“Kok bisa?” tanya Atira sambil melihat ke arah ban yang memang betul-betul kempes. “Bukan nginjek sesuatu gitu?” tanya Atira lagi. Kali ini Zafran sudah menyelesaikan teleponnya.
“Lihat Tira, ada paku di sana,” tunjuk Zafran ke arah pojok pagar. Di sana memang ada paku yang cukup besar. “Aku enggak mungkin memundurkan mobil sampai ke pojok seperti ini. Kalaupun kempes alami, dia akan ngempesin bertahap. Enggak kaya begini,” ucap Zafran sambil menendang kesal ban mobil sportnya. Atira hanya manggut-manggut mendengarkan penuturan Zafran.“Kalau benar, berani banget ya mereka berbuat kejahatan di dekat kantor polisi!” ucap Atira sambil menggelengkan kepalanya.“Di kantor polisi juga berani, kalau memang otaknya udah dipepes,” ucap Zafran menanggapi celotehan Atira.“Terus dimakan deh, emmhh... yummy!” sahut Atira sambil tertawa.“Idih, otak sapi iya yummy,” ujar Zafran bergidik. Tawa Atira bertambah kencang saat Zafran mengatakan hal itu.“Nah, itu dAgus memarkirkan mobilnya di depan lobby apartemen mewah di ibukota itu. Salah seorang satpam pun segera membukakan pintu mobil yang dinaiki oleh Zafran dan Atira. Zafran berpikir untuk menggendong Atira layaknya ala pengantin baru, namun ia khawatir jika Atira akan marah mendapatinya melakukan hal itu. “Hemmmhh... “ Zafran menarik nafasnya dalam-dalam. Kemudian, ia menepuk pelan lengan Atira. “Sayang!” panggil Zafran. “Eh... ““Eh... “ Atira langsung mengerjapkan matanya. Tak disangka, wanita itu langsung terbangun dengan panggilan pelan sekalipun. Bahkan, tepukan yang dilakukan oleh Zafran pun hanya oleh satu jari telunjuknya. “Udah nyampe ya?” tanya Atira sambil memindai sekelilingnya. Ah, benar saja, ini berada di depan lobby apartemen. Atira pun turun dan berjalan menuju lobby. “Hey, kok ikut masuk lobby? Kamu pulang aja, besok pasti masih banyak pekerjaan,” titah Atira saat mereka hendak melewati pintu lobby. “Selamat malam, Bu-pak!” sapa satpam sambil tersenyum d
Beberapa menit berlalu, Zafran keluar lagi dari unitnya tanpa sepengetahuan Atira. Ia berjalan menuju lift dan menunggu seseorang yang kini sedang menuju lantai 14 menuju lift. “Kalian berdua harus berjaga di lorong, depan unit apartemen istriku. Tak ada siapapun yang boleh masuk ke sana tanpa seizinku. Tapi ingat, jangan sampai istri saya curiga! Mengerti!” tanya Zafran dengan tatapan mengintimidasi. “Siap, Bos!” jawab kedua lelaki tersebut. “Oke, saya percayakan kepada kalian!” seru Zafran sambil berlalu memasuki lift. Malam semakin larut, tapi hati Zafran tak tenang saat mendapatkan kabar dari satpam kepercayaannya. “Ah, mamah. Nampaknya kabarmu memang valid,” lirihnya sambil memainkan kaki kanannya, menyalurkan emosi yang kini terpatri di hatinya. Ting... Zafran segera keluar dari lift saat ia tiba di lantai basement. Ia pun segera melangkahkan kakinya ke ruang keamanan. “Malam Pak Zafran!” ucap kepala satpam yang bernama Asfar.“Malam!” jawab Zafran sambil menjabat
Zafran menunggu lift dengan tak tenang. Ia pun terus berusaha menghubungi dua bodyguard yang ia tugaskan berjaga di depan unit apartemen Atira, namun tak juga diangkat. Ia pun segera menaiki lift yang diekori Asfar dan tiga anak buahnya. Hatinya betul-betul tak tenang, terlebih saat dua bodyguard nya tak juga mengangkat panggilan darinya. Zafran segera keluar dari lift saat kotak besi itu berhenti tepat di lantai 14.Zafran berlari dan menemukan kedua bodyguard nya masih berdiri dengan tenang, seolah tak terjadi apapun. “Mana istri saya? Kenapa kalian tak mengangkat telepon dari saya?” tanya Zafran dengan kesal. “Ada di dalam, Pak! Mohon maaf Pak, saya enggak bawa ponsel,”“ponsel saya di silent. Mohon maaf atas keteledoran saya. Saya betul-betul mohon maaf!” ungkap salah satu diantara mereka yang memang sudah diwanti-wanti oleh Zafran untuk menghubungi dirinya jika terjadi sesuatu. “Ada siapa yang datang ke sini?” tanya Zafran serius. “Hanya kurir yang sudah bos izinkan
“Ibu!” Atira kaget dengan ucapan bu Asih. Setelah ia sembuh, wanita itu tak pernah sekalipun melakukan hal yang berat, Atira betul-betul menjaga kondisi ibunya. “Ibu mau nemenin bu Retno di rumah sakit,” ucap bu Asih sambil berjalan ke kamar. Niatnya ia ingin memakai jaket dan membawa beberapa hal yang harus ia bawa. “Tapi Bu... aku takut ibu jatuh sakit. Biar Tira aja yang ke rumah sakit,” kilah Atira sambil mensejajarkan langkahnya. Bu Asih berhenti sejenak dari langkhanya. “Awalnya ibu kita Zafran yang mencelakaimu, tapi ibu rasa apa yang ia katakan masuk akal. Apalagi selama ini dia baik sama kita. Ibu takut kamu kenapa-kenapa,” ujarnya sambil mengelus lembut pipi Atira, kemudian ia kembali melangkahkan kakinya ke kamar. “Tapi Bu, Tira juga enggak akan memaafkan diri sendiri jika terjadi sesuatu kepada ibu. Bagaimana dengan Daffa dan Davin? Mereka butuh ibu!” ucap Atira yang kini memeluk ibunya dari belakang. “Tira mohon, Ibu jangan pergi malam-malam. Besok saja, ibu ber
“Aku pastikan besok akan terbukti. Good night! Mmuahh!” goda Zafran sambil mencium tangannya sendiri dan diarahkan kepada Atira. “Kiss jauh,” ucapnya. Atira berlagak seolah menangkap ciuman itu, kemudian ia buang. “Belum boleh!” tolaknya sambil tertawa. “You break my heart, break my hope! Hadeuh... “ keluh Zafran dengan sebuah lagu viral milik Putri Ariani. “Kok, suara kamu bagus banget!” kagum Atira saat mendengar Zafran bernyanyi sepenggal lirik lagu. “Kalau udah nikah, kita karokean sampe pagi. Aku tahu suara kamu bagus banget, Tira!” ungkap Zafran sambil menutup pintu unit apartemen milik Atira. Atira tersenyum dengan tingkah polah Zafran, tentunya sisi menyenangkan yang baru ia tahu. Rasanya, cinta itu sudah tumbuh dengan dibuktikan ia sering senyum-senyum sendiri. Tiba-tiba, Zafran menyembuhkan lagi kepalanya dari balik pintu. “Jangan lupa, enggak boleh buka pintu buat siapapun kecuali aku.” Setelah mengatakan itu, ia
“Aaahhhhh...!” “Tira! Tira! Ada apa Nak?” Bu Asih mengusap peluh yang bercucuran di kening menantu, atau mantan menantu kesayangannya. Wanita paruh baya itu kaget saat mendengar teriakan Atira dan langsung memeriksa keadaan Atira di kamarnya. Ia menemukan Atira tengah terduduk dengan nafas ngos-ngosan, persis orang yang habis lari maraton. “Sayang, kenapa?” tanya bu Asih kembali dengan raut wajah khawatir. Mata Atira menangkap sosok anak kecil yang kini tengah berdiri ketakutan di belakang bu Asih. “Daffa!” panggil Atira sambil merentangkan tangannya. “Sini, sayang!” pinta Atira. Bocah lelaki itu tak langsung menghampiri Atira, matanya melirik bu Asih seolah meminta persetujuan. Bu Asih menganggukkan kepala, barulah Daffa mau menghampiri Atira. Wajah takutnya kini berangsur menghilang. “Kamu ketiduran pakai mukena. Kamu mimpi buruk?” tanya bu Asih menatap lekat ke manik mata Atira. Atira merasa dejavu, ia seolah mengulangi kejadi
“Bu!” Atira semakin erat memeluk bu Asih. Ia pun berpikir mengapa sampai hati Bayu berbuat demikian. Ia merasa jika selama ini ia belum mengenal Bayu dengan baik. Namun, ia tak boleh meledak-ledak, ia harus membuat bu Asih tak terpuruk lagi. Nyatanya, bu Asih lebih berat dalam berpikir daripada dirinya. Ia yang memang ditempa hidup sendiri sekian lama, nyatanya ia lebih kuat. “Bu, siapa yang bilang kalau mas Bayu yang mengirimkan pizza itu?” tanya Atira dengan mata menelisik. “Semua memang dugaan Ibu, Bayu terus menunggu kamu di luar sampai akhirnya kamu kembali. Bahkan, saat kamu terdengar berbincang di Koridor dengan Zafran, ibu intip Bayu masih ada di depan rumah. Kamu enggak bertemu Bayu?” tanya bu Asih yang otomatis membuat Atira menggelengkan kepalanya. “Betulan, kamu enggak ketemu Bayu?” tanya bu Asih meyakinkan. “Enggak, Bu. Aku enggak ketemu mas Bayu. Yang aku baru tahu, Zafran memiliki unit apartemen tepat di depan kita. Nomer 1405,” ucap Atira yang membuat bu Asih mangg
“Apa Om?” tanya Zafran mengulangi pertanyaannya. “Hahahahahaha... “ tawa pak Syamsul terbahak-bahak. Zafran pun mengeraskan rahangnya karena tak terima dipermainkan oleh pamannya sendiri. “Sudah ah, Om masih banyak urusan. Sana!” kekehnya yang membuat Zafran menyerah. Seberapa kesal pun ia dengan seseorang, ia bukan tipe orang yang mudah terprovokasi. Apalagi, yang membercandainya merupakan orang-orang tersayang baginya, termasuk pak Syamsul. “Kalau bukan Om sendiri, udah aku cincang!” kesal Zafran sambil tertawa. “Ya, mana ada kamu cincang Om. Keluarga kita bukan keluarga yang ringan tangan, tapi ringan hati,” tunjuk pak Syamsul ke arah dada Zafran. “Iya dah, serah Om! Pokoknya aku enggak mau tahu, Om harus bilang apa rahasia tentang istriku! Kalau enggak, sampe jamuran juga aku diem di sini!” ucap Zafran lagi.“Ya udah, besok Om yang kawinin tuh si artis,” tawanya lagi sambil mengerlingkan matanya. “Aku bilangin tante Rena, baru tahu rasa!” ancam Zafran sambil mengeluar
Atira menutup buku Yasin yang ia baca di depan makam bu Asih. Ia pun memandangi makam yang berada di sebelah kanannya, yang masih tertutup gundukan tanah merah, tanda makam itu masih baru. Sedangkan, sebelah kirinya ada makam kecil yang juga masih bergunduk tanah Merah, makam anak yang belum pernah lahir ke dunia bahkan belum diketahui jenis kelaminnya. Hanya saja, Zafran dan Atira sepakat menamainya dengan nama Ahmad, sebuah nama yang ia sandarkan kepada sosok agung yang ia kagumi. “Sayang, ayo!” Zafran meletakkan tangan di atas pundak Atira. Dengan penuh kelembutan, lelaki itu mengajak Atira untuk beranjak dari sana. Atira mengangguk tanpa menoleh. Ia pun menghapus sisa air matanya, kemudian ia bangkit dan berbalik, mengikuti langkah Zafran. Mereka pun berjalan ke arah mobil dengan bergandengan tangan. Zafran mempersilakan Atira untuk menaiki mobil jenis high MPV milik mereka terlebih dahulu. “Sayang, bagaimana dengan kasus mas Bayu dan... Emmhh... “ pertan
“Jadi, kapan hubungan kalian putus?” tanya pak Hilman saat dokter Fajar baru duduk. “Mohon maaf, Pa! Saya belum sempat datang menghadap Papa!” ucap Fajar masih dengan kepala tertunduk. Sedari dulu, Ia memang begitu segan dengan pak Hilman yang merupakan cendikiawan dalam bidang kesehatan. Sedangkan, keluarga besarnya merupakan pejabat publik yang memiliki pengaruh besar di negri ini, mulai dari orang tua sampai saudara-saudaranya, semua merupakan pejabat pemerintahan. “Heemmmmhhh,” Pak Hilman menghembuskan nafas panjangnya. Ia diliputi perasaan kecewa, tapi ia pun tak bisa menuntut apapun karena ia mengetahui bahwa Yasmin lah yang salah. “Jadi, sesibuk apa kamu? Sampai-sampai tak sekalipun sempat untuk mengembalikan Yasmin padaku!” tanya pak Hilman tanpa menatap dokter Fajar, namun lelaki itu seolah ditelanjangi oleh pertanyaan lelaki paruh baya itu. “Maaf.” Hanya kata itu yang keluar dari mulut Fajar. Ia tak membela diri sedikitpun. “Kau juga sibuk mengejar istri orang.” Tiba
“Ah, enggak apa-apa,” sangkal bu Retno yang merasa tak perlu banyak berbasa-basi dengan orang yang baru dikenalnya. Bu Retno memang tahu bahwa bu Nurul dan putranya adalah dua orang yang telah menyelamatkan Atira. Ia berbuat baik kepada wanita yang ia sayangi seperti anaknya sendiri, tapi ia belum mau begitu terbuka dengan apa yang ada di dalam pikirannya. Ia masih harus berhati-hati. Bahkan, dirinya pun sudah pernah menjadi orang yang membahayakan bagi orang-orang yang berada di sekitar Atira. “Bu Asih,” lirihnya pelan. Ia masih merasakan sakit luar biasa saat mengetahui fakta bahwa bu Asih telah tiada. Padahal, ia pernah akan meracuni pak Suwardi dan istrinya, hanya untuk ditukar dengan keselamatan bu Asih. Janji orang jahat memang tak dapat dipercaya. “Kenapa, Bu?” tanya bu Nurul yang masih mendengar ucapannya, meskipun pelan. “Ah, emmhh... itu... “ bu Retno tergagap mendengar pertanyaan dari bu Nurul. “Nenek, ayo masuk!” seru Davin yang tiba-tiba mu
“Mama! Mama!” Suara itu terdengar begitu nyata bagi Atira. Ia merasa mendengar panggilan dari kedua anak kesayangannya. “Heemmm.” Hanya ucapan itu yang mampu keluar dari mulutnya. “Mama!” Terdengar lagi panggilan itu, panggilan Davin dan Daffa yang kini terdengar lebih nyaring bagi Atira. “Hemmm.” Kembali, hanya suara itu yang mampu ia katakan untuk menjawab panggilan dari kedua anaknya. “Mama! Mama bangun, Ma! Mama jangan tinggalin kita!”“Iya, jangan tinggalin kita kaya Nenek! Bangun, Ma!” Atira tersentak dari ketakberdayaannya. Ia harus menggaris bawahi kalimat meninggalkan kami seperti Nenek. Apakah suara-suara itu isi hati Davin dan Daffa. Dengan keinginannya yang kuat, Ia meminta pertolongan Tuhan agar segera membawanya kembali. “Davin, Daffa!” lirihnya seraya membuka mata dan langsung mencari sosok orang yang ia cari. “Mama! Papa, Mama sadar,” pekik Davin sambil mengalihkan pandangannya ke belakang. Zafran
“Tolong istri saya, Pak!” pinta Zafran seraya menunjuk ke arah Atira yang kini terkulai lemas di pangkuannya. “Dia Bos saya Pak, korban,” ucap Aji yang tiba-tiba muncul dari belakang polisi tersebut. “Kami butuh tenaga medis. Di dalam sudah kondusif,” ucap polisi tersebut berbicara lewat walkie talkie yang dia sampirkan di pinggangnya. Setelah itu, ia menodongkan senjata ke beberapa orang lain yang menjadi pelaku kejahatan. Beberapa polisi itu melumpuhkan mereka, menelungkupkan dan menyimpan tangan mereka di belakang. Suasana di dalam cukup menegangkan. Mirip seperti polisi kriminal yang sedang menangkap teroris. Untung saja Aji membersamai mereka sehingga Roni dan Zafran tak ikut dilumpuhkan. Aji menghampiri Zafran yang masih memeluk Atira, menguatkan wanita itu. Sedangkan Roni, ia membantu melepaskan ikatan Ressa, kemudian membantunya untuk duduk. Ressa melepas sendiri kain yang menyumpal mulutnya, sebelum akhirnya pecah tangisannya. “Yasmin! Yasmin!”
Atira langsung meninggalkan pekerjaannya untuk membuka tali yang mengikat kaki Ressa. Ia tak peduli apakah ia akan sempat menyelamatkan Ressa atau tidak, yang pasti ia harus secepatnya mencoba. Buggg... Prang... “Awww... “ Lelaki itu tersungkur tepat di depan wajah Ressa yang masih menangis tanpa bisa mengeluarkan suara, karena mulutnya masih tersumpal. Sedangkan kapak itu jatuh ke lantai, setelah sebelumnya sempat melukai orang ber-hoodie yang berada di sisi lain kepala Ressa. Yang saat terkena parang, ia sedang merapalkan mantra sambil menangkupkan kedua tangan di depan dadanya. Atira cukup kaget karena dia belum melakukan apapun kepada lelaki itu. Orang yang menggagalkan niat lelaki ber-hoodie untuk mencelakai Ressa adalah wanita ber-hoodie yang sudah dilumpuhkan oleh Atira di awal. Wanita ber-hoodie itu kembali terjatuh setelah melakukan aksinya tadi. Atira tak begitu peduli, ia langsung menyerang lelaki ber-hoodie yang saat ini masih tersungkur di depan Ressa. Buggg... A
“Mantra?” tanya Zafran meyakinkan. Atira menganggukkan kepalanya, “Sepertinya begitu!” jawab wanita cantik itu. Tanpa sepengetahuan Zafran, kini Atira sudah siap dengan senjata apinya, yang dia sembunyikan tepat di belakang pinggulnya. Untung saja, tadi dia sempat membuka penguncinya. Zafran sudah tiba di mulut lorong tangga. Ia langsung mengintip ke sumber suara, dimana terdengar kalimat-kalimat yang terdengar kuno kini diucapkan. Zafran menahan nafasnya saat netranya melihat pemandangan yang cukup mengerikan. Meskipun dia tidak begitu terpengaruh dengan hal-hal yang diluar nalar, tapi ketika dia melihat seorang wanita yang diikat di atas meja, layaknya sebuah hidangan dan dikelilingi oleh orang-orang yang menggunakan hoodie hitam panjang, perasaannya menjadi tak karuan. Tanpa pikir panjang, Zafran langsung keluar dari persembunyiannya. Ia bermaksud ingin memukul empat orang berhoodie yang kini sedang mengelilingi wanita yang nampak sangat lemah. Tanga
Atira menyiramkan air dingin dari gayung itu tepat di wajah Zafran. Rasanya tak tega, tapi ia harus melakukannya. “Apaan ini?” teriak Zafran langsung berdiri dan mundur. “Maafin aku, Zafi! Tapi syukurlah, kamu sadar,” cicit Atira seraya mendekati Zafran, memegang pundaknya dengan maksud menenangkan. Sepersekian detik, Zafran langsung menyadari apa yang terjadi padanya. “Sayang, kenapa kamu disini?” tanya Zafran tak terima karena istrinya berada dalam bahaya jika bersamanya di sana. “Aku udah bantu kamu, loh!” protes Atira sambil mencebikkan mulutnya. “Andi juga si...!”Byurrr... Belum selesai Atira mengucapkan kalimatnya, Deni sudah menyiram Andi dengan air dingin yang ia ambil dari kamar mandi. Namun sayang, hal itu tak lantas membuat Andi terbangun seperti Zafran. “Lagi!” titah Roni seraya menepuk-nepuk pipi Andi cukup kencang. Tak ada sahutan sama sekali. Lelaki itu masih lelap dalam ketaksadarannya. “
Sejurus kemudian, lelaki itu mengangkat kakinya untuk menendang Atira yang jatuh di lantai. Refleks, Atira menangkap kaki lelaki tersebut dan menariknya sampai lelaki itu kini terjatuh tepat di samping Atira, setelah wanita itu sedikit bergeser. Dengan cepat, Atira menekan leher lelaki itu dengan sikunya sekuat yang ia bisa. Menekan semua rasa kaget dan khawatir dengan keadaan sang suami. Lelaki itu menepuk-nepuk lantai tanda menyerah, tapi Atira tak peduli. Ia terus menekannya sampai tak ada pergerakan lagi dari lelaki itu. Atira melepaskannya, kemudian ia memeriksa denyut nadi di lehernya. Bagaimana pun, dia bukanlah seorang pembunuh dan ia tak mau melakukan hal itu walaupun dalam keadaan terdesak. Saat ia masih merasakan ada denyutan di sana, ia pun merasa lega. Ia meninggalkan kedua lelaki itu di sana, kemudian mengunci pintu kamar dengan kunci yang memang tergantung di lubang handlenya. Tanpa banyak kata, Atira segera berbalik melihat keadaan Zafran.