat mendiskusikan naskah, ekspresi seriusnya saat mengetik, bahkan aroma parfumnya yang samar.Rey mendesah pelan, tak bisa berdiam diri lebih lama di sini. Pikirannya kacau. Tanpa berpikir panjang, ia melangkah keluar dari gedung agensinya, membiarkan udara siang yang terik menerpa wajahnya.Langkahnya cepat menuruni anak tangga menuju pelataran parkir, hingga suara seseorang mengejar dari belakang."Tuan! Anda mau ke mana?"Rey menoleh sekilas. Itu Bastian, sekretarisnya, yang kini sedikit terengah mencoba menyusul.Tatapan Rey tajam,
Hana menarik napas perlahan, mencoba menenangkan dirinya agar tidak terlihat gelisah. Ia tahu tatapan Rey tengah mengamatinya, menuntut jawaban lebih dari sekadar kata-kata. Tapi tidak, ia tidak bisa membiarkan Rey tahu yang sebenarnya."Hanya kelelahan saja, Tuan," jawabnya akhirnya. Suaranya terdengar cukup tenang, tapi jari-jarinya yang meremas kain celana di sisi tubuhnya mengkhianati kegelisahannya.Rey menatapnya lekat, seakan mencoba menembus pertahanannya. Ia bersandar ke sandaran kursinya, menghela napas panjang seolah frustasi."Hana …" Suaranya sedikit lebih lembut, tidak lagi sekadar suara seorang atasan kepada bawahannya. "Berhenti bersikap begini padaku… Aku—"Namun sebelum Rey bisa melanjutkan kata-katanya, suara lain tiba-tiba memotong momen di antara mereka."Rey?"Hana refleks menoleh. Veronica berdiri di ambang pintu dengan ekspresi terkejut yang dibuat-buat, seakan tak sengaja mengganggu percakapan mereka. Wanita itu melangkah masuk dengan santai, membawa tas kotak
Di rumah sakit yang sama, Rey berdiri di koridor lantai dua, tepat di depan jendela besar yang menghadap ke halaman parkir. Dari tempatnya berdiri, ia bisa melihat dengan jelas sosok Hana yang baru saja keluar dari pintu utama rumah sakit.Langkahnya terhenti.Matanya tidak bisa lepas dari wanita itu. Wajah Hana tampak pucat, rautnya lelah, dan gerakan tubuhnya lebih lambat dari biasanya. Bahkan dari kejauhan, Rey bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda.Tapi perhatiannya semakin teralih ketika seorang pria menghampiri Hana.Juna.Pria itu dengan sigap membukakan pintu mobil untuknya, memperlihatkan perhatian yang begitu terang-terangan. Rey mengepalkan tangannya tanpa sadar. Ada sesuatu yang menekan dadanya, membuatnya sulit bernapas sejenak.Kenapa Juna selalu ada di dekat Hana?Rey tahu mereka punya sejarah, tapi bukankah mereka sudah berpisah? Lalu, kenapa sekarang seolah-olah Juna yang menjadi tempat bersandar bagi Hana?Dia ingin mendekat, ingin bertanya langsung pada Hana. Tapi
Hana melangkah keluar dari ruang periksa dengan langkah yang terasa begitu berat. Seolah setiap langkah yang ia ambil adalah satu langkah menuju ketidakpastian yang lebih besar. Pikirannya penuh, emosinya bercampur aduk. Ia menekan perutnya dengan tangan, seolah mencoba menyerap kenyataan bahwa ada kehidupan kecil yang tumbuh di dalam dirinya.Bukan ia tidak senang. Tidak sama sekali. Tapi waktu yang tidak tepat ini membuatnya bingung. Bagaimana ia akan menjalani semuanya? Bagaimana ia akan menghadapi Rey?Di sampingnya, Bu Lauren diam-diam menghela napas panjang sebelum akhirnya merangkul pundak Hana dengan penuh kasih sayang."Nak …," suara Lauren terdengar pelan, hampir seperti bisikan. Ia menatap wajah putrinya dengan penuh kekhawatiran. "Itu anak Rey, 'kan?"Hana menegang. Ia tidak menjawab, hanya menundukkan kepala.Lauren menghela napas lagi, kali ini lebih dalam. "Dia harus tahu," bisiknya lembut.Namun, Hana dengan cepat menggeleng. Matanya terpejam sejenak sebelum ia mengang