Share

7. Bertemu Lagi

Tiga setengah bulan kemudian.

“Davita!”

Davita mendongak, ia menghembuskan napas malas melihat kedatangan sepasang insan yang baru saja keluar dari mobil. Davita tak menghiraukan mereka, ia memilih membantu seorang bapak tua berdiri.

“Astaga, siapa ini? Gak disangka, kita akan bertemu lagi setelah beberapa bulan kau bersembunyi.” Hani tersenyum miring menatap Davita yang terus membantu bapak tua.

“Bapak tidak apa-apa?” tanya Davita kepada bapak tua tersebut.

Bapak tua tersenyum menggeleng. “Tidak apa-apa, Nak. Terima kasih sudah membantu.”

“Tangan Bapak berdarah, sebaiknya diobati dulu,” ucap Davita sopan.

“Tidak usah, Nak. Ini hanya luka kecil, nanti juga sembuh sendiri, ha-ha.”

“Cih, tak disangka, setelah memutuskan cerai dengan Gino, kamu sekarang jadi gembel, Davita. Sungguh menyedihkan, aku jadi kasihan padamu,” kata Hani mengejek Davita. “Apa kamu begitu kesulitan, sampai memutuskan jadi gembel begini? Minta-minta di jalan sama orang-orang, astaga.”

“Aku sudah katakan, kamu pasti akan menyesal jika bercerai denganku. Sekarang lihat ‘kan, kamu menderita begini,” tambah Gino menatap Davita remeh.

Davita menoleh, ia menatap sepasang pengkhianat itu dengan ekspresi datar. “Kalian yang menabrak Bapak ini sampai beliau luka. Jadi kalian harus bertanggung jawab, setidaknya kalian ajak beliau berobat. Lihat tangannya berdarah.”

“Tidak apa-apa, Nak. Ini hanya luka kecil, tidak perlu diobati,” jawab bapak itu.

“Tidak, Pak. Ini tetap saja luka, kecil ataupun besar harus diobati, kalau tidak nanti bisa infeksi. Mereka salah, mereka sudah menabrak Bapak, jadi harus bertanggung jawab.” Davita tersenyum kepada bapak tua itu.

“Ya ampun, tidak aku sangka, ternyata sekarang kamu punya teman untuk berdrama, ya. Aku tahu, kalian berdua pasti bersekongkol untuk mendapatkan uang dengan cara seperti ini. Bapak tua ini menabrakkan diri ke mobil orang kaya, lalu kau datang untuk membantunya menagih uang. Setelah itu kalian pasti akan membagi uangnya, begitu ‘kan? Ck-ck-ck, aku sudah sangat paham drama orang-orang miskin seperti kalian, cih.” Hani berdecih sinis.

“Aku tahu kamu susah, Davita. Tapi jangan begini juga, tidak seharusnya kamu seperti ini. Pekerjaan seperti ini tidak baik. Aku sungguh malu melihatmu begini,” tutur Gino.

Davita tersenyum sinis. “Malu? Untuk apa kau malu? Kita sudah tidak memiliki hubungan apa-apa. Jadi anggap saja kita tidak saling mengenal. Lalu masalah penabrakan ini ... jelas-jelas kalian yang salah menabrak Bapak ini, kenapa malah mengatakan beliau sengaja menabrakan diri? Aku juga tidak mengenal Bapak ini, kalian tidak usah menyeretnya hanya karena benci padaku. Aku memiliki pekerjaan, tidak seperti yang kalian bayangkan.”

“Heh, bilang saja kamu malu mengakuinya. Tidak apa-apa, santai saja. Lagi pula, kami berdua juga sudah tahu jika kamu itu miskin. Tidak usah banyak berkilah,” decih Hani remeh. “Yah, berhubung aku lagi baik, dan aku kasihan padamu, aku akan berikan uang. Seratus ribu cukup untuk makan kalian selama satu minggu ‘kan? Pasti cukup, dong. Gembel biasanya makan nasi sisa pun sudah sangat bahagia.”

Tangan Davita terkepal ketika Hani melempar selembar uang seratus ribu ke arahnya. Perlahan ia menarik napas, lalu tersenyum miring menatap Hani.

“Aku bisa saja meminta orang untuk mengecek CCTV, kebetulan tiang ini punya CCTV yang masih aktif.” Davita menunjuk sebuah tiang, di mana CCTV dipasang. “Kalian bisa lihat sendiri kalau mobil kalian berjalan tidak stabil dari persimpangan sana. Jika memang ingin bercinta, jangan di dalam mobil. Cari hotel—oh, tidak, maksudnya cari semak-semak, biar tidak ketahuan sedang selingkuh.”

“Kau!” Hani mengangkat tangannya ingin menampar Davita, tetapi Davita berhasil menangkap pergelangan tangan mantan sahabatnya itu.

Plak ...

Gino terkejut ketika kepala Hani tertoleh oleh tamparan Davita. Niat hati ingin menampar, malah dapat tamparan.

Davita tersenyum miring, ia menepuk kedua telapak tangannya seakan membersihkan debu. “Astaga, maaf, ya. Sudut bibirmu jadi berdarah. Tapi aku akan tanggung jawab, kok.”

Davita mengambil beberapa lembar uang lima puluh ribu dari dalam tas-nya. Dengan ekspresi angkuh, Davita melempar lembaran uang itu ke wajah Hani.

“Itu, rasanya cukup untuk membayar dokter di klinik ataupun di rumah sakit. Sekalian, pungut uang seratus ribumu tadi, ya.” Davita menyeringai ke arah Hani dan Gino yang terdiam tak percaya. “Ayo ikut saya, Pak. Biar saya bantu obati lukanya di tempat kerja saya.”

Dada Hani naik turun, ia menatap kepergian Davita dengan tatapan tajam penuh rasa benci. “Wanita brengsek!” teriaknya murka.

Gino malah fokus memperhatikan arah kepergian Davita. Keningnya berkerut melihat mantan istrinya itu masuk ke dalam sebuah toko bunga besar.

“Apa dia kerja di sana?” gumam Gino.

“Cih, baru jadi karyawan toko bunga saja dia sudah sombong. Awas saja kau, Davita ... akan aku balas penghinaan ini,” desis Hani penuh benci.

Hani terkejut ketika melihat Gino berniat menyusul Davita. “Gino! Ingin ke mana kamu?”

Pergerakan Gino terhenti, ia menoleh kebelakang. “Sudah tiga bulan aku berusaha mencarinya, tetapi tidak pernah ketemu. Setidaknya sekarang aku tahu tempat kerjanya. Nanti atau besok aku bisa ke sini lagi,” batin Gino.

“Apa kamu masih ingin mengejarnya?” geram Hani menyadarkan Gino.

Gino menggeleng. “Sudah, ayo kita pergi. Aku tidak peduli padanya lagi, kami sudah bercerai. Untuk apa aku masih mengejarnya?”

Hani memicing, ia menatap Gino dengan ekspresi tak percaya. “Aku pegang kata-katamu ini, Gino. Awas kalau kamu masih berusaha mendekatinya!”

“Ck, tidak usah banyak bicara. Cepat saja masuk.” Gino masuk ke dalam mobil lebih dulu, ia kembali memperhatikan toko bunga besar tadi. “Bagaimana mungkin aku akan melepaskan Davita begitu saja. Aku harus bisa mendapatkannya kembali,” sambungnya dalam hati.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status