Meski masih diselimuti rasa menyesal dan penasaran tentang siapa lelaki yang tidur dengannya di kamar Hotel, Laura tidak ingin meninggalkan pekerjaannya di dunia entertainment.
Saat ini dia sedang melakukan syuting untuk mempromosikan merk makanan ringan terbaru. Dia adalah model iklan untuk produk tersebut. Selesai bekerja Laura mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi hingga perjalanan panjang berakhir dengan cepat. Laura keluar dari mobil melangkah mendekati gedung hotel mewah di depannya. "Aku harus secepatnya ke hotel itu. Aku yakin ada petunjuk untuk mengetahui siapa lelaki semalam," gumam Laura. Tidak mempedulikan mobilnya yang terparkir di sembarang tempat. Dia tidak memiliki waktu untuk menata mobil. Pikirannya kacau, gelisah dan takut karena karirnya sedang terancam. Ia takut karirnya meredup kalau sampai lelaki semalam mengatakan pada Media, mereka berdua pernah tidur bersama. Dia harus membungkam mulut lelaki itu. Laura mulai sedikit mengingat kalau semalam dia salah memasuki kamar. Nomor pintu kamar yang harusnya dia masuki semalam, adalah 213. Namun dia justru masuk ke kamar 231. Dia memang sedang mabuk berat dan tidak melihat dengan jelas nomor kamar yang berada di depan pintu. Tiba di depan resepsionis hotel lalu mulai bertanya, "Saya ingin tahu siapa orang yang menyewa kamar nomor 231. Semalam saya salah masuk kamar." Laura berbisik sambil mengawasi sekitar. Resepsionis tersebut saling memandang dengan teman di sampingnya. "Tolong cepat katakan! Saya sedang menunggu jawaban dari kalian!" ketus Laura. "Maaf tapi kami tidak bisa memberikan informasi tentang tamu yang datang ke Hotel ini, karena menyangkut privasi." Resepsionis tersenyum ramah. "Saya hanya ingin tahu lelaki yang berada di kamar itu siapa? Dia orang mana? Indonesia? Jepang? Belanda? Jerman?" Laura mulai emosi. "Sekali lagi maaf, tapi kami memang tidak bisa memberitahu informasi tentang tamu Hotel, karena semua sudah menjadi peraturan di Hotel kami. Kami tidak bisa melanggar peraturan itu. Kami hanya menjalankan tugas." Resepsionis masih bersikap ramah. Walau Laura mulai meninggikan suaranya. Membuang napas kasar, meniup poni yang menutupi kening lalu kembali berkata, "Katakan siapa Staff Hotel yang berjaga semalam? Dia yang mengantar saya ke depan pintu kamar. Dan saya salah memasuki kamar." "Staff itu belum datang. Dia bertugas di malam hari." Resepsionis meninggalkan Laura begitu saja, justru menyambut tamu yang baru datang. Laura mendengus kesal lalu menghentakkan kakinya meninggalkan Hotel. Dia tidak tahu bagaimana nasibnya setelah ini. Mengapa sangat sulit mendapatkan informasi tentang lelaki itu? Laura memutuskan kembali ke rumahnya dengan perasaan kecewa. "Kalau sampai dia berani membongkar skandal itu. Aku akan melenyapkannya!" desisnya mengepalkan tinjuanya ke samping. Sekarang dia tidak tahu harus bagaimana, mencari informasi tentang laki-laki itu di mana lagi. Hanya bisa pasrah dengan nasib ke depan. Mobil melaju cepat hingga tidak sampai satu jam dia tiba di rumah. Kedatangan Laura disambut oleh seorang wanita yang tengah duduk di ruang keluarga. "Kamu kenapa? Sakit?" tanya wanita yang tak lain calon ibu tirinya. Wanita bernama Yeni itu memandang bingung pada Laura. "Bukan urusan Tante!" jawab Laura ketus. "Jaga bicaramu Laura! Kamu harus sopan sama calon Mamamu!" bentak Nikolas yang gerah melihat kelakuan anak semata wayangnya. Laura mendengus kesal saat melihat ayahnya menatap tajam sambil berkacak pinggang. "Bicara yang sopan! Cepat minta maaf pada Mamamu!" perintah Nikolas. "Mamaku hanya ada satu!" desis Laura lalu berjalan meninggalkan Yeni dan Nikolas menuju kamar. Yeni menghela napas panjang lalu memegang dada Nikolas. "Sabar Honey, mungkin Laura belum siap menerima kehadiranku di tengah keluarga ini," ucapnya lembut. "Mau sampai kapan dia terus bersikap seperti itu? Dia sudah dewasa, harusnya dia mengerti kalau ibunya sudah tidak bisa diharapkan lagi. Aku juga butuh kebahagiaan, tidak mungkin terus menunggu orang sakit." "Sabar, aku tidak apa apa. Tenang ya." Yeni mengulum senyuman lalu membawa lelaki itu ke sofa panjang di ruang keluarga. Sedangkan di dalam kamar. Laura tengah menangisi penderitaannya hidup di tengah keluarga toxic. Memiliki ayah toxic yang membuatnya muak dan ingin secepatnya keluar dari dalam rumah. Namun, dia tidak bisa meninggalkan ibunya yang sakit stroke dan hanya bisa terbaring lemah di atas tempat tidur. Laura semakin bertekad untuk mengejar mimpinya menjadi seorang artis papan atas agar bisa memiliki kehidupan layak tanpa uang dari ayahnya. Dia juga ingin membawa ibunya keluar dari dalam Neraka dunia yang berisi iblish wanita dan laki laki yang sama sekali tidak memiliki perasaan. "Kuatkan dirimu, Laura. Mama tidak apa-apa kok. Mama sudah iklhas kalau Papamu menikah lagi," ucap Grace pada anaknya yang tengah menangis terisak. "Semua laki laki sama saja. Mereka hanya bisa menyakiti perasaan perempuan. Bisa-bisanya Papa membawa selingkuhannya ke rumah ini," isak Laura. "Papamu memang sudah lama ingin menceraikan Mama. Kamu lihat sendiri keadaan Mama? Papamu pasti sudah lelah mengurus istri yang sakit-sakitan seperti Mama." Grace terlihat tegar berbeda dengan anaknya yang diselimuti amarah dan kesedihan. Laura menggenggam jemari tangan ibunya yang keriput lalu menempelkan di pipi. Ia mencium punggung tangan Grace sambil terus menangis. "Aku berjanji aku akan membahagiakan Mama. Aku akan membawa Mama keluar dari rumah ini. Kita bisa hidup bahagia. Hanya berdua di rumah yang lebih mewah lagi dari ini." Laura mencoba tersenyum. "Mama selalu mendoakan yang terbaik untuk hidupmu, Sayang. Jangan pikirkan Mama. Kamu harus bahagia, carilah pasangan yang bisa menerimamu dan membawamu pergi dari rumah ini." "Aku belum akan menikah. Aku ingin sukses dan membawa Mama ikut bersamaku!" geleng Laura. Grace tersenyum lirih. "Kuatkan dirimu, Nak." *** Di tempat berbeda. Steve datang tergesa gesa ingin mengetahui siapa wanita yang tengah menunggu di dalam ruangannya. Sekretaris Steve menyambut kedatangan sang CEO. Ia berdiri menundukkan tubuh sedikit. "Siang Pak." "Hmm," sahut Steve datar. "Pak, wanita itu ada di dal …. " Belum sempat menyudahi ucapannya karena Steve langsung masuk ke dalam. "Akhirnya kamu datang juga." Seorang wanita yang terlihat lebih tua dari sang CEO memeluk Steve yang baru saja melangkahkan kaki ke dalam ruangan. "Kapan kamu kembali ke Indonesia? Bukannya kamu sedang melakukan perjalanan bisnis ke Jepang?" tanya Steve membulatkan kedua matanya lebar. "Kenapa kamu terlihat panik begitu? Kamu takut aku mengambil alih perusahaan ini?" Evelyn terkekeh memperhatikan raut wajah Steve yang terlihat tidak suka dengan kedatangannya. "Aku sudah menjalankan perusahaan Papa dengan sebaik mungkin. Tidak mungkin aku takut kehilangan perusahaan ini. Aku yakin Papa tahu mana yang lebih berkompeten dalam menjalankan perusahaan dan mana yang tidak." Steve menarik kursi kebanggaan lalu duduk, meletakkan kedua tangan di atas meja. "Ya, kamu benar. Jadi untuk apa kamu takut? Kecuali kamu sudah melakukan kesalahan yang bisa mengancam nama baik perusahaan." Evelyn tertawa kecil. Seringai sinis terlukis di wajah Steve setelah mendengar ucapan dari sang kakak. Untuk menutupi rasa gugupnya, dia mengambil air mineral di atas meja lalu menenggaknya hingga tandas. Dia menatap Evelyn dengan tatapan tajam. Ingatan tentang wanita semalam kembali terlintas. Dia curiga wanita itu adalah orang suruhan kakaknya sendiri. Dia dan kakaknya tirinya memang tidak pernah akur, mereka sedang bersaing untuk memperebutkan perusahaan warisan dari keluarganya. Walau ayahnya sudah mempercayakan perusahaan Star Fusion sepenuhnya pada Steve. Akan tetapi, Evelyn bisa merebutnya jika adiknya memiliki skandal besar. "Aku yakin kamu mengerti dengan ucapanku tadi. Berhati-hatilah, mata yang mengawasimu ada di mana mana!" desis Evelyn lalu keluar dari dalam ruang kerja adiknya. Steve melempar bingkai foto hingga kacanya pecah berserakan di atas lantai. "Brengsek! Aku tidak akan membiarkan wanita jalang sepertimu menguasai perusahaan Papa!" Ia mengambil ponsel yang berada di depannya kemudian menghubungi Trand orang kepercayaannya yang tengah mencari keberadaan Laura. "Cepat temukan wanita itu! Seret dia ke hadapanku!" perintah Steve. "Baik Tuan."Tak ingin karir hancur karena skandal murahan dan tak ingin pertunangan dibatalkan, Steve masih mencari tahu siapa wanita yang tidur dengannya pada malam itu.Di dalam ruang kerjanya Steve masih memikirkan kejadian malam itu. Meskipun sampai detik ini tidak ada satu pun wanita yang datang meminta pertanggung jawaban darinya.Namun Steve tetap khawatir akan adanya bumerang di kemudian hari.Sebenarnya berita tentang skandal malam itu juga tidak pernah terdengar. Walau merasa sedikit bingung, tetapi dia bersyukur karena karirnya aman dari konspirasi murahan seperti itu.Steve tengah berbicara dengan orang kepercayaan sekaligus bodyguardnya yaitu Trand."Bagaimana kabar tentang informasi yang aku inginkan?" tanya Steve, meletakkan kedua tangan di atas meja."Sama sekali tidak ada berita tentang Anda, atau seseorang yang mencari informasi tentang diri Anda, Tuan," jelas Trand yang duduk di depan meja kerja sang CEO."Kamu yakin wanita itu tidak pernah datang lagi ke hotel Gemintang?" Stev
Tok Tok Tok! Terdengar suara ketukan pintu dari luar ruang kerja Steve yang tengah sibuk berkutat dengan pekerjaan. "Masuk!" seru Steve sambil terus menatap laptop di depannya.Sekretaris cantik berjalan mendekati meja kerja bosnya lalu menarik kursi dan duduk. "Selamat pagi Pak Steve," sapanya ramah. "Hari ini Anda ada jadwal pertemuan dengan seorang artis cantik pendatang baru yang namanya sedang naik daun. Dia adalah Laura. Dia akan menjadi bintang untuk mengiklankan produk keluaran terbaru dari perusahaan Fusion." Sekretaris Steve merinci jadwal agenda harian bosnya. "Ada lagi?" tanya Steve hanya melirik sesaat lalu kembali fokus menatap layar laptopnya. "Hanya itu Pak." "Ya sudah. Kamu boleh keluar." "Baik Pak, saya permisi." Sekretaris itu keluar dari ruangan Steve setelah selesai memberitahu jadwal harian bosnya."Pagi Bu," sapa sekretaris Steve saat melihat seorang wanita menahan pintu yang hendak ditutup. Tak Tak Tak. Terdengar suara langkah kaki mendekati meja k
Diam-diam Steve melirik Laura lalu kembali fokus menyimak penjelasan yang dilakukan sekretarisnya. Sekertaris Steve tampak sangat detail menjelaskan apa saja yang harus dilakukan oleh Laura, untuk memikat pembeli dan memasarkan produk keluaran terbaru dari perusahaan Fusion. Laura dan Yona menyimak penjelasan itu dengan tenang dan teliti. "Untuk memasarkan produk terbaru ini, ada beberapa iklan yang harus Anda bintangi. Bagaimana, Anda paham dengan kerja sama dengan perusahaan Fusion? Kontrak kerja Anda untuk menjadi Brand Ambassador produk kami adalah tiga bulan." Sekretaris Steve menjelaskan dengan rinci.Yona sebagai asisten Laura menganggukkan kepala pelan sama seperti Laura yang memahami semua pekerjaan yang akan dia ambil."Bagaimana, Lau, apa kamu mengerti?" tanya Yona memastikan. "Aku sudah mengerti," angguk Laura sambil mengelus perutnya. Pandang mata Yona beralih ke perut Laura, kecurigaannya semakin besar
Yona memegang bahu Laura. "Kamu kenapa? Sudah jangan dipikirkan ucapan Pak Steve tadi. Yang aku dengar, dia memang seperti itu. Dia itu tidak pernah berkenalan dengan yang namanya ramah dan bersikap baik pada orang lain. Apalagi pada orang yang baru dikenal seperti kita. Yang terpenting sekarang, kamu sudah resmi menjadi bintang iklan produk keluaran perusahaan terkenal itu. Karir-mu bisa semakin cemerlang kalau kamu bisa bekerja dengan baik.""Jangan dipikirkan soal sikap kurang ramah Pak Steve. Daripada kamu memikirkan yang tidak tidak, lebih baik kamu fokus saja dengan pekerjaan barumu dan persiapkan diri agar kamu bisa bekerja jauh lebih baik lagi," sambung Yona menguatkan. "Iya, kamu benar." Laura menghela napas panjang sambil meminum minuman di atas meja."Mungkin Pak Steve kelamaan jomblo jadi begitu," kekeh Yona. "Yang penting kan kamu udah dapat kontrak kerjasama. Sulit loh bekerja sama dengan perusahaan itu." "Iya aku tahu, tapi tetap
"Maaf Yona, aku belum bisa memberitahumu," jawab Laura lesu. Ia mengambil tas tenteng yang berada di atas meja lalu berdiri. "Kita pulang, aku lelah. Aku ingin pulang ke rumah orang tuaku."Yona menganggukkan kepala, mencoba mengerti dengan kondisi Laura saat ini. "Biar aku bawakan," katanya mengambil tas dari tangan Laura. Mereka keluar dari restoran menuju parkiran. Di lahan luas yang dipenuhi mobil mobil mewah itu, terparkir mobil Laura dan mereka pun masuk ke mobil.*Laura tiba di rumahnya orang tuanya untuk melihat keadaan sang ibu yang sakit. Kedatangannya disambut lirikan sinis Nikolas yang sedang duduk di sofa ruang tamu bersama Yeni, calon ibu tirinya."Ke mana saja kamu beberapa hari ini? Kamu tidak tahu Ibumu terus saja bertanya keberadaanmu?" sarkas Nikolas berdiri sambil berkacak pinggang. Laura menghembus napas berat. Baru saja bertemu dengan sang ayah, Laura sudah dibuat emosi dengan nada bicara a
"Semua berkas yang sudah ditandatangani Bu Laura saya letakan di atas meja kerja Bapak." Sekretaris Steve meletakkan tas berkas ke atas meja kerja bosnya. "Hmm," sahut Steve lalu duduk di kursi kebanggaan."Saya permisi Pak." Sekretaris cantik itu keluar dari ruang kerja Steve lalu menutup pintu. Steve baru saja kembali ke perusahaan dengan kondisi mood berantakan. Semua terjadi karena tadi pagi Evelyn membawa kabar tentang pernikahan sang kekasih yang akan menikah dengan sahabatnya sendiri.Menghela napas panjang, Steve memandangi bingkai foto sang kekasih yang masih terpajang di atas meja kerja. Ia sadar kalau selama ini dia terlalu fokus bekerja hingga mengabaikan kekasihnya yang meminta untuk segera diresmikan. Namun kerja keras yang ia lakukan untuk masa depan hubungan mereka juga.Bodohnya, dia tidak tahu kalau kekasihnya itu selingkuh, bahkan dengan sahabatnya sendiri. "Sejak kapan mereka berdua
Di kediaman Laura, setelah keributan terjadi di rumah itu. Laura memutuskan menenangkan diri di kamar ibunya.Laura menatap lirih ibunya yang tengah tertidur pulas. Wajah ibunya terlihat berseri, sangat cerah walaupun sedang sakit. Mengambil langkah perlahan lalu duduk di pinggir tempat tidur, memegang lengan sang ibu dengan lembut agar tidak menggangu istirahat ibu tersayang yang sangat ia rindukan setiap hari. Sambil menatap penuh kasih, ia mengusap bulir bening yang mengalir deras dari kedua pelupuk mata indahnya. Perasaan sesak di dada sangat menyiksa diri. Ingin sekali ia berlutut di kedua kaki ibunya lalu meminta maaf, karena sudah membuat kecewa dengan kehamilannya yang tanpa seorang ayah. Tidak tahu bagaimana cara untuk menjelaskan kalau dirinya sedang berbadan dua. Apakah mungkin ibunya bisa menerima itu? Atau justru kabar kehamilannya akan membuat kondisi ibunya semakin memburuk?"Aku menyayangimu, Ma," isak Laura l
Laura melangkah mendekati Yeni yang duduk di sofa ruang tamu rumah mewah ayahnya.Yeni menoleh ke belakang, menyadari seseorang mendekat dari suara langkah kakinya."Tante tadi masuk ke kamar aku, ya? Untuk apa Tante masuk ke kamar aku di saat aku sedang di kamar Mama? Tante mau mencuri apa di dalam kamarku?" cecar Laura yang berdiri di belakang Yeni. Mendengar itu Yeni langsung berdiri dari sofa lalu berjalan memutari sofa tersebut, menghampiri Laura. "Maksud kamu apa? Siapa yang masuk ke dalam kamarmu? Tante sama sekali tidak mengerti dengan tuduhan-mu itu. Untuk apa juga Tante masuk ke dalam kamarmu?"Laura tersenyum getir, "Jangan mencoba membohongiku. Aku tahu Tante baru saja keluar dari dalam kamarku. Apa yang Tante cari di sana? Tante ingin mencuri apa? Hah!""Kok kamu tega sih bicara begitu sama Tante? Apa buktinya kalau memang Tante masuk ke dalam kamarmu? Tante juga tidak pernah mengambil apapun di dalam sana. Kalau kamu memang