“Gino! Kenapa kamu seakan marah padaku? Bukannya kamu juga tidak terlalu peduli kepada Davita? Kamu bilang, kalau kamu hanya ingin memanfaatkan kepintarannya saat nanti punya pekerjaan ‘kan? Belum tentu juga dia akan mendapatkan pekerjaan yang bagus. Kenapa kamu begitu frustasi hanya karena dia ingin bercerai? Harusnya kamu senang.”
“Diam ‘lah!” Gino menggeram, ia manatap Hani dengan mata tajam. “Harusnya kamu menahan semuanya, sekarang jadi kacau begini. Aku tidak ingin berpisah dengan Davita, padahal aku sudah susah payah mempertahankan hubungan kami.”
Hani tersenyum sinis. “Jadi apa yang dikatakan Davita benar? Kamu selama ini berbohong padaku, hanya demi aku bersedia terus bersenang-senang denganmu, iya? Kamu bilang hanya memanfaatkan Davita, nyatanya kamu benar-benar menyukainya?” geram Hani.
Gino mengurut keningnya yang berdenyut. “Tidak usah membuatku semakin pusing, Hani. Intinya jangan ganggu aku sekarang.”
“Tapi percuma, Davita pasti tidak akan memaafkan kamu. Dia serius akan mengurus surat cerai. Terima saja kenyataan,” decih Hani.
Gino mengepalkan tangannya. “Aku harus menemuinya pagi-pagi, membujuknya untuk mengurungkan niat.”
Hani menatap Gino tak percaya. “Begitu inginnya kamu mempertahankan dia?” Tangan Hani terkepal kuat, kenyataan ini membuatnya semakin membenci Davita. “Aku yakin dia tidak akan bersedia, aku tahu betul bagaimana karakter Davita. Dia akan melakukan sesuatu yang sudah terlontar dari mulutnya. Dia pasti akan menceraikanmu.”
Gino mengumpat sembari melempar gelas kaca hingga berderai membentur dinding. “Jika pada akhirnya kami benar-benar harus bercerai, maka aku akan membuatnya menyesal. Dia bisa apa tanpa aku? Hanya seorang anak panti miskin, tidak punya keluarga dan tidak punya pekerjaan.”
Hani tersenyum miring. “Ini yang aku mau, buat ‘lah hidup Davita menderita. Dengan begitu aku pun akan menjadi semakin bahagia. Aku sungguh membencinya, benci dengan wajah cantiknya yang selalu berhasil menarik perhatian para pria. Harusnya semua perhatian itu untukku, tapi dia merebut semuanya. Aku sangat membencimu, Davita.”
Malam itu Davita tak bisa mengunjungi alam mimpinya. Bahkan sekadar untuk memicingkan mata pun tak sanggup. Mata bengkak karena menangis berjam-jam, Davita lelah. Rasa sakit di hatinya sudah tak mampu lagi diungkapkan dengan kata-kata.
Davita menarik napas dalam, ia memandangi langit-langit kamar dengan tatapan sayu. “Dugaanku salah. Aku mengira kehidupanku setelah pernikahan ini akan menjadi begitu membahagiakan. Semua angan-angan yang aku bangun sedari dulu, runtuh seketika. Apa sebenarnya aku ini memang dikutuk? Aku dikutuk, tidak diizinkan untuk bahagia, tidak diizinkan untuk memiliki keluarga? Dari bayi dibuang orang tua sendiri, sekarang dua orang yang begitu aku sayangi, sangat aku percaya ... rupanya berkhianat, bahkan ternyata selama ini mereka bermain peran tanpa sepengetahuanku.”
Davita tertawa pahit, matanya berkaca-kaca.
“Sekarang ... bagaimana caraku untuk bisa percaya kepada manusia? Entah itu pria ataupun wanita.” Davita menarik napas dalam. “Bagaimana?”
Meski semalaman tak tidur, tubuh dan batin kesakitan, Davita tetap menguatkan diri sendiri untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Gadis malang itu berusaha tetap tegar meski hatinya hancur tak berbentuk. Rasa sakit yang tak terhingga ini, berhasil melahirkan dendam mendalam di hati Davita.
Dendam yang dalam hitungan menit per menit, terus membesar dan mencapai puncak tertinggi. Hanya beberapa jam durasi waktu setelah kejadian tadi malam, tekad Davita untuk membalas dendam semakin besar.
Davita berkaca, ia memandangi wajah cantiknya di depan cermin. Ekspresi Davita begitu dingin, sorot matanya pun sangat tajam penuh dendam. Perlahan Davita meraih benda pintar di samping westafel, lalu menghubungi seseorang.
“Hallo, Nyonya.”
“Cek surel-mu, saya sudah kirim semua berkas yang harus kamu kerjakan. Saya tunggu kabar tentang proses secepatnya!” titah Davita tegas.
“Baik, Nyonya. Akan segera saya cek dan laporkan proses kemajuannya.”
Davita kembali meletakkan benda pipih itu di atas meja westafel. “Aku ingin proses perceraian ini segera selesai,” bisiknya.
Davita masih memandangi wajah cantiknya di depan kaca. Mata bengkak Davita sudah tak terlihat setelah dipoles make up tipis.
“Baiklah, Davita. Ayo kita buat mereka merasakan apa itu rasa sakit. Bahkan mereka harus merasakan sakit ini berkali lipat dari pada rasa sakitku,” desis Davita berbicara dengan dirinya di depan cermin.
***
“Davita!”
Davita menggeram melihat Gino berlari mengejarnya. Gadis itu mempercepat langkah menuju sebuah gedung perusahaan, ia belum ingin bertemu dengan Gino.
“Davita, tunggu!” Gino terus berlari, mengejar langkah Davita. “Davita! Aku tadi sudah ke kontrakanmu, aku ketuk berkali-kali. Katanya kamu dari tadi malam tidak pulang, kamu menginap di mana tadi malam?”
Davita tak menghiraukan celotehan Gino yang terus mengejarnya. “Ada untungnya juga aku belum sempat memberitahu apartemenku. Jadi aku aman, tidak akan diganggunya ke apartemen. Menjijikkan sekali, aku belum ingin bertemu dengannya. Melihat wajahnya saja sudah membuat emosiku tidak stabil,” batin Davita.
“Davita, kenapa diam saja?” Gino meraih pergelangan tangan Davita ketika gadis itu semakin mempercepat langkah.
“Lepaskan!” Davita menepis tangan Gino, lalu menatap pria itu tajam. “Jangan sentuh aku dengan tangan menjijikkanmu itu, Gino!”
Gino menggeram. “Jangan keterlaluan, Davita! Aku ini suamimu, sopan ‘lah!”
Davita tersenyum sinis. “Suami? Yah, mungkin sekarang masih suami, tapi kita sedang dalam proses perceraian. Aku sudah memasukkan dokumen pengajuan perceraian kita. Dalam waktu dekat, kita bukan lagi siapa-siapa.”
“Tunggu, Davita!” Gino kembali meraih pergelangan tangan Davita, tetapi gadis itu langsung menariknya kasar. “Aku tidak setuju kita bercerai, aku tidak akan pernah setuju.”
“Terserahmu!” Davita memandang Gino dengan tatapan jijik serta penuh kebencian. “Dokumenku lengkap dan bukti-buktinya pun sangat kuat. Kamu ingin setuju atau tidak, kita tetap akan bercerai!” tekan Davita dingin.
Setelahnya Davita melangkah pergi, tangannya terkepal kuat. Emosinya kembali tak stabil, ia benar-benar belum siap berhadapan dengan Gino, apalagi melihat wajah pria itu dari jarak begitu dekat.
Tangan Gino terkepal melihat pergerakan Davita. “Kamu akan menyesali ini, Davita! Kamu akan menyesal jika bercerai denganku!”
Langkah Davita terhenti, hal itu membuat Gino tersenyum angkuh. Gino mengira Davita akan berubah pikiran.
Davita membalikkan badan, lalu menatap Gino dengan tatapan begitu dingin. “Menyesal?” Davita mengangguk pelan, ia tersenyum sinis ke arah Gino. “Iya, aku sudah menyesal sekarang. Sangat menyesal karena bersedia menikah denganmu, bajingan. Ternyata dulu aku sangat buta dan bodoh, sampai aku tidak bisa mengenali antara manusia dan binatang,” desis Davita.
“Kau!” Gino murka, ia melayangkan tangan yang siap untuk menyapa pipi putih Davita.
Davita memejamkan matanya, seakan sudah siap menerima tamparan dari Gino. Namun, beberapa detik gadis itu tak kunjung merasakan apa-apa. Perlahan Davita membuka sebelah matanya, ia terkejut melihat tangan Gino ditahan oleh seseorang.
Gino pun tampak sangat terkejut melihat seorang pria yang tengah menahan pergelangan tangannya. Pria itu menepis tangan Gino, ia memandang Gino dengan ekspresi dingin.
“T-tuan Naradipta?” gumam Gino kaku.
Davita terkejut, ia mendongak menatap pria tinggi tampan yang baru saja membantunya. “Tuan Naradipta? Apa maksudnya dia ini ... Angga Naradipta, CEO Naradipta Group sekaligus penerus utama keluarga Naradipta yang terkemuka di kota ini?” batin Davita.
“Berani sekali kau membuat keributan di kantor ini,” tegur Lupis—asisten Angga.
Gino menunduk dengan wajah kaku. “M-maafkan saya, Tuan. Saya tidak bermaksud membuat keributan.”
Angga melirik Davita singkat, lalu melanjutkan langkah tanpa berkata-kata. Davita pun sempat terdiam sejenak, lalu tersadar kala mengingat tujuannya datang ke gendung perusahaan besar itu.
“Astaga, aku ke sini ‘kan niatnya ingin mengajukan pertemuan dengan Angga Naradipta untuk usaha kerjasama. Sudah berkali-kali aku ke sini, pengajuanku selalu ditolak karena untuk bertemu dengannya sangat susah. Ternyata dia persis seperti yang dirumorkan, tampan tapi dingin dan terlihat ... sedikit menyeramkan,” batin Davita.
“Bagaimana?”Lupis menunduk singkat sebelum menyahut pertanyaan Angga. “Nyonya Naradipta tadi berpesan, katanya Tuan Besar benar-benar sudah mengatur pernikahan Anda, Tuan.”Angga menghembuskan napas panjang, lalu ia menghempaskan punggung ke sandaran kursi. “Kau sudah tahu dengan siapa aku akan dijodohkan?”“Sesuai yang disebutkan Tuan Besar sedari awal, Tuan. Anda sudah dijodohkan dengan putri dari keluarga Candra. Namanya Hani Candra, dia seorang model yang cukup ternama di kota ini. Saya sudah menyiapkan dokumen lengkap tentang Nona Candra, ini silakan Anda cek, Tuan.”Angga menatap map merah yang baru saja diletakkan Lupis di atas meja kerjanya. Ia meraih map itu dengan ekspresi tak terlalu berminat.“Karena dia berasal dari keluarga yang terbilang terpandang, saya rasa calon istri Anda ini tidak akan merugikan Anda, Tuan. Pendidikannya bagus, karirnya juga bagus di dunia model, karena besar dalam keluarga terpandang, pastinya dia juga tumbuh elegan. Saya rasa dia cocok menjadi ca
Tiga setengah bulan kemudian.“Davita!”Davita mendongak, ia menghembuskan napas malas melihat kedatangan sepasang insan yang baru saja keluar dari mobil. Davita tak menghiraukan mereka, ia memilih membantu seorang bapak tua berdiri.“Astaga, siapa ini? Gak disangka, kita akan bertemu lagi setelah beberapa bulan kau bersembunyi.” Hani tersenyum miring menatap Davita yang terus membantu bapak tua.“Bapak tidak apa-apa?” tanya Davita kepada bapak tua tersebut.Bapak tua tersenyum menggeleng. “Tidak apa-apa, Nak. Terima kasih sudah membantu.”“Tangan Bapak berdarah, sebaiknya diobati dulu,” ucap Davita sopan.“Tidak usah, Nak. Ini hanya luka kecil, nanti juga sembuh sendiri, ha-ha.”“Cih, tak disangka, setelah memutuskan cerai dengan Gino, kamu
“Apa?!” Hani berdiri sembari berteriak karena terlalu terkejut mendengar kalimat kedua orang tuanya. “M-mama bilang apa barusan? Angga Naradipta?”Risna mengangguk sembari tersenyum. “Iya, orang yang sedari dulu selalu kamu ceritakan sama Mama.”“Ceritakan?” tanya Faris—ayah Hani.“Iya, Pa. Hani sering sekali bercerita kalau dia itu suka sekali sama Angga Naradipta. Bahkan Hani pernah berkata ingin mendapatkan pria seperti Angga Naradipta sebagai suami. Makanya Mama terkejut dan senang saat Papa beritahu kalau Hani akan dijodohkan dengan Angga Naradipta. Karena secara tidak langsung, itu sudah menyahut impian putri kita. Iya ‘kan, Sayang? Kamu senang dengan perjodohan ini ‘kan?” ungkap Risna sembari Hani.Hani tersadar, ia langsung mengangguk semangat. “Sangat senang, Ma! Aku bahkan mengira ini mimpi, loh. Demi apa, a
“Apa?!” Gino berteriak sembari menggebrak meja.Hani menggeram ketika semua mata tertuju kepada mereka. Ia menutup wajahnya karena malu sekaligus kesal.“Jangan berisik, Gino. Kamu menarik perhatian orang-orang. Bagaimana kalau mereka mengenalku?” bisik Hani geram.Gino menatap Hani dengan mata tajam. “Setelah kamu membuat aku dan Davita bercerai, sekarang kamu seenaknya bilang ingin menikah dengan pria lain? Apa kamu gila, kamu kira aku apa, hah?” desisnya.Hani berdecak. “Kamu juga selama ini selalu menganggap aku hanya pelampiasan, ‘kan? Jadi harusnya kamu tidak akan peduli jika aku menikah dengan pria lain. Kamu kira aku tidak tahu, kalau kamu masih berusaha mendekati Davita? Cih, kamu kira aku bodoh? Aku tahu kamu sekarang sering mengunjungi toko bunga tempat wanita kurang ajar itu bekerja. Iya ‘kan?”Gino terdiam s
“Kita pernah bertemu secara tidak sengaja di lobi gedung perusahaan Anda, Tuan Muda. Saat itu saya datang untuk mengajukan kerjasama secara langsung. Tapi mungkin Anda tidak ingat karena tidak terlalu memperhatikan.” Davita tersenyum formal kepada Angga.“Aku mengingatnya,” sahut Angga dalam hati, “wajah wanita ini tidak pasaran, ada hal khusus yang membuat wajahnya lebih menarik dari wanita lain, dan itu membuatnya mudah diingat meski satu kali pertemuan sekali pun.”“Angga.”Suara berat Maizal mengembalikan kesadaran Angga. Ia menoleh singkat, lalu meraih dokumen di atas meja. Melihat Angga tak berniat menyahut basa-basi Davita, Maizal pun berdecak singkat.“Tolong dimaklum ya, Dav. Dia memang seperti itu. Irit suara sekali, jadi lain kali tidak usah basa-basi padanya. Dia memang patung,” cetus Maizal kepada Davita.Ka
“Davita.”Davita terkejut ketika Gino tiba-tiba muncul dan meraih tangannya. Davita langsung menepis tangan Gino dan menatap mantan suaminya itu dengan mata tajam.“Davita, aku sudah menunggumu di sini sedari tadi. Akhirnya kamu datang juga, kamu masuk siang ya?” Gino tersenyum ke arah Davita.Davita membalas senyum itu dengan tatapan dinginya. Ia menghembuskan napas kesabaran, menahan diri supaya tak lepas kedali setiap kali melihat wajah Gino. Sampai saat ini, rasa benci Davita masih berada di level tinggi, sehingga bisa saja ia lepas kendali memaki Gino di depan umum, itu bisa berpengaruh buruk untuk citranya. Amarahnya itu juga bisa menghancurkan seluruh tatanan rencana balas dendam yang sudah ia buat dengan susah payah.“Kau masih saja menguntitku? Apa kau tidak takut jika kekasihmu marah? Ujung-ujungnya dia akan menyalahkan aku sebagai penggoda, padahal dia adalah
Davita menghentikan langkahnya di pertengahan tangga. Laporan sekretasinya benar, ada Angga di lantai bawah. Davita cukup penasaran, tujuan Angga datang ke tokonya secara langsung untuk apa.“Apa dia ingin survei toko bungaku karena sebentar lagi kami akan saling tanda tangan kontrak kerjasama? Apa dia biasanya selalu survei secara langsung? Bukannya ini tugasnya Kak Maizal, ya?” batin Davita.“Bu, apa ada masalah?”Suara Niana mengembalikan kesadaran Davita. Ia menggeleng, lalu kembali melanjutkan langkah menuruni tangga. Bertepatan dengan itu, Angga pun menoleh, mata mereka beradu tatap. Davita langsung tersenyum ke arah Angga, ia menunduk sopan sembari terus berjalan mendekat ke arah CEO Naradipta Group tersebut.“Selamat siang, Tuan Muda. Saya sangat terkejut mengetahui Anda berkunjung ke toko saya. Apa ada yang bisa saya bantu? Anda sedang mencari bunga?” Davi
Lamunan Angga pecah oleh suara ketukan kaca mobil di sampingnya. Pria itu menoleh dan melihat wajah cantik Davita di luar sana. Angga berdeham singkat, lalu menurunkan kaca mobil.Davita langsung tersenyum dan menunduk singkat ketika kaca mobil terbuka sempurna. “Terima kasih karena sudah memesan bunga di toko saya, Tuan Muda. Semoga Anda suka dengan design-nya.”“Hem.”Davita masih tersenyum meski Angga membalas dengan dehaman singkat. Wanita itu terus berdiri di area parkiran sampai mobil Angga benar-benar pergi. Ketika mobil itu menjauh, Davita menghembuskan napas panjang.“Haah, aku tidak menyangka dia akan datang ke sini. Ini malah bagus, tanpa berusaha pun, dia malah datang ke sini seakan membantuku menjalankan rencana. Meski ini masih tidak berefek apa-apa, tapi tetap saja ini hal bagus. Semakin sering berinteraksi dengannya, semakin bagus.” Davita menganggu