“Bagaimana?”
Lupis menunduk singkat sebelum menyahut pertanyaan Angga. “Nyonya Naradipta tadi berpesan, katanya Tuan Besar benar-benar sudah mengatur pernikahan Anda, Tuan.”
Angga menghembuskan napas panjang, lalu ia menghempaskan punggung ke sandaran kursi. “Kau sudah tahu dengan siapa aku akan dijodohkan?”
“Sesuai yang disebutkan Tuan Besar sedari awal, Tuan. Anda sudah dijodohkan dengan putri dari keluarga Candra. Namanya Hani Candra, dia seorang model yang cukup ternama di kota ini. Saya sudah menyiapkan dokumen lengkap tentang Nona Candra, ini silakan Anda cek, Tuan.”
Angga menatap map merah yang baru saja diletakkan Lupis di atas meja kerjanya. Ia meraih map itu dengan ekspresi tak terlalu berminat.
“Karena dia berasal dari keluarga yang terbilang terpandang, saya rasa calon istri Anda ini tidak akan merugikan Anda, Tuan. Pendidikannya bagus, karirnya juga bagus di dunia model, karena besar dalam keluarga terpandang, pastinya dia juga tumbuh elegan. Saya rasa dia cocok menjadi calon Nyonya Muda Naradipta.”
Angga memandangi foto wajah Hani yang berada di dalam map merah tersebut.
“Wajahnya juga cantik ‘kan, Tuan? Dia cocok bersanding dengan Anda,” sambung Lupis.
Angga tak menanggapi setiap pujian asistennya untuk Hani. Ia melempar pelan map itu ke atas meja.
“Biodatanya terlalu dasar. Saya ingin kau mencaritahu lebih dalam tentang Hani Candra ini. Semuanya, entah itu positif atau negatif. Bahkan, kalau bisa kau harus mencari celah seluruh hal tentangnya, barang setitik pun harus lengkap!”
“Saya paham, Tuan!”
“Tunggu.”
Pergerakan Lupis terhenti, ia menunduk hormat kepada Angga.
“Apa keluarga Candra sudah mengetahui ini?” tanya Angga.
“Mungkin sudah mungkin juga belum, Tuan. Menurut penjelasan Nyonya Naradipta, niat perjodohan ini ada semenjak Anda lahir. Katanya Tuan Besar berteman baik dengan Tuan Besar Candra. Mereka sudah berjanji akan menjodohkan cucu mereka. Tuan dan Nyonya Candra mungkin sudah tahu sedari awal, tapi untuk Nona Candra—saya kurang tahu, bisa saja orang tuanya belum memberitahu perjodohan ini.”
Angga mengangguk singkat. “Pergi ‘lah.”
“Saya permisi, Tuan.” Lupis menunduk, lalu bergerak pergi dari sana.
Angga menghembuskan napas panjang. Ia berdiri dari duduknya, lalu memandangi padatnya kota dari dinding kaca ruangan kerjanya. Kedua tangan Angga tersimpan dalam saku celana, mata elangnya memandangi datar pergerakan orang-orang di bawah sana.
“Maksimal satu tahun, setelah satu tahun pernikahan, Kakek akan menyerahkan seluruh sahamnya padaku. Satu bulan setelah itu, aku akan langsung menceraikannya,” gumam Angga datar.
***
“Jadi kamu masih terus mencarinya? Jelas-jelas dia benar-benar tidak menginginkan kamu lagi, Gino. Dia sudah mengajukan cerai, kamu pun sudah mendapat surat pengajuan itu, ‘kan? Untuk apa masih mencari untuk membujuknya?” Hani menatap Gino dengan wajah geram.
Gino berdecak, ia menatap Hani dengan wajah setengah kesal. “Tidak usah membuatku kembali badmood. Aku ke sini untuk menghilangkan sakit kepalaku.”
Hani mengepalkan tangannya. “Dengan begitu, sama saja kamu benar-benar menjadikan aku pelampiasan, Gino! Saat kamu banyak pikiran, banyak masalah, atau sedang badmood, kamu sengaja ke sini untuk bermain denganku. Aku akan terima jika itu karena pekerjaan, tapi kalau kamu badmood karena tidak bisa bertemu dengan Davita, aku tidak terima dijadikan pelampiasan seperti ini, Gino!”
Gino menggeram, ia menatap Hani dengan wajah marah. “Baik, kalau begitu aku pergi saja dari sini!”
Hani menatap Gino dengan ekspresi tak percaya. Pria itu turun dari ranjang, lalu memungut bajunya di lantai. Tangan Hani terkepal kuat, ia tak menyangka Gino benar-benar menjadikan dirinya sebagai pelampiasan.
“Kamu brengsek, Gino! Kalau kamu berani keluar dari apartemenku sekarang, maka jangan pernah datang ke sini lagi!” teriak Hani mengancam Gino.
Langkah Gino terhenti, ia menoleh ke belakang, menatap Hani yang tampak murka. “Jangan membuatku semakin pusing, Hani.”
“Kenapa? Kamu bangsat! Pria bedebah, setelah bermain denganku, sekarang kau ingin pergi, ingin cari wanita kurang ajar itu lagi, hah!” pekik Hani.
Gino mengusap wajahnya kasar. “Davita tidak tinggal di kontrakan itu lagi. Aku hanya ingin memastikannya, jadi setiap hari aku ke sana, dia benar-benar tidak ada. Aku hanya ingin memastikan. Dia juga mengganti nomor teleponnya, jadi aku tidak bisa menghubunginya.”
Tangan Hani terkepal. “Kalau begitu pergi dari sini, tapi jangan harap aku akan menerimamu lagi, Gino!”
Gino mendongak, ia melempar jaket yang tadi sempat dipungutnya. Pria itu melangkah mendekat ke arah Hani, lalu kembali naik ke atas ranjang.
“Aku bercanda, aku tentu lebih memilihmu dibanding dia. Tidak usah berteriak, aku sedang pusing juga bukan karena Davita saja. Aku juga banyak pekerjaan yang belum selesai. Aku ingin tidur, jangan berisik.” Gino langsung membaringkan tubuhnya, lalu memejamkan mata.
Hani menghembuskan napas kasar, lalu mengalihkan wajah. Tangannya masih terkepal. “Davita kurang ajar, apa yang menarik dari perempuan itu? Sampai para pria selalu saja tertarik padanya, bahkan Gino sampai detik ini tak berhasil kumiliki seutuhnya? Wanita kurang ajar, aku sangat membencimu,” batinnya.
Membahas masalah Davita, gadis itu lebih tenang karena beberapa hari ini tak bertemu dengan Gino ataupun Hani. Ia memang tengah berusaha menenangkan hati dan pikiran, supaya ketika berhadapan dengan sepasang pengkhianat itu, hatinya lebih kuat untuk membalas dendam. Apalagi saat ini Davita juga mulai memikirkan cara tepat untuk memberi mereka pelajaran.
“Heh, pria tidak tahu malu. Dulu dia sangat jarang mendatangiku ke kontrakan, bahkan saat aku sakit pun dia beralasan lembur kerja. Sekarang ... dia malah mendatangi kontrakanku setiap hari, bahkan dalam sehari bisa berkali-kali, hanya untuk bertemu denganku. Aku yakin, dulu dia pasti lebih memilih mendatangi Hani untuk bersenang-senang, dan selalu mencari alasan untuk tidak datang ke kontrakanku. Bodohnya aku karena mempercayainya selama ini.” Davita tersenyum sinis melihat beberapa lembar foto di atas meja kerjanya.
Foto-foto itu diberikan bawahannya yang sengaja diutus untuk memantau pergerakan Gino. Siapa menyangka, Davita malah dibuat jijik karena Gino setiap hari terus mendatangi kontrakannya, padahal dulu pria itu sangat sulit diminta datang.
Davita mendongak, ia menatap dua pria di seberang meja kerja. “Kerja kalian bagus, saya akan berikan sedikit bonus. Terus pantau pergerakan mereka.”
“Naik, Nyonya!”
Tatapan Davita berubah dingin. “Saat waktunya tiba dan rencanaku matang ... kita mulai permainannya.”
Hai hai, novel ini akan update setiap jam 10 pagi (WIB), ya. Selamat membaca, love love untuk kalian semua.
Tiga setengah bulan kemudian.“Davita!”Davita mendongak, ia menghembuskan napas malas melihat kedatangan sepasang insan yang baru saja keluar dari mobil. Davita tak menghiraukan mereka, ia memilih membantu seorang bapak tua berdiri.“Astaga, siapa ini? Gak disangka, kita akan bertemu lagi setelah beberapa bulan kau bersembunyi.” Hani tersenyum miring menatap Davita yang terus membantu bapak tua.“Bapak tidak apa-apa?” tanya Davita kepada bapak tua tersebut.Bapak tua tersenyum menggeleng. “Tidak apa-apa, Nak. Terima kasih sudah membantu.”“Tangan Bapak berdarah, sebaiknya diobati dulu,” ucap Davita sopan.“Tidak usah, Nak. Ini hanya luka kecil, nanti juga sembuh sendiri, ha-ha.”“Cih, tak disangka, setelah memutuskan cerai dengan Gino, kamu
“Apa?!” Hani berdiri sembari berteriak karena terlalu terkejut mendengar kalimat kedua orang tuanya. “M-mama bilang apa barusan? Angga Naradipta?”Risna mengangguk sembari tersenyum. “Iya, orang yang sedari dulu selalu kamu ceritakan sama Mama.”“Ceritakan?” tanya Faris—ayah Hani.“Iya, Pa. Hani sering sekali bercerita kalau dia itu suka sekali sama Angga Naradipta. Bahkan Hani pernah berkata ingin mendapatkan pria seperti Angga Naradipta sebagai suami. Makanya Mama terkejut dan senang saat Papa beritahu kalau Hani akan dijodohkan dengan Angga Naradipta. Karena secara tidak langsung, itu sudah menyahut impian putri kita. Iya ‘kan, Sayang? Kamu senang dengan perjodohan ini ‘kan?” ungkap Risna sembari Hani.Hani tersadar, ia langsung mengangguk semangat. “Sangat senang, Ma! Aku bahkan mengira ini mimpi, loh. Demi apa, a
“Apa?!” Gino berteriak sembari menggebrak meja.Hani menggeram ketika semua mata tertuju kepada mereka. Ia menutup wajahnya karena malu sekaligus kesal.“Jangan berisik, Gino. Kamu menarik perhatian orang-orang. Bagaimana kalau mereka mengenalku?” bisik Hani geram.Gino menatap Hani dengan mata tajam. “Setelah kamu membuat aku dan Davita bercerai, sekarang kamu seenaknya bilang ingin menikah dengan pria lain? Apa kamu gila, kamu kira aku apa, hah?” desisnya.Hani berdecak. “Kamu juga selama ini selalu menganggap aku hanya pelampiasan, ‘kan? Jadi harusnya kamu tidak akan peduli jika aku menikah dengan pria lain. Kamu kira aku tidak tahu, kalau kamu masih berusaha mendekati Davita? Cih, kamu kira aku bodoh? Aku tahu kamu sekarang sering mengunjungi toko bunga tempat wanita kurang ajar itu bekerja. Iya ‘kan?”Gino terdiam s
“Kita pernah bertemu secara tidak sengaja di lobi gedung perusahaan Anda, Tuan Muda. Saat itu saya datang untuk mengajukan kerjasama secara langsung. Tapi mungkin Anda tidak ingat karena tidak terlalu memperhatikan.” Davita tersenyum formal kepada Angga.“Aku mengingatnya,” sahut Angga dalam hati, “wajah wanita ini tidak pasaran, ada hal khusus yang membuat wajahnya lebih menarik dari wanita lain, dan itu membuatnya mudah diingat meski satu kali pertemuan sekali pun.”“Angga.”Suara berat Maizal mengembalikan kesadaran Angga. Ia menoleh singkat, lalu meraih dokumen di atas meja. Melihat Angga tak berniat menyahut basa-basi Davita, Maizal pun berdecak singkat.“Tolong dimaklum ya, Dav. Dia memang seperti itu. Irit suara sekali, jadi lain kali tidak usah basa-basi padanya. Dia memang patung,” cetus Maizal kepada Davita.Ka
“Davita.”Davita terkejut ketika Gino tiba-tiba muncul dan meraih tangannya. Davita langsung menepis tangan Gino dan menatap mantan suaminya itu dengan mata tajam.“Davita, aku sudah menunggumu di sini sedari tadi. Akhirnya kamu datang juga, kamu masuk siang ya?” Gino tersenyum ke arah Davita.Davita membalas senyum itu dengan tatapan dinginya. Ia menghembuskan napas kesabaran, menahan diri supaya tak lepas kedali setiap kali melihat wajah Gino. Sampai saat ini, rasa benci Davita masih berada di level tinggi, sehingga bisa saja ia lepas kendali memaki Gino di depan umum, itu bisa berpengaruh buruk untuk citranya. Amarahnya itu juga bisa menghancurkan seluruh tatanan rencana balas dendam yang sudah ia buat dengan susah payah.“Kau masih saja menguntitku? Apa kau tidak takut jika kekasihmu marah? Ujung-ujungnya dia akan menyalahkan aku sebagai penggoda, padahal dia adalah
Davita menghentikan langkahnya di pertengahan tangga. Laporan sekretasinya benar, ada Angga di lantai bawah. Davita cukup penasaran, tujuan Angga datang ke tokonya secara langsung untuk apa.“Apa dia ingin survei toko bungaku karena sebentar lagi kami akan saling tanda tangan kontrak kerjasama? Apa dia biasanya selalu survei secara langsung? Bukannya ini tugasnya Kak Maizal, ya?” batin Davita.“Bu, apa ada masalah?”Suara Niana mengembalikan kesadaran Davita. Ia menggeleng, lalu kembali melanjutkan langkah menuruni tangga. Bertepatan dengan itu, Angga pun menoleh, mata mereka beradu tatap. Davita langsung tersenyum ke arah Angga, ia menunduk sopan sembari terus berjalan mendekat ke arah CEO Naradipta Group tersebut.“Selamat siang, Tuan Muda. Saya sangat terkejut mengetahui Anda berkunjung ke toko saya. Apa ada yang bisa saya bantu? Anda sedang mencari bunga?” Davi
Lamunan Angga pecah oleh suara ketukan kaca mobil di sampingnya. Pria itu menoleh dan melihat wajah cantik Davita di luar sana. Angga berdeham singkat, lalu menurunkan kaca mobil.Davita langsung tersenyum dan menunduk singkat ketika kaca mobil terbuka sempurna. “Terima kasih karena sudah memesan bunga di toko saya, Tuan Muda. Semoga Anda suka dengan design-nya.”“Hem.”Davita masih tersenyum meski Angga membalas dengan dehaman singkat. Wanita itu terus berdiri di area parkiran sampai mobil Angga benar-benar pergi. Ketika mobil itu menjauh, Davita menghembuskan napas panjang.“Haah, aku tidak menyangka dia akan datang ke sini. Ini malah bagus, tanpa berusaha pun, dia malah datang ke sini seakan membantuku menjalankan rencana. Meski ini masih tidak berefek apa-apa, tapi tetap saja ini hal bagus. Semakin sering berinteraksi dengannya, semakin bagus.” Davita menganggu
“Astaga, kamu baik-baik saja?” Davita membantu seorang wanita yang terjatuh dari sepeda listrik.“Eh, Bu Davita.” Wanita itu terkejut melihat orang yang membantunya adalah Davita. Ia langsung menunduk dengan wajah takut. “Saya minta maaf, Bu. Saya tidak hati-hati, jadi terjatuh. Kalau sepeda listrik milik toko rusak, saya bersedia tanggung jawab, tapi tolong jangan potong keseluruhan gaji saya bulan ini, Bu.”Davita tersenyum mendengar wanita itu menjelaskan dengan wajah takut. Ia memegang kedua bahu wanita itu lembut. “Tidak apa-apa, kamu tidak perlu menggantinya. Kerusakan sepeda listrik tidak penting, ada bagusnya kamu cek kondisi fisik. Mana tahu kamu terluka, tadi saya lihat kamu terjatuh cukup keras.”Wanita itu rupanya salah satu karyawan Davita di toko bunga. Ia mendongak dan menatap Davita dengan wajah haru. “Saya tidak apa-apa, Bu. Saya sungguh minta maaf, s