Share

2. Mimpi?

“Kamu cantik sekali pakai gaun ini, Dav.”

Davita tersenyum mendengar pujian Hani. “Makasih, Han. Tapi tidak secantik kamu saat pakai gaun ini, kalau model memang beda, ya? Rasanya aku tetap tidak bisa seperti kamu,” candanya.

Hani tertawa kecil, ia melirik Gino yang sedang duduk di salah satu kursi tunggu. Ia mengerling ke arah Gino ketika pria itu menatapnya. Gino pun berdeham pelan, lalu tersenyum.

Davita mengira Gino tersenyum kepadanya, sehingga ia pun ikut tersenyum. “Menurut kamu ini cocok tidak dengan tubuhku, Mas?”

Gino mengangguk dan tersenyum kepada Davita. “Tentu saja, kamu cantik pakai apa saja.”

Davita terkekeh mendengar tanggapan calon suaminya. Hani hanya tersenyum sinis di belakang Davita.

“Ingin coba gaun lainnya? Aku ingin lihat yang lain, mana tahu ada yang lebih cantik dari pada ini,” ucap Hani sembari mendorong Davita ke ruangan ganti.

“Oh, iya. Tapi aku rasa ini sudah cocok, apa perlu coba yang lain?” tanya Davita.

“Harus, dong. Coba saja, ayo masuk sana. Ini hari spesial, ‘kan? Harus coba semuanya.” Hani tersenyum, sebelum senyum itu pudar ketika pintu ruangan ganti ditutup.

Hani berdecih, lalu membalikkan badan. Ia menatap Gino yang masih bermain ponsel di kursi tunggu. Mereka sekarang berada di salah satu butik, melakukan fitting baju pengantin Gino dan Davita.

Hani mendekat ke arah Gino, lalu mencolek perut pria itu. “Calon istrimu cantik sekali pakai gaun tadi,” decihnya.

Gino menoleh, ia tersenyum lalu menyimpan ponselnya. “Tapi dia tidak secantik kamu, Sayang. Teta saja lebih cocok kamu memakai apa pun dari pada dia. Kamu adalah seorang model, mana bisa dibandingkan dengan seorang gadis desa,” bisiknya.

Hani tersenyum puas mendengar itu. “Setelah ini, kita ke apartemen, ya. Aku ingin kamu tidur di apartemenku malam ini.”

“Tapi aku besok ‘kan akan menikah, Sayang.”

“Ck, jadi kamu tidak mau?” dengkus Hani.

“Tentu saja mau, aku juga butuh hiburan sebelum menikah besok. Tunggu aku di apartemen nanti, ya.” Gino tersenyum sembari berbicara di dalam hati. “Hani cantik, tapi kalau boleh jujur ... Davita lebih cantik. Hanya saja, Davita selalu berpenampilan sederhana sehingga terkesan udik seperti orang kampung. Maklum, dia ‘kan orang miskin, beda dengan Hani yang anak orang kaya, model lagi. Intinya, aku ingin mereka berdua, nikahi Davita untuk wajahnya dan nikmati Hani.”

“Davita, aku tidak akan pernah melepaskan apa pun yang kau miliki. Semua hal yang kau miliki, harus aku miliki juga. Kau hanya wanita yatim, kampungan dan udik, tidak mungkin kau lebih menarik pada aku,” decih Hani ikut membatin.

***

Hari pernikahan pun tiba, tampaknya hanya Davita yang betul-betul berbahagia saat ini. Ia tak tahu jika pria di sampingnya itu sudah mengkhianatinya sedari lama. Lebih mengerikan lagi, Gino berselingkuh dengan sahabat baik Davita. Sahabat baik? Tampaknya hanya Davita yang menganggap Hani sebagai sahabat baik.

“Kamu ke kamar lebih dulu, aku ada urusan di sini bersama para tamu,” ucap Gino kepada Davita.

“Apa tidak masalah jika aku ke kamar duluan?” tanya Davita.

“Tidak masalah, kamu ke atas saja. Aku akan menyusul setelah teman-temanku pulang.”

Davita mengangguk. “Baiklah, aku akan ke atas. Ah, iya, mana Mama kamu, Mas?”

Gino memperhatikan sekitar. “Mama mungkin sudah pergi. Dia hanya sebentar di sini, lalu pulang. Kamu sendiri tahu jika Mama sangat menentang pernikahan kita. Tidak usah dipikirkan, naik saja ke atas.”

Davita menghembuskan napas panjang, lalu mengangguk. “Aku akan memberikan hadiah untuk Mama kamu besok. Semoga dengan itu, Mama kamu bisa menyukaiku.”

Kening Gino berkerut. “Hadiah? Hadiah apa? Mama itu suka barang bermerk, jika kamu tidak sanggup membeli yang bermerk, tidak usah beri apa-apa kepada Mama. Nanti malah semakin membuat Mama marah. Jadi tidak usah lakukan dan berikan apa pun.”

Davita tersenyum. “Tidak, kok. Kamu lihat saja besok, aku akan perlihatkan sama kamu dan Mama. Yah, mungkin ini bisa disebut kejutan untuk kalian, buat Hani juga.”

Gino menatap Davita yang sudah beranjak pergi dari sana. “Ck, paling dia cuma mau kasih baju harga dua ratusan. Bagi dia dua ratus ribu ‘kan sudah sangat mahal. Kalau sampai Mama menerima hadiah murah seperti itu, Mama pasti akan semakin marah. Ck, besok saja aku urus itu, aku akan ke kamar Hani sekarang.”

Davita duduk di tepian ranjang, gaun pengantinnya masih tak dibuka. Ia sengaja ingin menunggu Gino masuk, dan meminta bantuan kepada sang suami. Davita hanya ingin mereka berlaku seperti pasangan suami istri lain, apalagi di malam pertama ini, beradegan romantis.

“Hah, semoga Mama mertuaku benar-benar suka nantinya. Aku sudah lama menahan untuk tidak memberitahu toko bungaku kepada Mas Gino dan Hani, termasuk Mama mertuaku. Niatnya ingin aku jadikan kejutan untuk mereka setelah aku menikah. Jadi, besok aku akan mengajak mereka ke sana, dan memberitahu jika aku memiliki toko bunga besar,” gumam Davita sembari tersenyum bahagia.

Rupanya Davita sudah membangun bisnis kecil dari tiga tahun lalu. Ia membangun sebuah toko bunga, berawal dari toko kecil, sekarang semakin besar dan sudah memiliki beberapa cabang di kota Jakarta. Toko bunganya disebut paling viral saat ini, tetapi Gino, Hani dan Endah tak tahu jika pemiliki toko bunga tersebut adalah Davita.

Gino, Hani dan Endah mengira Davita hanya seorang pengangguran. Itu ‘lah kenapa Endah sangat menentang hubungan putranya dengan Davita. Selain karena seorang anak yatim piatu yang besar di panti asuhan, Endah tak suka karena Davita tak memiliki keperjaan. Endah tipe mertua gila harta, ia memang ingin memiliki menantu dari keluarga kaya.

“Apa Mas Gino masih lama, ya? Mungkin teman-temannya masih belum pulang.” Davita berdiri dari duduknya. “Aku ke kamar Hani saja dulu, ingin bercerita sebentar. Aku sedikit gugup mau malam pertama, setidaknya bercerita dengan Hani, bisa mengurangi gugupku.”

Davita melangkah pelan menyusuri lorong hotel. Tujuannya adalah kamar Hani yang tak jauh dari kamarnya. Sesekali Davita menarik napas dalam, ia tampaknya memang sangat gugup memikirkan malam pertama. Niatnya ke tempat Hani, supaya bisa bercerita dan gugupnya sedikit berkurang.

Kening Davita berkerut ketika melihat pintu kamar Hani tidak tertutup. “Ini benar kamar Hani, ‘kan? Aku ingat betul, memang di kamar ini,” gumam Davita.

“Ennggh, lebih cepat, Sayaang.”

Davita terkejut mendengar suara aneh dari dalam kamar itu. “Itu suara Hani.”

Davita semakin mendekat, lalu memberanikan diri mengintip dari celah pintu. Mata Davita membola melihat sepasang insan saling berhimpitan di atas ranjang.

“Aaah, Gino, lebih dalam shhh.”

Jantung Davita seakan berhenti berdetak, darahnya membeku. “A-apa aku bermimpi?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status