"Ini ... asisten saya, Pak. Asisten spesial." Mendengar jawaban Feri aku kaget. "Apa? Asisten? Siapa?" Aku menegurnya. Raut wajah ini kupasang emosi.
"Asisten Mas Feri?" Pak Manajer nampak kaget.
"Ih, maaf, Pak, bukan. Saya ini ...."
"Bener, Pak, dia asisten hati saya. Kami akan segera menikah."
Teg!
Kuteguk saliva mendengar jawaban Feri yang sambil senyam-senyum itu.
"Oh, Mas Feri sama Mbak Aurel ini pacaran? Serasi sekali. Pengusaha muda dua-duanya. Cocok. Saya tahu Mbak Aurel ini yang punya hotel berbintang itu, kan? Kalian memang cocok."
Kembali aku kaget. Feri malah tersenyum puas melihatku.
"Eh, kami tidak pacaran, Pak. Dia saja yang asal bunyi." Aku menegur Feri.
"Jangan sungkan, Mbak. Saya juga pernah ada di masa-masa ini. Kalau begitu silahkan Mas dan Mbak kembal
Entah mengapa aku masih kepikiran dengan omongan Feri. Maksudnya apa coba? Ah, anak itu telah membuat rasaku tak karuan. Kalau di fikir-fikir, alasan aku sering ajak dirinya kemanapun, rasanya, malah nyaman saja. Tapi aku baru sadari sekarang. Dia itu cuek tapi banyak beri wejangan. Dia juga tukang ngibul, tapi humoris.Huwh ...Tubuh ini ku dorong ke sofa. Waktu masih menunjukkan pukul empat sore. Aku sudah mandi dan berganti baju sambil menunggu malam datang. Entah mengapa, kata-kata Feri tadi siang masih saja terngiang-ngiang. "Pikir-pikir lagi ya, Rel?" katanya tadi. Pikir-pikir apa?"Non? Kok melamun? Nih, susu jahe. Biar rilek. Awas, masih panas." Simbok datang menghampiriku membawa nampan berisikan satu gelas susu jahe."Enggak. Gak melamun." Aku menjawab spontan."Hemh, masak sih?" Simbok senyam-senyu
Hari ini adalah sidang vonis hukuman Tante Windy dan juga Om Idris. Di sidang ini kami datang bersama. Aku, Feri, Arjuna, Tante Sandra dan juga Putri yang memang masih merawat Arjuna. Kedatangan Arjuna juga sebagai bukti atas kejahatan Om dan Tante. Aku harap mereka mendapatkan hukuman setimpal.Arjuna masih memakai bantuan kruk untuk berjalan. Supaya jalannya bisa seimbang. Kondisinya Alhamdulillah makin membaik."Sidangnya akan segera di mulai. Kita sudah di persilahkan masuk. Ayok!" Feri memberitahu kami kalau sidang akan segera di mulai. Kami di harapkan masuk untuk menyaksikan proses persidangan.Kami berjalan masuk sama-sama. Arjuna di bantu oleh Tante Sandra dan juga Putri. Tapi ... sepertinya Arjuna gugup saat di dekat Putri. Apa jangan-jangan dia ada rasa pada Putri? Dia bilang aku bukan tipikal wanita yang dia suka. Emh, jangan-jangan, dia malah suka pada sosok Putri?"Jun
Semua mata tertuju pada kedatangan seseorang. Anehnya, aku tak mengenali siapa dia. Sosok pria sekitar enam puluh lima tahunan. Mengenakan kacamata dan membawa sebuah tongkat, mungkin untuk menopang jalannya.Tante Windy hengkang dengan raut wajah heran. Pun dengan Om Idris. Mereka bukan kaget, tapi heran. Bukan seperti ketakutan pula."Fer? Kamu bawa siapa?" Aku bertanya pada Feri. Nihil. Feri hanya geleng-geleng kepala. Jadi, kalau bukan Feri yang bawa, kenapa ada orang yang tiba-tiba datang?"Maaf, apa anda datang untuk menjadi saksi?" Hakim ketua bertanya."Pak Susilo?" Dalam raut keheranan Tante Windy menyapa pria lansia itu. Dan Tante Windy mengenalnya? Pak Susilo?"Ya, Pak Hakim. Saya datang untuk bersaksi." Pria yang di kenali oleh Tante Windy itu makin mendekat dengan satu tongkat khasnya. Ia seperti sesep
"Saya tidak terima ini! Saya tidak mau di eksekusi mati!" Tante Windy dan Om Idris tak terima dengan vonis hukuman yang di jatuhkan pada mereka berdua. Yaitu mereka akan di hukum seumur hidup, atau yang paling fatal mereka berdua bisa di eksekusi mati.Majelis hakim tak menggubris keinginan Tante Windy dan Om Idris. Sidang telah usai."Astaghfirullah! Kenapa ini bisa terjadi?" Pak Nadimin ayah kandung Tante Windy menangis. Pak Susilo dan Mbok Narsih pun masih ada di sini."Ini gara-gara kamu, Rel? Feri? Dasar kalian ponakan durhaka! Kamu juga Arjuna!" Tante Windy kembali berteriak tak terima. Tapi bagaimanapun juga sidang telah usai. Putusan hakim jatuh pada mereka dengan hukuman seumur hidup. Penasehat hukum yang di bawa oleh Tante Windy dan Om Idris pun tak mampu sedikitpun membantu mereka. Ringannya hukuman menjadi seumur hidup, itu karena aku y
"Jangan-jangan Maya pacar mas Andri itu anak Pak Nadimin, Fer! Astaghfirullah! Apa mungkin ini kebetulan?" Aku masih bisik-bisik dengan Feri."Kamu punya fotonya?""Foto Maya?""Bukan, foto bi Atun.""Loh? Kok bi Atun?"Feri menggeleng-gelengkan kepala. "Ya foto Maya dong, Rel. Gimana sih!" Ia kesal.Aku terkekeh. "Iya, aku bercanda kok. Sengaja bikin kamu kesel." Ia menyunggingkan bibir. "Ish.""Apa iya ya, Fer?""Coba kamu perlihatkan fotonya!" suruh Feri. Aku dan Feri bicara berdua. Pak Nadimin kini menemani Bi Ningsih dan istrinya bernostalgia.Sekejap tubuh ini lesu dan mengiba. "Fer? Kalau benar, gimana ini? Apa pak Nadimin gak akan syok? Anaknya dua-duanya ada di dalam bui."Feri menatapku lamat-lamat. "Tapi kalau pak Nadimi
Sore ini, tepat pukul tiga tiga puluh setelah shalat ashar aku dan Feri bergegas mengantar Simbok keluar kota. Mbok Ningsih di suruh menginap tak mau, katanya ingat sama kambing dan rumah tak ada yang jaga."Non? Gak bawa baju?" Simbok bertanya."Bawa baju? Aku nanti juga balik lagi, kok," jawabku pada Mbok Mun."Oh, kirain mau nginep," tanggapnya lagi."Enggak, Mbok, aku sama Aurel nanti pulang lagi, kok. Ya sudah, kalau gitu kita berangkat. Biar gak kemaleman sampai sananya," usul Feri.Dan setelah itu kami pun pergi. Mbok Ningsih dapat oleh-oleh dari Tante Sandra dan juga Simbok. Ada makanan siap saji dan juga aneka macam kue buatan Tante Sandra. Feri yang bawa tadi. Mau juga dia di titipi makanan, biasanya kalau laki-laki bilangnya ribet dan gengsi.Kami sudah berada di perjalanan. Aku duduk di
Kini mulutku belum mampu bicara. Seperti yang ia bilang, di dadanya ada gemuruh ombak, pun aku merasakan hal yang sama. Ini bukan ombak lagi, ini seperti gempa bumi.Rasanya wajah ini mendidih dan bakalan terlihat merah seperti tomat matang. Kami masih diam di posisi awal.Feri mendekat. Kami masih di tempat ini. Di tempat yang indah, sejuk dan asri. Makin ia mendekat, jantungku makin berdegup kencang. Ini kacau. Aku tak bisa berlari.Feri tersenyum. "Em-a-." Aku super gugup. Dari dalam hati pita suara ini ingin berkata kalau aku mau segera pulang. Aku ingin marah dan ajak dia pergi. Tapi kenapa sukar sekali? Lagi, aku tak dapat bicara."Kalau aku ingin singgah di hati kamu, gak ada alasan pria lain 'kan, Rel?"Srttttttt!Ia makin mendekat. Tubuh ini makin sukar bergerak. Kami saling mengunci
"Siapa itu, Pak?" Aku bertanya pada Pak Satpam. Ada dua buah mobil ternyata. Bukan cuma satu saja yang datang.Feri masih ada di dalam mobil. Hati ini masih agak senyam-senyum karena Feri ternyata telah mengungkapkan perasaannya padaku. Dan ternyata aku baru sadar, perasaanku selama ini adalah rasa nyaman yang berakhir mencintainya pula.Mobil itu berhenti di sampingku. Pintu mobil mulai membuka.Benar-benar kaget."Hah? Tante Sandra? Putri? Itu, siapa lagi?" ucapku heran.Lalu, Feri keluar. Ia malah senyam-senyum seperti tahu dengan apa yang terjadi. Bola mata ini malirik kesana kemari. Ke arah dua mobil itu, juga ke arah Feri."Silahkan masuk, silahkan!"Teg!Tiba-tiba Simbok dan Bi Atun menyuruh mereka masuk. Aku nyatanya masih heran. "Fer?" Aku menegur Feri.