Aku tak berharap banyak pada Teo. Apalagi setelah fajar dia tak kunjung datang. Pasti ada alasan tersendiri sampai-sampai Teo tak sempat kembali memenuhi janjinya atau sekadar membalas pesan yang kukirimkan.[Sudah sampai?]Kembali kubaca pesan itu dan hanya berbalas hampa. Akhirnya kuputuskan menyibak selimut, lalu turun dari ranjang yang besar ini. Aku tak boleh terlihat berantakan apalagi kesepian karena ditinggal suami beberapa jam saja.“Sudah bangun, Mir?” tanya Ibu yang rupanya sudah lebih dulu sibuk di dapur.“Ibu ngapain?”Ibu tersenyum kecil. “Kebiasaan, Mir. Susah hilangnya.”“Tapi ini gak kotor, Bu. Semalem juga sudah Amira gosok,” ucapku seraya berjalan mendekat. Kuraih spot kawat yang ibu gunakan untuk membersihkan sink. Beliau memang memiliki kebiasaan semacam itu sejak dulu.“Biarin aja, Mir. Sebelum ibu pulang seenggaknya ngelakuin apa buat kamu.”Aku menggeleng. Aku tak sependapat dengan ucapan ibu. “Sekarang ibu balik ke kamar istirahat. Biar sarapan Amira yang siap
Aku tak bisa menyembunyikan rona bahagia itu. Terlebih saat Teo menggandeng tanganku."Kenapa nggak bilang?" tanyaku masih setia memandanginya. Sesuatu yang nampak berlebihan."Bilang apa?""Bakal langsung ke stasiun. Aku pikir kamu sibuk banget sampai gak sempet bales WA aku."Teo mengulas senyum. Ia nampak santai menanggapi ucapanku. "Buat ibu masa aku gak sempetin," ucapnya.Aku mengangguk-angguk. Bersyukur Teo memprioritaskan keluargaku layaknya keluarganya. Dia juga tidak membeda-bedakan. Sesuatu yang jelas patut kusyukuri mengingat dulu Mas Baja tidak seperti itu."Tapi maaf aku gak bisa antar ke rumah. Harus langsung balik ke rumah sakit.""Iya. Nggak apa-apa. Toh aku udah perpanjang izin hari ini. Terlambat masuk kantor tidak masalah.""Wah sayang sekali," ucap Teo terdengar sedih."Kenapa?""Harusnya bisa kita habiskan sisa waktumu itu. Setelah ini pasti agenda-agenda kantor menanti.""Ya mau gimana lagi."Tiba-tiba memelekku. Ia menyandarkan dagunya di pundakku. "Tunggu aku
Pertemuan tak terduga itu membuatku tak nyaman. Terlebih setelah malam tiba hingga pagi aku harus kembali beraktivitas ke kantor tak ada pesan dari Teo. Pagiku yang memang sudah selalu sibuk menjadi tambah riuh dengan adanya kecamuk rasa akibat dua hal tersebut.“Nanti ibu jemput tepat waktu kan?” tanya Akila setelah aku mengantarnya ke depan gerbang sekolah.“Pasti. Tidak ada kata terlambat lagi,” jawabku yakin.Akila mengangguk-angguk. Ia menyalami tanganku seperti biasa. Kemudian sebuah senyum cukup lebar aku berikan seraya melambai padanya yang memang sudah ditunggu gurunya. Hari-hariku kembali normal seperti biasa setelah cuti menikahku berakhir. Kutarik napas kuat-kuat lalu mengembuskannya. Kantor yang letaknya tak jauh dari gedung sekolah ini harus kusambangi. Terlebih dahulu kusiapkan mental untuk menghadapi segala macam kemungkinan.Presensi finger print kantor menjadi aktivitas pertamaku. Sebisa mungkin aku memastikan penampilanku sudah oke, tidak ada yang kurang barang sedi
Aku berlalu tanpa menanggapi ucapan dari Mas Arhab. Selain aku tidak bisa menjawab apa-apa, rasanya terlalu tiba-tiba dia datang lagi ke duniaku. Sesuatu yang tak bisa kupikir dengan benar untuk sekarang.Begitu sampai di ruang kerja aku sibuk membenahi draft latihan soal yang akan digunakan para mentor. Kurva-kurva juga angka-angka yang tiga tahun ini menjadi teman setia kuotak atik kembali. Ada rasa senang yang menjalar saat aku bisa mencoba mengerjakan ulang soal-soal itu."Draftnya udah jadi, Amira?" tanya Mas Haris yang mendekat ke meja kerjaku."Bentar lagi, Mas. Kalau sudah langsung saya prin.""Oke. Buat yg bahasa inggris gimana, Rin?" Mas Haris juga menanyakan pada Rini yang duduknya di seberang kami."Beres. Udah nitip Amira buat ngeprin.""Loh!" protesku. Aku bertugas khusus mata pelajaran matematika. Sesuai kesepakatan seperti itu kenapa jadi berubah?"Udah sih. Lagian dari awal kamu di sini kan tukang ngeprin. Toh soal khusus matik udah ditangani Arun.""Iya beres, Mbak.
"Why?" tanya Teo sedikit berbisik. Ia tidak melepaskan pelukanku malah merengkuh lebih erat."Kamu sibuk banget. Kamu gak sempat bales chat aku. Aku khawatir kamu kenapa-napa," ungkapku tanpa menyembunyikan apa pun. Aku butuh melepaskannya."Kangen?" Aku mengangguk-angguk di peluknya. Kini kutemukan nama yang tepat untuk perasaan aneh ini. Kangen, ya aku kangen, aku rindu. Terlebih dengan kehadiran seseorang di masa lalu. Aku semakin ingin bersama Teo.Teo mengurai pelukannya. Ia tatap mataku lekat. "Ada masalah?"Aku menggeleng. Belum siap rasanya menceritakan semuanya sekarang. "Aku cuma rindu."Teo terkekeh. Ia pun mengusap kepalaku. "Me too.""Bagaimana kabar Papa? Sudah membaikkah?""Masih koma. Dokter masih terus mengawasinya.""Mama Ajeng?""Masih sedih. Sebenarnya aku ingin meminta waktumu untuk menjenguk mereka. Tapi aku tahu kamu sedang sibuk dengan proyek di kantor."Teo menjelaskan sambil mengajakku masuk ke ruang tengah. Memintaku duduk di sofa. Merilekskan diri, begitu
Aku, Teo dan Akila adalah orang yang tengah berusaha membangun keluarga. Kami dengan latar belakang yang cukup berbeda mencoba menyeimbangkan diri agar satu harmoni. Aktivitas pagi kami pun kembali. Aku dengan persiapan kerja, Teo mengurus resto dan Akila bersiap untuk sekolah. Namun, pagi ini Teo menyempatkan diri untuk mengantarku dan Akila."Ingat, Nak. Tidak boleh ketemu sama orang lain. Yang bisa jemput kamu hanya Ibu dan Om Teo atau Om Arga," jelasku pada Akila. Aku tidak mau kejadian seperti kemarin terulang lagi."Baik, Bu.""Ya sudah, salim dulu sama Om baru masuk."Akila beralih melihat Teo. "Selamat pagi, Om. Makasih sudah antar Akila."Teo pun tersenyum. Ia senanh menerima salam dari Akila. "Sama-sama Tuan Putri."Setelah mengantar Akila, Teo mengantarku menuju kantor untuk pertama kalinya. Meski sudah kularang, dia tetap memaksa."Kalau sibuk nanti biar aku sama Akila naik taxi online aja. Kamu gak perlu bolak balik ke sini," ucapku sebelum kami berpisah."Agendaku hari i
Aku dikejutkan dengan kehadiran Teo dan Akila yang tengah menunggu di depan kantor. Aku pikir Teo akan menjemputku dulu lalu bersama-sama menjemput Akila. Bukan sebaliknya."Lets Go!" ujar Teo setelah membuka pintu mobil untukku.Pada saat seperti ini aku tak bisa menyembunyikan rona bahagia. Sungguh apa yang dia lakukan untukku sangat istimewa. Gumaman kecil kuberikan sebagai bentuk rasa terima kasih."Mampir resto dulu gimana?" tanya Teo saat mobilnya meninggalkan area kantor.Aku langsung menoleh ke belakang. "Gimana, Nak?" "Akila pengennya gak makan berat.""Camilan?" tanya Teo sambil melirik ke kaca dashboard tengah. Akila menggeleng. "Chocolate?" Akila mengangguk. "Oke. Om punya tempat terenak untuk aneka coklat."Mata Akila berbinar. Ia tampak senang keinginan kecilnya bisa diwujudkan. Teo nampak enteng saja melakukan hal itu.Gelato DishNama cafe yang kami kunjungi cukup unik. Sudah mencerminkan apa yang ditawarkan di sana. Kami melangkah masuk setelah sebelumnya melihat-li
"Aku ke kamar Akila dulu. Bilang kalau mau mandi.""Oke. Aku tunggu di bathub."Dan seringai nakal dari Teo benar-benar tak bisa lepas dari pikiranku. Bahkan aku sampai melupakan pertanyaan inti tentang Akuntan Borneo. "Wo! Dipanggil dari tadi nggak denger!" seru Rini yang rupanya memanggilku."Ya, Mbak?" "Lo prik banget, sih. Ngelamunin apa?"Aku segera meraup wajah. Bagaimana mungkin aktivitasku dan Teo masih terekam di sini. Padahal sudah melewati malam dan pagi. Benar-benar berlebihan."Lagi nggak fokus.""Itu si Arun butuh tanda tangan Pak Arhab.""Terus, Mbak?" tanyaku polos. Menghadapi orang seperti Rini memang harus extra hati-hati."Ya kamu yang mintakan. Tugasmu itu.""Kenapa aku?""Masa aku? Jamannya sama Bu Hana juga kamu kan yang bolak balik. Lupa?" Rini dengan gaya sengaknya menyentakku. Lagi dan lagi.Akhirnya aku mengambil berkas yang diberikan Rini padaku. Kubawa ke ruang pimpinan."Ya, masuk!" seru Mas Arhab dari dalam. Meski berusaha tak gugup, nyatanya tetap suli
Riuh tepuk tangan itu menjadi awal proses akuisisi BaRlie oleh Aditama Group. Tanpa negosiasi yang alot dan terjadi seperti cuma-cuma. Teo yang nampak kebingungan hanya bisa mengikuti arahan Pak Rama saat diminta maju ke depan mendampingi Bu Hana.“Ini pemilik sebenarnya Aditama Group. Pewaris tunggal Almarhum Pak Aditama. Meski dulu, Aditama Group dibangun bersama papa saya, nyatanya dialah yang menikmati hasilnya sampai hari ini. Awalnya saya malas dan ragu melepaskan semua ini bahkan saya ada niat jahat ingin merebutnya dari anak kecil ini. Tapi, ada satu orang yang membuat saya takjub sampai-sampai menghilangkan rasa benci saya pada keluarga Aditama. Dia adalah Amira, istri dari Pak Teo ini yang sekaligus adik saya saat kami bekerja di sebuah lembaga bimbingan belajar. Kegigihannya membuat saya tak sampai hati melukai orang-orang terdekatnya. Pak Teo, anda harus berterima kasih pada istri anda,” ujar Bu Hana pada Teo di atas panggung di depan semua orang. “Baik, Bu.”“Sekarang sud
Ini pertama kalinya aku ke Bali bersama Teo. Meski Teo memiliki resto di sana dan kerap bolak balik Jakarta Bali aku tidak pernah ikut. Sebenarnya aku sedikit berat meninggalkan Akila dan Ibu tapi karena ibu mengizinkan dan tetap akan di Jakarta sampai aku pulang, akhirnya aku pun berangkat."Deg degan?" tanya Teo saat pesawat yang kami tumpangi mulai mengudara."Sedikit," jawabku sambil melirik ke arah jendela di mana aku bisa melihat ke bawah dan memang cukup menakutkan."Santai saja. Nanti juga nyaman kok," balas Teo sambil mengeratkan genggamannya. "Adek aman, kan?""Aman."Dan benar sekali perjalanan Jakarta Bali ini tidak terasa. Aku juga tidak tidur seperti saat melakukan perjalanan darat. Mungkin karena ini pertama kali jadi tidak nyaman untuk tidur di pesawat.Sesampainya di bandara kami disambut oleh manajer dari resto milik Teo. Memang selain datang untuk menghadiri undangan Bu Hanania, Teo berencana melakukan cekhing ke resto juga."Selamat siang, Pak dan Ibu. Selamat data
Aku tidak mengerti mengapa Teo memintaku ikut ke Bali. Penjelasannya pun terasa tak masuk akal. Tapi, Teo bersikeras menyampaikan aku harus ikut."Tapi aku sedang hamil. Apa tidak masalah naik pesawat?""Kita konsul dulu sama Dokter Adara. Atau kamu WA tanya.""Tapi kenapa mendadak sekali? Kenapa harus lusa?""Ini penting, Ra. Sangat penting. Nanti aku jelaskan saat kita udah berangkat."Teo mulai menyiapkan koperku. Dia membuka lemari dan berusaha memilih baju-baju yang akan aku kenakan. Rasanya aneh sekali."Nah, itu sudah datang orangnya," kata Teo setelah mendengar seruan dari Mbak Dewi. "Biar tunggu di bawah, Mbak!" jawab Teo."Kamu manggil siapa emangnya?""Ayo kita turun dulu," ajak Teo seraya menarik tanganku. Aku pun pasrah karena aku sendiri tidak mengerti detail yang akan disampaikan Teo. Aku hanya berusaha percaya. Itu yang bisa kulakukan. Sesampainya di ruang tamu aku jelas terkejut melihat siapa yang duduk di sofa."Dokter," ucapku."Saya jadwalkan cek di rumah sekalian
POV Teo"Kita harus berangkat sekarang jika tidak ingin terlambat, Pak.""Berangkat ke mana? Maksudnya apa, Pak Rama?" Aku masih belum terlalu paham dengan situasi yang baru saja dijelaskan Pak Rama. Bagaimana mungkin Raline menjual perusahaan sementara kondisinya seperti itu?Pak Rama pun menyodorkan beberapa file salinan dari apa saja yang sudah dikerjakan Baja dan Raline akhir-akhir ini. "Ini sebagian kecil, Pak. Sisanya saya ....""Sebentar. Ini benar, Pak?" tanya Arhab tiba-tiba yang mengenali nama pihak kedua dalam perjanjian itu."Benar, Pak Arhab. Ibu Hanania yang akan menjadi kunci dalam akuisisi ini.""Aku bilang apa. Dokter itu aku pernah meihatnya bersama Hana," terang Arhab padaku.Kini aku mengangguk setuju. Pasti ada sesuatu. "Kamu tau dia di mana, Hab?" "Bali, Pak. Bu Hana stay di bali selama ini," jawab Pak Rama seperti sudah memastikan semuanya."Kita berangkat hari ini. Cari tiket terdekat," ujarku yang langsung dijawab dengan anggukan Pak Rama.Tok! Tok! Tok!Ses
POV TeoApa yang belum pernah kudapatkan di dunia ini? Segala macam kemewahan dan kenikmatan hidup bisa dibilang sudah pernah kurasakan. Akan tetapi, tidak ada yang semenggembirakan ini. Mendengar detak jantung makhluk kecil yang masih bersembunyi di rahim mamanya membuatku tak bisa berhenti merasakan euforia yang susah sekali untuk kujabarkan.Aku tidak salah mendengar. Kata Dokter Adara janin atau nanti akan disebut sebagai bayi milik kami sehat tanpa kurang suatu apa. Detak jantungnya normal, pertumbuhannya juga sesuai dengan usia kandungan mamanya. Bahkan tadi dia bergerak-gerak lincah seakan menyapa papa mamanya mengabarkan kalau dia baik-baik saja. Lucu sekali. Ini lebih mengharukan dibandingkan memenangkan tender manapun. Dan lihatlah aku, Teodorus Liem Aditama dalam kurun waktu kurang dari satu tahun akan menjadi seorang papa."Ibu dan kandungannya sehat. Semuanya normal dan berkembang sesuai usianya. Ini hasil print outnya ya," ujar Dokter Adara sambil menyerahkan hasil cetak
Tamu tak diundang itu cukup mengejutkanku. Bagaimana bisa tanpa rasa sungkan dia datang seraya menyapa ibu dengan ramah."Apa-apaan? Kenapa bisa nyamper ke sini?" tanya Teo saat kami sudah bertiga di ruang tamu."Udah ketemu belum sama pemilik saham-saham itu?" Aku pun melirik sekilas ke arah mereka saat meletakkan minum yang dibuatkan Mbak Dewi. Walau awalnya enggan, karena ada ibu di rumah mana bisa kami menolak kedatangan mantan kepala desa itu."Aku bilang mau cuti sehari. Pak Rama aja paham. Lo enggak?" timpal Teo. Mereka nampak akrab tidak seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya."Makasih, Mir," ujar Mas Arhab malah menanggapi sikapku dibanding pertanyaan Teo."Istri gue, Hab!""Iya paham."Aku menggeleng. Mereka berdua benar-benar aneh. Dari cara komunikasi hingga kedekatan mereka tampak lebih akrab."Nih aku bawa nama penting hari ini," ujar Arhab seraya menyodorkan layar ponselnya ke Teo.Aku yang duduk di sebelah Teo praktis bisa membaca dan melihat profil perempuan yang sed
Aku bisa merasakan sentuhan itu. Seperti sesuatu yang telah lama kurindu. Rupanya saat aku menoleh, Teo ada di belakangku. Tangannya melingkar di perutku."Kamu udah pulang?" tanyaku meyakinkan.Teo mengangguk. Dia semakin mengeratkan pelukan. Pulang satu kata yang cukup jarang kami gunakan. Seharusnya sejak awal kami memang menjadikan rumah ini sebagai tempat pulang bukan tempat singgah pelepas lelah. Setelah berbalik, kuamati wajahnya yang tampak tak terawat. Seperti foto yang dikirimkan Mas Arhab, Teo tampak berantakan. Kubelai lembut pipinya, dan aku bisa merasakan kulitnya yang kasar."Maaf," ujarnya. Saat aku memandanginya penuh dia berujar maaf."Kenapa?""Maaf karena tak pernah memberimu kabar."Aku tersenyum kecil. Dari mana dia paham perihal kabar? Apa dia sudah menyadari sikapnya yang kadang keterlaluan? Aku pun mengangguk."Maaf sudah membuatku khawatir," imbuhnya. "Aku suami yang tidak tahu diri."Buru-buru aku menggeleng. Tentang suami yang tak tahu diri aku kurang setuj
Pov TeoBerkas-berkas itu terus menumpuk bahkan setelah aku membaca dan menandatanganinya. Pak Rama bilang ini baru di kantor utama belum yang di cabang perusahaan. Banyak sekali pekerjaan rumah yang harus kubereskan dan sialnya si pelaku dari timbulnya masalah besar ini sudah pergi ke neraka. Sesuatu yang sangat amat tidak sesuai dengan harapanku. Seharusnya Baja tidak semudah itu meregang nyawa. Harusnya cecuruk itu membayar semua perbuatannya. Kini berkas-berkas ini serasa tak penting lagi karena aku tidak bisa menghukum pelakunya. Data-data yang kukumpulkan bersama Pak Rama pun menguap begitu saja. Baru aku akan meremas semua berkas ini saking kesalnya pintu kantor terbuka."Maaf, Pak. Ada tamu," ujar sekretaris yang berjaga di luar. Aku masih belum ingat siapa namanya."Saya bilang tidak mau menerima tamu hari ini. Kamu lupa?""Mohon maaf, Pak. Beliau memaksa dan katanya penting.""Lebih penting mana dengan perintah saya!" sentakku. Aku sedang tidak mau diganggu.Lalu muncul satu
“Mama tidak mau ada kekacauan di Aditama group. Mama pengen Aditama group bisa langgeng sampai cucu-cucu mama.” Mata Mama Ajeng berkaca. Beliau memintaku untuk mendekat. “Nanti kalau papanya sudah tua, sudah waktunya istirahat, dia yang bakal gantiin papanya. Kamu sedang mengandung calon pewaris Aditama Group, Mir. Kamu harus kuat dan jangan sampai omongan orang di luar mempengaruhi kamu. Jangan sampai kamu sama Teo goyah. Janji sama Mama, ya.” Kali ini Mama Ajeng tampak bersungguh-sungguh.Aku tidak mungkin menggeleng dengan keadaan Mama Ajeng yang semakin hari semakin memburuk. Selepas kepergian Papa, mau tidak mau Mama Ajeng perlu mengurus banyak hal. Di saat Teo sempat tidak mau bergabung dengan keluarga dan perusahaan, pastilah Mama Ajeng memikirkannya sendirian.“Iya, Ma. Amira janji Amira bakal damping Teo terus.” Hanya itu yang bisa kuucapkan. Meski masih dibalut dengan banyak keraguan. Setidaknya di depan Mama Ajeng aku perlu menjadi istri yang tidak membebani keluarga suami