"Non sudah pulang?" tanya Simbok.
"Iya, Mbok. Aduh lelah sekali."
"Si Non mandi dulu gih!" Suruh Simbok.
"Sebentar. Masih berkeringat," jawabku santai. Simbok belum pergi. Dia seperti ingin bercerita sesuatu.
"Ada apa, Mbok?" tanyaku lalu meraih gelas di isi air mineral yang sudah terhidang di meja.
"Non, ada kabar dari rumah sakit jiwa!"
Setelah beberapa menit aku duduk santai, tiba-tiba Simbok memberiku kabar seperti apa yang ia katakan barusan.
"Rumah sakit jiwa? Soal apa, Mbok?" Aku belum ngeuh. Alisku saling bertaut menyelidik.
"Iyo, Non. Katanya ... em, itu ... mantan Ibu mertua Non sekarat."
Deg!
"Ibu sekarat? Loh, sekarat apanya, Mbok?" tanyaku super kaget dan mengiba.
"Si Non te
"Itu Ibuku, Rel?" Mas Andri dengan raut wajah iba bicara. Dia dalam pengawasan pihak kepolisian. Alhamdulillah dia dapat izin untuk menemui Ibunya."Iya, Mas. Kamu masuk saja. Dia pasti sangat merindukan kamu sebagai anaknya, Mas." Aku kembali angkat bicara. Dalam situasi dan kondisi seperti ini sejenak rasa kesal dan amarah pada Mas Andri tersingkirkan.Feri dan aku saling menoleh. Mas Andri mulai berjalan memasuki ruangan Bu Lasmi. Wajahnya lusuh sekali. Pakaian khas Rutan sudah beberapa bulan ini melekat di badannya. Netra pria itu seperti berkaca-kaca. Sontak tenggorokan ini malah tercekak hebat. Aku seakan ingin menangis ketika melihat seorang anak dan Ibu baru saja akan bertemu. Bahkan dalam kondisi seperti ini. Ibu berada di rumah sakit jiwa, anak ada di dalam jeruji besi. Yang kini hanya akan berjumpa dalam batasan waktu.Nampak Feri juga menghela nafas panjang de
"Ada apa, Pak Heru?" Mas Andri bertanya. Kami memang heran, ada apa Heru memanggil kami yang baru saja akan segera pergi?"Mas Andri, ibu anda ... arkh, ayok kita masuk lagi. Pak Polisi, tolong izinkan kembali tahanan melihat kondisi ibunya." Heru meminta dengan sangat pada kedua orang polisi. Mereka saling memberi tanggapan."Ada apa sebenarnya?" Mas Andri makin penasaran. Raut wajah Heru menampakkan kegelisahan yang amat mendalam."Bu Lasmi membenturkan kepalanya. Dan dia sekarang sedang di evakuasi. Pendarahannya tak henti juga. Ayok!""Apa?" Aku dan Feri kaget."Ayok!" Heru mengajak kami dengan tergesa-gesa."Ibu!" Mas Andri berteriak. "Pak, tolong buka lagi borgol saya sebentar, Pak. Saya mau lihat ibu saya, Pak!" Dengan sangat Mas Andri memohon. Kedua polisi saling pandang lagi."Baiklah, lepas. Kit
"Ini ... asisten saya, Pak. Asisten spesial." Mendengar jawaban Feri aku kaget. "Apa? Asisten? Siapa?" Aku menegurnya. Raut wajah ini kupasang emosi."Asisten Mas Feri?" Pak Manajer nampak kaget."Ih, maaf, Pak, bukan. Saya ini ....""Bener, Pak, dia asisten hati saya. Kami akan segera menikah."Teg!Kuteguk saliva mendengar jawaban Feri yang sambil senyam-senyum itu."Oh, Mas Feri sama Mbak Aurel ini pacaran? Serasi sekali. Pengusaha muda dua-duanya. Cocok. Saya tahu Mbak Aurel ini yang punya hotel berbintang itu, kan? Kalian memang cocok."Kembali aku kaget. Feri malah tersenyum puas melihatku."Eh, kami tidak pacaran, Pak. Dia saja yang asal bunyi." Aku menegur Feri."Jangan sungkan, Mbak. Saya juga pernah ada di masa-masa ini. Kalau begitu silahkan Mas dan Mbak kembal
Entah mengapa aku masih kepikiran dengan omongan Feri. Maksudnya apa coba? Ah, anak itu telah membuat rasaku tak karuan. Kalau di fikir-fikir, alasan aku sering ajak dirinya kemanapun, rasanya, malah nyaman saja. Tapi aku baru sadari sekarang. Dia itu cuek tapi banyak beri wejangan. Dia juga tukang ngibul, tapi humoris.Huwh ...Tubuh ini ku dorong ke sofa. Waktu masih menunjukkan pukul empat sore. Aku sudah mandi dan berganti baju sambil menunggu malam datang. Entah mengapa, kata-kata Feri tadi siang masih saja terngiang-ngiang. "Pikir-pikir lagi ya, Rel?" katanya tadi. Pikir-pikir apa?"Non? Kok melamun? Nih, susu jahe. Biar rilek. Awas, masih panas." Simbok datang menghampiriku membawa nampan berisikan satu gelas susu jahe."Enggak. Gak melamun." Aku menjawab spontan."Hemh, masak sih?" Simbok senyam-senyu
Hari ini adalah sidang vonis hukuman Tante Windy dan juga Om Idris. Di sidang ini kami datang bersama. Aku, Feri, Arjuna, Tante Sandra dan juga Putri yang memang masih merawat Arjuna. Kedatangan Arjuna juga sebagai bukti atas kejahatan Om dan Tante. Aku harap mereka mendapatkan hukuman setimpal.Arjuna masih memakai bantuan kruk untuk berjalan. Supaya jalannya bisa seimbang. Kondisinya Alhamdulillah makin membaik."Sidangnya akan segera di mulai. Kita sudah di persilahkan masuk. Ayok!" Feri memberitahu kami kalau sidang akan segera di mulai. Kami di harapkan masuk untuk menyaksikan proses persidangan.Kami berjalan masuk sama-sama. Arjuna di bantu oleh Tante Sandra dan juga Putri. Tapi ... sepertinya Arjuna gugup saat di dekat Putri. Apa jangan-jangan dia ada rasa pada Putri? Dia bilang aku bukan tipikal wanita yang dia suka. Emh, jangan-jangan, dia malah suka pada sosok Putri?"Jun
Semua mata tertuju pada kedatangan seseorang. Anehnya, aku tak mengenali siapa dia. Sosok pria sekitar enam puluh lima tahunan. Mengenakan kacamata dan membawa sebuah tongkat, mungkin untuk menopang jalannya.Tante Windy hengkang dengan raut wajah heran. Pun dengan Om Idris. Mereka bukan kaget, tapi heran. Bukan seperti ketakutan pula."Fer? Kamu bawa siapa?" Aku bertanya pada Feri. Nihil. Feri hanya geleng-geleng kepala. Jadi, kalau bukan Feri yang bawa, kenapa ada orang yang tiba-tiba datang?"Maaf, apa anda datang untuk menjadi saksi?" Hakim ketua bertanya."Pak Susilo?" Dalam raut keheranan Tante Windy menyapa pria lansia itu. Dan Tante Windy mengenalnya? Pak Susilo?"Ya, Pak Hakim. Saya datang untuk bersaksi." Pria yang di kenali oleh Tante Windy itu makin mendekat dengan satu tongkat khasnya. Ia seperti sesep
"Saya tidak terima ini! Saya tidak mau di eksekusi mati!" Tante Windy dan Om Idris tak terima dengan vonis hukuman yang di jatuhkan pada mereka berdua. Yaitu mereka akan di hukum seumur hidup, atau yang paling fatal mereka berdua bisa di eksekusi mati.Majelis hakim tak menggubris keinginan Tante Windy dan Om Idris. Sidang telah usai."Astaghfirullah! Kenapa ini bisa terjadi?" Pak Nadimin ayah kandung Tante Windy menangis. Pak Susilo dan Mbok Narsih pun masih ada di sini."Ini gara-gara kamu, Rel? Feri? Dasar kalian ponakan durhaka! Kamu juga Arjuna!" Tante Windy kembali berteriak tak terima. Tapi bagaimanapun juga sidang telah usai. Putusan hakim jatuh pada mereka dengan hukuman seumur hidup. Penasehat hukum yang di bawa oleh Tante Windy dan Om Idris pun tak mampu sedikitpun membantu mereka. Ringannya hukuman menjadi seumur hidup, itu karena aku y
"Jangan-jangan Maya pacar mas Andri itu anak Pak Nadimin, Fer! Astaghfirullah! Apa mungkin ini kebetulan?" Aku masih bisik-bisik dengan Feri."Kamu punya fotonya?""Foto Maya?""Bukan, foto bi Atun.""Loh? Kok bi Atun?"Feri menggeleng-gelengkan kepala. "Ya foto Maya dong, Rel. Gimana sih!" Ia kesal.Aku terkekeh. "Iya, aku bercanda kok. Sengaja bikin kamu kesel." Ia menyunggingkan bibir. "Ish.""Apa iya ya, Fer?""Coba kamu perlihatkan fotonya!" suruh Feri. Aku dan Feri bicara berdua. Pak Nadimin kini menemani Bi Ningsih dan istrinya bernostalgia.Sekejap tubuh ini lesu dan mengiba. "Fer? Kalau benar, gimana ini? Apa pak Nadimin gak akan syok? Anaknya dua-duanya ada di dalam bui."Feri menatapku lamat-lamat. "Tapi kalau pak Nadimi