Saking banyaknya pekerjaan pertama Alika hari ini, dia harus lembur hingga jam tujuh malam. Raka tidak menelepon sama sekali. Hal itu sedikit membuatnya kecewa. Tetapi, Alika sudah menduga sebelumnya. Mungkin, jika dirinya tidak pulang ke rumah, Raka tidak akan mempermasalahkannya.
"Loh, Lika, masih di sini?" tanya Dave saat melintas di depan ruangannya dengan pintu terbuka."Aku baru aja selesai." Alika sedang memasukkan barang-barangnya ke dalam tas selempangnya. "Kamu juga masih di sini, Dave?" tanyanya heran."Iya, baru selesai juga," kekehnya. "Pulang bareng, yuk?""Aku naik ojek aja," sahut Alika seraya berjalan ke arah Dave yang berdiri di ambang pintu. Keduanya pun berjalan bersama menuju lift yang akan membawa mereka turun ke lobi."Jangan, dong. Aku anter aja, ya, rumahnya searah, kok.""Beneran nggak usah." Alika menggulir layar ponsel untuk memesan ojek."Takut suamimu marah, ya?" tanya Dave."Nggak, sih, cuma nggak mau ngerepotin aja.""Nggak repot, dong. Udah, ya, aku anter aja. Cuma sampai depan rumah, kok, aku nggak keluar mobil."Alika masih menimbang-nimbang tawaran Dave. Sementara saat memeriksa layar ponsel, entah kenapa tidak kunjung ada ojek online yang menerima permintaannya." Okay," jawab Alika akhirnya.Dave tersenyum lebar. Keduanya lalu berjalan menuju parkiran outdoor di mana mobil Dave berada. Alika sedikit keheranan melihat mobil yang cukup mewah untuk ukuran seorang karyawan baru. Namun, dia tidak berani menanyakannya."Kamu emang diterima kerja sebagai apa di sini?" tanya Alika saat keduanya berada di dalam mobil."Bantuin staf ahli," jawab Dave sembari mengemudikan mobilnya keluar dari area kantor."Oh," sahut Alika sambil mengangguk-angguk."Ini mobil kantor, kok," terang Dave, seakan-akan tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Alika.Alika meringis. Dia malu telah tertangkap basah menanyakan tentang mobil Dave meskipun hanya di dalam benaknya."Misalnya kamu nanya-nanya dalam hati, kenapa aku pake mobil sebagus ini," kekeh Dave, kembali membuat Alika meringis malu."Enggak, kok. Ya, siapa tahu kamu emang anak orang kaya yang lagi belajar kerja dengan jadi karyawan biasa."Dave meloloskan tawanya sambil menggaruk kepala. "Bisa aja kamu ngarangnya.""Bentar, ya, Lika ... aku mau mampir ke minimarket dulu. Mau beli rokok," ucap Dave sambil menepikan mobil di depan sebuah minimarket waralaba. Alika mengangguk setuju."Mau titip apa?" tanya Dave sebelum keluar dari mobil dan dibalas dengan anggukan kepala perempuan itu.Alika memperhatikan sekilas punggung kokoh Dave saat pemuda itu berjalan masuk ke dalam minimarket. Kemudian, dia mengalihkan pandang ke seberang jalan. Niatnya hanya untuk memperhatikan lalu lalang kendaraan di jalan raya. Tetapi, pandangan matanya tertumpu pada seseorang dari balik kaca jendela sebuah cafe yang ada di seberang. Raka. Dada Alika berdegup kencang tatkala menyadari bahwa Raka tidak sendiri. Suaminya itu bersama seorang perempuan, yang tangannya digenggam erat-erat, kemudian mencium punggung tangannya dengan mesra.Alika mengerjap-ngerjapkan mata memastikan kalau dirinya tidak salah lihat, atau yang tertangkap netranya hanya halusinasi. Tetapi, semua yang dia lihat benar adanya.Dia sedang tidak bermimpi ataupun salah lihat. Lelaki dalam balutan kemeja coklat itu adalah Raka. Lalu siapa perempuan itu?Dada Alika begitu sesak menyaksikan Raka dan perempuan itu. Apa mungkin dia yang bernama Risa, yang mengirimkan pesan ucapan mesra itu pada Raka."Maaf, ya, lama nunggu. Antri tadi kasirnya. Lika?" Dave yang baru saja masuk memperhatikan Alika yang sedang menatap ke arah seberang jalan dengan tatapan tajam. "Kamu lagi lihat apa?" tanyanya. Pandangan matanya dia alihkan ke tempat di mana Alika menatap. Tampak dari jendela kaca sebuah cafe, ada sepasang lelaki dan perempuan yang sedang saling menggenggam tangan, sambil sesekali saling menciumnya."Lika?" panggil Dave."Ah, ya? Maaf," timpal Alika gugup. "Udah selesai?" tanyanya kemudian. Tetapi, Dave bisa melihat perubahan ekspresi wajah Alika yang tiba-tiba seperti ternaungi awan hitam."Kamu kenapa?" tanya Dave."Oh, nggak papa," jawab Alika sambil memaksakan senyumnya.Dave memandang kembali ke arah cafe. "Kamu kenal mereka? Kayaknya barusan kamu lagi ngeliatin mereka, deh.""Oh, nggak, nggak kenal.""Kamu nggak papa, nih?"Alika menggeleng. "Pulang sekarang, ya, Dave ... takut suamiku khawatir," ucapnya dengan dada perih." Okay." Dave melajukan mobil masuk ke jalan raya. Sepanjang perjalanan, keduanya terdiam. Namun, Dave tahu ada yang tidak beres dengan Alika. Sepertinya---kalau dia tidak salah menebak---lelaki di dalam cafe itu seseorang yang dekat dengan perempuan itu. Atau yang lebih parahnya adalah, suaminya.Namun, Dave hanya menyimpan sendiri prasangkanya tanpa berniat untuk menanyakannya pada Alika, meskipun dalam hati dia mengkhawatirkan perempuan itu.Sesampainya di depan rumah mewah tempat tinggal Alika, Dave menghentikan mobilnya."Makasih, Dave," ucap Alika sambil membuka pintu mobil."Kamu nggak papa, beneran?" tanya Dave, alih-alih menyahut ucapan Alika. Sebelum pergi, dia ingin memastikan perempuan itu baik-baik saja."Aku nggak papa, Dave. Makasih, ya?" Alika melambaikan tangannya."Ya, udah, aku pamit dulu, ya?" ujar Dave dari dalam mobil. Alika mengangguk, lalu menunggu hingga mobil Dave berlalu dari hadapannya.Alika melangkah gontai memasuki halaman rumah. Perasaannya kacau balau. Akhirnya dia terduduk di teras dengan pikiran melayang ke mana-mana.Sudah jelas Raka memiliki hubungan khusus dengan perempuan itu. Mereka terlihat begitu mesra. Tidak mungkin hanya teman biasa. Tetapi pertanyaannya, kenapa Raka bisa berpindah ke lain hati begitu cepat. Dulu Raka selalu mengatakan bahwa dirinya lah satu-satunya perempuan yang dia cintai. Tidak akan pernah ada perempuan lain yang bisa membuatnya jatuh cinta. Semua janji yang diucapkan Raka seakan tidak ada artinya lagi.Bulir-bulir bening jatuh ke pipinya. Perasaannya hancur berantakan. Harapannya luluh lantak. Apa yang harus dia lakukan sekarang.Alika mendongak saat mobil milik Raka memasuki halaman. Dia berdiri saat suaminya itu berjalan memasuki teras dan menatapnya dengan tatapan penuh amarah.PLAKKSebuah tamparan keras mendarat di pipi Alika, membuat perempuan itu memekik kesakitan. Dipegangnya pipi yang kini memerah. Alika bingung, bukankah seharusnya dirinya yang menampar Raka karena telah main serong di belakangnya. Tetapi, kenapa justru dirinya yang mendapat tamparan di pipi."Jalang kamu!" maki Raka dengan kilatan amarah di mata."A-apa maksud kamu, Mas?" tanya Alika, masih memegangi pipinya yang terasa perih.
"Berani, ya, kamu main serong di belakangku?"Mata Alika membulat. "A-apa? Bukankah kamu yang ....""Diam kamu!" Sentak Raka. "Kamu pikir aku nggak tahu, di tempat kerjamu, kamu berdua-duaan dengan laki-laki?""Kamu mau menghancurkan harga diriku sebagai suami, Lika? Dan mencoreng nama baik keluarga Goenarto?""Aku nggak ngerti maksudmu, Mas? Auch! Sakit, Mas!" pekik Alika tatkala Raka meraih dagunya dan mencengkeramnya keras.*****
Alika masih meratapi kesedihannya di tepi ranjang. Berkali-kali menyusut air mata tetapi buliran bening itu susul menyusul jatuh di pipi tak berkesudahan.Ini pertama kalinya Raka berbuat kasar padanya secara fisik. Sebelum-sebelumnya, dia hanya melontarkan kata-kata menyedihkan, namun tidak sampai mengangkat tangan. Kenapa begini. Bukankah seharusnya dirinya yang marah karena melihat dengan mata kepala sendiri, Raka bermesraan dengan perempuan lain. Kenapa malah sekarang dibalik, dirinya yang dituduh oleh suaminya itu, dekat dengan lelaki lain.Dan yang membuatnya heran, kenapa Raka bisa tahu dirinya tadi siang pergi makan ke kantin dengan Dave. Apakah ada salah satu karyawan yang mengenal Raka dan melaporkan hal itu padanya.Raka marah bukan karena cemburu dirinya berinteraksi dengan lelaki lain. Dia hanya menjaga nama baik keluarga Goenarto. Dan itu membuat hatinya bertambah perih.Malam ini, Raka pergi entah ke mana. Sungguh sesak dada Alika membayangkan suaminya menghabiskan wakt
Dave melahap sepiring gado-gado yang tadi diantar office boy ke ruangan Bu Kayla, di mana dirinya dan Alika berada saat ini. Tampaknya pemuda itu memang sedang sangat lapar. Sampai-sampai Alika hanya bengong menyaksikan Dave begitu menikmati makanannya."Loh, nggak makan kamu, Lika?" tanya Dave tatkala melihat Alika hanya bengong memandanginya."Aku kayaknya udah kenyang duluan lihat kamu makan, Dave," kekeh Alika. Tetapi perempuan itu mulai menyuapi dirinya sendiri."Wah, aku bikin kenyang, ya?"Alika terbahak. "Kamu makannya lahap banget. Kelaparan, ya?" selorohnya."Seminggu nggak makan aku, Lika."Kembali Alika terbahak. Dave ini ada-ada saja. Pemuda itu lucu dan menyenangkan. Dia selalu bisa menghidupkan suasana. Sejujurnya, tingkah Dave yang jenaka sedikit banyak membuatnya terhibur."Kamu habis nangis, ya, semalam?" tanya Dave membuat Alika terkesiap."Enggak, kenapa emangnya?" Alika berusaha menyembunyikan wajahnya. Dia tahu, matanya pasti terlihat sembab sekarang. Hampir sema
Bu Kayla menugaskan Alika untuk mempersiapkan rapat hari itu. Maka sedari pagi, Alika begitu sibuk melakukan koordinasi dengan tempat yang akan dipakai untuk menyelenggarakan rapat. Sebuah hotel bintang empat yang ada di pinggir kota.Pokoknya, Alika hari itu harus bolak-balik hotel-kantor untuk menyiapkan dokumen, transportasi dan juga memastikan semua peserta rapat hadir. Dia cukup kerepotan kalau saja Dave tidak membantunya. Pemuda itu yang mengantarnya ke mana-mana.Tetapi, yang membuatnya heran adalah, saat mengantar dokumen untuk bahan rapat ke ruangan Pak Bagas, Alika mendapati Dave sudah ada di sana. Dan yang membuatnya semakin heran adalah, yang akan memimpin rapat adalah pemuda itu.Lalu, siangnya, Alika pun berangkat ke hotel bersama Dave dengan berbagai pertanyaan yang memenuhi benaknya."Dave, kok bisa kamu yang mimpin rapat? Kenapa bukan Pak Bagas?" tanya Alika saat berada di dalam mobil Dave."Ya, nggak tahu," kekeh Dave."Serius kamu cuma karyawan biasa?" tanya Alika k
"Pernikahan itu bukan untuk main-main, Dave. Kalau aku udah mutusin menikah dengan seseorang, artinya, seburuk apapun dia, aku harus terima.""Tapi, suami kamu itu udah jelas-jelas main serong. Nyakitin kamu, ngasarin kamu, bikin kamu nangis. Ngapain dipertahankan? Lagian kalian belum ada anak, kan?"Dave semakin berani mengungkapkan apa yang dirasakannya. Sejak dia melihat suami Alika bersama perempuan lain dan bersikap kasar padanya, rasanya dia tidak ingin diam saja."Dave!" Suara Alika sedikit meninggi. "Aku baik-baik aja, okay?"Dave mendecak. Baik-baik saja katanya. Dari ekspresi wajahnya saja memperlihatkan kalau Alika sedang menanggung beban berat dalam hidupnya."Mau sampai kapan pura-pura, Lika?""Dave, kamu nggak tahu apa-apa. Mendingan kamu nggak usah ikut campur!" seru Alika seraya beranjak dari duduknya. Selera makannya sudah hilang dan dia kini berjalan keluar restauran, diikuti oleh Dave."Lika, tunggu!" Dave meraih lengan Alika dan memaksa perempuan itu berhenti. Alik
Entah kenapa Alika begitu kesal dengan ucapan Dave tadi siang di mal, meskipun hati kecilnya membenarkan. Dia tahu, dirinya bodoh menerima semua perlakuan Raka. Tetapi apa mau dikata? Dia masih sangat mencintai suaminya.Alika masih memiliki harapan, suaminya akan kembali seperti dulu. Tapi, apa mungkin? Sedang Raka memang harus menikahi Risa, karena perempuan itu sedang hamil.Dan hari di mana Raka menikahi Risa pun tiba. Alika mencoba untuk tegar. Meskipun hatinya sakit bukan main.Dia memilih untuk mengurung diri di kamar sementara Raka dan Risa---ditemani oleh Marini---pergi ke kantor urusan agama, atau ke masjid, atau ke manapun untuk melangsungkan pernikahan.Mbok Narti yang prihatin dengan keadaan Alika, membuatkan perempuan itu teh hangat. Lalu menawarkan diri untuk memijit badan Alika agar lebih rileks.Sambil berbaring menelungkup, air mata Alika tidak henti-hentinya mengalir hingga sprei kasurnya basah kuyub."Sabar, ya, Non. Mbok cuma bisa bilang itu.""Apa aku bisa ya, Mb
Menjadi sekretaris Dave nyatanya bukan hanya sebuah tawaran untuk Alika, tetapi adalah sebuah keharusan. Bu Kayla pun tidak keberatan dan malah menggodainya kalau Dave diam-diam menyukainya."Nggak mungkin lah, Bu," ujar Alika sembari membereskan barang-barangnya di meja. Hari itu juga mejanya pindah ke dekat ruangan di seberang ruangan Dave."Apanya yang nggak mungkin? Aku sudah perhatikan beberapa hari ini loh, Lika. Pak Davian itu selalu merhatiin kamu."Alika terkekeh. "Saya sudah punya suami, Bu. Pak Davian juga tahu itu.""Sekedar mengagumi kan nggak papa, Lika."Terserah Bu Kayla saja lah, pikir Alika. Dia pun berpamitan pada mantan atasannya itu untuk menuju ruangannya yang baru. Sebuah ruangan yang cukup luas, khusus untuknya. Dia belum tahu tugas apa saja yang akan Dave berikan padanya, yang jelas hari itu, Dave tidak memberikannya tugas apapun selain menemaninya ke sana kemari, dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan pekerjaan.Contohnya, sore itu, dia harus menemani D
"Loh, kamu tinggal di sini sekarang?" tanya Dave keheranan, setelah Alika memintanya berhenti di depan sebuah rumah sederhana."Iya, aku tinggal sama ibuku sementara, beliau lagi sakit.""Oh," ucap Dave. Tetapi, dia merasa bukan hanya alasan ibunya sakit, Alika pindah kemari. Pasti ada sesuatu yang telah terjadi. Namun, dia tidak akan menanyakannya langsung, karena dia yakin Alika pasti tidak akan berkata jujur. Dia memutuskan untuk menyelidiki sendiri saja."Sur, aku mau kamu selidiki Raka Goenarto," ucap Dave pada Surya---orang kepercayaannya---sekembalinya dia dari mengantar Alika."Bukannya aku sudah jadi mata-mata di sana, Bos? Perintah menyelidiki perusahaan itu sudah dari dulu bos kasih?" kekeh Surya. Dia sudah setahun ini menyamar menjadi pegawai di perusahaan Goenarto. Dan bukan tidak mungkin pula, di perusahaan Dharmawangsa ada penyusup dari sana."Kali ini Raka Goenarto yang harus kamu selidiki. Maksudku, kehidupan pribadinya. Istrinya dan semua yang berhubungan dengan ruma
Alika hampir saja tersedak pizza yang sedang dikunyahnya. Buru-buru dia mengambil botol minum dan meneguk isinya. "Kamu dengar kan aku ngomong apa?" Dave menatap Alika lekat meskipun gadis itu mencoba menghindar. "Aku sudah menikah, Dave." Berapa kali Alika harus mengatakan hal itu pada pemuda tampan di hadapannya ini. Walaupun, lagi-lagi, pernikahan yang sudah di ambang kehancuran. "Emangnya kamu mau dicap perebut bini orang?" kekehnya, untuk mengusir ketegangan di antara dirinya dn Dave. Dave menggeleng. "Aku serus, Lika." Tatapan Dave tetap tajam menusuk relung hati Alika. Tidak ada senyum di bibir tipisnya. Pemuda ini benar-benar dalam mode serius.Alika menghela napasnya berat. "Aku nggak mau ngomongin ini." Dipalingkannya wajah ke arah lain. "Pokoknya aku bakalan nunggu sampai kamu bilang iya dan sampai kamu ceraiin si Raka brengsek itu." "Kamu emang bebal banget, ya?" "Biarin." Dave menyahut dengan santainya. Alika mengibaskan tangan sambil meggeleng pelan. "Terserah kam
Raka tidak tahu apa yang sedang dia rasakan. Seharusnya dia tidak lagi peduli dengan Alika. Sejak dia jatuh cinta dan menjalin cinta dengan Risa, perasaannya pada Alika telah memudar. Rasanya dia tidak lagi memiliki gairah dengan Alika. Risa jauh lebih seksi dan lebih liar di ranjang. Dia senang memperlihatkan kemesraannya dengan Risa pada Alika. Dia senang melihat istri pertamanya itu menderita. Raka merasa memiliki kuasa. Namun, saat tahu Alika baik-baik saja dan malah dekat dengan Davian Dharmawangsa, hatinya merasa tidak rela. Dia tidak rela melepaskan Alika begitu saja. Risa yang sedang hamil menjadi sangat manja dan cerewet. Dia juga sudah resign dari pekerjaannya dan hanya bermalas-malasan di rumah. Pelayanan Risa di atas ranjang pun berkurang drastis karena kehamilannya. Hal ini sedikit membuat Raka frustrasi. Raka tidak tahu kenapa justru sekarang Alika yang tampak lebih menarik. Jauh lebih menarik dari pada saat awal-awal pernikahannya dengan Alika dulu. Wajah Alika bahka
Alika hampir saja tersedak pizza yang sedang dikunyahnya. Buru-buru dia mengambil botol minum dan meneguk isinya. "Kamu dengar kan aku ngomong apa?" Dave menatap Alika lekat meskipun gadis itu mencoba menghindar. "Aku sudah menikah, Dave." Berapa kali Alika harus mengatakan hal itu pada pemuda tampan di hadapannya ini. Walaupun, lagi-lagi, pernikahan yang sudah di ambang kehancuran. "Emangnya kamu mau dicap perebut bini orang?" kekehnya, untuk mengusir ketegangan di antara dirinya dn Dave. Dave menggeleng. "Aku serus, Lika." Tatapan Dave tetap tajam menusuk relung hati Alika. Tidak ada senyum di bibir tipisnya. Pemuda ini benar-benar dalam mode serius.Alika menghela napasnya berat. "Aku nggak mau ngomongin ini." Dipalingkannya wajah ke arah lain. "Pokoknya aku bakalan nunggu sampai kamu bilang iya dan sampai kamu ceraiin si Raka brengsek itu." "Kamu emang bebal banget, ya?" "Biarin." Dave menyahut dengan santainya. Alika mengibaskan tangan sambil meggeleng pelan. "Terserah kam
"Loh, kamu tinggal di sini sekarang?" tanya Dave keheranan, setelah Alika memintanya berhenti di depan sebuah rumah sederhana."Iya, aku tinggal sama ibuku sementara, beliau lagi sakit.""Oh," ucap Dave. Tetapi, dia merasa bukan hanya alasan ibunya sakit, Alika pindah kemari. Pasti ada sesuatu yang telah terjadi. Namun, dia tidak akan menanyakannya langsung, karena dia yakin Alika pasti tidak akan berkata jujur. Dia memutuskan untuk menyelidiki sendiri saja."Sur, aku mau kamu selidiki Raka Goenarto," ucap Dave pada Surya---orang kepercayaannya---sekembalinya dia dari mengantar Alika."Bukannya aku sudah jadi mata-mata di sana, Bos? Perintah menyelidiki perusahaan itu sudah dari dulu bos kasih?" kekeh Surya. Dia sudah setahun ini menyamar menjadi pegawai di perusahaan Goenarto. Dan bukan tidak mungkin pula, di perusahaan Dharmawangsa ada penyusup dari sana."Kali ini Raka Goenarto yang harus kamu selidiki. Maksudku, kehidupan pribadinya. Istrinya dan semua yang berhubungan dengan ruma
Menjadi sekretaris Dave nyatanya bukan hanya sebuah tawaran untuk Alika, tetapi adalah sebuah keharusan. Bu Kayla pun tidak keberatan dan malah menggodainya kalau Dave diam-diam menyukainya."Nggak mungkin lah, Bu," ujar Alika sembari membereskan barang-barangnya di meja. Hari itu juga mejanya pindah ke dekat ruangan di seberang ruangan Dave."Apanya yang nggak mungkin? Aku sudah perhatikan beberapa hari ini loh, Lika. Pak Davian itu selalu merhatiin kamu."Alika terkekeh. "Saya sudah punya suami, Bu. Pak Davian juga tahu itu.""Sekedar mengagumi kan nggak papa, Lika."Terserah Bu Kayla saja lah, pikir Alika. Dia pun berpamitan pada mantan atasannya itu untuk menuju ruangannya yang baru. Sebuah ruangan yang cukup luas, khusus untuknya. Dia belum tahu tugas apa saja yang akan Dave berikan padanya, yang jelas hari itu, Dave tidak memberikannya tugas apapun selain menemaninya ke sana kemari, dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan pekerjaan.Contohnya, sore itu, dia harus menemani D
Entah kenapa Alika begitu kesal dengan ucapan Dave tadi siang di mal, meskipun hati kecilnya membenarkan. Dia tahu, dirinya bodoh menerima semua perlakuan Raka. Tetapi apa mau dikata? Dia masih sangat mencintai suaminya.Alika masih memiliki harapan, suaminya akan kembali seperti dulu. Tapi, apa mungkin? Sedang Raka memang harus menikahi Risa, karena perempuan itu sedang hamil.Dan hari di mana Raka menikahi Risa pun tiba. Alika mencoba untuk tegar. Meskipun hatinya sakit bukan main.Dia memilih untuk mengurung diri di kamar sementara Raka dan Risa---ditemani oleh Marini---pergi ke kantor urusan agama, atau ke masjid, atau ke manapun untuk melangsungkan pernikahan.Mbok Narti yang prihatin dengan keadaan Alika, membuatkan perempuan itu teh hangat. Lalu menawarkan diri untuk memijit badan Alika agar lebih rileks.Sambil berbaring menelungkup, air mata Alika tidak henti-hentinya mengalir hingga sprei kasurnya basah kuyub."Sabar, ya, Non. Mbok cuma bisa bilang itu.""Apa aku bisa ya, Mb
"Pernikahan itu bukan untuk main-main, Dave. Kalau aku udah mutusin menikah dengan seseorang, artinya, seburuk apapun dia, aku harus terima.""Tapi, suami kamu itu udah jelas-jelas main serong. Nyakitin kamu, ngasarin kamu, bikin kamu nangis. Ngapain dipertahankan? Lagian kalian belum ada anak, kan?"Dave semakin berani mengungkapkan apa yang dirasakannya. Sejak dia melihat suami Alika bersama perempuan lain dan bersikap kasar padanya, rasanya dia tidak ingin diam saja."Dave!" Suara Alika sedikit meninggi. "Aku baik-baik aja, okay?"Dave mendecak. Baik-baik saja katanya. Dari ekspresi wajahnya saja memperlihatkan kalau Alika sedang menanggung beban berat dalam hidupnya."Mau sampai kapan pura-pura, Lika?""Dave, kamu nggak tahu apa-apa. Mendingan kamu nggak usah ikut campur!" seru Alika seraya beranjak dari duduknya. Selera makannya sudah hilang dan dia kini berjalan keluar restauran, diikuti oleh Dave."Lika, tunggu!" Dave meraih lengan Alika dan memaksa perempuan itu berhenti. Alik
Bu Kayla menugaskan Alika untuk mempersiapkan rapat hari itu. Maka sedari pagi, Alika begitu sibuk melakukan koordinasi dengan tempat yang akan dipakai untuk menyelenggarakan rapat. Sebuah hotel bintang empat yang ada di pinggir kota.Pokoknya, Alika hari itu harus bolak-balik hotel-kantor untuk menyiapkan dokumen, transportasi dan juga memastikan semua peserta rapat hadir. Dia cukup kerepotan kalau saja Dave tidak membantunya. Pemuda itu yang mengantarnya ke mana-mana.Tetapi, yang membuatnya heran adalah, saat mengantar dokumen untuk bahan rapat ke ruangan Pak Bagas, Alika mendapati Dave sudah ada di sana. Dan yang membuatnya semakin heran adalah, yang akan memimpin rapat adalah pemuda itu.Lalu, siangnya, Alika pun berangkat ke hotel bersama Dave dengan berbagai pertanyaan yang memenuhi benaknya."Dave, kok bisa kamu yang mimpin rapat? Kenapa bukan Pak Bagas?" tanya Alika saat berada di dalam mobil Dave."Ya, nggak tahu," kekeh Dave."Serius kamu cuma karyawan biasa?" tanya Alika k
Dave melahap sepiring gado-gado yang tadi diantar office boy ke ruangan Bu Kayla, di mana dirinya dan Alika berada saat ini. Tampaknya pemuda itu memang sedang sangat lapar. Sampai-sampai Alika hanya bengong menyaksikan Dave begitu menikmati makanannya."Loh, nggak makan kamu, Lika?" tanya Dave tatkala melihat Alika hanya bengong memandanginya."Aku kayaknya udah kenyang duluan lihat kamu makan, Dave," kekeh Alika. Tetapi perempuan itu mulai menyuapi dirinya sendiri."Wah, aku bikin kenyang, ya?"Alika terbahak. "Kamu makannya lahap banget. Kelaparan, ya?" selorohnya."Seminggu nggak makan aku, Lika."Kembali Alika terbahak. Dave ini ada-ada saja. Pemuda itu lucu dan menyenangkan. Dia selalu bisa menghidupkan suasana. Sejujurnya, tingkah Dave yang jenaka sedikit banyak membuatnya terhibur."Kamu habis nangis, ya, semalam?" tanya Dave membuat Alika terkesiap."Enggak, kenapa emangnya?" Alika berusaha menyembunyikan wajahnya. Dia tahu, matanya pasti terlihat sembab sekarang. Hampir sema
Alika masih meratapi kesedihannya di tepi ranjang. Berkali-kali menyusut air mata tetapi buliran bening itu susul menyusul jatuh di pipi tak berkesudahan.Ini pertama kalinya Raka berbuat kasar padanya secara fisik. Sebelum-sebelumnya, dia hanya melontarkan kata-kata menyedihkan, namun tidak sampai mengangkat tangan. Kenapa begini. Bukankah seharusnya dirinya yang marah karena melihat dengan mata kepala sendiri, Raka bermesraan dengan perempuan lain. Kenapa malah sekarang dibalik, dirinya yang dituduh oleh suaminya itu, dekat dengan lelaki lain.Dan yang membuatnya heran, kenapa Raka bisa tahu dirinya tadi siang pergi makan ke kantin dengan Dave. Apakah ada salah satu karyawan yang mengenal Raka dan melaporkan hal itu padanya.Raka marah bukan karena cemburu dirinya berinteraksi dengan lelaki lain. Dia hanya menjaga nama baik keluarga Goenarto. Dan itu membuat hatinya bertambah perih.Malam ini, Raka pergi entah ke mana. Sungguh sesak dada Alika membayangkan suaminya menghabiskan wakt