Alika pulang dengan hati riang. Akhirnya dirinya memiliki pekerjaan. Memang tidak disangka akan semudah ini. Sedikit aneh juga karena mengingat dirinya belum pernah punya pengalaman kerja sama sekali.
Tetapi, untuk apa dipikirkan. Yang penting, dirinya sudah memiliki pekerjaan sekarang dan tidak harus berdiam diri saja di rumah meratapi nasib. Dan, yang membuat Alika senang adalah, dia tidak harus meminta uang bulanan pada Raka untuk dikirim pada ibu dan adiknya.
Alika tidak sabar ingin memberitahu kabar gembira ini pada Raka. Maka, sore hari saat suaminya itu pulang, dia segera memberitahukan padanya.
"Apa?!" seru Raka. Matanya nanar menahan kesal. Reaksi Raka di luar dugaan Alika.
"Kenapa kamu kerja di perusahaan Darmawangsa? Kamu sengaja pingin bikin aku kesel, ya?"
Alika melongo. Dia tidak mengerti apa yang diucapkan oleh Raka. "M-memangnya kenapa, Mas?"
"Kenapa, kenapa. Kamu tahu Darmawangsa itu kompetitor besar perusahaan Goenarto!"
Alika terperangah. Tentu saja dirinya tidak tahu sama sekali. Raka juga tidak pernah membicarakan urusan kantor dengannya selama ini.
"Maaf, aku nggak tahu, Mas Raka."
Raka mendecak sebal. "Terserah kamu lah. Lakuin aja yang pingin kamu lakuin. Tapi, kalau ada apa-apa nanti nggak usah bawa-bawa nama Goenarto!" Lelaki itu menatap sekilas pada Alika dengan tatapan sinis, sebelum akhirnya keluar dari kamar dengan membanting pintu keras, seperti biasa.
Alika hanya bisa mengelus dada. Perih sekali rasanya diperlakukan seperti ini oleh suaminya. Meskipun dia mulai terbiasa dengan perlakukan kasar Raka, tetapi, setiap kali masih saja terasa sakit.
Biar bagaimanapun, Alika masih sangat mencintai Raka. Ya, tentu saja. Usia pernikahan mereka baru menginjak tiga tahun, yang seharusnya masih terasa begitu manis, meskipun mereka sudah bersama cukup lama sejak pacaran.
Dan pikiran tentang Raka yang memiliki perempuan idaman lain membuat dada Alika terasa sesak. Siapa perempuan bernama Risa itu sebenarnya. Apa dirinya harus menyelidiki. Tetapi, bagaimana caranya. Dia tidak akrab dengan siapa-siapa untuk dimintai tolong.
*******
Hari senin pagi adalah hari pertama Alika masuk kantor barunya. Dia begitu bersemangat mempersiapkan semuanya. Termasuk sebelumnya mempersiapkan segala sesuatu untuk keperluan Raka ke kantor. Raka memandang dingin saat melihat Alika telah rapi dengan setelan kardigan dan rok sepan sebatas lutut.
Dan sarapan pagi itu diawali oleh nyinyiran Marini yang tiada habisnya. Dari penampilannya sampai niatnya bekerja di luar rumah. Dan seperti biasa, Raka membiarkan ibunya menghujat Alika habis-habisan.
"Palingan kamu cuma mau tebar pesona di luar sana. Alasan saja kerja. Iya, kan?" cibir Marini.
"Aku menang niat kerja, Ma," ucap Alika membela diri.
"Halah! Malu-maluin anakku saja kamu. Dikiranya nggak ngasih nafkah. Padahal kamu perempuan nggak tahu bersyukur."
"Ma, kenapa ngomongnya kaya gitu?"
"Kenapa? Nggak terima kamu? Memang kenyataannya begitu kok. Kamu pasti dulu juga merayu almarhum suamiku biar dapat bagian harta keluarga Goenarto. Iya, kan?"
"Astaghfirullah, Ma. Aku nggak pernah melakukan semua itu."
Raka beranjak dari duduknya tanpa menyelesaikan sarapan. Dia berpamitan pada Marini, dan tidak menggubris Alika sama sekali. Kemudian lelaki itu berlalu dari ruang makan begitu saja.
Seharusnya Raka menawari Alika untuk pergi ke kantor bersama, toh satu jalan. Tetapi, Alika tentu tidak berani berharap demikian karena semua itu tidak mungkin.
Seperti saat pergi ke interview beberapa hari lalu, Alika pergi ke kantor Darmawangsa Group dengan naik ojek online. Ya, sedikit percumah dia berdandan rapi, kalau akhirnya berantakan juga terkena angin.
Tiba di kantor, dirinya mencari ruangan sekretariat di mana akan menjadi ruang kerjanya. Bosnya adalah seorang perempuan berusia empat puluhan yang masih terlihat cantik dan seksi, plus elegan. Namanya Kayla. Orangnya ramah dan bersedia membantu menjelaskan detail pekerjaannya dengan sabar. Meskipun dulu saat kuliah Alika mengambil jurusan bisnis manajemen, tetap saja ini pengalaman pertamanya bekerja dan buta dengan seluk beluk perusahaan ini.
"Belum pernah punya pengalaman kerja sebelumnya, ya, Lika?" tanya Kayla.
"Belum, Bu." Alika menjawab dengan senyum malu-malu.
"Hmmm ...." Kayla mengelus dagu. Dari ekspresi wajah, perempuan itu terlihat heran. "Biasanya susah loh masuk sini kalau belum ada pengalaman kerja. Kamu ada orang dalam kah?"
"Nggak, Bu. Saya nggak kenal siapa-siapa. Dapet lowongan saja dari iklan online," terang Alika. Sebenarnya dirinya juga merasa heran dari kemarin saat mendapat pesan kalau dirinya diterima.
"Ya, udahlah, nggak papa. Yang penting nanti kamu bisa menjalankan kerjaan kamu dengan baik, ya."
"Iya, Bu."
Saat Kayla kembali ke mejanya, Alika langsung disibukkan dengan satu box surat yang harus dia sortir. Beruntung dia cukup cerdas dan mengingat petunjuk dari Kayla.
"Nanti jam istirahat siang kamu anterin kopi ke ruang dirut, ya? Pak Direktur suka kopi item gulanya dikit, jangan lupa."
" Okay, Bu," sahut Alika.
Dan dari pagi hingga menjelang istirahat siang, Alika baru selesai menyortir surat lalu mengantarnya ke beberapa divisi. Kini, dia berada di pantry untuk membuatkan kopi buat sang direktur. Pria paruh baya bernama Pak Bagas Darmawangsa. Ada beberapa orang karyawan di sana sedang melakukan hal yang sama. Namun, bedanya, mereka membuat kopi untuk diri mereka sendiri.
"Hei, ketemu lagi." Suara yang terdengar tidak asing memaksa Alika mendongak saat mengaduk kopi.
"Eh, Dave," sapa Alika sambil mengulas senyum. "Kamu juga diterima, ya?"
Dave mengangkat kedua tangan sambil mengedikkan bahu. Entah apa maksud pemuda itu, yang jelas, tentu saja dia pasti diterima bekerja di kantor ini, kalau tidak, untuk apa dia ada di sini.
"Kamu di ruangan Bu Kayla, kan?" tanya Dave saat hanya tinggal mereka berdua di pantry.
"Iya, Dave," jawab Alika sambil menaruh cangkir ke atas nampan. "Aku mau anter kopi ke ruangan Pak Bagas dulu, ya," pamitnya sambil melangkah keluar. Namun, Dave buru-buru mengejarnya.
"Ruanganku juga deket ruangan Bu Kayla," terang Dave sambil menyejajarkan langkahnya dengan Alika.
"Oh ya?"
"Lika, abis kamu nganter kopi, kita makan siang bareng, ya?" tawarnya sebelum mengetuk pintu ruang direktur. "Aku baru kenal akrab sama kamu doang soalnya. Laper, nih, tapi nggak enak makan sendiri," cerocosnya sambil mengelus perutnya yang rata.
"Mmm ... okay." Alika mengulas senyum lalu mengetuk pintu di depannya. Setelah terdengar suara seseorang memberinya izin masuk, dia pun membuka pintu.
Beberapa saat kemudian Alika keluar dan Dave masih menunggu di sana seraya menyandarkan punggungnya di dinding koridor.
"Kamu udah tahu kantinnya di mana?" tanya Alika sambil mengikuti langkah Dave.
"Tau lah," kekeh Dave.
Alika tertawa renyah. "Kamu udah keliling, ya?"
"Hari ini kerjaanku emang keliling doang," gelak Dave membuat Alika mengerutkan kening. Tetapi, sejurus kemudian, perempuan itu ikut terbahak.
Saking banyaknya pekerjaan pertama Alika hari ini, dia harus lembur hingga jam tujuh malam. Raka tidak menelepon sama sekali. Hal itu sedikit membuatnya kecewa. Tetapi, Alika sudah menduga sebelumnya. Mungkin, jika dirinya tidak pulang ke rumah, Raka tidak akan mempermasalahkannya."Loh, Lika, masih di sini?" tanya Dave saat melintas di depan ruangannya dengan pintu terbuka."Aku baru aja selesai." Alika sedang memasukkan barang-barangnya ke dalam tas selempangnya. "Kamu juga masih di sini, Dave?" tanyanya heran."Iya, baru selesai juga," kekehnya. "Pulang bareng, yuk?""Aku naik ojek aja," sahut Alika seraya berjalan ke arah Dave yang berdiri di ambang pintu. Keduanya pun berjalan bersama menuju lift yang akan membawa mereka turun ke lobi."Jangan, dong. Aku anter aja, ya, rumahnya searah, kok.""Beneran nggak usah." Alika menggulir layar ponsel untuk memesan ojek."Takut suamimu marah, ya?" tanya Dave."Nggak, sih, cuma nggak mau ngerepotin aja.""Nggak repot, dong. Udah, ya, aku an
Alika masih meratapi kesedihannya di tepi ranjang. Berkali-kali menyusut air mata tetapi buliran bening itu susul menyusul jatuh di pipi tak berkesudahan.Ini pertama kalinya Raka berbuat kasar padanya secara fisik. Sebelum-sebelumnya, dia hanya melontarkan kata-kata menyedihkan, namun tidak sampai mengangkat tangan. Kenapa begini. Bukankah seharusnya dirinya yang marah karena melihat dengan mata kepala sendiri, Raka bermesraan dengan perempuan lain. Kenapa malah sekarang dibalik, dirinya yang dituduh oleh suaminya itu, dekat dengan lelaki lain.Dan yang membuatnya heran, kenapa Raka bisa tahu dirinya tadi siang pergi makan ke kantin dengan Dave. Apakah ada salah satu karyawan yang mengenal Raka dan melaporkan hal itu padanya.Raka marah bukan karena cemburu dirinya berinteraksi dengan lelaki lain. Dia hanya menjaga nama baik keluarga Goenarto. Dan itu membuat hatinya bertambah perih.Malam ini, Raka pergi entah ke mana. Sungguh sesak dada Alika membayangkan suaminya menghabiskan wakt
Dave melahap sepiring gado-gado yang tadi diantar office boy ke ruangan Bu Kayla, di mana dirinya dan Alika berada saat ini. Tampaknya pemuda itu memang sedang sangat lapar. Sampai-sampai Alika hanya bengong menyaksikan Dave begitu menikmati makanannya."Loh, nggak makan kamu, Lika?" tanya Dave tatkala melihat Alika hanya bengong memandanginya."Aku kayaknya udah kenyang duluan lihat kamu makan, Dave," kekeh Alika. Tetapi perempuan itu mulai menyuapi dirinya sendiri."Wah, aku bikin kenyang, ya?"Alika terbahak. "Kamu makannya lahap banget. Kelaparan, ya?" selorohnya."Seminggu nggak makan aku, Lika."Kembali Alika terbahak. Dave ini ada-ada saja. Pemuda itu lucu dan menyenangkan. Dia selalu bisa menghidupkan suasana. Sejujurnya, tingkah Dave yang jenaka sedikit banyak membuatnya terhibur."Kamu habis nangis, ya, semalam?" tanya Dave membuat Alika terkesiap."Enggak, kenapa emangnya?" Alika berusaha menyembunyikan wajahnya. Dia tahu, matanya pasti terlihat sembab sekarang. Hampir sema
Bu Kayla menugaskan Alika untuk mempersiapkan rapat hari itu. Maka sedari pagi, Alika begitu sibuk melakukan koordinasi dengan tempat yang akan dipakai untuk menyelenggarakan rapat. Sebuah hotel bintang empat yang ada di pinggir kota.Pokoknya, Alika hari itu harus bolak-balik hotel-kantor untuk menyiapkan dokumen, transportasi dan juga memastikan semua peserta rapat hadir. Dia cukup kerepotan kalau saja Dave tidak membantunya. Pemuda itu yang mengantarnya ke mana-mana.Tetapi, yang membuatnya heran adalah, saat mengantar dokumen untuk bahan rapat ke ruangan Pak Bagas, Alika mendapati Dave sudah ada di sana. Dan yang membuatnya semakin heran adalah, yang akan memimpin rapat adalah pemuda itu.Lalu, siangnya, Alika pun berangkat ke hotel bersama Dave dengan berbagai pertanyaan yang memenuhi benaknya."Dave, kok bisa kamu yang mimpin rapat? Kenapa bukan Pak Bagas?" tanya Alika saat berada di dalam mobil Dave."Ya, nggak tahu," kekeh Dave."Serius kamu cuma karyawan biasa?" tanya Alika k
"Pernikahan itu bukan untuk main-main, Dave. Kalau aku udah mutusin menikah dengan seseorang, artinya, seburuk apapun dia, aku harus terima.""Tapi, suami kamu itu udah jelas-jelas main serong. Nyakitin kamu, ngasarin kamu, bikin kamu nangis. Ngapain dipertahankan? Lagian kalian belum ada anak, kan?"Dave semakin berani mengungkapkan apa yang dirasakannya. Sejak dia melihat suami Alika bersama perempuan lain dan bersikap kasar padanya, rasanya dia tidak ingin diam saja."Dave!" Suara Alika sedikit meninggi. "Aku baik-baik aja, okay?"Dave mendecak. Baik-baik saja katanya. Dari ekspresi wajahnya saja memperlihatkan kalau Alika sedang menanggung beban berat dalam hidupnya."Mau sampai kapan pura-pura, Lika?""Dave, kamu nggak tahu apa-apa. Mendingan kamu nggak usah ikut campur!" seru Alika seraya beranjak dari duduknya. Selera makannya sudah hilang dan dia kini berjalan keluar restauran, diikuti oleh Dave."Lika, tunggu!" Dave meraih lengan Alika dan memaksa perempuan itu berhenti. Alik
Entah kenapa Alika begitu kesal dengan ucapan Dave tadi siang di mal, meskipun hati kecilnya membenarkan. Dia tahu, dirinya bodoh menerima semua perlakuan Raka. Tetapi apa mau dikata? Dia masih sangat mencintai suaminya.Alika masih memiliki harapan, suaminya akan kembali seperti dulu. Tapi, apa mungkin? Sedang Raka memang harus menikahi Risa, karena perempuan itu sedang hamil.Dan hari di mana Raka menikahi Risa pun tiba. Alika mencoba untuk tegar. Meskipun hatinya sakit bukan main.Dia memilih untuk mengurung diri di kamar sementara Raka dan Risa---ditemani oleh Marini---pergi ke kantor urusan agama, atau ke masjid, atau ke manapun untuk melangsungkan pernikahan.Mbok Narti yang prihatin dengan keadaan Alika, membuatkan perempuan itu teh hangat. Lalu menawarkan diri untuk memijit badan Alika agar lebih rileks.Sambil berbaring menelungkup, air mata Alika tidak henti-hentinya mengalir hingga sprei kasurnya basah kuyub."Sabar, ya, Non. Mbok cuma bisa bilang itu.""Apa aku bisa ya, Mb
Menjadi sekretaris Dave nyatanya bukan hanya sebuah tawaran untuk Alika, tetapi adalah sebuah keharusan. Bu Kayla pun tidak keberatan dan malah menggodainya kalau Dave diam-diam menyukainya."Nggak mungkin lah, Bu," ujar Alika sembari membereskan barang-barangnya di meja. Hari itu juga mejanya pindah ke dekat ruangan di seberang ruangan Dave."Apanya yang nggak mungkin? Aku sudah perhatikan beberapa hari ini loh, Lika. Pak Davian itu selalu merhatiin kamu."Alika terkekeh. "Saya sudah punya suami, Bu. Pak Davian juga tahu itu.""Sekedar mengagumi kan nggak papa, Lika."Terserah Bu Kayla saja lah, pikir Alika. Dia pun berpamitan pada mantan atasannya itu untuk menuju ruangannya yang baru. Sebuah ruangan yang cukup luas, khusus untuknya. Dia belum tahu tugas apa saja yang akan Dave berikan padanya, yang jelas hari itu, Dave tidak memberikannya tugas apapun selain menemaninya ke sana kemari, dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan pekerjaan.Contohnya, sore itu, dia harus menemani D
"Loh, kamu tinggal di sini sekarang?" tanya Dave keheranan, setelah Alika memintanya berhenti di depan sebuah rumah sederhana."Iya, aku tinggal sama ibuku sementara, beliau lagi sakit.""Oh," ucap Dave. Tetapi, dia merasa bukan hanya alasan ibunya sakit, Alika pindah kemari. Pasti ada sesuatu yang telah terjadi. Namun, dia tidak akan menanyakannya langsung, karena dia yakin Alika pasti tidak akan berkata jujur. Dia memutuskan untuk menyelidiki sendiri saja."Sur, aku mau kamu selidiki Raka Goenarto," ucap Dave pada Surya---orang kepercayaannya---sekembalinya dia dari mengantar Alika."Bukannya aku sudah jadi mata-mata di sana, Bos? Perintah menyelidiki perusahaan itu sudah dari dulu bos kasih?" kekeh Surya. Dia sudah setahun ini menyamar menjadi pegawai di perusahaan Goenarto. Dan bukan tidak mungkin pula, di perusahaan Dharmawangsa ada penyusup dari sana."Kali ini Raka Goenarto yang harus kamu selidiki. Maksudku, kehidupan pribadinya. Istrinya dan semua yang berhubungan dengan ruma
Raka tidak tahu apa yang sedang dia rasakan. Seharusnya dia tidak lagi peduli dengan Alika. Sejak dia jatuh cinta dan menjalin cinta dengan Risa, perasaannya pada Alika telah memudar. Rasanya dia tidak lagi memiliki gairah dengan Alika. Risa jauh lebih seksi dan lebih liar di ranjang. Dia senang memperlihatkan kemesraannya dengan Risa pada Alika. Dia senang melihat istri pertamanya itu menderita. Raka merasa memiliki kuasa. Namun, saat tahu Alika baik-baik saja dan malah dekat dengan Davian Dharmawangsa, hatinya merasa tidak rela. Dia tidak rela melepaskan Alika begitu saja. Risa yang sedang hamil menjadi sangat manja dan cerewet. Dia juga sudah resign dari pekerjaannya dan hanya bermalas-malasan di rumah. Pelayanan Risa di atas ranjang pun berkurang drastis karena kehamilannya. Hal ini sedikit membuat Raka frustrasi. Raka tidak tahu kenapa justru sekarang Alika yang tampak lebih menarik. Jauh lebih menarik dari pada saat awal-awal pernikahannya dengan Alika dulu. Wajah Alika bahka
Alika hampir saja tersedak pizza yang sedang dikunyahnya. Buru-buru dia mengambil botol minum dan meneguk isinya. "Kamu dengar kan aku ngomong apa?" Dave menatap Alika lekat meskipun gadis itu mencoba menghindar. "Aku sudah menikah, Dave." Berapa kali Alika harus mengatakan hal itu pada pemuda tampan di hadapannya ini. Walaupun, lagi-lagi, pernikahan yang sudah di ambang kehancuran. "Emangnya kamu mau dicap perebut bini orang?" kekehnya, untuk mengusir ketegangan di antara dirinya dn Dave. Dave menggeleng. "Aku serus, Lika." Tatapan Dave tetap tajam menusuk relung hati Alika. Tidak ada senyum di bibir tipisnya. Pemuda ini benar-benar dalam mode serius.Alika menghela napasnya berat. "Aku nggak mau ngomongin ini." Dipalingkannya wajah ke arah lain. "Pokoknya aku bakalan nunggu sampai kamu bilang iya dan sampai kamu ceraiin si Raka brengsek itu." "Kamu emang bebal banget, ya?" "Biarin." Dave menyahut dengan santainya. Alika mengibaskan tangan sambil meggeleng pelan. "Terserah kam
"Loh, kamu tinggal di sini sekarang?" tanya Dave keheranan, setelah Alika memintanya berhenti di depan sebuah rumah sederhana."Iya, aku tinggal sama ibuku sementara, beliau lagi sakit.""Oh," ucap Dave. Tetapi, dia merasa bukan hanya alasan ibunya sakit, Alika pindah kemari. Pasti ada sesuatu yang telah terjadi. Namun, dia tidak akan menanyakannya langsung, karena dia yakin Alika pasti tidak akan berkata jujur. Dia memutuskan untuk menyelidiki sendiri saja."Sur, aku mau kamu selidiki Raka Goenarto," ucap Dave pada Surya---orang kepercayaannya---sekembalinya dia dari mengantar Alika."Bukannya aku sudah jadi mata-mata di sana, Bos? Perintah menyelidiki perusahaan itu sudah dari dulu bos kasih?" kekeh Surya. Dia sudah setahun ini menyamar menjadi pegawai di perusahaan Goenarto. Dan bukan tidak mungkin pula, di perusahaan Dharmawangsa ada penyusup dari sana."Kali ini Raka Goenarto yang harus kamu selidiki. Maksudku, kehidupan pribadinya. Istrinya dan semua yang berhubungan dengan ruma
Menjadi sekretaris Dave nyatanya bukan hanya sebuah tawaran untuk Alika, tetapi adalah sebuah keharusan. Bu Kayla pun tidak keberatan dan malah menggodainya kalau Dave diam-diam menyukainya."Nggak mungkin lah, Bu," ujar Alika sembari membereskan barang-barangnya di meja. Hari itu juga mejanya pindah ke dekat ruangan di seberang ruangan Dave."Apanya yang nggak mungkin? Aku sudah perhatikan beberapa hari ini loh, Lika. Pak Davian itu selalu merhatiin kamu."Alika terkekeh. "Saya sudah punya suami, Bu. Pak Davian juga tahu itu.""Sekedar mengagumi kan nggak papa, Lika."Terserah Bu Kayla saja lah, pikir Alika. Dia pun berpamitan pada mantan atasannya itu untuk menuju ruangannya yang baru. Sebuah ruangan yang cukup luas, khusus untuknya. Dia belum tahu tugas apa saja yang akan Dave berikan padanya, yang jelas hari itu, Dave tidak memberikannya tugas apapun selain menemaninya ke sana kemari, dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan pekerjaan.Contohnya, sore itu, dia harus menemani D
Entah kenapa Alika begitu kesal dengan ucapan Dave tadi siang di mal, meskipun hati kecilnya membenarkan. Dia tahu, dirinya bodoh menerima semua perlakuan Raka. Tetapi apa mau dikata? Dia masih sangat mencintai suaminya.Alika masih memiliki harapan, suaminya akan kembali seperti dulu. Tapi, apa mungkin? Sedang Raka memang harus menikahi Risa, karena perempuan itu sedang hamil.Dan hari di mana Raka menikahi Risa pun tiba. Alika mencoba untuk tegar. Meskipun hatinya sakit bukan main.Dia memilih untuk mengurung diri di kamar sementara Raka dan Risa---ditemani oleh Marini---pergi ke kantor urusan agama, atau ke masjid, atau ke manapun untuk melangsungkan pernikahan.Mbok Narti yang prihatin dengan keadaan Alika, membuatkan perempuan itu teh hangat. Lalu menawarkan diri untuk memijit badan Alika agar lebih rileks.Sambil berbaring menelungkup, air mata Alika tidak henti-hentinya mengalir hingga sprei kasurnya basah kuyub."Sabar, ya, Non. Mbok cuma bisa bilang itu.""Apa aku bisa ya, Mb
"Pernikahan itu bukan untuk main-main, Dave. Kalau aku udah mutusin menikah dengan seseorang, artinya, seburuk apapun dia, aku harus terima.""Tapi, suami kamu itu udah jelas-jelas main serong. Nyakitin kamu, ngasarin kamu, bikin kamu nangis. Ngapain dipertahankan? Lagian kalian belum ada anak, kan?"Dave semakin berani mengungkapkan apa yang dirasakannya. Sejak dia melihat suami Alika bersama perempuan lain dan bersikap kasar padanya, rasanya dia tidak ingin diam saja."Dave!" Suara Alika sedikit meninggi. "Aku baik-baik aja, okay?"Dave mendecak. Baik-baik saja katanya. Dari ekspresi wajahnya saja memperlihatkan kalau Alika sedang menanggung beban berat dalam hidupnya."Mau sampai kapan pura-pura, Lika?""Dave, kamu nggak tahu apa-apa. Mendingan kamu nggak usah ikut campur!" seru Alika seraya beranjak dari duduknya. Selera makannya sudah hilang dan dia kini berjalan keluar restauran, diikuti oleh Dave."Lika, tunggu!" Dave meraih lengan Alika dan memaksa perempuan itu berhenti. Alik
Bu Kayla menugaskan Alika untuk mempersiapkan rapat hari itu. Maka sedari pagi, Alika begitu sibuk melakukan koordinasi dengan tempat yang akan dipakai untuk menyelenggarakan rapat. Sebuah hotel bintang empat yang ada di pinggir kota.Pokoknya, Alika hari itu harus bolak-balik hotel-kantor untuk menyiapkan dokumen, transportasi dan juga memastikan semua peserta rapat hadir. Dia cukup kerepotan kalau saja Dave tidak membantunya. Pemuda itu yang mengantarnya ke mana-mana.Tetapi, yang membuatnya heran adalah, saat mengantar dokumen untuk bahan rapat ke ruangan Pak Bagas, Alika mendapati Dave sudah ada di sana. Dan yang membuatnya semakin heran adalah, yang akan memimpin rapat adalah pemuda itu.Lalu, siangnya, Alika pun berangkat ke hotel bersama Dave dengan berbagai pertanyaan yang memenuhi benaknya."Dave, kok bisa kamu yang mimpin rapat? Kenapa bukan Pak Bagas?" tanya Alika saat berada di dalam mobil Dave."Ya, nggak tahu," kekeh Dave."Serius kamu cuma karyawan biasa?" tanya Alika k
Dave melahap sepiring gado-gado yang tadi diantar office boy ke ruangan Bu Kayla, di mana dirinya dan Alika berada saat ini. Tampaknya pemuda itu memang sedang sangat lapar. Sampai-sampai Alika hanya bengong menyaksikan Dave begitu menikmati makanannya."Loh, nggak makan kamu, Lika?" tanya Dave tatkala melihat Alika hanya bengong memandanginya."Aku kayaknya udah kenyang duluan lihat kamu makan, Dave," kekeh Alika. Tetapi perempuan itu mulai menyuapi dirinya sendiri."Wah, aku bikin kenyang, ya?"Alika terbahak. "Kamu makannya lahap banget. Kelaparan, ya?" selorohnya."Seminggu nggak makan aku, Lika."Kembali Alika terbahak. Dave ini ada-ada saja. Pemuda itu lucu dan menyenangkan. Dia selalu bisa menghidupkan suasana. Sejujurnya, tingkah Dave yang jenaka sedikit banyak membuatnya terhibur."Kamu habis nangis, ya, semalam?" tanya Dave membuat Alika terkesiap."Enggak, kenapa emangnya?" Alika berusaha menyembunyikan wajahnya. Dia tahu, matanya pasti terlihat sembab sekarang. Hampir sema
Alika masih meratapi kesedihannya di tepi ranjang. Berkali-kali menyusut air mata tetapi buliran bening itu susul menyusul jatuh di pipi tak berkesudahan.Ini pertama kalinya Raka berbuat kasar padanya secara fisik. Sebelum-sebelumnya, dia hanya melontarkan kata-kata menyedihkan, namun tidak sampai mengangkat tangan. Kenapa begini. Bukankah seharusnya dirinya yang marah karena melihat dengan mata kepala sendiri, Raka bermesraan dengan perempuan lain. Kenapa malah sekarang dibalik, dirinya yang dituduh oleh suaminya itu, dekat dengan lelaki lain.Dan yang membuatnya heran, kenapa Raka bisa tahu dirinya tadi siang pergi makan ke kantin dengan Dave. Apakah ada salah satu karyawan yang mengenal Raka dan melaporkan hal itu padanya.Raka marah bukan karena cemburu dirinya berinteraksi dengan lelaki lain. Dia hanya menjaga nama baik keluarga Goenarto. Dan itu membuat hatinya bertambah perih.Malam ini, Raka pergi entah ke mana. Sungguh sesak dada Alika membayangkan suaminya menghabiskan wakt