Share

5. Pengajuan Perceraian

“Gino! Kenapa kamu seakan marah padaku? Bukannya kamu juga tidak terlalu peduli kepada Davita? Kamu bilang, kalau kamu hanya ingin memanfaatkan kepintarannya saat nanti punya pekerjaan ‘kan? Belum tentu juga dia akan mendapatkan pekerjaan yang bagus. Kenapa kamu begitu frustasi hanya karena dia ingin bercerai? Harusnya kamu senang.”

“Diam ‘lah!” Gino menggeram, ia manatap Hani dengan mata tajam. “Harusnya kamu menahan semuanya, sekarang jadi kacau begini. Aku tidak ingin berpisah dengan Davita, padahal aku sudah susah payah mempertahankan hubungan kami.”

Hani tersenyum sinis. “Jadi apa yang dikatakan Davita benar? Kamu selama ini berbohong padaku, hanya demi aku bersedia terus bersenang-senang denganmu, iya? Kamu bilang hanya memanfaatkan Davita, nyatanya kamu benar-benar menyukainya?” geram Hani.

Gino mengurut keningnya yang berdenyut. “Tidak usah membuatku semakin pusing, Hani. Intinya jangan ganggu aku sekarang.”

“Tapi percuma, Davita pasti tidak akan memaafkan kamu. Dia serius akan mengurus surat cerai. Terima saja kenyataan,” decih Hani.

Gino mengepalkan tangannya. “Aku harus menemuinya pagi-pagi, membujuknya untuk mengurungkan niat.”

Hani menatap Gino tak percaya. “Begitu inginnya kamu mempertahankan dia?” Tangan Hani terkepal kuat, kenyataan ini membuatnya semakin membenci Davita. “Aku yakin dia tidak akan bersedia, aku tahu betul bagaimana karakter Davita. Dia akan melakukan sesuatu yang sudah terlontar dari mulutnya. Dia pasti akan menceraikanmu.”

Gino mengumpat sembari melempar gelas kaca hingga berderai membentur dinding. “Jika pada akhirnya kami benar-benar harus bercerai, maka aku akan membuatnya menyesal. Dia bisa apa tanpa aku? Hanya seorang anak panti miskin, tidak punya keluarga dan tidak punya pekerjaan.”

Hani tersenyum miring. “Ini yang aku mau, buat ‘lah hidup Davita menderita. Dengan begitu aku pun akan menjadi semakin bahagia. Aku sungguh membencinya, benci dengan wajah cantiknya yang selalu berhasil menarik perhatian para pria. Harusnya semua perhatian itu untukku, tapi dia merebut semuanya. Aku sangat membencimu, Davita.”

Malam itu Davita tak bisa mengunjungi alam mimpinya. Bahkan sekadar untuk memicingkan mata pun tak sanggup. Mata bengkak karena menangis berjam-jam, Davita lelah. Rasa sakit di hatinya sudah tak mampu lagi diungkapkan dengan kata-kata.

Davita menarik napas dalam, ia memandangi langit-langit kamar dengan tatapan sayu. “Dugaanku salah. Aku mengira kehidupanku setelah pernikahan ini akan menjadi begitu membahagiakan. Semua angan-angan yang aku bangun sedari dulu, runtuh seketika. Apa sebenarnya aku ini memang dikutuk? Aku dikutuk, tidak diizinkan untuk bahagia, tidak diizinkan untuk memiliki keluarga? Dari bayi dibuang orang tua sendiri, sekarang dua orang yang begitu aku sayangi, sangat aku percaya ... rupanya berkhianat, bahkan ternyata selama ini mereka bermain peran tanpa sepengetahuanku.”

Davita tertawa pahit, matanya berkaca-kaca.

“Sekarang ... bagaimana caraku untuk bisa percaya kepada manusia? Entah itu pria ataupun wanita.” Davita menarik napas dalam. “Bagaimana?”

Meski semalaman tak tidur, tubuh dan batin kesakitan, Davita tetap menguatkan diri sendiri untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Gadis malang itu berusaha tetap tegar meski hatinya hancur tak berbentuk. Rasa sakit yang tak terhingga ini, berhasil melahirkan dendam mendalam di hati Davita.

Dendam yang dalam hitungan menit per menit, terus membesar dan mencapai puncak tertinggi. Hanya beberapa jam durasi waktu setelah kejadian tadi malam, tekad Davita untuk membalas dendam semakin besar.

Davita berkaca, ia memandangi wajah cantiknya di depan cermin. Ekspresi Davita begitu dingin, sorot matanya pun sangat tajam penuh dendam. Perlahan Davita meraih benda pintar di samping westafel, lalu menghubungi seseorang.

“Hallo, Nyonya.”

“Cek surel-mu, saya sudah kirim semua berkas yang harus kamu kerjakan. Saya tunggu kabar tentang proses secepatnya!” titah Davita tegas.

“Baik, Nyonya. Akan segera saya cek dan laporkan proses kemajuannya.”

Davita kembali meletakkan benda pipih itu di atas meja westafel. “Aku ingin proses perceraian ini segera selesai,” bisiknya.

Davita masih memandangi wajah cantiknya di depan kaca. Mata bengkak Davita sudah tak terlihat setelah dipoles make up tipis.

“Baiklah, Davita. Ayo kita buat mereka merasakan apa itu rasa sakit. Bahkan mereka harus merasakan sakit ini berkali lipat dari pada rasa sakitku,” desis Davita berbicara dengan dirinya di depan cermin.

***

“Davita!”

Davita menggeram melihat Gino berlari mengejarnya. Gadis itu mempercepat langkah menuju sebuah gedung perusahaan, ia belum ingin bertemu dengan Gino.

“Davita, tunggu!” Gino terus berlari, mengejar langkah Davita. “Davita! Aku tadi sudah ke kontrakanmu, aku ketuk berkali-kali. Katanya kamu dari tadi malam tidak pulang, kamu menginap di mana tadi malam?”

Davita tak menghiraukan celotehan Gino yang terus mengejarnya. “Ada untungnya juga aku belum sempat memberitahu apartemenku. Jadi aku aman, tidak akan diganggunya ke apartemen. Menjijikkan sekali, aku belum ingin bertemu dengannya. Melihat wajahnya saja sudah membuat emosiku tidak stabil,” batin Davita.

“Davita, kenapa diam saja?” Gino meraih pergelangan tangan Davita ketika gadis itu semakin mempercepat langkah.

“Lepaskan!” Davita menepis tangan Gino, lalu menatap pria itu tajam. “Jangan sentuh aku dengan tangan menjijikkanmu itu, Gino!”

Gino menggeram. “Jangan keterlaluan, Davita! Aku ini suamimu, sopan ‘lah!”

Davita tersenyum sinis. “Suami? Yah, mungkin sekarang masih suami, tapi kita sedang dalam proses perceraian. Aku sudah memasukkan dokumen pengajuan perceraian kita. Dalam waktu dekat, kita bukan lagi siapa-siapa.”

“Tunggu, Davita!” Gino kembali meraih pergelangan tangan Davita, tetapi gadis itu langsung menariknya kasar. “Aku tidak setuju kita bercerai, aku tidak akan pernah setuju.”

“Terserahmu!” Davita memandang Gino dengan tatapan jijik serta penuh kebencian. “Dokumenku lengkap dan bukti-buktinya pun sangat kuat. Kamu ingin setuju atau tidak, kita tetap akan bercerai!” tekan Davita dingin.

Setelahnya Davita melangkah pergi, tangannya terkepal kuat. Emosinya kembali tak stabil, ia benar-benar belum siap berhadapan dengan Gino, apalagi melihat wajah pria itu dari jarak begitu dekat.

Tangan Gino terkepal melihat pergerakan Davita. “Kamu akan menyesali ini, Davita! Kamu akan menyesal jika bercerai denganku!”

Langkah Davita terhenti, hal itu membuat Gino tersenyum angkuh. Gino mengira Davita akan berubah pikiran.

Davita membalikkan badan, lalu menatap Gino dengan tatapan begitu dingin. “Menyesal?” Davita mengangguk pelan, ia tersenyum sinis ke arah Gino. “Iya, aku sudah menyesal sekarang. Sangat menyesal karena bersedia menikah denganmu, bajingan. Ternyata dulu aku sangat buta dan bodoh, sampai aku tidak bisa mengenali antara manusia dan binatang,” desis Davita.

“Kau!” Gino murka, ia melayangkan tangan yang siap untuk menyapa pipi putih Davita.

Davita memejamkan matanya, seakan sudah siap menerima tamparan dari Gino. Namun, beberapa detik gadis itu tak kunjung merasakan apa-apa. Perlahan Davita membuka sebelah matanya, ia terkejut melihat tangan Gino ditahan oleh seseorang.

Gino pun tampak sangat terkejut melihat seorang pria yang tengah menahan pergelangan tangannya. Pria itu menepis tangan Gino, ia memandang Gino dengan ekspresi dingin.

“T-tuan Naradipta?” gumam Gino kaku.

Davita terkejut, ia mendongak menatap pria tinggi tampan yang baru saja membantunya. “Tuan Naradipta? Apa maksudnya dia ini ... Angga Naradipta, CEO Naradipta Group sekaligus penerus utama keluarga Naradipta yang terkemuka di kota ini?” batin Davita.

“Berani sekali kau membuat keributan di kantor ini,” tegur Lupis—asisten Angga.

Gino menunduk dengan wajah kaku. “M-maafkan saya, Tuan. Saya tidak bermaksud membuat keributan.”

Angga melirik Davita singkat, lalu melanjutkan langkah tanpa berkata-kata. Davita pun sempat terdiam sejenak, lalu tersadar kala mengingat tujuannya datang ke gendung perusahaan besar itu.

“Astaga, aku ke sini ‘kan niatnya ingin mengajukan pertemuan dengan Angga Naradipta untuk usaha kerjasama. Sudah berkali-kali aku ke sini, pengajuanku selalu ditolak karena untuk bertemu dengannya sangat susah. Ternyata dia persis seperti yang dirumorkan, tampan tapi dingin dan terlihat ... sedikit menyeramkan,” batin Davita.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status