“Permainan kamu semakin hari semakin bagus, Sayang.”
“Dan punyamu tetap enak meski sudah bertahun-tahun kita melakukannya. Empat tahun lamanya, masih saja seperti ini. Nikmat sekali.”
“E-empat tahun?” gumam Davita tak percaya.
Tangan wanita cantik berpakaian pengantin itu terkepal, dadanya mendidih menyaksikan adegan panas di celah pintu. Suara menjijikkan menyertai setiap pergerakan sepasang insan di dalam sana. Napas Davita memburu, dadanya naik turun.
“Binatang,” desis Davita dingin, “mereka benar-benar binatang. Ternyata mereka sudah lama menjalin kasih di belakangku? Hubungan kami 5 tahun, dan 4 tahun diisi dengan perselingkuhan menjijikkan ini? Biadab.”
Davita tertawa pahit, matanya berkaca-kaca. Wanita itu memukul dadanya yang terasa begitu sakit dan sesak. Perlahan tubuhnya meluruh ke lantai, kedua kakinya seakan tak bertulang, sehingga tak lagi mampu menopang tubuh.
Pria yang selama 5 tahun ini ia kira begitu mencintainya, kini tengah bermain panas dengan sahabatnya sendiri, bahkan di malam pertama mereka.
“Malam pertama yang harusnya kamu habiskan denganku ... malah kamu nikmati bersama wanita lain, dan lebih menyakitkannya, wanita itu adalah sahabatku sendiri.” Tangan Davita kembali terkepal, matanya menajam. “Aku bersumpah, aku akan membalaskan ini semua pada kalian!”
Meski rasa sakit menjalar dari jantung hati ke seluruh tubuhnya. Davita mencoba menguatkan diri untuk tetap berdiri. Wanita itu segera mengeluarkan ponselnya, lalu merekam semua aksi menjijikkan Gino dan Hani. Davita sengaja tak melabrak secara langsung, ia membiarkan suami dan sahabatnya itu melanjutkan percintaan, supaya Davita bisa mendapat bukti kuat.
“Rupanya selama ini aku mencintai dan menyayangi para binatang. Betapa bodohnya aku,” gumam Davita tertawa pahit.
Beberapa menit menguatkan diri berdiri di sana merekam aksi panas suami dan sahabatnya. Davita mulai menarik napas, lalu mendorong pintu kamar itu. Pergerakan pintu kamar yang dibuka dari luar, membuat Gino dan Hani terkejut. Mereka semakin terkejut ketika melihat Davita berdiri di daun pintu sembari tersenyum jijik.
Gino tanpa sadar langsung mendorong tubuh Hani yang berada di atasnya. Hani melotot dengan aksi spontan Gino.
“Maaf, bukan maksudku mengganggu permainan panas kalian. Hanya saja ... kalian terlalu terbuur-buru sampai lupa mengunci pintu. Jadi aku tahu, deh.” Davita melontarkan itu dengan senyum tangguh menyimpan luka.
“Davita, ini salah paham. Ini tidak seperti yang kamu bayangkan.” Gino segera mendekat ke arah Davita setelah menyambar selimut untuk menutupi tubuh telanjangnya.
Davita mundur, tak sudi disentuh oleh Gino. Ia menatap Gino dengan tatapan tajam. “Jangan sentuh aku dengan tangan kotormu itu, bajingan,” desisnya.
Davita tak berniat untuk berteriak seperti orang gila. Ia bahkan terbilang cukup tenang menghadapi Gino dan Hani.
Gino menggeleng. “Ini tidak seperti yang kamu bayangkan, Davita. Kamu salah paham.”
Davita tertawa mendengar itu. “Salah paham? Tidak seperti yang aku bayangkan? Memangnya apa yang aku bayangkan tentang kalian berdua?” Davita memiringkan kepalanya, ekspresinya kembali berubah dingin. “Padahal niatnya aku yang ingin memberi kalian sebuah kejutan setelah pernikahan ini. Tapi ... rupanya aku yang diberi kejutan tak terduga. Sungguh tak terduga dan tidak pernah aku bayangkan selama ini.”
Gino mengurut keningnya. “Kita bicarakan ini di kamar kita saja. Ini malam pertama kita, jadi aku harap kamu tidak membuatnya jadi berantakan karena—”
Plak ...
Kalimat Gino disela oleh suara tamparan. Wajah Gino tertoleh ketika Davita menampar pipi Gino dengan kekuatan penuh, bahkan telapak tangan Davita ikut memerah.
Davita menelan salivanya perlahan, mencoba tetap tenang meski dadanya kembali sesak. “Tidak tahu malunya kau mengucapkan itu, Gino Antoni. Aku kira kau lupa jika ini adalah malam pertama kita, sampai aku malah bercinta dengan wanita lain yang merupakan sahabatku sendiri. Sekarang kau malah mengatakan aku akan membuat malam pertama kita ini berantakan? Hello, apa kau tidak punya kaca? Begitu tidak tahu dirinya kah kamu? Kamu yang membuat malam pertama kita hancur berantakan, Gino!”
Gino berdecak, ia mengangkat kepalanya lalu menatap Davita yang baru saja berteriak padanya. “Ini hanya suatu kesalahan. Aku minta maaf, sekarang ayo kita kembali.”
“Jangan sentuh aku, bajingan.” Davita menepis tangan Gino yang masih berniat meraih pergelangan tangannya. “Kalian silakan lanjutkan saja, aku akan kembali sendiri. Maaf sudah mengganggu aktivitas menyenangkan kalian berdua. Besok aku akan mengajukan cerai, jadi tidak usah sungkan melanjutkan aksi kalian, kita akan segera bercerai, kok.”
Gino mendelik. “Apa-apaan? Kita baru saja menikah, ini malam pertama kita, kenapa sudah ingin cerai. Jangan gila, Davita! Aku tidak akan pernah setuju bercerai denganmu!”
“Kau yang gila, bajingan! Kau berselingkuh dengan dengan sahabatku sendiri selama empat tahun! Kalian yang gila, kau dan Hani, kalian sama-sama gila. Bajingan keparat kalian berdua!” murka Davita.
Ia sudah tak mampu menahan amarahnya. Kalimat Gino malah semakin memancing emosinya. Padahal Davita sudah berusaha tenang dan elegan, tetapi Gino seakan tak merasa bersalah. Apalagi Hani juga tenang di atas ranjang, seakan tak merasa berdosa. Bahkan sekadar untuk meminta maaf dan menjelaskan pun, Hani tak berminat.
“Ck, kau berisik sekali. Keluar dari kamarku jika ingin berteriak, kampungan,” decih Hani.
Davita terkejut, ia menatap Hani dengan ekspresi tak percaya. “Apa? Kampungan?”
Hani menoleh, ia menatap Davita dengan wajah angkuh. “Iya, kau begitu kampungan. Berisik di sini, tidak tahu tempat. Lagi pula, kau tidak bisa menyalahkan Gino ataupun aku. Harusnya kau berkaca dan sadar diri. Kami juga saling suka dan saling bahagia bersama. Tidak usah lebai.”
Mulut Davita ternganga tak percaya. Setelahnya ia tertawa miris. “Aku tak menyangka, kita sudah berteman selama 8 tahun, Hani. Aku bahkan tidak menganggapmu sekadar sahabat, tapi saudara. Apa salahku padamu?” bisiknya begitu kecewa.
Hani menggulir bola matanya malas, ia benar-benar tak merasa bersalah. Melihat ekspresi Davita yang seperti itu, Hani tetap tak merasa iba. “Kau saja yang bodoh, aku tidak pernah menganggapmu teman. Aku tidak pernah tulus berteman denganmu. Anak yatim, orang miskin dan kampungan sepertimu sungguh tidak tahu malu, berharap aku seorang Hani Candra dari keluarga ternama ini bersedia menjadi temanmu? Cih, bodoh.”
Davita tersenyum pahit. Ia menatap Hani dengan ekspresi sangat terkejut, tak percaya, bahkan mengira ini semua mimpi.
“Kayaknya aku emang lagi mimpi. Tapi, kenapa rasa sakitnya nyata banget,” gumam Davita lirih.
“Gak usah drama, hal sepele kayak gini harusnya gak usah lo bikin drama,” decih Hani, “lo gak mimpi, ini nyata. Bagus deh lo udah tau semuanya, jadi sekalian aja. Gue juga udah muak dan males terus pura-pura.”
Davita meneguk ludahnya perlahan, ia memandang Hani dengan ekspresi tak paham. “Pura-pura?”
“Cih, bodoh. Berbicara denganmu sungguh memuakkan.”
“Ck, aku sudah bilang ‘kan barusan? Selama ini aku tidak pernah menganggapmu sebagai teman. Aku mendekatimu awalnya hanya karena kesal dan penasaran, kenapa bisa para pria tertarik padamu, sedangkan ada aku yang lebih segalanya dibandingkan dirimu. Aku cantik, jauh lebih kaya dari padamu yang hanya seorang anak panti miskin, tubuhku juga lebih bagus dari padamu. Gayaku lebih modis dan lebih menarik dari padamu yang terlihat begitu kampungan, apalagi aku sudah menjadi model sedari lama. Aku heran, bagaimana bisa para pria malah lebih menyukaimu dibandingkan aku. Padahal sedari SMA, aku selalu menjadi primadona utama, tapi semenjak di kampus karena keberadaanmu, aku jadi dinomor duakan. Aku membencimu, Davita.”Davita menggeleng tak percaya. “Jadi selama ini kamu hanya berpura-pura? Jadi selama ini hanya aku yang memiliki perasaan sayang tulus padamu?”Hani tersenyum sinis. “Makanya kau itu bodoh! Kau merasa spesial sampai aku yang seorang model ini bersedia berteman dengan anak panti s
“Gino! Kenapa kamu seakan marah padaku? Bukannya kamu juga tidak terlalu peduli kepada Davita? Kamu bilang, kalau kamu hanya ingin memanfaatkan kepintarannya saat nanti punya pekerjaan ‘kan? Belum tentu juga dia akan mendapatkan pekerjaan yang bagus. Kenapa kamu begitu frustasi hanya karena dia ingin bercerai? Harusnya kamu senang.”“Diam ‘lah!” Gino menggeram, ia manatap Hani dengan mata tajam. “Harusnya kamu menahan semuanya, sekarang jadi kacau begini. Aku tidak ingin berpisah dengan Davita, padahal aku sudah susah payah mempertahankan hubungan kami.”Hani tersenyum sinis. “Jadi apa yang dikatakan Davita benar? Kamu selama ini berbohong padaku, hanya demi aku bersedia terus bersenang-senang denganmu, iya? Kamu bilang hanya memanfaatkan Davita, nyatanya kamu benar-benar menyukainya?” geram Hani.Gino mengurut keningnya yang berdenyut. “Tidak usah membuatku semakin pusing, Hani. Intinya jangan ganggu aku sekarang.”“Tapi percuma, Davita pasti tidak akan memaafkan kamu. Dia serius aka
“Bagaimana?”Lupis menunduk singkat sebelum menyahut pertanyaan Angga. “Nyonya Naradipta tadi berpesan, katanya Tuan Besar benar-benar sudah mengatur pernikahan Anda, Tuan.”Angga menghembuskan napas panjang, lalu ia menghempaskan punggung ke sandaran kursi. “Kau sudah tahu dengan siapa aku akan dijodohkan?”“Sesuai yang disebutkan Tuan Besar sedari awal, Tuan. Anda sudah dijodohkan dengan putri dari keluarga Candra. Namanya Hani Candra, dia seorang model yang cukup ternama di kota ini. Saya sudah menyiapkan dokumen lengkap tentang Nona Candra, ini silakan Anda cek, Tuan.”Angga menatap map merah yang baru saja diletakkan Lupis di atas meja kerjanya. Ia meraih map itu dengan ekspresi tak terlalu berminat.“Karena dia berasal dari keluarga yang terbilang terpandang, saya rasa calon istri Anda ini tidak akan merugikan Anda, Tuan. Pendidikannya bagus, karirnya juga bagus di dunia model, karena besar dalam keluarga terpandang, pastinya dia juga tumbuh elegan. Saya rasa dia cocok menjadi ca
Tiga setengah bulan kemudian.“Davita!”Davita mendongak, ia menghembuskan napas malas melihat kedatangan sepasang insan yang baru saja keluar dari mobil. Davita tak menghiraukan mereka, ia memilih membantu seorang bapak tua berdiri.“Astaga, siapa ini? Gak disangka, kita akan bertemu lagi setelah beberapa bulan kau bersembunyi.” Hani tersenyum miring menatap Davita yang terus membantu bapak tua.“Bapak tidak apa-apa?” tanya Davita kepada bapak tua tersebut.Bapak tua tersenyum menggeleng. “Tidak apa-apa, Nak. Terima kasih sudah membantu.”“Tangan Bapak berdarah, sebaiknya diobati dulu,” ucap Davita sopan.“Tidak usah, Nak. Ini hanya luka kecil, nanti juga sembuh sendiri, ha-ha.”“Cih, tak disangka, setelah memutuskan cerai dengan Gino, kamu
“Apa?!” Hani berdiri sembari berteriak karena terlalu terkejut mendengar kalimat kedua orang tuanya. “M-mama bilang apa barusan? Angga Naradipta?”Risna mengangguk sembari tersenyum. “Iya, orang yang sedari dulu selalu kamu ceritakan sama Mama.”“Ceritakan?” tanya Faris—ayah Hani.“Iya, Pa. Hani sering sekali bercerita kalau dia itu suka sekali sama Angga Naradipta. Bahkan Hani pernah berkata ingin mendapatkan pria seperti Angga Naradipta sebagai suami. Makanya Mama terkejut dan senang saat Papa beritahu kalau Hani akan dijodohkan dengan Angga Naradipta. Karena secara tidak langsung, itu sudah menyahut impian putri kita. Iya ‘kan, Sayang? Kamu senang dengan perjodohan ini ‘kan?” ungkap Risna sembari Hani.Hani tersadar, ia langsung mengangguk semangat. “Sangat senang, Ma! Aku bahkan mengira ini mimpi, loh. Demi apa, a
“Apa?!” Gino berteriak sembari menggebrak meja.Hani menggeram ketika semua mata tertuju kepada mereka. Ia menutup wajahnya karena malu sekaligus kesal.“Jangan berisik, Gino. Kamu menarik perhatian orang-orang. Bagaimana kalau mereka mengenalku?” bisik Hani geram.Gino menatap Hani dengan mata tajam. “Setelah kamu membuat aku dan Davita bercerai, sekarang kamu seenaknya bilang ingin menikah dengan pria lain? Apa kamu gila, kamu kira aku apa, hah?” desisnya.Hani berdecak. “Kamu juga selama ini selalu menganggap aku hanya pelampiasan, ‘kan? Jadi harusnya kamu tidak akan peduli jika aku menikah dengan pria lain. Kamu kira aku tidak tahu, kalau kamu masih berusaha mendekati Davita? Cih, kamu kira aku bodoh? Aku tahu kamu sekarang sering mengunjungi toko bunga tempat wanita kurang ajar itu bekerja. Iya ‘kan?”Gino terdiam s
“Kita pernah bertemu secara tidak sengaja di lobi gedung perusahaan Anda, Tuan Muda. Saat itu saya datang untuk mengajukan kerjasama secara langsung. Tapi mungkin Anda tidak ingat karena tidak terlalu memperhatikan.” Davita tersenyum formal kepada Angga.“Aku mengingatnya,” sahut Angga dalam hati, “wajah wanita ini tidak pasaran, ada hal khusus yang membuat wajahnya lebih menarik dari wanita lain, dan itu membuatnya mudah diingat meski satu kali pertemuan sekali pun.”“Angga.”Suara berat Maizal mengembalikan kesadaran Angga. Ia menoleh singkat, lalu meraih dokumen di atas meja. Melihat Angga tak berniat menyahut basa-basi Davita, Maizal pun berdecak singkat.“Tolong dimaklum ya, Dav. Dia memang seperti itu. Irit suara sekali, jadi lain kali tidak usah basa-basi padanya. Dia memang patung,” cetus Maizal kepada Davita.Ka
“Davita.”Davita terkejut ketika Gino tiba-tiba muncul dan meraih tangannya. Davita langsung menepis tangan Gino dan menatap mantan suaminya itu dengan mata tajam.“Davita, aku sudah menunggumu di sini sedari tadi. Akhirnya kamu datang juga, kamu masuk siang ya?” Gino tersenyum ke arah Davita.Davita membalas senyum itu dengan tatapan dinginya. Ia menghembuskan napas kesabaran, menahan diri supaya tak lepas kedali setiap kali melihat wajah Gino. Sampai saat ini, rasa benci Davita masih berada di level tinggi, sehingga bisa saja ia lepas kendali memaki Gino di depan umum, itu bisa berpengaruh buruk untuk citranya. Amarahnya itu juga bisa menghancurkan seluruh tatanan rencana balas dendam yang sudah ia buat dengan susah payah.“Kau masih saja menguntitku? Apa kau tidak takut jika kekasihmu marah? Ujung-ujungnya dia akan menyalahkan aku sebagai penggoda, padahal dia adalah