“Aaahhhhh...!”
“Tira! Tira! Ada apa Nak?”Bu Asih mengusap peluh yang bercucuran di kening menantu, atau mantan menantu kesayangannya. Wanita paruh baya itu kaget saat mendengar teriakan Atira dan langsung memeriksa keadaan Atira di kamarnya. Ia menemukan Atira tengah terduduk dengan nafas ngos-ngosan, persis orang yang habis lari maraton.“Sayang, kenapa?” tanya bu Asih kembali dengan raut wajah khawatir.Mata Atira menangkap sosok anak kecil yang kini tengah berdiri ketakutan di belakang bu Asih.“Daffa!” panggil Atira sambil merentangkan tangannya. “Sini, sayang!” pinta Atira.Bocah lelaki itu tak langsung menghampiri Atira, matanya melirik bu Asih seolah meminta persetujuan.Bu Asih menganggukkan kepala, barulah Daffa mau menghampiri Atira. Wajah takutnya kini berangsur menghilang.“Kamu ketiduran pakai mukena. Kamu mimpi buruk?” tanya bu Asih menatap lekat ke manik mata Atira.Atira merasa dejavu, ia seolah mengulangi kejadi“Bu!” Atira semakin erat memeluk bu Asih. Ia pun berpikir mengapa sampai hati Bayu berbuat demikian. Ia merasa jika selama ini ia belum mengenal Bayu dengan baik. Namun, ia tak boleh meledak-ledak, ia harus membuat bu Asih tak terpuruk lagi. Nyatanya, bu Asih lebih berat dalam berpikir daripada dirinya. Ia yang memang ditempa hidup sendiri sekian lama, nyatanya ia lebih kuat. “Bu, siapa yang bilang kalau mas Bayu yang mengirimkan pizza itu?” tanya Atira dengan mata menelisik. “Semua memang dugaan Ibu, Bayu terus menunggu kamu di luar sampai akhirnya kamu kembali. Bahkan, saat kamu terdengar berbincang di Koridor dengan Zafran, ibu intip Bayu masih ada di depan rumah. Kamu enggak bertemu Bayu?” tanya bu Asih yang otomatis membuat Atira menggelengkan kepalanya. “Betulan, kamu enggak ketemu Bayu?” tanya bu Asih meyakinkan. “Enggak, Bu. Aku enggak ketemu mas Bayu. Yang aku baru tahu, Zafran memiliki unit apartemen tepat di depan kita. Nomer 1405,” ucap Atira yang membuat bu Asih mangg
“Apa Om?” tanya Zafran mengulangi pertanyaannya. “Hahahahahaha... “ tawa pak Syamsul terbahak-bahak. Zafran pun mengeraskan rahangnya karena tak terima dipermainkan oleh pamannya sendiri. “Sudah ah, Om masih banyak urusan. Sana!” kekehnya yang membuat Zafran menyerah. Seberapa kesal pun ia dengan seseorang, ia bukan tipe orang yang mudah terprovokasi. Apalagi, yang membercandainya merupakan orang-orang tersayang baginya, termasuk pak Syamsul. “Kalau bukan Om sendiri, udah aku cincang!” kesal Zafran sambil tertawa. “Ya, mana ada kamu cincang Om. Keluarga kita bukan keluarga yang ringan tangan, tapi ringan hati,” tunjuk pak Syamsul ke arah dada Zafran. “Iya dah, serah Om! Pokoknya aku enggak mau tahu, Om harus bilang apa rahasia tentang istriku! Kalau enggak, sampe jamuran juga aku diem di sini!” ucap Zafran lagi.“Ya udah, besok Om yang kawinin tuh si artis,” tawanya lagi sambil mengerlingkan matanya. “Aku bilangin tante Rena, baru tahu rasa!” ancam Zafran sambil mengeluar
“Zafran, Tira! Huhuhuhuhu... “ tangis pilu terdengar dari sambungan telepon. “Kenapa sama Zafran, Mah?” seru Atira sambil bangun dan berlari menuju kamar bu Asih. “Bu!” teriak Atira histeris. Ia sangat khawatir dengan apa yang telah menimpa Zafran. Bahkan, ia menyesal karena telah mengabaikan panggilannya. “Ada apa, Tira?” tanya bu Asih yang tiba-tiba dipeluk Atira dengan tangisan. Bahkan bu Retno pun kini ikut hadir di sana. “Ada apa, Tira?” tanya bu Retno ikutan menangis. Tangannya terus mengelus-elus punggung Atira yang sedang tersedu di pelukan bu Asih. “Tira, tenang!” ucap bu Asih. Bu Retno segera berlalu, ia berniat untuk menghubungi Zafran dan menanyakan langsung apa yang terjadi. Saat ia melihat layar ponsel, ia menemukan panggilan Zafran sebanyak tujuh kali. Tanpa pikir panjang, bu Retno segera menghubungi balik nomor Zafran. Tanpa menunggu satu kali bunyi tut, panggilan itu pun segera diangkat oleh Zafran. “Hallo Bu. Atira beneran nangis ya?” ucap Zafran de
Tak berselang lama, ponsel Atira pun kembali berdering. Padahal, tadi pun Atira tidak pernah merasa memutuskan sambungannya. Saat melihat siapa yang menghubungi, Atira langsung mengangkat sambungan telepon tersebut. “Hallo, Mamah! Gimana sekarang Zafran? Mamah! Hallo!” Atira langsung memberondong dengan pertanyaan yang berputar-putar. “Hallo sayang!” jawab Zafran merasa bersalah. “Zafran, ini betulan kamu? Hah? Ini asli? Not just a prank? Sayang!” ucap Atira dengan berurai air mata. “Iya sayang, ini aku. Maafin aku, udah bohongin kamu tadi!” ucap Zafran lagi. “Maksud kamu?” tanya Atira terdengar tidak terima. “Tadi aku kesal karena kamu enggak angkat telepon aku. Jadi... jadi aku inisiatif mau bikin sesuatu yang bikin kamu perhatiin aku. Pas banget mamah lewat, jadi muncullah niatan iseng buat ngerjain kamu. Maafin aku yang enggak pernah mengira kalau kamu akan sekhawatir itu sama aku. Jadinya, aku ngerasa dicintai. Maafin aku ya!” ucap Zafran dengan penuh keseriusan. Tiba-tiba
Zafran langsung mengeraskan rahangnya saat ia melihat wajah Helen tanpa dosa datang ke gelaran resepsi mereka. Wanita licik ini bahkan tampil anggun dengan balutan gaun mewah, bahkan melebihi kemewahan gaun sang pengantin wanita. Untung saja Atira lebih cantik dan bersinar di acara pernikahannya, sehingga kemewahan gaun yang digunakan Helen hanya menjadi gunjingan saja. “Siapa yang mengundangmu, hah?” tanya Zafran dengan suara yang hanya bisa didengar oleh Helen dan kedua mempelai. Plakkk... “Ahahahahahahaha, rupanya suamiku sudah benar-benar dibutakan oleh pelakor.” teriak Helen secara tiba-tiba, bahkan dengan berurai air mata setelah ia memukul pipinya sendiri. Mendengar ada keributan di atas pelaminan, pengiring musik dan penyanyi jebolan ajang pencarian bakat yang menghibur para tamu undangan pun menghentikan lagunya sejenak. Bu Asih, pak Suwardi dan bu Haliza yang sedang menikmati santap siang pun segera kembali ke atas panggung tempat pelaminan berdiri gagah. Para tamu undan
“Apa kamu yakin, honey?” tanya Helen dengan bergelayut manja di pundak seorang lelaki. “Yakin dong, demi kamu apapun bisa ku lakukan termasuk mengenyahkan artis pendatang baru itu. Mantan suamimu yang bodoh itu pasti akan semakin gila karenanya.” Seringai licik pun terdengar dari kedua orang berbeda generasi itu. “Aahhh, aku jadi semakin cinta deh.” Helen mengecup singkat pipi lelaki tua berkepala plontos yang wajahnya terus saja di blur. “Lagian, lelaki tua itu akan semakin kehilangan jejak anak kandungnya sendiri.”“I love you!” ucap Helen yang kembali mengecup pipi lelaki berkepala plontos itu. “Eiittt, semua itu enggak gratis. Kamu harus ada setiap aku mau kamu, setiap aku butuh. Istriku yang cantik itu payah, setelah melahirkan dia jadi mirip dengan babu, tak bisa berdandan. Padahal saya modalin besar, dianya aja yang katro. Masa pergi kondangan pake kain jarik, baju alakadarnya. Malu-maluin aja!” keluh lelaki itu lagi. “Namanya juga masih bocah ingusan, orang kampun
“Aaagghhhh...!” teriak lelaki itu dengan sangat keras. Danu cukup kaget, namun otaknya bekerja dengan sangat cepat. Ia ingat betul bahwa dirinya mengaku tuli sehingga bisa langsung mengontrol ekspresinya. Danu berpura-pura tak mendengar apapun yang memekakan telinga. Ia hanya tersenyum saat lelaki tua itu membuka mulutnya saat berteriak. Ia sadar jika lelaki di hadapannya hanya sedang mengetes pendengaran Danu. “Bagaimana, Pak?” tanya Danu, tentunya dengan bahasa isyarat. Lelaki itu tak memahami pertanyaan Danu sehingga masih terdiam, ia seperti meyakinkan dirinya bahwa Danu mampu memasang CCTV nya. “Ada apa sih, sayang?” tanya seorang wanita yang kini menghampiri mereka. Wanita itu menggunakan bathrobe putih dengan rambut cukup acak-acakan. Yang lebih membuatnya kaget, wanita itu persis dengan seseorang. Namun, ia tak mengingat siapa. “Enggak, ini si Arul pesenin tukang CCTV yang tuli dan gagu.” Lelaki itu berlalu pergi begitu saja, tanpa memberikan keputusan apapun kep
“Maafin aku ya, gara-gara pekerjaan, kita jadi harus tunda dulu bulan madu,” ucap Atira sambil memandangi muka Zafran yang masih terlelap. Sedangkan dirinya, ia sudah cantik dan wangi. Atira pun mendekatkan wajahnya ke wajah suaminya. Ia berniat mencuri morning kiss tanpa sepengetahuan Zafran. Perasaannya dagdigdug tak karuan. Ini seperti pertama kalinya lagi bagi Atira mencium wajah lelaki. Terakhir ia melakukannya kepada Bayu bertahun-tahun lalu, saat Bayu akan berangkat ke Jepang. Cup... Atira berhasil mengecup pipi Zafran. Ia pun berlama-lama sambil berdo’a di dalam hatinya. “Ya Allah, panjangkanlah jodoh kami di dunia dan akhirat dalam keadaan sakinah, mawaddah, rahmah dan berkah. Bukakan hatinya untuk menyayangi Davin dan Daffa, juga beri kami keturunan yang soleh solehah. Amin.”Atira menjauhkan wajahnya dari Zafran. Namun, betapa kagetnya Atira karena ia mendapati Zafran sedang memandangnya sambil tersenyum culas. “Lagi!” pinta Zafran dengan suara manja. “Ih, engga
Atira menutup buku Yasin yang ia baca di depan makam bu Asih. Ia pun memandangi makam yang berada di sebelah kanannya, yang masih tertutup gundukan tanah merah, tanda makam itu masih baru. Sedangkan, sebelah kirinya ada makam kecil yang juga masih bergunduk tanah Merah, makam anak yang belum pernah lahir ke dunia bahkan belum diketahui jenis kelaminnya. Hanya saja, Zafran dan Atira sepakat menamainya dengan nama Ahmad, sebuah nama yang ia sandarkan kepada sosok agung yang ia kagumi. “Sayang, ayo!” Zafran meletakkan tangan di atas pundak Atira. Dengan penuh kelembutan, lelaki itu mengajak Atira untuk beranjak dari sana. Atira mengangguk tanpa menoleh. Ia pun menghapus sisa air matanya, kemudian ia bangkit dan berbalik, mengikuti langkah Zafran. Mereka pun berjalan ke arah mobil dengan bergandengan tangan. Zafran mempersilakan Atira untuk menaiki mobil jenis high MPV milik mereka terlebih dahulu. “Sayang, bagaimana dengan kasus mas Bayu dan... Emmhh... “ pertan
“Jadi, kapan hubungan kalian putus?” tanya pak Hilman saat dokter Fajar baru duduk. “Mohon maaf, Pa! Saya belum sempat datang menghadap Papa!” ucap Fajar masih dengan kepala tertunduk. Sedari dulu, Ia memang begitu segan dengan pak Hilman yang merupakan cendikiawan dalam bidang kesehatan. Sedangkan, keluarga besarnya merupakan pejabat publik yang memiliki pengaruh besar di negri ini, mulai dari orang tua sampai saudara-saudaranya, semua merupakan pejabat pemerintahan. “Heemmmmhhh,” Pak Hilman menghembuskan nafas panjangnya. Ia diliputi perasaan kecewa, tapi ia pun tak bisa menuntut apapun karena ia mengetahui bahwa Yasmin lah yang salah. “Jadi, sesibuk apa kamu? Sampai-sampai tak sekalipun sempat untuk mengembalikan Yasmin padaku!” tanya pak Hilman tanpa menatap dokter Fajar, namun lelaki itu seolah ditelanjangi oleh pertanyaan lelaki paruh baya itu. “Maaf.” Hanya kata itu yang keluar dari mulut Fajar. Ia tak membela diri sedikitpun. “Kau juga sibuk mengejar istri orang.” Tiba
“Ah, enggak apa-apa,” sangkal bu Retno yang merasa tak perlu banyak berbasa-basi dengan orang yang baru dikenalnya. Bu Retno memang tahu bahwa bu Nurul dan putranya adalah dua orang yang telah menyelamatkan Atira. Ia berbuat baik kepada wanita yang ia sayangi seperti anaknya sendiri, tapi ia belum mau begitu terbuka dengan apa yang ada di dalam pikirannya. Ia masih harus berhati-hati. Bahkan, dirinya pun sudah pernah menjadi orang yang membahayakan bagi orang-orang yang berada di sekitar Atira. “Bu Asih,” lirihnya pelan. Ia masih merasakan sakit luar biasa saat mengetahui fakta bahwa bu Asih telah tiada. Padahal, ia pernah akan meracuni pak Suwardi dan istrinya, hanya untuk ditukar dengan keselamatan bu Asih. Janji orang jahat memang tak dapat dipercaya. “Kenapa, Bu?” tanya bu Nurul yang masih mendengar ucapannya, meskipun pelan. “Ah, emmhh... itu... “ bu Retno tergagap mendengar pertanyaan dari bu Nurul. “Nenek, ayo masuk!” seru Davin yang tiba-tiba mu
“Mama! Mama!” Suara itu terdengar begitu nyata bagi Atira. Ia merasa mendengar panggilan dari kedua anak kesayangannya. “Heemmm.” Hanya ucapan itu yang mampu keluar dari mulutnya. “Mama!” Terdengar lagi panggilan itu, panggilan Davin dan Daffa yang kini terdengar lebih nyaring bagi Atira. “Hemmm.” Kembali, hanya suara itu yang mampu ia katakan untuk menjawab panggilan dari kedua anaknya. “Mama! Mama bangun, Ma! Mama jangan tinggalin kita!”“Iya, jangan tinggalin kita kaya Nenek! Bangun, Ma!” Atira tersentak dari ketakberdayaannya. Ia harus menggaris bawahi kalimat meninggalkan kami seperti Nenek. Apakah suara-suara itu isi hati Davin dan Daffa. Dengan keinginannya yang kuat, Ia meminta pertolongan Tuhan agar segera membawanya kembali. “Davin, Daffa!” lirihnya seraya membuka mata dan langsung mencari sosok orang yang ia cari. “Mama! Papa, Mama sadar,” pekik Davin sambil mengalihkan pandangannya ke belakang. Zafran
“Tolong istri saya, Pak!” pinta Zafran seraya menunjuk ke arah Atira yang kini terkulai lemas di pangkuannya. “Dia Bos saya Pak, korban,” ucap Aji yang tiba-tiba muncul dari belakang polisi tersebut. “Kami butuh tenaga medis. Di dalam sudah kondusif,” ucap polisi tersebut berbicara lewat walkie talkie yang dia sampirkan di pinggangnya. Setelah itu, ia menodongkan senjata ke beberapa orang lain yang menjadi pelaku kejahatan. Beberapa polisi itu melumpuhkan mereka, menelungkupkan dan menyimpan tangan mereka di belakang. Suasana di dalam cukup menegangkan. Mirip seperti polisi kriminal yang sedang menangkap teroris. Untung saja Aji membersamai mereka sehingga Roni dan Zafran tak ikut dilumpuhkan. Aji menghampiri Zafran yang masih memeluk Atira, menguatkan wanita itu. Sedangkan Roni, ia membantu melepaskan ikatan Ressa, kemudian membantunya untuk duduk. Ressa melepas sendiri kain yang menyumpal mulutnya, sebelum akhirnya pecah tangisannya. “Yasmin! Yasmin!”
Atira langsung meninggalkan pekerjaannya untuk membuka tali yang mengikat kaki Ressa. Ia tak peduli apakah ia akan sempat menyelamatkan Ressa atau tidak, yang pasti ia harus secepatnya mencoba. Buggg... Prang... “Awww... “ Lelaki itu tersungkur tepat di depan wajah Ressa yang masih menangis tanpa bisa mengeluarkan suara, karena mulutnya masih tersumpal. Sedangkan kapak itu jatuh ke lantai, setelah sebelumnya sempat melukai orang ber-hoodie yang berada di sisi lain kepala Ressa. Yang saat terkena parang, ia sedang merapalkan mantra sambil menangkupkan kedua tangan di depan dadanya. Atira cukup kaget karena dia belum melakukan apapun kepada lelaki itu. Orang yang menggagalkan niat lelaki ber-hoodie untuk mencelakai Ressa adalah wanita ber-hoodie yang sudah dilumpuhkan oleh Atira di awal. Wanita ber-hoodie itu kembali terjatuh setelah melakukan aksinya tadi. Atira tak begitu peduli, ia langsung menyerang lelaki ber-hoodie yang saat ini masih tersungkur di depan Ressa. Buggg... A
“Mantra?” tanya Zafran meyakinkan. Atira menganggukkan kepalanya, “Sepertinya begitu!” jawab wanita cantik itu. Tanpa sepengetahuan Zafran, kini Atira sudah siap dengan senjata apinya, yang dia sembunyikan tepat di belakang pinggulnya. Untung saja, tadi dia sempat membuka penguncinya. Zafran sudah tiba di mulut lorong tangga. Ia langsung mengintip ke sumber suara, dimana terdengar kalimat-kalimat yang terdengar kuno kini diucapkan. Zafran menahan nafasnya saat netranya melihat pemandangan yang cukup mengerikan. Meskipun dia tidak begitu terpengaruh dengan hal-hal yang diluar nalar, tapi ketika dia melihat seorang wanita yang diikat di atas meja, layaknya sebuah hidangan dan dikelilingi oleh orang-orang yang menggunakan hoodie hitam panjang, perasaannya menjadi tak karuan. Tanpa pikir panjang, Zafran langsung keluar dari persembunyiannya. Ia bermaksud ingin memukul empat orang berhoodie yang kini sedang mengelilingi wanita yang nampak sangat lemah. Tanga
Atira menyiramkan air dingin dari gayung itu tepat di wajah Zafran. Rasanya tak tega, tapi ia harus melakukannya. “Apaan ini?” teriak Zafran langsung berdiri dan mundur. “Maafin aku, Zafi! Tapi syukurlah, kamu sadar,” cicit Atira seraya mendekati Zafran, memegang pundaknya dengan maksud menenangkan. Sepersekian detik, Zafran langsung menyadari apa yang terjadi padanya. “Sayang, kenapa kamu disini?” tanya Zafran tak terima karena istrinya berada dalam bahaya jika bersamanya di sana. “Aku udah bantu kamu, loh!” protes Atira sambil mencebikkan mulutnya. “Andi juga si...!”Byurrr... Belum selesai Atira mengucapkan kalimatnya, Deni sudah menyiram Andi dengan air dingin yang ia ambil dari kamar mandi. Namun sayang, hal itu tak lantas membuat Andi terbangun seperti Zafran. “Lagi!” titah Roni seraya menepuk-nepuk pipi Andi cukup kencang. Tak ada sahutan sama sekali. Lelaki itu masih lelap dalam ketaksadarannya. “
Sejurus kemudian, lelaki itu mengangkat kakinya untuk menendang Atira yang jatuh di lantai. Refleks, Atira menangkap kaki lelaki tersebut dan menariknya sampai lelaki itu kini terjatuh tepat di samping Atira, setelah wanita itu sedikit bergeser. Dengan cepat, Atira menekan leher lelaki itu dengan sikunya sekuat yang ia bisa. Menekan semua rasa kaget dan khawatir dengan keadaan sang suami. Lelaki itu menepuk-nepuk lantai tanda menyerah, tapi Atira tak peduli. Ia terus menekannya sampai tak ada pergerakan lagi dari lelaki itu. Atira melepaskannya, kemudian ia memeriksa denyut nadi di lehernya. Bagaimana pun, dia bukanlah seorang pembunuh dan ia tak mau melakukan hal itu walaupun dalam keadaan terdesak. Saat ia masih merasakan ada denyutan di sana, ia pun merasa lega. Ia meninggalkan kedua lelaki itu di sana, kemudian mengunci pintu kamar dengan kunci yang memang tergantung di lubang handlenya. Tanpa banyak kata, Atira segera berbalik melihat keadaan Zafran.