Setelah pertemuan di cafe dengan Mama Ajeng, aku tidak bisa menyembunyikan perasaan resah. Beberapa hal yang Mama Ajeng sampaikan malah membuatku tertekan."Teo Pewaris utama, Amira. Kita tidak boleh mengabaikanya. Kamu akan senang saat dia naik jabatan nanti."Aku tidak tahu hal-hal yang terjadi di keluarga orang kaya. Aku juga tak mengerti jika kelangsungan perusahaan sangat dipengaruhi dengan keturunan."Raline anak perempuan. Maka yang akan memegang kekuasaan tertinggi itu Baja. Mama gak mau, Amira. Mama gak ikhlas. Meski Teo bukan anak kandung kami, Teo jauh lebih layak."Aku menggeleng. Kata-kata Mama Ajeng lebih baik tidak kupikirkan. Terlebih saat aku sedang berada di kantor. Kuayunkan langkah dengan terburu-buru karena sudah melewati jam istirahat."Dari mana?" Suara seseorang mencegahku."Ya?""Jam makan siang sudah lewat. Kamu dari mana saja?""Saya ada urusan.""Pantas dicari-cari ndak ada.""Anda nyari saya?""Baca grup WA."Seketika aku mengecek ponsel. "Pantas kamu gak
Sayup sayup kudengar derap langkah seseorang menaiki lantai dua. Tawa kecil beserta obrolan juga tak ketinggalan. Segera kuperbaiki posisi duduk. Tak lupa menyisir rambut dengan jari tangan untuk merapikan."Semoga deal, ya, Bos. Nanti kita bisa luaskan cabang yang di Bali.""Semoga Bu Cantika. Jadi saya bisa segera pindah dai Jakarta.""Mari ….""Loh!""Selamat Sore …. Apa saya mengganggu waktunya?" tanyaku begitu mendapati mereka santai di lantai dua."Sepertinya saya harus pulang lebih awal, Bos. Ada nyonya besar di sini.""Sepertinya, Bu. Akhirnya hari yang saya nanti-nanti tiba.""Selamat bersenang-senang, Bos. Untuk berkas penandatanganan hari ini, saya kirimkan salinannya saja.""Baik, Bu Cantika. Terima kasih banyak sudah menemani saya hari ini.""Sudah menjadi tugas saya." Perempuan dengan pakaian casual tapi tetap elegan itu tersenyum. Lalu ia melihat ke arahku. "Salam kenal Bu Amira. Saya Cantika, manajer restoran." Bu Cantika mengulurkan tangan."Amira," jawabku seraya men
Setelah Ajiz datang, kami langsung bersiap menuju rumah sakit. Beberapa pesan terlebih dahulu kusampaikan pada Akila untuk mematuhi arahan Om dan Tantenya.“Nitip Akila, ya, San,” ujarku pada Santi—istri Ajiz.“Iya, Mbak. Aman sama kita.”“Kita cabut ya, Jiz,” imbuh Teo sambil menepuk lengan Ajiz.“Siap, Bro. Kasih kabar kalau ada apa-apa. Semoga Papa lo sehat segera.”“Thanks.”“Akila, ibu berangkat, ya,” ucapku sebelum meninggalkan Akila.“Iya, Ibu. Hati-hati,” kata Akila sambil mengajakku bersalaman.“Kami berangkat dulu,” pungkas Teo mengakhiri sesi pamitan.Di luar, Arga sudah menunggu dengan mobil kantor. Tadi sore kami memilih berkendara dengan sepeda motor, sehingga mobil Teo masih ada di cabang. Sedikit pun tak pernah terpikir akan ada kabar mendadak semacam ini.“Bisa ngebut nggak, Ga?” tanya Teo tampak khawatir. Dia sesekali menilik jam tangannya.“Saya usahakan, Bos.”“Ya, coba ya. Karena kami sudah ditunggu.”“Baik, Bos.”Setelahnya, Arga membawa mobil kantor dengan kecep
"Saya Aditama, pemilik Aditama Group menyerahkan perusahaan Aditama Group kepada anak saya Teodorus Lim Aditama."Seketika semua terdiam. Tatapan mata semua orang tertuju pada suamiku. "Untuk rumah utama yang biasa kami tempati, saya berikan kepada istri saya Ajeng Kamaratih. Dan teruntuk putriku Raline Aditama, papa minta bantuanmu agar membanto Teo mengurus perusahaan papa di Belanda. Jika menurut adikmu Teo kamu sudah benar mengelolanya maka kamu berhak mendapatkan perusahaan itu." Pak Rama menjeda. Dia mengamati sejenak brankar pak Aditama. "Demikian surat wasiat ini saya buat dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan siapa pun. Saya harap wasiat ini bisa dipergunakan sebagaimana fungsinya. Tertanda Aditama."Raline yang sejak tadi sudah seperti menahan geram akhirnya menggeleng. Ia melayangkan protes melalui tatapan matanya. "Ini sangat tidak adil.""Benar, Pak Rama. Bagaimana bisa istri saya mendapatkan hanya perusahaan kecil semacam itu?" Mas Baja ikut beragumen."Yang tertulis
Aku tak bisa langsung kembali ke rumah karena harus menemani Teo di kediaman Mama Ajeng. Akhirnya kuputuskan menghubungi Santi untuk membawakan baju ganti milikku dan mengantar Akila ke sini. "Punya kamu gak usah?" tanyaku setelah menelepon Santi."Gak usah. Masih banyak baju di situ," tunjuk Teo pada lemari besar di kamar ini. Setelah bergantian berjaga dengan Pak Rama, kami memutuskan untuk istirahat sejenak di kamar. Waktu sudah hampir pagi dan memang kami perlu memejamkan mata untuk persiapan pemakaman nanti. Penasaran dengan jawaban Teo, akhirnya kupastikan sendiri. Kubuka lemari baju yang cukup besar itu. Dan benar saja semua lengkap tak kurang suatu apa."Bukannya kamu udah lama gak tinggal di sini?" tanyaku yang lebih bergumam sendiri. Teo sudah mulai memejamkan matanya."Mama selalu minta aku buat pulang. Jadi, tiap tahun mama perbaharui isinya.""Oh," jawabku tak ingin lagi mempertanyakan sesuatu yang sudah jelas.Akhirnya kuputuskan mengamati kamar dengan ukuran terbilan
PYARRRR!!!!Seseorang menabrakku dari samping dan menyebabkan nampan itu jatuh."Mbak Amira!" panggil seorang yang lain dari sisi belakangku."Aduh maaf, maaf. Saya gak sengaja," ujar seorang perempuan yang menabrakku."Iya, gak apa-apa," jawabku masih syok."Biar saya yang bereskan." Perempuan muda yang tadi berbicara di dapur sigap membantuku."Terima kasih.""Mbak Amira geser dulu aja. Takutnya ada pecahannya.""Iya, Mbak," jawabku masih belum benar-benar paham."Ada apa, Del?" tanya perempuan yang tadi berbicara di dapur juga."Pecah, Mbak.""Gelas sama tekonya?""Iya.""Aduh mampus mana itu favoritnya Non Raline. Tadi kamu ambil yang di kulkas?" "Iya, Mbak.""Ah edan kamu, Del. Siap-siap dipecat kita.""Siapa yang bakal mecat, Bi?" tanya perempuan yang tadi menabrakku.Seseorang yang dipanggil Bi oleh perempuan itu pun mendongak. "Ya Ampun, Non Gea. Ini beneran Non Gea?"Perempuan bernama Gea itu mengangguk sambil tersenyum ramah. "Bagaimana kabarnya, Bi?""Baik, saya baik. Non
"Kamu jangan salah paham, ya. Gea tumbuh dan besar di belanda. Gayanya gaya barat," ucap Teo begitu kami sampai di kamar. Dia mulai melepas kancing kemejanya."Hmmm.""Aku hafal sifatmu, Ra. Kelihatan tuh di jidat kalau cembukur.""Cembukur?""Cemburu," bisiknya.Kemeja yang tadi Teo lepas aku terima dan kubawa ke keranjang baju. Aku malas menanggapi ucapannya soal cemburu."Mau asisten borneo, bu cantika, Gea, gak ngaruh kok," ucapku pada akhirnya."Oke. Kalau gitu aku mandi dulu. Tolong siapin bajuku."Aku mengangguk seraya membuka lemari besar yang isinya baju Teo semua. Gemericik air di kamar mandi bisa kudengar. Baru semalam di sini tapi rasanya sudah lama sekali.Kami kembali bergabung ke ruang utama setelah Teo selesai membersihkan diri. Dan di luar dugaanku, para pelayat yang tadi ada sudah pulang semua. Hanya tinggal Pak Rama, Ajiz, Santi, Akila dan Arga di ruang tengah."Sudah bubar semua, Pak?" tanya Teo pada Pak Rama. Ia ikut duduk di sofa panjang di ruangan itu."Sudah. B
Kami kembali ke rumah cukup terlambat karena aku terus-terusan mengeluarkan isi perut. Suasana di rumah sudah cukup sepi. Tinggal Mama Ajeng dan Gea saja yang duduk berdua di ruang keluarga."Akila," ucapku. Tadi kami menitipkannya bersama Arga."Ikut Raline sama Baja jalan-jalan," jawab Mama santai. "Kalian dari mana?""Tadi keluar sebentar, Ma.""Kira-kira kemana, Ma?" tanyaku khawatir. Pasalnya aku takut terjadi hal-hal yang tidak kuinginkan seperti dulu."Tadi kayaknya mau nyari baju. Sekalian ambil bajunya Raja.""Tapi Akila udah bawa baju," sahutku. Bagaimana bisa mereka membawa Akila begitu saja.Gea mengangkat bahu. Ia tidak berniat menanggapi ucapanku."Biarin aja. Toh Baja ayahnya Akila, Mir. Jangan terlalu khawatir," kata Mama Ajeng menenangkan."Iya, Ra. Kita percaya dulu aja sama mereka," imbuh Teo. Akhirnya aku pun mengangguk."Kalian udah makan belum? Makan dulu mumpung sepi. Habis isya nanti bakal rame lagi.""Sudah, Ma. Tadi kami keluar buat makan. Tapi Amira malah mu