Beberapa menit berlalu, Zafran keluar lagi dari unitnya tanpa sepengetahuan Atira. Ia berjalan menuju lift dan menunggu seseorang yang kini sedang menuju lantai 14 menuju lift. “Kalian berdua harus berjaga di lorong, depan unit apartemen istriku. Tak ada siapapun yang boleh masuk ke sana tanpa seizinku. Tapi ingat, jangan sampai istri saya curiga! Mengerti!” tanya Zafran dengan tatapan mengintimidasi. “Siap, Bos!” jawab kedua lelaki tersebut. “Oke, saya percayakan kepada kalian!” seru Zafran sambil berlalu memasuki lift. Malam semakin larut, tapi hati Zafran tak tenang saat mendapatkan kabar dari satpam kepercayaannya. “Ah, mamah. Nampaknya kabarmu memang valid,” lirihnya sambil memainkan kaki kanannya, menyalurkan emosi yang kini terpatri di hatinya. Ting... Zafran segera keluar dari lift saat ia tiba di lantai basement. Ia pun segera melangkahkan kakinya ke ruang keamanan. “Malam Pak Zafran!” ucap kepala satpam yang bernama Asfar.“Malam!” jawab Zafran sambil menjabat
Zafran menunggu lift dengan tak tenang. Ia pun terus berusaha menghubungi dua bodyguard yang ia tugaskan berjaga di depan unit apartemen Atira, namun tak juga diangkat. Ia pun segera menaiki lift yang diekori Asfar dan tiga anak buahnya. Hatinya betul-betul tak tenang, terlebih saat dua bodyguard nya tak juga mengangkat panggilan darinya. Zafran segera keluar dari lift saat kotak besi itu berhenti tepat di lantai 14.Zafran berlari dan menemukan kedua bodyguard nya masih berdiri dengan tenang, seolah tak terjadi apapun. “Mana istri saya? Kenapa kalian tak mengangkat telepon dari saya?” tanya Zafran dengan kesal. “Ada di dalam, Pak! Mohon maaf Pak, saya enggak bawa ponsel,”“ponsel saya di silent. Mohon maaf atas keteledoran saya. Saya betul-betul mohon maaf!” ungkap salah satu diantara mereka yang memang sudah diwanti-wanti oleh Zafran untuk menghubungi dirinya jika terjadi sesuatu. “Ada siapa yang datang ke sini?” tanya Zafran serius. “Hanya kurir yang sudah bos izinkan
“Ibu!” Atira kaget dengan ucapan bu Asih. Setelah ia sembuh, wanita itu tak pernah sekalipun melakukan hal yang berat, Atira betul-betul menjaga kondisi ibunya. “Ibu mau nemenin bu Retno di rumah sakit,” ucap bu Asih sambil berjalan ke kamar. Niatnya ia ingin memakai jaket dan membawa beberapa hal yang harus ia bawa. “Tapi Bu... aku takut ibu jatuh sakit. Biar Tira aja yang ke rumah sakit,” kilah Atira sambil mensejajarkan langkahnya. Bu Asih berhenti sejenak dari langkhanya. “Awalnya ibu kita Zafran yang mencelakaimu, tapi ibu rasa apa yang ia katakan masuk akal. Apalagi selama ini dia baik sama kita. Ibu takut kamu kenapa-kenapa,” ujarnya sambil mengelus lembut pipi Atira, kemudian ia kembali melangkahkan kakinya ke kamar. “Tapi Bu, Tira juga enggak akan memaafkan diri sendiri jika terjadi sesuatu kepada ibu. Bagaimana dengan Daffa dan Davin? Mereka butuh ibu!” ucap Atira yang kini memeluk ibunya dari belakang. “Tira mohon, Ibu jangan pergi malam-malam. Besok saja, ibu ber
“Aku pastikan besok akan terbukti. Good night! Mmuahh!” goda Zafran sambil mencium tangannya sendiri dan diarahkan kepada Atira. “Kiss jauh,” ucapnya. Atira berlagak seolah menangkap ciuman itu, kemudian ia buang. “Belum boleh!” tolaknya sambil tertawa. “You break my heart, break my hope! Hadeuh... “ keluh Zafran dengan sebuah lagu viral milik Putri Ariani. “Kok, suara kamu bagus banget!” kagum Atira saat mendengar Zafran bernyanyi sepenggal lirik lagu. “Kalau udah nikah, kita karokean sampe pagi. Aku tahu suara kamu bagus banget, Tira!” ungkap Zafran sambil menutup pintu unit apartemen milik Atira. Atira tersenyum dengan tingkah polah Zafran, tentunya sisi menyenangkan yang baru ia tahu. Rasanya, cinta itu sudah tumbuh dengan dibuktikan ia sering senyum-senyum sendiri. Tiba-tiba, Zafran menyembuhkan lagi kepalanya dari balik pintu. “Jangan lupa, enggak boleh buka pintu buat siapapun kecuali aku.” Setelah mengatakan itu, ia
“Aaahhhhh...!” “Tira! Tira! Ada apa Nak?” Bu Asih mengusap peluh yang bercucuran di kening menantu, atau mantan menantu kesayangannya. Wanita paruh baya itu kaget saat mendengar teriakan Atira dan langsung memeriksa keadaan Atira di kamarnya. Ia menemukan Atira tengah terduduk dengan nafas ngos-ngosan, persis orang yang habis lari maraton. “Sayang, kenapa?” tanya bu Asih kembali dengan raut wajah khawatir. Mata Atira menangkap sosok anak kecil yang kini tengah berdiri ketakutan di belakang bu Asih. “Daffa!” panggil Atira sambil merentangkan tangannya. “Sini, sayang!” pinta Atira. Bocah lelaki itu tak langsung menghampiri Atira, matanya melirik bu Asih seolah meminta persetujuan. Bu Asih menganggukkan kepala, barulah Daffa mau menghampiri Atira. Wajah takutnya kini berangsur menghilang. “Kamu ketiduran pakai mukena. Kamu mimpi buruk?” tanya bu Asih menatap lekat ke manik mata Atira. Atira merasa dejavu, ia seolah mengulangi kejadi
“Bu!” Atira semakin erat memeluk bu Asih. Ia pun berpikir mengapa sampai hati Bayu berbuat demikian. Ia merasa jika selama ini ia belum mengenal Bayu dengan baik. Namun, ia tak boleh meledak-ledak, ia harus membuat bu Asih tak terpuruk lagi. Nyatanya, bu Asih lebih berat dalam berpikir daripada dirinya. Ia yang memang ditempa hidup sendiri sekian lama, nyatanya ia lebih kuat. “Bu, siapa yang bilang kalau mas Bayu yang mengirimkan pizza itu?” tanya Atira dengan mata menelisik. “Semua memang dugaan Ibu, Bayu terus menunggu kamu di luar sampai akhirnya kamu kembali. Bahkan, saat kamu terdengar berbincang di Koridor dengan Zafran, ibu intip Bayu masih ada di depan rumah. Kamu enggak bertemu Bayu?” tanya bu Asih yang otomatis membuat Atira menggelengkan kepalanya. “Betulan, kamu enggak ketemu Bayu?” tanya bu Asih meyakinkan. “Enggak, Bu. Aku enggak ketemu mas Bayu. Yang aku baru tahu, Zafran memiliki unit apartemen tepat di depan kita. Nomer 1405,” ucap Atira yang membuat bu Asih mangg
“Apa Om?” tanya Zafran mengulangi pertanyaannya. “Hahahahahaha... “ tawa pak Syamsul terbahak-bahak. Zafran pun mengeraskan rahangnya karena tak terima dipermainkan oleh pamannya sendiri. “Sudah ah, Om masih banyak urusan. Sana!” kekehnya yang membuat Zafran menyerah. Seberapa kesal pun ia dengan seseorang, ia bukan tipe orang yang mudah terprovokasi. Apalagi, yang membercandainya merupakan orang-orang tersayang baginya, termasuk pak Syamsul. “Kalau bukan Om sendiri, udah aku cincang!” kesal Zafran sambil tertawa. “Ya, mana ada kamu cincang Om. Keluarga kita bukan keluarga yang ringan tangan, tapi ringan hati,” tunjuk pak Syamsul ke arah dada Zafran. “Iya dah, serah Om! Pokoknya aku enggak mau tahu, Om harus bilang apa rahasia tentang istriku! Kalau enggak, sampe jamuran juga aku diem di sini!” ucap Zafran lagi.“Ya udah, besok Om yang kawinin tuh si artis,” tawanya lagi sambil mengerlingkan matanya. “Aku bilangin tante Rena, baru tahu rasa!” ancam Zafran sambil mengeluar
“Zafran, Tira! Huhuhuhuhu... “ tangis pilu terdengar dari sambungan telepon. “Kenapa sama Zafran, Mah?” seru Atira sambil bangun dan berlari menuju kamar bu Asih. “Bu!” teriak Atira histeris. Ia sangat khawatir dengan apa yang telah menimpa Zafran. Bahkan, ia menyesal karena telah mengabaikan panggilannya. “Ada apa, Tira?” tanya bu Asih yang tiba-tiba dipeluk Atira dengan tangisan. Bahkan bu Retno pun kini ikut hadir di sana. “Ada apa, Tira?” tanya bu Retno ikutan menangis. Tangannya terus mengelus-elus punggung Atira yang sedang tersedu di pelukan bu Asih. “Tira, tenang!” ucap bu Asih. Bu Retno segera berlalu, ia berniat untuk menghubungi Zafran dan menanyakan langsung apa yang terjadi. Saat ia melihat layar ponsel, ia menemukan panggilan Zafran sebanyak tujuh kali. Tanpa pikir panjang, bu Retno segera menghubungi balik nomor Zafran. Tanpa menunggu satu kali bunyi tut, panggilan itu pun segera diangkat oleh Zafran. “Hallo Bu. Atira beneran nangis ya?” ucap Zafran de