Suasana malam ini cukup berbeda. Di tengah ketidaknyamanan yang ada aku dan Teo menyempatkan diri untuk makan malam di rumah. Penat dan kantuk kami abaikan demi kebersamaan bersama orang-orang tersayang."Ibu yakin gak mau nambah hari?" tanya Teo di sela menghabiskan makanan di piringnya. Ia tahu bahwa membujuk ibu tidaklah mudah tapi ia tetap mencoba."Ndak, Teo. Ibu mau pulang sama Martia saja. Kalian tidak perlu repot-repot mengantar sampai desa.""Mana ada repot, Bu. Teo tiap hari nyantai kok. Cuma ibu ndak jadi nemenin Akila di sini dulu?" tanya Teo lagi. Ia menikmati obrolan ringan yang tercipta. Sambil berusaha meyakinkan ibu untuk menunda kepulangan."Ada kalian berdua, jadi ndak perlu lah ibu di sini. Ibu biar di kampung saja. Toh, Akila sekolah, kamu kerja, Amira juga sama. Sendirian nanti ibu," kelakar ibu. "Maksudnya biar lebih ramai, Bu.""Kalau mau nambah rame ibu doakan segera datang adiknya Akila. Usahanya dimaksimalkan," pungkas ibu dengan senyum yang dikulum. Tampak
Aku tak berharap banyak pada Teo. Apalagi setelah fajar dia tak kunjung datang. Pasti ada alasan tersendiri sampai-sampai Teo tak sempat kembali memenuhi janjinya atau sekadar membalas pesan yang kukirimkan.[Sudah sampai?]Kembali kubaca pesan itu dan hanya berbalas hampa. Akhirnya kuputuskan menyibak selimut, lalu turun dari ranjang yang besar ini. Aku tak boleh terlihat berantakan apalagi kesepian karena ditinggal suami beberapa jam saja.“Sudah bangun, Mir?” tanya Ibu yang rupanya sudah lebih dulu sibuk di dapur.“Ibu ngapain?”Ibu tersenyum kecil. “Kebiasaan, Mir. Susah hilangnya.”“Tapi ini gak kotor, Bu. Semalem juga sudah Amira gosok,” ucapku seraya berjalan mendekat. Kuraih spot kawat yang ibu gunakan untuk membersihkan sink. Beliau memang memiliki kebiasaan semacam itu sejak dulu.“Biarin aja, Mir. Sebelum ibu pulang seenggaknya ngelakuin apa buat kamu.”Aku menggeleng. Aku tak sependapat dengan ucapan ibu. “Sekarang ibu balik ke kamar istirahat. Biar sarapan Amira yang siap
Aku tak bisa menyembunyikan rona bahagia itu. Terlebih saat Teo menggandeng tanganku."Kenapa nggak bilang?" tanyaku masih setia memandanginya. Sesuatu yang nampak berlebihan."Bilang apa?""Bakal langsung ke stasiun. Aku pikir kamu sibuk banget sampai gak sempet bales WA aku."Teo mengulas senyum. Ia nampak santai menanggapi ucapanku. "Buat ibu masa aku gak sempetin," ucapnya.Aku mengangguk-angguk. Bersyukur Teo memprioritaskan keluargaku layaknya keluarganya. Dia juga tidak membeda-bedakan. Sesuatu yang jelas patut kusyukuri mengingat dulu Mas Baja tidak seperti itu."Tapi maaf aku gak bisa antar ke rumah. Harus langsung balik ke rumah sakit.""Iya. Nggak apa-apa. Toh aku udah perpanjang izin hari ini. Terlambat masuk kantor tidak masalah.""Wah sayang sekali," ucap Teo terdengar sedih."Kenapa?""Harusnya bisa kita habiskan sisa waktumu itu. Setelah ini pasti agenda-agenda kantor menanti.""Ya mau gimana lagi."Tiba-tiba memelekku. Ia menyandarkan dagunya di pundakku. "Tunggu aku
Pertemuan tak terduga itu membuatku tak nyaman. Terlebih setelah malam tiba hingga pagi aku harus kembali beraktivitas ke kantor tak ada pesan dari Teo. Pagiku yang memang sudah selalu sibuk menjadi tambah riuh dengan adanya kecamuk rasa akibat dua hal tersebut.“Nanti ibu jemput tepat waktu kan?” tanya Akila setelah aku mengantarnya ke depan gerbang sekolah.“Pasti. Tidak ada kata terlambat lagi,” jawabku yakin.Akila mengangguk-angguk. Ia menyalami tanganku seperti biasa. Kemudian sebuah senyum cukup lebar aku berikan seraya melambai padanya yang memang sudah ditunggu gurunya. Hari-hariku kembali normal seperti biasa setelah cuti menikahku berakhir. Kutarik napas kuat-kuat lalu mengembuskannya. Kantor yang letaknya tak jauh dari gedung sekolah ini harus kusambangi. Terlebih dahulu kusiapkan mental untuk menghadapi segala macam kemungkinan.Presensi finger print kantor menjadi aktivitas pertamaku. Sebisa mungkin aku memastikan penampilanku sudah oke, tidak ada yang kurang barang sedi
Aku berlalu tanpa menanggapi ucapan dari Mas Arhab. Selain aku tidak bisa menjawab apa-apa, rasanya terlalu tiba-tiba dia datang lagi ke duniaku. Sesuatu yang tak bisa kupikir dengan benar untuk sekarang.Begitu sampai di ruang kerja aku sibuk membenahi draft latihan soal yang akan digunakan para mentor. Kurva-kurva juga angka-angka yang tiga tahun ini menjadi teman setia kuotak atik kembali. Ada rasa senang yang menjalar saat aku bisa mencoba mengerjakan ulang soal-soal itu."Draftnya udah jadi, Amira?" tanya Mas Haris yang mendekat ke meja kerjaku."Bentar lagi, Mas. Kalau sudah langsung saya prin.""Oke. Buat yg bahasa inggris gimana, Rin?" Mas Haris juga menanyakan pada Rini yang duduknya di seberang kami."Beres. Udah nitip Amira buat ngeprin.""Loh!" protesku. Aku bertugas khusus mata pelajaran matematika. Sesuai kesepakatan seperti itu kenapa jadi berubah?"Udah sih. Lagian dari awal kamu di sini kan tukang ngeprin. Toh soal khusus matik udah ditangani Arun.""Iya beres, Mbak.
"Why?" tanya Teo sedikit berbisik. Ia tidak melepaskan pelukanku malah merengkuh lebih erat."Kamu sibuk banget. Kamu gak sempat bales chat aku. Aku khawatir kamu kenapa-napa," ungkapku tanpa menyembunyikan apa pun. Aku butuh melepaskannya."Kangen?" Aku mengangguk-angguk di peluknya. Kini kutemukan nama yang tepat untuk perasaan aneh ini. Kangen, ya aku kangen, aku rindu. Terlebih dengan kehadiran seseorang di masa lalu. Aku semakin ingin bersama Teo.Teo mengurai pelukannya. Ia tatap mataku lekat. "Ada masalah?"Aku menggeleng. Belum siap rasanya menceritakan semuanya sekarang. "Aku cuma rindu."Teo terkekeh. Ia pun mengusap kepalaku. "Me too.""Bagaimana kabar Papa? Sudah membaikkah?""Masih koma. Dokter masih terus mengawasinya.""Mama Ajeng?""Masih sedih. Sebenarnya aku ingin meminta waktumu untuk menjenguk mereka. Tapi aku tahu kamu sedang sibuk dengan proyek di kantor."Teo menjelaskan sambil mengajakku masuk ke ruang tengah. Memintaku duduk di sofa. Merilekskan diri, begitu
Aku, Teo dan Akila adalah orang yang tengah berusaha membangun keluarga. Kami dengan latar belakang yang cukup berbeda mencoba menyeimbangkan diri agar satu harmoni. Aktivitas pagi kami pun kembali. Aku dengan persiapan kerja, Teo mengurus resto dan Akila bersiap untuk sekolah. Namun, pagi ini Teo menyempatkan diri untuk mengantarku dan Akila."Ingat, Nak. Tidak boleh ketemu sama orang lain. Yang bisa jemput kamu hanya Ibu dan Om Teo atau Om Arga," jelasku pada Akila. Aku tidak mau kejadian seperti kemarin terulang lagi."Baik, Bu.""Ya sudah, salim dulu sama Om baru masuk."Akila beralih melihat Teo. "Selamat pagi, Om. Makasih sudah antar Akila."Teo pun tersenyum. Ia senanh menerima salam dari Akila. "Sama-sama Tuan Putri."Setelah mengantar Akila, Teo mengantarku menuju kantor untuk pertama kalinya. Meski sudah kularang, dia tetap memaksa."Kalau sibuk nanti biar aku sama Akila naik taxi online aja. Kamu gak perlu bolak balik ke sini," ucapku sebelum kami berpisah."Agendaku hari i
Aku dikejutkan dengan kehadiran Teo dan Akila yang tengah menunggu di depan kantor. Aku pikir Teo akan menjemputku dulu lalu bersama-sama menjemput Akila. Bukan sebaliknya."Lets Go!" ujar Teo setelah membuka pintu mobil untukku.Pada saat seperti ini aku tak bisa menyembunyikan rona bahagia. Sungguh apa yang dia lakukan untukku sangat istimewa. Gumaman kecil kuberikan sebagai bentuk rasa terima kasih."Mampir resto dulu gimana?" tanya Teo saat mobilnya meninggalkan area kantor.Aku langsung menoleh ke belakang. "Gimana, Nak?" "Akila pengennya gak makan berat.""Camilan?" tanya Teo sambil melirik ke kaca dashboard tengah. Akila menggeleng. "Chocolate?" Akila mengangguk. "Oke. Om punya tempat terenak untuk aneka coklat."Mata Akila berbinar. Ia tampak senang keinginan kecilnya bisa diwujudkan. Teo nampak enteng saja melakukan hal itu.Gelato DishNama cafe yang kami kunjungi cukup unik. Sudah mencerminkan apa yang ditawarkan di sana. Kami melangkah masuk setelah sebelumnya melihat-li