Share

6. Permainan

“Bagaimana?”

Lupis menunduk singkat sebelum menyahut pertanyaan Angga. “Nyonya Naradipta tadi berpesan, katanya Tuan Besar benar-benar sudah mengatur pernikahan Anda, Tuan.”

Angga menghembuskan napas panjang, lalu ia menghempaskan punggung ke sandaran kursi. “Kau sudah tahu dengan siapa aku akan dijodohkan?”

“Sesuai yang disebutkan Tuan Besar sedari awal, Tuan. Anda sudah dijodohkan dengan putri dari keluarga Candra. Namanya Hani Candra, dia seorang model yang cukup ternama di kota ini. Saya sudah menyiapkan dokumen lengkap tentang Nona Candra, ini silakan Anda cek, Tuan.”

Angga menatap map merah yang baru saja diletakkan Lupis di atas meja kerjanya. Ia meraih map itu dengan ekspresi tak terlalu berminat.

“Karena dia berasal dari keluarga yang terbilang terpandang, saya rasa calon istri Anda ini tidak akan merugikan Anda, Tuan. Pendidikannya bagus, karirnya juga bagus di dunia model, karena besar dalam keluarga terpandang, pastinya dia juga tumbuh elegan. Saya rasa dia cocok menjadi calon Nyonya Muda Naradipta.”

Angga memandangi foto wajah Hani yang berada di dalam map merah tersebut.

“Wajahnya juga cantik ‘kan, Tuan? Dia cocok bersanding dengan Anda,” sambung Lupis.

Angga tak menanggapi setiap pujian asistennya untuk Hani. Ia melempar pelan map itu ke atas meja.

“Biodatanya terlalu dasar. Saya ingin kau mencaritahu lebih dalam tentang Hani Candra ini. Semuanya, entah itu positif atau negatif. Bahkan, kalau bisa kau harus mencari celah seluruh hal tentangnya, barang setitik pun harus lengkap!”

“Saya paham, Tuan!”

“Tunggu.”

Pergerakan Lupis terhenti, ia menunduk hormat kepada Angga.

“Apa keluarga Candra sudah mengetahui ini?” tanya Angga.

“Mungkin sudah mungkin juga belum, Tuan. Menurut penjelasan Nyonya Naradipta, niat perjodohan ini ada semenjak Anda lahir. Katanya Tuan Besar berteman baik dengan Tuan Besar Candra. Mereka sudah berjanji akan menjodohkan cucu mereka. Tuan dan Nyonya Candra mungkin sudah tahu sedari awal, tapi untuk Nona Candra—saya kurang tahu, bisa saja orang tuanya belum memberitahu perjodohan ini.”

Angga mengangguk singkat. “Pergi ‘lah.”

“Saya permisi, Tuan.” Lupis menunduk, lalu bergerak pergi dari sana.

Angga menghembuskan napas panjang. Ia berdiri dari duduknya, lalu memandangi padatnya kota dari dinding kaca ruangan kerjanya. Kedua tangan Angga tersimpan dalam saku celana, mata elangnya memandangi datar pergerakan orang-orang di bawah sana.

“Maksimal satu tahun, setelah satu tahun pernikahan, Kakek akan menyerahkan seluruh sahamnya padaku. Satu bulan setelah itu, aku akan langsung menceraikannya,” gumam Angga datar.

***

“Jadi kamu masih terus mencarinya? Jelas-jelas dia benar-benar tidak menginginkan kamu lagi, Gino. Dia sudah mengajukan cerai, kamu pun sudah mendapat surat pengajuan itu, ‘kan? Untuk apa masih mencari untuk membujuknya?” Hani menatap Gino dengan wajah geram.

Gino berdecak, ia menatap Hani dengan wajah setengah kesal. “Tidak usah membuatku kembali badmood. Aku ke sini untuk menghilangkan sakit kepalaku.”

Hani mengepalkan tangannya. “Dengan begitu, sama saja kamu benar-benar menjadikan aku pelampiasan, Gino! Saat kamu banyak pikiran, banyak masalah, atau sedang badmood, kamu sengaja ke sini untuk bermain denganku. Aku akan terima jika itu karena pekerjaan, tapi kalau kamu badmood karena tidak bisa bertemu dengan Davita, aku tidak terima dijadikan pelampiasan seperti ini, Gino!”

Gino menggeram, ia menatap Hani dengan wajah marah. “Baik, kalau begitu aku pergi saja dari sini!”

Hani menatap Gino dengan ekspresi tak percaya. Pria itu turun dari ranjang, lalu memungut bajunya di lantai. Tangan Hani terkepal kuat, ia tak menyangka Gino benar-benar menjadikan dirinya sebagai pelampiasan.

“Kamu brengsek, Gino! Kalau kamu berani keluar dari apartemenku sekarang, maka jangan pernah datang ke sini lagi!” teriak Hani mengancam Gino.

Langkah Gino terhenti, ia menoleh ke belakang, menatap Hani yang tampak murka. “Jangan membuatku semakin pusing, Hani.”

“Kenapa? Kamu bangsat! Pria bedebah, setelah bermain denganku, sekarang kau ingin pergi, ingin cari wanita kurang ajar itu lagi, hah!” pekik Hani.

Gino mengusap wajahnya kasar. “Davita tidak tinggal di kontrakan itu lagi. Aku hanya ingin memastikannya, jadi setiap hari aku ke sana, dia benar-benar tidak ada. Aku hanya ingin memastikan. Dia juga mengganti nomor teleponnya, jadi aku tidak bisa menghubunginya.”

Tangan Hani terkepal. “Kalau begitu pergi dari sini, tapi jangan harap aku akan menerimamu lagi, Gino!”

Gino mendongak, ia melempar jaket yang tadi sempat dipungutnya. Pria itu melangkah mendekat ke arah Hani, lalu kembali naik ke atas ranjang.

“Aku bercanda, aku tentu lebih memilihmu dibanding dia. Tidak usah berteriak, aku sedang pusing juga bukan karena Davita saja. Aku juga banyak pekerjaan yang belum selesai. Aku ingin tidur, jangan berisik.” Gino langsung membaringkan tubuhnya, lalu memejamkan mata.

Hani menghembuskan napas kasar, lalu mengalihkan wajah. Tangannya masih terkepal. “Davita kurang ajar, apa yang menarik dari perempuan itu? Sampai para pria selalu saja tertarik padanya, bahkan Gino sampai detik ini tak berhasil kumiliki seutuhnya? Wanita kurang ajar, aku sangat membencimu,” batinnya.

Membahas masalah Davita, gadis itu lebih tenang karena beberapa hari ini tak bertemu dengan Gino ataupun Hani. Ia memang tengah berusaha menenangkan hati dan pikiran, supaya ketika berhadapan dengan sepasang pengkhianat itu, hatinya lebih kuat untuk membalas dendam. Apalagi saat ini Davita juga mulai memikirkan cara tepat untuk memberi mereka pelajaran.

“Heh, pria tidak tahu malu. Dulu dia sangat jarang mendatangiku ke kontrakan, bahkan saat aku sakit pun dia beralasan lembur kerja. Sekarang ... dia malah mendatangi kontrakanku setiap hari, bahkan dalam sehari bisa berkali-kali, hanya untuk bertemu denganku. Aku yakin, dulu dia pasti lebih memilih mendatangi Hani untuk bersenang-senang, dan selalu mencari alasan untuk tidak datang ke kontrakanku. Bodohnya aku karena mempercayainya selama ini.” Davita tersenyum sinis melihat beberapa lembar foto di atas meja kerjanya.

Foto-foto itu diberikan bawahannya yang sengaja diutus untuk memantau pergerakan Gino. Siapa menyangka, Davita malah dibuat jijik karena Gino setiap hari terus mendatangi kontrakannya, padahal dulu pria itu sangat sulit diminta datang.

Davita mendongak, ia menatap dua pria di seberang meja kerja. “Kerja kalian bagus, saya akan berikan sedikit bonus. Terus pantau pergerakan mereka.”

“Naik, Nyonya!”

Tatapan Davita berubah dingin. “Saat waktunya tiba dan rencanaku matang ... kita mulai permainannya.”

LiaBlue

Hai hai, novel ini akan update setiap jam 10 pagi (WIB), ya. Selamat membaca, love love untuk kalian semua.

| 1

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status