Tiga setengah bulan kemudian.
“Davita!”
Davita mendongak, ia menghembuskan napas malas melihat kedatangan sepasang insan yang baru saja keluar dari mobil. Davita tak menghiraukan mereka, ia memilih membantu seorang bapak tua berdiri.
“Astaga, siapa ini? Gak disangka, kita akan bertemu lagi setelah beberapa bulan kau bersembunyi.” Hani tersenyum miring menatap Davita yang terus membantu bapak tua.
“Bapak tidak apa-apa?” tanya Davita kepada bapak tua tersebut.
Bapak tua tersenyum menggeleng. “Tidak apa-apa, Nak. Terima kasih sudah membantu.”
“Tangan Bapak berdarah, sebaiknya diobati dulu,” ucap Davita sopan.
“Tidak usah, Nak. Ini hanya luka kecil, nanti juga sembuh sendiri, ha-ha.”
“Cih, tak disangka, setelah memutuskan cerai dengan Gino, kamu sekarang jadi gembel, Davita. Sungguh menyedihkan, aku jadi kasihan padamu,” kata Hani mengejek Davita. “Apa kamu begitu kesulitan, sampai memutuskan jadi gembel begini? Minta-minta di jalan sama orang-orang, astaga.”
“Aku sudah katakan, kamu pasti akan menyesal jika bercerai denganku. Sekarang lihat ‘kan, kamu menderita begini,” tambah Gino menatap Davita remeh.
Davita menoleh, ia menatap sepasang pengkhianat itu dengan ekspresi datar. “Kalian yang menabrak Bapak ini sampai beliau luka. Jadi kalian harus bertanggung jawab, setidaknya kalian ajak beliau berobat. Lihat tangannya berdarah.”
“Tidak apa-apa, Nak. Ini hanya luka kecil, tidak perlu diobati,” jawab bapak itu.
“Tidak, Pak. Ini tetap saja luka, kecil ataupun besar harus diobati, kalau tidak nanti bisa infeksi. Mereka salah, mereka sudah menabrak Bapak, jadi harus bertanggung jawab.” Davita tersenyum kepada bapak tua itu.
“Ya ampun, tidak aku sangka, ternyata sekarang kamu punya teman untuk berdrama, ya. Aku tahu, kalian berdua pasti bersekongkol untuk mendapatkan uang dengan cara seperti ini. Bapak tua ini menabrakkan diri ke mobil orang kaya, lalu kau datang untuk membantunya menagih uang. Setelah itu kalian pasti akan membagi uangnya, begitu ‘kan? Ck-ck-ck, aku sudah sangat paham drama orang-orang miskin seperti kalian, cih.” Hani berdecih sinis.
“Aku tahu kamu susah, Davita. Tapi jangan begini juga, tidak seharusnya kamu seperti ini. Pekerjaan seperti ini tidak baik. Aku sungguh malu melihatmu begini,” tutur Gino.
Davita tersenyum sinis. “Malu? Untuk apa kau malu? Kita sudah tidak memiliki hubungan apa-apa. Jadi anggap saja kita tidak saling mengenal. Lalu masalah penabrakan ini ... jelas-jelas kalian yang salah menabrak Bapak ini, kenapa malah mengatakan beliau sengaja menabrakan diri? Aku juga tidak mengenal Bapak ini, kalian tidak usah menyeretnya hanya karena benci padaku. Aku memiliki pekerjaan, tidak seperti yang kalian bayangkan.”
“Heh, bilang saja kamu malu mengakuinya. Tidak apa-apa, santai saja. Lagi pula, kami berdua juga sudah tahu jika kamu itu miskin. Tidak usah banyak berkilah,” decih Hani remeh. “Yah, berhubung aku lagi baik, dan aku kasihan padamu, aku akan berikan uang. Seratus ribu cukup untuk makan kalian selama satu minggu ‘kan? Pasti cukup, dong. Gembel biasanya makan nasi sisa pun sudah sangat bahagia.”
Tangan Davita terkepal ketika Hani melempar selembar uang seratus ribu ke arahnya. Perlahan ia menarik napas, lalu tersenyum miring menatap Hani.
“Aku bisa saja meminta orang untuk mengecek CCTV, kebetulan tiang ini punya CCTV yang masih aktif.” Davita menunjuk sebuah tiang, di mana CCTV dipasang. “Kalian bisa lihat sendiri kalau mobil kalian berjalan tidak stabil dari persimpangan sana. Jika memang ingin bercinta, jangan di dalam mobil. Cari hotel—oh, tidak, maksudnya cari semak-semak, biar tidak ketahuan sedang selingkuh.”
“Kau!” Hani mengangkat tangannya ingin menampar Davita, tetapi Davita berhasil menangkap pergelangan tangan mantan sahabatnya itu.
Plak ...
Gino terkejut ketika kepala Hani tertoleh oleh tamparan Davita. Niat hati ingin menampar, malah dapat tamparan.
Davita tersenyum miring, ia menepuk kedua telapak tangannya seakan membersihkan debu. “Astaga, maaf, ya. Sudut bibirmu jadi berdarah. Tapi aku akan tanggung jawab, kok.”
Davita mengambil beberapa lembar uang lima puluh ribu dari dalam tas-nya. Dengan ekspresi angkuh, Davita melempar lembaran uang itu ke wajah Hani.
“Itu, rasanya cukup untuk membayar dokter di klinik ataupun di rumah sakit. Sekalian, pungut uang seratus ribumu tadi, ya.” Davita menyeringai ke arah Hani dan Gino yang terdiam tak percaya. “Ayo ikut saya, Pak. Biar saya bantu obati lukanya di tempat kerja saya.”
Dada Hani naik turun, ia menatap kepergian Davita dengan tatapan tajam penuh rasa benci. “Wanita brengsek!” teriaknya murka.
Gino malah fokus memperhatikan arah kepergian Davita. Keningnya berkerut melihat mantan istrinya itu masuk ke dalam sebuah toko bunga besar.
“Apa dia kerja di sana?” gumam Gino.
“Cih, baru jadi karyawan toko bunga saja dia sudah sombong. Awas saja kau, Davita ... akan aku balas penghinaan ini,” desis Hani penuh benci.
Hani terkejut ketika melihat Gino berniat menyusul Davita. “Gino! Ingin ke mana kamu?”
Pergerakan Gino terhenti, ia menoleh kebelakang. “Sudah tiga bulan aku berusaha mencarinya, tetapi tidak pernah ketemu. Setidaknya sekarang aku tahu tempat kerjanya. Nanti atau besok aku bisa ke sini lagi,” batin Gino.
“Apa kamu masih ingin mengejarnya?” geram Hani menyadarkan Gino.
Gino menggeleng. “Sudah, ayo kita pergi. Aku tidak peduli padanya lagi, kami sudah bercerai. Untuk apa aku masih mengejarnya?”
Hani memicing, ia menatap Gino dengan ekspresi tak percaya. “Aku pegang kata-katamu ini, Gino. Awas kalau kamu masih berusaha mendekatinya!”
“Ck, tidak usah banyak bicara. Cepat saja masuk.” Gino masuk ke dalam mobil lebih dulu, ia kembali memperhatikan toko bunga besar tadi. “Bagaimana mungkin aku akan melepaskan Davita begitu saja. Aku harus bisa mendapatkannya kembali,” sambungnya dalam hati.
“Apa?!” Hani berdiri sembari berteriak karena terlalu terkejut mendengar kalimat kedua orang tuanya. “M-mama bilang apa barusan? Angga Naradipta?”Risna mengangguk sembari tersenyum. “Iya, orang yang sedari dulu selalu kamu ceritakan sama Mama.”“Ceritakan?” tanya Faris—ayah Hani.“Iya, Pa. Hani sering sekali bercerita kalau dia itu suka sekali sama Angga Naradipta. Bahkan Hani pernah berkata ingin mendapatkan pria seperti Angga Naradipta sebagai suami. Makanya Mama terkejut dan senang saat Papa beritahu kalau Hani akan dijodohkan dengan Angga Naradipta. Karena secara tidak langsung, itu sudah menyahut impian putri kita. Iya ‘kan, Sayang? Kamu senang dengan perjodohan ini ‘kan?” ungkap Risna sembari Hani.Hani tersadar, ia langsung mengangguk semangat. “Sangat senang, Ma! Aku bahkan mengira ini mimpi, loh. Demi apa, a
“Apa?!” Gino berteriak sembari menggebrak meja.Hani menggeram ketika semua mata tertuju kepada mereka. Ia menutup wajahnya karena malu sekaligus kesal.“Jangan berisik, Gino. Kamu menarik perhatian orang-orang. Bagaimana kalau mereka mengenalku?” bisik Hani geram.Gino menatap Hani dengan mata tajam. “Setelah kamu membuat aku dan Davita bercerai, sekarang kamu seenaknya bilang ingin menikah dengan pria lain? Apa kamu gila, kamu kira aku apa, hah?” desisnya.Hani berdecak. “Kamu juga selama ini selalu menganggap aku hanya pelampiasan, ‘kan? Jadi harusnya kamu tidak akan peduli jika aku menikah dengan pria lain. Kamu kira aku tidak tahu, kalau kamu masih berusaha mendekati Davita? Cih, kamu kira aku bodoh? Aku tahu kamu sekarang sering mengunjungi toko bunga tempat wanita kurang ajar itu bekerja. Iya ‘kan?”Gino terdiam s
“Kita pernah bertemu secara tidak sengaja di lobi gedung perusahaan Anda, Tuan Muda. Saat itu saya datang untuk mengajukan kerjasama secara langsung. Tapi mungkin Anda tidak ingat karena tidak terlalu memperhatikan.” Davita tersenyum formal kepada Angga.“Aku mengingatnya,” sahut Angga dalam hati, “wajah wanita ini tidak pasaran, ada hal khusus yang membuat wajahnya lebih menarik dari wanita lain, dan itu membuatnya mudah diingat meski satu kali pertemuan sekali pun.”“Angga.”Suara berat Maizal mengembalikan kesadaran Angga. Ia menoleh singkat, lalu meraih dokumen di atas meja. Melihat Angga tak berniat menyahut basa-basi Davita, Maizal pun berdecak singkat.“Tolong dimaklum ya, Dav. Dia memang seperti itu. Irit suara sekali, jadi lain kali tidak usah basa-basi padanya. Dia memang patung,” cetus Maizal kepada Davita.Ka
“Davita.”Davita terkejut ketika Gino tiba-tiba muncul dan meraih tangannya. Davita langsung menepis tangan Gino dan menatap mantan suaminya itu dengan mata tajam.“Davita, aku sudah menunggumu di sini sedari tadi. Akhirnya kamu datang juga, kamu masuk siang ya?” Gino tersenyum ke arah Davita.Davita membalas senyum itu dengan tatapan dinginya. Ia menghembuskan napas kesabaran, menahan diri supaya tak lepas kedali setiap kali melihat wajah Gino. Sampai saat ini, rasa benci Davita masih berada di level tinggi, sehingga bisa saja ia lepas kendali memaki Gino di depan umum, itu bisa berpengaruh buruk untuk citranya. Amarahnya itu juga bisa menghancurkan seluruh tatanan rencana balas dendam yang sudah ia buat dengan susah payah.“Kau masih saja menguntitku? Apa kau tidak takut jika kekasihmu marah? Ujung-ujungnya dia akan menyalahkan aku sebagai penggoda, padahal dia adalah
Davita menghentikan langkahnya di pertengahan tangga. Laporan sekretasinya benar, ada Angga di lantai bawah. Davita cukup penasaran, tujuan Angga datang ke tokonya secara langsung untuk apa.“Apa dia ingin survei toko bungaku karena sebentar lagi kami akan saling tanda tangan kontrak kerjasama? Apa dia biasanya selalu survei secara langsung? Bukannya ini tugasnya Kak Maizal, ya?” batin Davita.“Bu, apa ada masalah?”Suara Niana mengembalikan kesadaran Davita. Ia menggeleng, lalu kembali melanjutkan langkah menuruni tangga. Bertepatan dengan itu, Angga pun menoleh, mata mereka beradu tatap. Davita langsung tersenyum ke arah Angga, ia menunduk sopan sembari terus berjalan mendekat ke arah CEO Naradipta Group tersebut.“Selamat siang, Tuan Muda. Saya sangat terkejut mengetahui Anda berkunjung ke toko saya. Apa ada yang bisa saya bantu? Anda sedang mencari bunga?” Davi
Lamunan Angga pecah oleh suara ketukan kaca mobil di sampingnya. Pria itu menoleh dan melihat wajah cantik Davita di luar sana. Angga berdeham singkat, lalu menurunkan kaca mobil.Davita langsung tersenyum dan menunduk singkat ketika kaca mobil terbuka sempurna. “Terima kasih karena sudah memesan bunga di toko saya, Tuan Muda. Semoga Anda suka dengan design-nya.”“Hem.”Davita masih tersenyum meski Angga membalas dengan dehaman singkat. Wanita itu terus berdiri di area parkiran sampai mobil Angga benar-benar pergi. Ketika mobil itu menjauh, Davita menghembuskan napas panjang.“Haah, aku tidak menyangka dia akan datang ke sini. Ini malah bagus, tanpa berusaha pun, dia malah datang ke sini seakan membantuku menjalankan rencana. Meski ini masih tidak berefek apa-apa, tapi tetap saja ini hal bagus. Semakin sering berinteraksi dengannya, semakin bagus.” Davita menganggu
“Astaga, kamu baik-baik saja?” Davita membantu seorang wanita yang terjatuh dari sepeda listrik.“Eh, Bu Davita.” Wanita itu terkejut melihat orang yang membantunya adalah Davita. Ia langsung menunduk dengan wajah takut. “Saya minta maaf, Bu. Saya tidak hati-hati, jadi terjatuh. Kalau sepeda listrik milik toko rusak, saya bersedia tanggung jawab, tapi tolong jangan potong keseluruhan gaji saya bulan ini, Bu.”Davita tersenyum mendengar wanita itu menjelaskan dengan wajah takut. Ia memegang kedua bahu wanita itu lembut. “Tidak apa-apa, kamu tidak perlu menggantinya. Kerusakan sepeda listrik tidak penting, ada bagusnya kamu cek kondisi fisik. Mana tahu kamu terluka, tadi saya lihat kamu terjatuh cukup keras.”Wanita itu rupanya salah satu karyawan Davita di toko bunga. Ia mendongak dan menatap Davita dengan wajah haru. “Saya tidak apa-apa, Bu. Saya sungguh minta maaf, s
Tangan Hani terkepal, ia masih memperhatikan kepergian Davita ke arah lift gedung perusahaan Naradipta Group. Hani menahan umpatan kekesalannya karena ia masih harus menjaga image.Hani menarik napas pelan, lalu tersenyum sinis. “Dia bilang apa barusan? Maksudnya itu, dia ingin mengganggu hubungan pernikahanku nanti ‘kan? Lebih tepatnya, dia akan menggoda suamiku nanti. Cih, dia kira mendekati Angga semudah itu? Dia pikir level Angga dan Gino sama? Apalagi tipe wanita miskin seperti kamu, Davita. Mana mungkin Angga bisa kamu goda, bahkan untuk bertemu dengan Angga pun belum tentu kamu bisa. Heh, mimpi.”Sedang sibuk bergumam menghina Davita, Hani terkejut ketika seseorang melewatinya. Hani melotot singkat, lalu ia berdeham dan tersenyum manis. Hani bahkan menyisir rambutnya dengan jari-jemari, memastikan penampilannya bagus.“Dari tadi aku menunggu Angga, akhirnya dia datang.” Hani