Alika masih meratapi kesedihannya di tepi ranjang. Berkali-kali menyusut air mata tetapi buliran bening itu susul menyusul jatuh di pipi tak berkesudahan.
Ini pertama kalinya Raka berbuat kasar padanya secara fisik. Sebelum-sebelumnya, dia hanya melontarkan kata-kata menyedihkan, namun tidak sampai mengangkat tangan. Kenapa begini. Bukankah seharusnya dirinya yang marah karena melihat dengan mata kepala sendiri, Raka bermesraan dengan perempuan lain. Kenapa malah sekarang dibalik, dirinya yang dituduh oleh suaminya itu, dekat dengan lelaki lain.
Dan yang membuatnya heran, kenapa Raka bisa tahu dirinya tadi siang pergi makan ke kantin dengan Dave. Apakah ada salah satu karyawan yang mengenal Raka dan melaporkan hal itu padanya.
Raka marah bukan karena cemburu dirinya berinteraksi dengan lelaki lain. Dia hanya menjaga nama baik keluarga Goenarto. Dan itu membuat hatinya bertambah perih.
Malam ini, Raka pergi entah ke mana. Sungguh sesak dada Alika membayangkan suaminya menghabiskan waktu dengan perempuan lain di luar sana.
"Alika!" Seruan keras Marini disertai dengan pintu kamarnya yang dibuka dengan kasar membuat Alika terperanjat. Dia menghapus air mata dengan punggung tangan.
"Kamu emang perempuan nggak tau diri, ya? Sudah dipungut sama anakku, sekarang malah mencemarkan nama baiknya."
Alika yang terkejut mengerti arah pembicaraan Marini. Sepertinya Raka sudah mengadu pada ibunya itu.
"Aku nggak melakukan yang dituduhkan Mas Raka, Ma. Aku cuma makan siang dengan seorang rekan kerja di kantin."
"Alah! Mulutmu tidak bisa dipercaya, Alika!"
"Beneran, Ma. Lagi pula, aku yang seharusnya tanya sama Mas Raka, kenapa dia bermesraan dengan seorang perempuan di cafe?"
"Oh, kamu mau melempar kesalahan pada Raka untuk menutupi kebejatanmu?"
"Enggak, Ma. Aku melihat dengan mata kepala sendiri saat pulang kerja, Mas Raka bermesraan dengan seorang perempuan di sebuah cafe."
Marini mencibir sinis. "Memangnya kenapa kalau Raka punya perempuan lain? Seharusnya kamu ngaca. Apa kamu sudah pantas menjadi istri Raka? Apa kamu pantas menjadi menantu keluarga Goenarto?"
"Sebenarnya apa salahku, Ma?"
"Kesalahanmu adalah menikah dengan anakku. Kamu memang nggak tau malu, ya. Aku tidak akan pernah setuju kamu jadi menantuku. Seharusnya, dari dulu kamu sadar kamu itu siapa?"
"Kalau memang perempuan yang bersama Raka itu jauh lebih baik dari kamu, jauh lebih pantas dan juga sederajat, aku tidak akan mempermasalahkannya. Ngerti?"
Tangis Alika kembali pecah begitu Marini meninggalkan kamar. Dadanya perih seperih-perihnya. Kata-kata Marini kini benar-benar menyakitinya. Iya. Dia sadar siapa dirinya. Hanya seorang perempuan dari keluarga miskin yang jatuh cinta dengan Raka. Raka yang dulu selalu meyakinkannya, bahwa dia tidak mempermasalahkan latar belakang keluarganya. Raka yang dulu mati-matian berjuang agar bisa menikahinya. Tetapi, kini, Raka pun sama seperti Marini yang membencinya.
********
"Kayaknya Alika nggak mungkin deh mata-mata Goenarto Group, Om." Dave duduk menyilangkan kaki di seberang meja Pak Bagas Dharmawangsa.
"Kenapa kamu bisa berpikir begitu, Dave?" tanya lelaki paruh baya dengan perut sedikit buncit. Dia menyipitkan mata menatap sang keponakan.
"Ya, kalau mau jadi mata-mata, harusnya dia nggak make nama Goenarto, dong. Kayaknya, Alika emang bener-bener pingin kerja."
"Dave, awalnya om pikir, nama Goenarto di belakang nama Alika kebetulan sama dengan nama perusahaan rival kita itu. Tapi, setelah om selidiki, Alika memang istri Raka Goenarto. Kamu pikir aja lah, masa istri seorang Raka Goenarto melamar kerja di perusahaan orang? Sebagai asisten sekretaris lagi?"
"Nah, itu dia yang sedang aku selidiki, Om." Dave ingat saat Alika menatap sosok lelaki dan perempuan yang sedang bermesraan di sebuah cafe, saat dirinya mengantar Alika pulang. Dan perubahan ekspresi perempuan itu yang menjadi begitu suram sungguh membuatnya penasaran. Sampai-sampai dirinya terus bertanya-tanya dalam hati apa Alika baik-baik saja. Jujur, dia mengkhawatirkan perempuan cantik itu.
Dave yakin, lelaki di dalam cafe itu adalah suami Alika, Raka Goenarto, dan perempuan yang diperlakukan dengan mesra itu adalah selingkuhannya.
"Kayaknya ada yang nggak beres sama pernikahan mereka, deh, Om."
Pak Bagas mengerutkan kening. "Kenapa kamu malah mikir pernikahan mereka, Dave?" tanyanya curiga.
"Yaa, yang aku lihat kayaknya Alika lagi bermasalah dengan suaminya," kekeh Dave.
Kembali Paka Bagas mengerutkan kening sambil menatap sang keponakan penuh selidik. "Kamu punya perasaan khusus sama Alika, Dave?"
"Oh, nggak, Om. Cuma simpatik aja."
"Hmmm ...." Pak Bagas mengelus dagu. "Jangan bikin masalah, ya, Dave. Inget, kamu di sini sedang om bimbing agar bisa memimpin perusahaan ini. Papamu mengandalkan om, loh!"
Dave terbahak sambil menggaruk kening. "Iya, Om. Tenang aja."
"Pokoknya, aku nggak yakin Alika itu mata-mata. Felingku berkata gitu, Om," lanjut Dave.
Pak Bagas terbahak. "Dave, Dave, gimana, sih kamu ini? Calon direktur utama kok pakenya feeling," godanya.
Dave menggaruk kepala yang tidak gatal. "Sekali ini aja, Om," ujarnya.
Pak Bagas mencebik. "Tetep harus waspada, Dave, okay?"
"Siap, Om! Aku bakalan selidiki kok," sahut Dave. Pemuda itu melirik jam di pergelangan tangan, kemudian dia berpamitan pada Pak Bagas.
Dave keluar dari ruangan Pak Bagas dan melongok ke ruangang di seberang. Terlihat Alika masih sibuk di depan layar komputernya. Perempuan itu sendirian di sana dan tidak menyadari kehadirannya di ambang pintu.
"Lika!" panggilnya membuat Alika mengalihkan pandang ke arah pintu.
"Hallo, Dave," sapa Alika sekadarnya. Kemudian perempuan itu kembali fokus pada layar komputer.
"Makan siang, yuk."
"Mmm ... kayaknya nggak, deh. Aku udah bawa bekal dari rumah." Alika menunjuk kotak makanan di sampingnya.
"Ya, udah, dimakan di kantin aja, sambil ngobrol-ngobrol."
"Kayaknya nggak dulu, Dave. Kerjaanku lumayan banyak, nih." Dave memperhatikan perubahan sikap yang sedikit aneh dalam diri Alika. Sepertinya perempuan itu sedang berusaha untuk menjaga jarak dengannya. Dan wajah cantiknya masih terlihat muram. Sepasang matanya pun terlihat sembab, meskipun perempuan itu mencoba menutupinya dengan riasan wajah tipis.
Apa Alika habis menangis semalaman?
"Yah, padahal aku lagi nggak pingin makan sendirian, nih."
Alika meringis. "Kamu kan bisa membaur dengan rekan-rekan yang lain, Dave."
"Pinginnya sama kamu, sih. Soalnya, baru kamu yang akrab."
"Tapi, akunya nggak bisa, Dave. Sorry, ya?" sesal Alika.
"Ya, udah lah kalau gitu," ujar Dave seraya melangkah masuk ke dalam ruangan dan menarik kursi di depan meja Alika, membuat perempuan itu terheran-heran.
"Aku suruh orang buat nganterin makanan ke sini lah, sekalian buat kamu, ya?" Dave melongok ke arah kotak makanan milik Alika. Hanya berisi dua potong roti. "Makan siangmu roti doang. Nggak cukup, lah, Lika."
"Nggak usah, Dave. Ini udah cukup, kok."
"Yaah, telat. Aku udah pesen sama orang buat nganter makan siang ke sini." Dave menunjukkan layar ponsel pada Alika, menampilkan barisan percakapan dengan orang yang dia suruh.
Alika terkekeh sambil menggeleng. Dia tidak bisa menolak lagi. "Dave, kamu karyawan baru tapi berasa kaya bos, ya?"
"Yah, anggap aja aku bos di perusahaan ini, Lika."
*********
Dave melahap sepiring gado-gado yang tadi diantar office boy ke ruangan Bu Kayla, di mana dirinya dan Alika berada saat ini. Tampaknya pemuda itu memang sedang sangat lapar. Sampai-sampai Alika hanya bengong menyaksikan Dave begitu menikmati makanannya."Loh, nggak makan kamu, Lika?" tanya Dave tatkala melihat Alika hanya bengong memandanginya."Aku kayaknya udah kenyang duluan lihat kamu makan, Dave," kekeh Alika. Tetapi perempuan itu mulai menyuapi dirinya sendiri."Wah, aku bikin kenyang, ya?"Alika terbahak. "Kamu makannya lahap banget. Kelaparan, ya?" selorohnya."Seminggu nggak makan aku, Lika."Kembali Alika terbahak. Dave ini ada-ada saja. Pemuda itu lucu dan menyenangkan. Dia selalu bisa menghidupkan suasana. Sejujurnya, tingkah Dave yang jenaka sedikit banyak membuatnya terhibur."Kamu habis nangis, ya, semalam?" tanya Dave membuat Alika terkesiap."Enggak, kenapa emangnya?" Alika berusaha menyembunyikan wajahnya. Dia tahu, matanya pasti terlihat sembab sekarang. Hampir sema
Bu Kayla menugaskan Alika untuk mempersiapkan rapat hari itu. Maka sedari pagi, Alika begitu sibuk melakukan koordinasi dengan tempat yang akan dipakai untuk menyelenggarakan rapat. Sebuah hotel bintang empat yang ada di pinggir kota.Pokoknya, Alika hari itu harus bolak-balik hotel-kantor untuk menyiapkan dokumen, transportasi dan juga memastikan semua peserta rapat hadir. Dia cukup kerepotan kalau saja Dave tidak membantunya. Pemuda itu yang mengantarnya ke mana-mana.Tetapi, yang membuatnya heran adalah, saat mengantar dokumen untuk bahan rapat ke ruangan Pak Bagas, Alika mendapati Dave sudah ada di sana. Dan yang membuatnya semakin heran adalah, yang akan memimpin rapat adalah pemuda itu.Lalu, siangnya, Alika pun berangkat ke hotel bersama Dave dengan berbagai pertanyaan yang memenuhi benaknya."Dave, kok bisa kamu yang mimpin rapat? Kenapa bukan Pak Bagas?" tanya Alika saat berada di dalam mobil Dave."Ya, nggak tahu," kekeh Dave."Serius kamu cuma karyawan biasa?" tanya Alika k
"Pernikahan itu bukan untuk main-main, Dave. Kalau aku udah mutusin menikah dengan seseorang, artinya, seburuk apapun dia, aku harus terima.""Tapi, suami kamu itu udah jelas-jelas main serong. Nyakitin kamu, ngasarin kamu, bikin kamu nangis. Ngapain dipertahankan? Lagian kalian belum ada anak, kan?"Dave semakin berani mengungkapkan apa yang dirasakannya. Sejak dia melihat suami Alika bersama perempuan lain dan bersikap kasar padanya, rasanya dia tidak ingin diam saja."Dave!" Suara Alika sedikit meninggi. "Aku baik-baik aja, okay?"Dave mendecak. Baik-baik saja katanya. Dari ekspresi wajahnya saja memperlihatkan kalau Alika sedang menanggung beban berat dalam hidupnya."Mau sampai kapan pura-pura, Lika?""Dave, kamu nggak tahu apa-apa. Mendingan kamu nggak usah ikut campur!" seru Alika seraya beranjak dari duduknya. Selera makannya sudah hilang dan dia kini berjalan keluar restauran, diikuti oleh Dave."Lika, tunggu!" Dave meraih lengan Alika dan memaksa perempuan itu berhenti. Alik
Entah kenapa Alika begitu kesal dengan ucapan Dave tadi siang di mal, meskipun hati kecilnya membenarkan. Dia tahu, dirinya bodoh menerima semua perlakuan Raka. Tetapi apa mau dikata? Dia masih sangat mencintai suaminya.Alika masih memiliki harapan, suaminya akan kembali seperti dulu. Tapi, apa mungkin? Sedang Raka memang harus menikahi Risa, karena perempuan itu sedang hamil.Dan hari di mana Raka menikahi Risa pun tiba. Alika mencoba untuk tegar. Meskipun hatinya sakit bukan main.Dia memilih untuk mengurung diri di kamar sementara Raka dan Risa---ditemani oleh Marini---pergi ke kantor urusan agama, atau ke masjid, atau ke manapun untuk melangsungkan pernikahan.Mbok Narti yang prihatin dengan keadaan Alika, membuatkan perempuan itu teh hangat. Lalu menawarkan diri untuk memijit badan Alika agar lebih rileks.Sambil berbaring menelungkup, air mata Alika tidak henti-hentinya mengalir hingga sprei kasurnya basah kuyub."Sabar, ya, Non. Mbok cuma bisa bilang itu.""Apa aku bisa ya, Mb
Menjadi sekretaris Dave nyatanya bukan hanya sebuah tawaran untuk Alika, tetapi adalah sebuah keharusan. Bu Kayla pun tidak keberatan dan malah menggodainya kalau Dave diam-diam menyukainya."Nggak mungkin lah, Bu," ujar Alika sembari membereskan barang-barangnya di meja. Hari itu juga mejanya pindah ke dekat ruangan di seberang ruangan Dave."Apanya yang nggak mungkin? Aku sudah perhatikan beberapa hari ini loh, Lika. Pak Davian itu selalu merhatiin kamu."Alika terkekeh. "Saya sudah punya suami, Bu. Pak Davian juga tahu itu.""Sekedar mengagumi kan nggak papa, Lika."Terserah Bu Kayla saja lah, pikir Alika. Dia pun berpamitan pada mantan atasannya itu untuk menuju ruangannya yang baru. Sebuah ruangan yang cukup luas, khusus untuknya. Dia belum tahu tugas apa saja yang akan Dave berikan padanya, yang jelas hari itu, Dave tidak memberikannya tugas apapun selain menemaninya ke sana kemari, dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan pekerjaan.Contohnya, sore itu, dia harus menemani D
"Loh, kamu tinggal di sini sekarang?" tanya Dave keheranan, setelah Alika memintanya berhenti di depan sebuah rumah sederhana."Iya, aku tinggal sama ibuku sementara, beliau lagi sakit.""Oh," ucap Dave. Tetapi, dia merasa bukan hanya alasan ibunya sakit, Alika pindah kemari. Pasti ada sesuatu yang telah terjadi. Namun, dia tidak akan menanyakannya langsung, karena dia yakin Alika pasti tidak akan berkata jujur. Dia memutuskan untuk menyelidiki sendiri saja."Sur, aku mau kamu selidiki Raka Goenarto," ucap Dave pada Surya---orang kepercayaannya---sekembalinya dia dari mengantar Alika."Bukannya aku sudah jadi mata-mata di sana, Bos? Perintah menyelidiki perusahaan itu sudah dari dulu bos kasih?" kekeh Surya. Dia sudah setahun ini menyamar menjadi pegawai di perusahaan Goenarto. Dan bukan tidak mungkin pula, di perusahaan Dharmawangsa ada penyusup dari sana."Kali ini Raka Goenarto yang harus kamu selidiki. Maksudku, kehidupan pribadinya. Istrinya dan semua yang berhubungan dengan ruma
Alika hampir saja tersedak pizza yang sedang dikunyahnya. Buru-buru dia mengambil botol minum dan meneguk isinya. "Kamu dengar kan aku ngomong apa?" Dave menatap Alika lekat meskipun gadis itu mencoba menghindar. "Aku sudah menikah, Dave." Berapa kali Alika harus mengatakan hal itu pada pemuda tampan di hadapannya ini. Walaupun, lagi-lagi, pernikahan yang sudah di ambang kehancuran. "Emangnya kamu mau dicap perebut bini orang?" kekehnya, untuk mengusir ketegangan di antara dirinya dn Dave. Dave menggeleng. "Aku serus, Lika." Tatapan Dave tetap tajam menusuk relung hati Alika. Tidak ada senyum di bibir tipisnya. Pemuda ini benar-benar dalam mode serius.Alika menghela napasnya berat. "Aku nggak mau ngomongin ini." Dipalingkannya wajah ke arah lain. "Pokoknya aku bakalan nunggu sampai kamu bilang iya dan sampai kamu ceraiin si Raka brengsek itu." "Kamu emang bebal banget, ya?" "Biarin." Dave menyahut dengan santainya. Alika mengibaskan tangan sambil meggeleng pelan. "Terserah kam
Raka tidak tahu apa yang sedang dia rasakan. Seharusnya dia tidak lagi peduli dengan Alika. Sejak dia jatuh cinta dan menjalin cinta dengan Risa, perasaannya pada Alika telah memudar. Rasanya dia tidak lagi memiliki gairah dengan Alika. Risa jauh lebih seksi dan lebih liar di ranjang. Dia senang memperlihatkan kemesraannya dengan Risa pada Alika. Dia senang melihat istri pertamanya itu menderita. Raka merasa memiliki kuasa. Namun, saat tahu Alika baik-baik saja dan malah dekat dengan Davian Dharmawangsa, hatinya merasa tidak rela. Dia tidak rela melepaskan Alika begitu saja. Risa yang sedang hamil menjadi sangat manja dan cerewet. Dia juga sudah resign dari pekerjaannya dan hanya bermalas-malasan di rumah. Pelayanan Risa di atas ranjang pun berkurang drastis karena kehamilannya. Hal ini sedikit membuat Raka frustrasi. Raka tidak tahu kenapa justru sekarang Alika yang tampak lebih menarik. Jauh lebih menarik dari pada saat awal-awal pernikahannya dengan Alika dulu. Wajah Alika bahka
Raka tidak tahu apa yang sedang dia rasakan. Seharusnya dia tidak lagi peduli dengan Alika. Sejak dia jatuh cinta dan menjalin cinta dengan Risa, perasaannya pada Alika telah memudar. Rasanya dia tidak lagi memiliki gairah dengan Alika. Risa jauh lebih seksi dan lebih liar di ranjang. Dia senang memperlihatkan kemesraannya dengan Risa pada Alika. Dia senang melihat istri pertamanya itu menderita. Raka merasa memiliki kuasa. Namun, saat tahu Alika baik-baik saja dan malah dekat dengan Davian Dharmawangsa, hatinya merasa tidak rela. Dia tidak rela melepaskan Alika begitu saja. Risa yang sedang hamil menjadi sangat manja dan cerewet. Dia juga sudah resign dari pekerjaannya dan hanya bermalas-malasan di rumah. Pelayanan Risa di atas ranjang pun berkurang drastis karena kehamilannya. Hal ini sedikit membuat Raka frustrasi. Raka tidak tahu kenapa justru sekarang Alika yang tampak lebih menarik. Jauh lebih menarik dari pada saat awal-awal pernikahannya dengan Alika dulu. Wajah Alika bahka
Alika hampir saja tersedak pizza yang sedang dikunyahnya. Buru-buru dia mengambil botol minum dan meneguk isinya. "Kamu dengar kan aku ngomong apa?" Dave menatap Alika lekat meskipun gadis itu mencoba menghindar. "Aku sudah menikah, Dave." Berapa kali Alika harus mengatakan hal itu pada pemuda tampan di hadapannya ini. Walaupun, lagi-lagi, pernikahan yang sudah di ambang kehancuran. "Emangnya kamu mau dicap perebut bini orang?" kekehnya, untuk mengusir ketegangan di antara dirinya dn Dave. Dave menggeleng. "Aku serus, Lika." Tatapan Dave tetap tajam menusuk relung hati Alika. Tidak ada senyum di bibir tipisnya. Pemuda ini benar-benar dalam mode serius.Alika menghela napasnya berat. "Aku nggak mau ngomongin ini." Dipalingkannya wajah ke arah lain. "Pokoknya aku bakalan nunggu sampai kamu bilang iya dan sampai kamu ceraiin si Raka brengsek itu." "Kamu emang bebal banget, ya?" "Biarin." Dave menyahut dengan santainya. Alika mengibaskan tangan sambil meggeleng pelan. "Terserah kam
"Loh, kamu tinggal di sini sekarang?" tanya Dave keheranan, setelah Alika memintanya berhenti di depan sebuah rumah sederhana."Iya, aku tinggal sama ibuku sementara, beliau lagi sakit.""Oh," ucap Dave. Tetapi, dia merasa bukan hanya alasan ibunya sakit, Alika pindah kemari. Pasti ada sesuatu yang telah terjadi. Namun, dia tidak akan menanyakannya langsung, karena dia yakin Alika pasti tidak akan berkata jujur. Dia memutuskan untuk menyelidiki sendiri saja."Sur, aku mau kamu selidiki Raka Goenarto," ucap Dave pada Surya---orang kepercayaannya---sekembalinya dia dari mengantar Alika."Bukannya aku sudah jadi mata-mata di sana, Bos? Perintah menyelidiki perusahaan itu sudah dari dulu bos kasih?" kekeh Surya. Dia sudah setahun ini menyamar menjadi pegawai di perusahaan Goenarto. Dan bukan tidak mungkin pula, di perusahaan Dharmawangsa ada penyusup dari sana."Kali ini Raka Goenarto yang harus kamu selidiki. Maksudku, kehidupan pribadinya. Istrinya dan semua yang berhubungan dengan ruma
Menjadi sekretaris Dave nyatanya bukan hanya sebuah tawaran untuk Alika, tetapi adalah sebuah keharusan. Bu Kayla pun tidak keberatan dan malah menggodainya kalau Dave diam-diam menyukainya."Nggak mungkin lah, Bu," ujar Alika sembari membereskan barang-barangnya di meja. Hari itu juga mejanya pindah ke dekat ruangan di seberang ruangan Dave."Apanya yang nggak mungkin? Aku sudah perhatikan beberapa hari ini loh, Lika. Pak Davian itu selalu merhatiin kamu."Alika terkekeh. "Saya sudah punya suami, Bu. Pak Davian juga tahu itu.""Sekedar mengagumi kan nggak papa, Lika."Terserah Bu Kayla saja lah, pikir Alika. Dia pun berpamitan pada mantan atasannya itu untuk menuju ruangannya yang baru. Sebuah ruangan yang cukup luas, khusus untuknya. Dia belum tahu tugas apa saja yang akan Dave berikan padanya, yang jelas hari itu, Dave tidak memberikannya tugas apapun selain menemaninya ke sana kemari, dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan pekerjaan.Contohnya, sore itu, dia harus menemani D
Entah kenapa Alika begitu kesal dengan ucapan Dave tadi siang di mal, meskipun hati kecilnya membenarkan. Dia tahu, dirinya bodoh menerima semua perlakuan Raka. Tetapi apa mau dikata? Dia masih sangat mencintai suaminya.Alika masih memiliki harapan, suaminya akan kembali seperti dulu. Tapi, apa mungkin? Sedang Raka memang harus menikahi Risa, karena perempuan itu sedang hamil.Dan hari di mana Raka menikahi Risa pun tiba. Alika mencoba untuk tegar. Meskipun hatinya sakit bukan main.Dia memilih untuk mengurung diri di kamar sementara Raka dan Risa---ditemani oleh Marini---pergi ke kantor urusan agama, atau ke masjid, atau ke manapun untuk melangsungkan pernikahan.Mbok Narti yang prihatin dengan keadaan Alika, membuatkan perempuan itu teh hangat. Lalu menawarkan diri untuk memijit badan Alika agar lebih rileks.Sambil berbaring menelungkup, air mata Alika tidak henti-hentinya mengalir hingga sprei kasurnya basah kuyub."Sabar, ya, Non. Mbok cuma bisa bilang itu.""Apa aku bisa ya, Mb
"Pernikahan itu bukan untuk main-main, Dave. Kalau aku udah mutusin menikah dengan seseorang, artinya, seburuk apapun dia, aku harus terima.""Tapi, suami kamu itu udah jelas-jelas main serong. Nyakitin kamu, ngasarin kamu, bikin kamu nangis. Ngapain dipertahankan? Lagian kalian belum ada anak, kan?"Dave semakin berani mengungkapkan apa yang dirasakannya. Sejak dia melihat suami Alika bersama perempuan lain dan bersikap kasar padanya, rasanya dia tidak ingin diam saja."Dave!" Suara Alika sedikit meninggi. "Aku baik-baik aja, okay?"Dave mendecak. Baik-baik saja katanya. Dari ekspresi wajahnya saja memperlihatkan kalau Alika sedang menanggung beban berat dalam hidupnya."Mau sampai kapan pura-pura, Lika?""Dave, kamu nggak tahu apa-apa. Mendingan kamu nggak usah ikut campur!" seru Alika seraya beranjak dari duduknya. Selera makannya sudah hilang dan dia kini berjalan keluar restauran, diikuti oleh Dave."Lika, tunggu!" Dave meraih lengan Alika dan memaksa perempuan itu berhenti. Alik
Bu Kayla menugaskan Alika untuk mempersiapkan rapat hari itu. Maka sedari pagi, Alika begitu sibuk melakukan koordinasi dengan tempat yang akan dipakai untuk menyelenggarakan rapat. Sebuah hotel bintang empat yang ada di pinggir kota.Pokoknya, Alika hari itu harus bolak-balik hotel-kantor untuk menyiapkan dokumen, transportasi dan juga memastikan semua peserta rapat hadir. Dia cukup kerepotan kalau saja Dave tidak membantunya. Pemuda itu yang mengantarnya ke mana-mana.Tetapi, yang membuatnya heran adalah, saat mengantar dokumen untuk bahan rapat ke ruangan Pak Bagas, Alika mendapati Dave sudah ada di sana. Dan yang membuatnya semakin heran adalah, yang akan memimpin rapat adalah pemuda itu.Lalu, siangnya, Alika pun berangkat ke hotel bersama Dave dengan berbagai pertanyaan yang memenuhi benaknya."Dave, kok bisa kamu yang mimpin rapat? Kenapa bukan Pak Bagas?" tanya Alika saat berada di dalam mobil Dave."Ya, nggak tahu," kekeh Dave."Serius kamu cuma karyawan biasa?" tanya Alika k
Dave melahap sepiring gado-gado yang tadi diantar office boy ke ruangan Bu Kayla, di mana dirinya dan Alika berada saat ini. Tampaknya pemuda itu memang sedang sangat lapar. Sampai-sampai Alika hanya bengong menyaksikan Dave begitu menikmati makanannya."Loh, nggak makan kamu, Lika?" tanya Dave tatkala melihat Alika hanya bengong memandanginya."Aku kayaknya udah kenyang duluan lihat kamu makan, Dave," kekeh Alika. Tetapi perempuan itu mulai menyuapi dirinya sendiri."Wah, aku bikin kenyang, ya?"Alika terbahak. "Kamu makannya lahap banget. Kelaparan, ya?" selorohnya."Seminggu nggak makan aku, Lika."Kembali Alika terbahak. Dave ini ada-ada saja. Pemuda itu lucu dan menyenangkan. Dia selalu bisa menghidupkan suasana. Sejujurnya, tingkah Dave yang jenaka sedikit banyak membuatnya terhibur."Kamu habis nangis, ya, semalam?" tanya Dave membuat Alika terkesiap."Enggak, kenapa emangnya?" Alika berusaha menyembunyikan wajahnya. Dia tahu, matanya pasti terlihat sembab sekarang. Hampir sema
Alika masih meratapi kesedihannya di tepi ranjang. Berkali-kali menyusut air mata tetapi buliran bening itu susul menyusul jatuh di pipi tak berkesudahan.Ini pertama kalinya Raka berbuat kasar padanya secara fisik. Sebelum-sebelumnya, dia hanya melontarkan kata-kata menyedihkan, namun tidak sampai mengangkat tangan. Kenapa begini. Bukankah seharusnya dirinya yang marah karena melihat dengan mata kepala sendiri, Raka bermesraan dengan perempuan lain. Kenapa malah sekarang dibalik, dirinya yang dituduh oleh suaminya itu, dekat dengan lelaki lain.Dan yang membuatnya heran, kenapa Raka bisa tahu dirinya tadi siang pergi makan ke kantin dengan Dave. Apakah ada salah satu karyawan yang mengenal Raka dan melaporkan hal itu padanya.Raka marah bukan karena cemburu dirinya berinteraksi dengan lelaki lain. Dia hanya menjaga nama baik keluarga Goenarto. Dan itu membuat hatinya bertambah perih.Malam ini, Raka pergi entah ke mana. Sungguh sesak dada Alika membayangkan suaminya menghabiskan wakt