Share

3. Terluka dan Kecewa

“Permainan kamu semakin hari semakin bagus, Sayang.”

“Dan punyamu tetap enak meski sudah bertahun-tahun kita melakukannya. Empat tahun lamanya, masih saja seperti ini. Nikmat sekali.”

“E-empat tahun?” gumam Davita tak percaya.

Tangan wanita cantik berpakaian pengantin itu terkepal, dadanya mendidih menyaksikan adegan panas di celah pintu. Suara menjijikkan menyertai setiap pergerakan sepasang insan di dalam sana. Napas Davita memburu, dadanya naik turun.

“Binatang,” desis Davita dingin, “mereka benar-benar binatang. Ternyata mereka sudah lama menjalin kasih di belakangku? Hubungan kami 5 tahun, dan 4 tahun diisi dengan perselingkuhan menjijikkan ini? Biadab.”

Davita tertawa pahit, matanya berkaca-kaca. Wanita itu memukul dadanya yang terasa begitu sakit dan sesak. Perlahan tubuhnya meluruh ke lantai, kedua kakinya seakan tak bertulang, sehingga tak lagi mampu menopang tubuh.

Pria yang selama 5 tahun ini ia kira begitu mencintainya, kini tengah bermain panas dengan sahabatnya sendiri, bahkan di malam pertama mereka.

“Malam pertama yang harusnya kamu habiskan denganku ... malah kamu nikmati bersama wanita lain, dan lebih menyakitkannya, wanita itu adalah sahabatku sendiri.” Tangan Davita kembali terkepal, matanya menajam. “Aku bersumpah, aku akan membalaskan ini semua pada kalian!”

Meski rasa sakit menjalar dari jantung hati ke seluruh tubuhnya. Davita mencoba menguatkan diri untuk tetap berdiri. Wanita itu segera mengeluarkan ponselnya, lalu merekam semua aksi menjijikkan Gino dan Hani. Davita sengaja tak melabrak secara langsung, ia membiarkan suami dan sahabatnya itu melanjutkan percintaan, supaya Davita bisa mendapat bukti kuat.

“Rupanya selama ini aku mencintai dan menyayangi para binatang. Betapa bodohnya aku,” gumam Davita tertawa pahit.

Beberapa menit menguatkan diri berdiri di sana merekam aksi panas suami dan sahabatnya. Davita mulai menarik napas, lalu mendorong pintu kamar itu. Pergerakan pintu kamar yang dibuka dari luar, membuat Gino dan Hani terkejut. Mereka semakin terkejut ketika melihat Davita berdiri di daun pintu sembari tersenyum jijik.

Gino tanpa sadar langsung mendorong tubuh Hani yang berada di atasnya. Hani melotot dengan aksi spontan Gino.

“Maaf, bukan maksudku mengganggu permainan panas kalian. Hanya saja ... kalian terlalu terbuur-buru sampai lupa mengunci pintu. Jadi aku tahu, deh.” Davita melontarkan itu dengan senyum tangguh menyimpan luka.

“Davita, ini salah paham. Ini tidak seperti yang kamu bayangkan.” Gino segera mendekat ke arah Davita setelah menyambar selimut untuk menutupi tubuh telanjangnya.

Davita mundur, tak sudi disentuh oleh Gino. Ia menatap Gino dengan tatapan tajam. “Jangan sentuh aku dengan tangan kotormu itu, bajingan,” desisnya.

Davita tak berniat untuk berteriak seperti orang gila. Ia bahkan terbilang cukup tenang menghadapi Gino dan Hani.

Gino menggeleng. “Ini tidak seperti yang kamu bayangkan, Davita. Kamu salah paham.”

Davita tertawa mendengar itu. “Salah paham? Tidak seperti yang aku bayangkan? Memangnya apa yang aku bayangkan tentang kalian berdua?” Davita memiringkan kepalanya, ekspresinya kembali berubah dingin. “Padahal niatnya aku yang ingin memberi kalian sebuah kejutan setelah pernikahan ini. Tapi ... rupanya aku yang diberi kejutan tak terduga. Sungguh tak terduga dan tidak pernah aku bayangkan selama ini.”

Gino mengurut keningnya. “Kita bicarakan ini di kamar kita saja. Ini malam pertama kita, jadi aku harap kamu tidak membuatnya jadi berantakan karena—”

Plak ...

Kalimat Gino disela oleh suara tamparan. Wajah Gino tertoleh ketika Davita menampar pipi Gino dengan kekuatan penuh, bahkan telapak tangan Davita ikut memerah.

Davita menelan salivanya perlahan, mencoba tetap tenang meski dadanya kembali sesak. “Tidak tahu malunya kau mengucapkan itu, Gino Antoni. Aku kira kau lupa jika ini adalah malam pertama kita, sampai aku malah bercinta dengan wanita lain yang merupakan sahabatku sendiri. Sekarang kau malah mengatakan aku akan membuat malam pertama kita ini berantakan? Hello, apa kau tidak punya kaca? Begitu tidak tahu dirinya kah kamu? Kamu yang membuat malam pertama kita hancur berantakan, Gino!”

Gino berdecak, ia mengangkat kepalanya lalu menatap Davita yang baru saja berteriak padanya. “Ini hanya suatu kesalahan. Aku minta maaf, sekarang ayo kita kembali.”

“Jangan sentuh aku, bajingan.” Davita menepis tangan Gino yang masih berniat meraih pergelangan tangannya. “Kalian silakan lanjutkan saja, aku akan kembali sendiri. Maaf sudah mengganggu aktivitas menyenangkan kalian berdua. Besok aku akan mengajukan cerai, jadi tidak usah sungkan melanjutkan aksi kalian, kita akan segera bercerai, kok.”

Gino mendelik. “Apa-apaan? Kita baru saja menikah, ini malam pertama kita, kenapa sudah ingin cerai. Jangan gila, Davita! Aku tidak akan pernah setuju bercerai denganmu!”

“Kau yang gila, bajingan! Kau berselingkuh dengan dengan sahabatku sendiri selama empat tahun! Kalian yang gila, kau dan Hani, kalian sama-sama gila. Bajingan keparat kalian berdua!” murka Davita.

Ia sudah tak mampu menahan amarahnya. Kalimat Gino malah semakin memancing emosinya. Padahal Davita sudah berusaha tenang dan elegan, tetapi Gino seakan tak merasa bersalah. Apalagi Hani juga tenang di atas ranjang, seakan tak merasa berdosa. Bahkan sekadar untuk meminta maaf dan menjelaskan pun, Hani tak berminat.

“Ck, kau berisik sekali. Keluar dari kamarku jika ingin berteriak, kampungan,” decih Hani.

Davita terkejut, ia menatap Hani dengan ekspresi tak percaya. “Apa? Kampungan?”

Hani menoleh, ia menatap Davita dengan wajah angkuh. “Iya, kau begitu kampungan. Berisik di sini, tidak tahu tempat. Lagi pula, kau tidak bisa menyalahkan Gino ataupun aku. Harusnya kau berkaca dan sadar diri. Kami juga saling suka dan saling bahagia bersama. Tidak usah lebai.”

Mulut Davita ternganga tak percaya. Setelahnya ia tertawa miris. “Aku tak menyangka, kita sudah berteman selama 8 tahun, Hani. Aku bahkan tidak menganggapmu sekadar sahabat, tapi saudara. Apa salahku padamu?” bisiknya begitu kecewa.

Hani menggulir bola matanya malas, ia benar-benar tak merasa bersalah. Melihat ekspresi Davita yang seperti itu, Hani tetap tak merasa iba. “Kau saja yang bodoh, aku tidak pernah menganggapmu teman. Aku tidak pernah tulus berteman denganmu. Anak yatim, orang miskin dan kampungan sepertimu sungguh tidak tahu malu, berharap aku seorang Hani Candra dari keluarga ternama ini bersedia menjadi temanmu? Cih, bodoh.”

Davita tersenyum pahit. Ia menatap Hani dengan ekspresi sangat terkejut, tak percaya, bahkan mengira ini semua mimpi.

“Kayaknya aku emang lagi mimpi. Tapi, kenapa rasa sakitnya nyata banget,” gumam Davita lirih.

“Gak usah drama, hal sepele kayak gini harusnya gak usah lo bikin drama,” decih Hani, “lo gak mimpi, ini nyata. Bagus deh lo udah tau semuanya, jadi sekalian aja. Gue juga udah muak dan males terus pura-pura.”

Davita meneguk ludahnya perlahan, ia memandang Hani dengan ekspresi tak paham. “Pura-pura?”

“Cih, bodoh. Berbicara denganmu sungguh memuakkan.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status