"Ada apa, Pak Heru?" Mas Andri bertanya. Kami memang heran, ada apa Heru memanggil kami yang baru saja akan segera pergi?
"Mas Andri, ibu anda ... arkh, ayok kita masuk lagi. Pak Polisi, tolong izinkan kembali tahanan melihat kondisi ibunya." Heru meminta dengan sangat pada kedua orang polisi. Mereka saling memberi tanggapan.
"Ada apa sebenarnya?" Mas Andri makin penasaran. Raut wajah Heru menampakkan kegelisahan yang amat mendalam.
"Bu Lasmi membenturkan kepalanya. Dan dia sekarang sedang di evakuasi. Pendarahannya tak henti juga. Ayok!"
"Apa?" Aku dan Feri kaget.
"Ayok!" Heru mengajak kami dengan tergesa-gesa.
"Ibu!" Mas Andri berteriak. "Pak, tolong buka lagi borgol saya sebentar, Pak. Saya mau lihat ibu saya, Pak!" Dengan sangat Mas Andri memohon. Kedua polisi saling pandang lagi.
"Baiklah, lepas. Kit
"Ini ... asisten saya, Pak. Asisten spesial." Mendengar jawaban Feri aku kaget. "Apa? Asisten? Siapa?" Aku menegurnya. Raut wajah ini kupasang emosi."Asisten Mas Feri?" Pak Manajer nampak kaget."Ih, maaf, Pak, bukan. Saya ini ....""Bener, Pak, dia asisten hati saya. Kami akan segera menikah."Teg!Kuteguk saliva mendengar jawaban Feri yang sambil senyam-senyum itu."Oh, Mas Feri sama Mbak Aurel ini pacaran? Serasi sekali. Pengusaha muda dua-duanya. Cocok. Saya tahu Mbak Aurel ini yang punya hotel berbintang itu, kan? Kalian memang cocok."Kembali aku kaget. Feri malah tersenyum puas melihatku."Eh, kami tidak pacaran, Pak. Dia saja yang asal bunyi." Aku menegur Feri."Jangan sungkan, Mbak. Saya juga pernah ada di masa-masa ini. Kalau begitu silahkan Mas dan Mbak kembal
Entah mengapa aku masih kepikiran dengan omongan Feri. Maksudnya apa coba? Ah, anak itu telah membuat rasaku tak karuan. Kalau di fikir-fikir, alasan aku sering ajak dirinya kemanapun, rasanya, malah nyaman saja. Tapi aku baru sadari sekarang. Dia itu cuek tapi banyak beri wejangan. Dia juga tukang ngibul, tapi humoris.Huwh ...Tubuh ini ku dorong ke sofa. Waktu masih menunjukkan pukul empat sore. Aku sudah mandi dan berganti baju sambil menunggu malam datang. Entah mengapa, kata-kata Feri tadi siang masih saja terngiang-ngiang. "Pikir-pikir lagi ya, Rel?" katanya tadi. Pikir-pikir apa?"Non? Kok melamun? Nih, susu jahe. Biar rilek. Awas, masih panas." Simbok datang menghampiriku membawa nampan berisikan satu gelas susu jahe."Enggak. Gak melamun." Aku menjawab spontan."Hemh, masak sih?" Simbok senyam-senyu
Hari ini adalah sidang vonis hukuman Tante Windy dan juga Om Idris. Di sidang ini kami datang bersama. Aku, Feri, Arjuna, Tante Sandra dan juga Putri yang memang masih merawat Arjuna. Kedatangan Arjuna juga sebagai bukti atas kejahatan Om dan Tante. Aku harap mereka mendapatkan hukuman setimpal.Arjuna masih memakai bantuan kruk untuk berjalan. Supaya jalannya bisa seimbang. Kondisinya Alhamdulillah makin membaik."Sidangnya akan segera di mulai. Kita sudah di persilahkan masuk. Ayok!" Feri memberitahu kami kalau sidang akan segera di mulai. Kami di harapkan masuk untuk menyaksikan proses persidangan.Kami berjalan masuk sama-sama. Arjuna di bantu oleh Tante Sandra dan juga Putri. Tapi ... sepertinya Arjuna gugup saat di dekat Putri. Apa jangan-jangan dia ada rasa pada Putri? Dia bilang aku bukan tipikal wanita yang dia suka. Emh, jangan-jangan, dia malah suka pada sosok Putri?"Jun
Semua mata tertuju pada kedatangan seseorang. Anehnya, aku tak mengenali siapa dia. Sosok pria sekitar enam puluh lima tahunan. Mengenakan kacamata dan membawa sebuah tongkat, mungkin untuk menopang jalannya.Tante Windy hengkang dengan raut wajah heran. Pun dengan Om Idris. Mereka bukan kaget, tapi heran. Bukan seperti ketakutan pula."Fer? Kamu bawa siapa?" Aku bertanya pada Feri. Nihil. Feri hanya geleng-geleng kepala. Jadi, kalau bukan Feri yang bawa, kenapa ada orang yang tiba-tiba datang?"Maaf, apa anda datang untuk menjadi saksi?" Hakim ketua bertanya."Pak Susilo?" Dalam raut keheranan Tante Windy menyapa pria lansia itu. Dan Tante Windy mengenalnya? Pak Susilo?"Ya, Pak Hakim. Saya datang untuk bersaksi." Pria yang di kenali oleh Tante Windy itu makin mendekat dengan satu tongkat khasnya. Ia seperti sesep
"Saya tidak terima ini! Saya tidak mau di eksekusi mati!" Tante Windy dan Om Idris tak terima dengan vonis hukuman yang di jatuhkan pada mereka berdua. Yaitu mereka akan di hukum seumur hidup, atau yang paling fatal mereka berdua bisa di eksekusi mati.Majelis hakim tak menggubris keinginan Tante Windy dan Om Idris. Sidang telah usai."Astaghfirullah! Kenapa ini bisa terjadi?" Pak Nadimin ayah kandung Tante Windy menangis. Pak Susilo dan Mbok Narsih pun masih ada di sini."Ini gara-gara kamu, Rel? Feri? Dasar kalian ponakan durhaka! Kamu juga Arjuna!" Tante Windy kembali berteriak tak terima. Tapi bagaimanapun juga sidang telah usai. Putusan hakim jatuh pada mereka dengan hukuman seumur hidup. Penasehat hukum yang di bawa oleh Tante Windy dan Om Idris pun tak mampu sedikitpun membantu mereka. Ringannya hukuman menjadi seumur hidup, itu karena aku y
"Jangan-jangan Maya pacar mas Andri itu anak Pak Nadimin, Fer! Astaghfirullah! Apa mungkin ini kebetulan?" Aku masih bisik-bisik dengan Feri."Kamu punya fotonya?""Foto Maya?""Bukan, foto bi Atun.""Loh? Kok bi Atun?"Feri menggeleng-gelengkan kepala. "Ya foto Maya dong, Rel. Gimana sih!" Ia kesal.Aku terkekeh. "Iya, aku bercanda kok. Sengaja bikin kamu kesel." Ia menyunggingkan bibir. "Ish.""Apa iya ya, Fer?""Coba kamu perlihatkan fotonya!" suruh Feri. Aku dan Feri bicara berdua. Pak Nadimin kini menemani Bi Ningsih dan istrinya bernostalgia.Sekejap tubuh ini lesu dan mengiba. "Fer? Kalau benar, gimana ini? Apa pak Nadimin gak akan syok? Anaknya dua-duanya ada di dalam bui."Feri menatapku lamat-lamat. "Tapi kalau pak Nadimi
Sore ini, tepat pukul tiga tiga puluh setelah shalat ashar aku dan Feri bergegas mengantar Simbok keluar kota. Mbok Ningsih di suruh menginap tak mau, katanya ingat sama kambing dan rumah tak ada yang jaga."Non? Gak bawa baju?" Simbok bertanya."Bawa baju? Aku nanti juga balik lagi, kok," jawabku pada Mbok Mun."Oh, kirain mau nginep," tanggapnya lagi."Enggak, Mbok, aku sama Aurel nanti pulang lagi, kok. Ya sudah, kalau gitu kita berangkat. Biar gak kemaleman sampai sananya," usul Feri.Dan setelah itu kami pun pergi. Mbok Ningsih dapat oleh-oleh dari Tante Sandra dan juga Simbok. Ada makanan siap saji dan juga aneka macam kue buatan Tante Sandra. Feri yang bawa tadi. Mau juga dia di titipi makanan, biasanya kalau laki-laki bilangnya ribet dan gengsi.Kami sudah berada di perjalanan. Aku duduk di
Kini mulutku belum mampu bicara. Seperti yang ia bilang, di dadanya ada gemuruh ombak, pun aku merasakan hal yang sama. Ini bukan ombak lagi, ini seperti gempa bumi.Rasanya wajah ini mendidih dan bakalan terlihat merah seperti tomat matang. Kami masih diam di posisi awal.Feri mendekat. Kami masih di tempat ini. Di tempat yang indah, sejuk dan asri. Makin ia mendekat, jantungku makin berdegup kencang. Ini kacau. Aku tak bisa berlari.Feri tersenyum. "Em-a-." Aku super gugup. Dari dalam hati pita suara ini ingin berkata kalau aku mau segera pulang. Aku ingin marah dan ajak dia pergi. Tapi kenapa sukar sekali? Lagi, aku tak dapat bicara."Kalau aku ingin singgah di hati kamu, gak ada alasan pria lain 'kan, Rel?"Srttttttt!Ia makin mendekat. Tubuh ini makin sukar bergerak. Kami saling mengunci
"Aurel? Feri?"Maya terkejut dengan kedatangan kami ke rutan bermaksud mengunjunginya. "Kalian jenguk aku lagi?" tanyanya. Kini Maya sudah duduk di kursi berhadapan dengan aku dan Feri. Wajahnya lumayan lusuh. Ya, namanya jiga di dalam sel tahanan. Tak seindah di rumah sendiri walaupun rumah itu amatlah kecil dan sederhana."Iya. Apa kabar kamu, May?" tanyaku sambil getar-getar kaki di bawah meja. Sontak bola mata Maya gelagapan mendengar tanya kabar dariku. Padahal ini bukan kali pertama kami bertemu. Tapi, mungkin dia masih belum terbiasa saja bertemu denganku."Baik, Rel. Makasih kamu udah kali ke duanya mengunjungi aku ke sini." Kata-kata Maya mulai memperlihatkan kalau dia sudah berubah menjadi lebih baik. Syukurlah. Memang seperti apa yang pernah aku ceritakan. Sebelumnya pernah mengunjungi Maya."Rel? Perut kamu?" Maya terkejut dengan kondisi perut
PoV Aurel***"Sayang, hari ini aku kepengen makan ketoprak, tapi yang di ujung jalan sana itu loh!" Suamiku Feri merangkulku dari belakang. Saat ini aku sedang minum air mineral sambil berdiri. Hari ini dia dan aku libur ngantor karena hari Minggu. Seperti biasa ia simpan dagunya di bahuku. Dan itu membuatku geli. Momen manja-manja kami tak pernah henti."Ih, geli!""Gimana? Mau gak? Ayok dong!" Ia kekeh ingin ketoprak. Sejak aku hamil, sama sekali aku tak pernah ngidam apapun. Alhamdulillah mual pun hanya di awal-awal saja. Dan ngidam, full dia yang tangani. Kok bisa? Aku pun tak tahu. Tapi biarlah."Iya, sebentar." Aku kembali minum. Dia masih memelukku dari belakang sambil elus-elus perut."Kamu apaan sih? Nanti ada simbok atau bibi, malu," ucapku terkekeh geli. Kadanga Simbok dan Bibi suk
PoV Putri***Namaku Annata Putri Salsabila. Anak satu-satunya dari Papa dan Mamaku. Mereka sudah almarhum. Kecelakaan pesawat beberapa tahun yang lalu telah merenggut nyawa mereka. Singkat sekali perjumpaan kami. Semoga kelak di surga aku dan mereka bisa kembali berkumpul.Aku tinggal bersama Tante Sandra, ia adalah Kakak dari almarhum Papa. Jadi, aku dan Mas Feri sepupuan. Ah, tak kusangka, ia kini sudah menikah dan akan segera mempunyai momongan dari wanita yang di cintainya, Mbak Aurel.Aku mengambil sekolah menengah atas jurusan keperawatan, hingga aku kuliah dan lulus menjadi seorang perawat. Aku lebih memilih menjadi perawat para korban bencana. Termasuk korban kecelakaan pesawat. Ah, itu semua aku lakukan karena kekecewaanku yang tak bisa merawat Papa dan Mama. Hingga aku bertekad ingin menjadi seorang perawat dan memb
PoV Aurel***Hari ini aku sangat bahagia. Tepat di hari ulang tahun pengacara keceku, yaitu suamiku sendiri, Feri, ternyata perutku sudah berisi janin yang kata dokter usianya baru enam minggu. Ah, aku bahagia sekali. Sejak dulu menikah dengan Mas Andri, aku menunda dulu soal momongan, tapi sekarang, setelah menikah dengan Feri, aku tak menggunakan alat kontrasepsi apapun. Itu mauku, juga mau Feri. Kami sudah tak sabar ingin menjadi orang tua. Dan Alhamdulillah, akan segera kesampaian."Sayang? Malam ini kita diner, yuk!" pintanya sambil memeluk tubuhku dari belakang. Dia selalu bertingkah manja."Memang boleh keluar malam?" tanyaku."Boleh, asalkan udah shalat isya. Aku udah siapkan tempat yang spesial untuk kita." Dia bicara lalu mengecup pipiku."Ish! Curi-curi kecupan. Gimana kalau ada simbok?" Aku mencub
PoV Feri***Hari ini, setelah Aurel terbangun dari koma, akad nikah akan kami langsungkan saja. Aku tak mau menunggu lagi hari esok atau lusa. Aku tak mau sampai acara ini di tunda lagi.Hari ini dia sudah membuat jantungku terasa copot. Pas bangun dari koma, dia malah tidak mengenalku. Eh, ternyata dia hanya sandiwara. Dasar Aurel. Di suasana sedih pun dia masih bisa bercanda. Entah apa yang terjadi bila ya, dia hilang ingatan lagi. Ah, aku mungkin sudah tak bisa lagi bicara. Tadi saja, aku sudah merasa tak punya harapan apapun lagi. Dia benar-benar berhasil membuatku kaget setengah mati. Tak hanya aku, tapi semuanya. Bahkan Simbok sampai mau pingsan.Akad nikah akan segera berlangsung. Sebelum mengucap qobul, kutatap wajahnya dengan penuh cinta. Aurel cantik sekali. Benarkah hari ini kami akan menikah? Akad
PoV Feri***"Gimana kabar Aurel, Fer?" Arjuna bertanya mengenai kabar Aurel. Dia sudah makin membaik, kini untuk berjalan pun tidak memakai bantuan kruk."Masih sama." Kuhempas tubuh ini ke sofa. Lalu melonggarkan dasi dan simpan tas di atas meja. Arjuna ikut duduk. Putri datang membawakan kami minuman. Waktu menunjukkan pukul tiga sore. Selesai meeting tadi aku langsung pulang. Nanti akan ke rumah sakit lagi. Sekarang katanya ada Bi Atun di sana. Menunggu Aurel sebelum aku datang."Kasihan ya, Mbak Aurel, Mas. Aku masih gak ngerti kenapa ini harus terjadi. Apalagi ... pernikahan kalian 'kan tinggal beberapa hari lagi." Putri berkomentar dengan lesu."Iya." Aku mendenguskan nafas kembali dorong punggung ke sofa. Netra ini hanya menatap langit-langit rumah yang terasa suram."Sabar, Fer, gue yakin Aurel akan s
Disangka Masih Hilang IngatanPart 91❤️❤️❤️PoV 3***Jadi sebenarnya siapa yang tertembak di keributan halaman hotel?Sebelumnya flashback dulu. Maya adalah anak dari Pak Nadimin dan Bu Samsiah. Ia pergi meninggalkan orang tuanya bermaksud mengadu nasib. Maya tak bicara pada orang tuanya perihal dirinya yang ternyata berangkat keluar negeri sepuluh tahun yang lalu.Maya lewat penyalur tenaga kerja Indonesia sepuluh tahun yang lalu telah di berangkatkan ke negeri gajah putih atau itu adalah sebutan untuk negara Thailand. Ia bekerja hingga akhirn
Siang ini aku dan Feri memutuskan untuk makan siang terlebih dahulu. Ingin temui wanita yang bernama Maya itu, takutnya ia masih istirahat. Jadi setelah makan siang aku putuskan untuk menemuinya."Sayang, besok kita fitting baju pengantin. Besok aku jemput kamu, ya? Hari ini, em maksudnya siang ini aku ada meeting. Tapi nanti jam satu. Setelah zuhur," kata kekasihku Feri. Ah, ini masih seperti mimpi."Oke. Em, Fer, kamu jangan panggil aku sayang dong. Agak gimana gitu! Aurel aja ya?" Aku masih malu-malu."Loh? Kenapa? Ya sudah, aku panggil kamu Aurel. Aurel Sayang." Dia malah tersenyum.Aku merasa malu. "Ah, terserah lah. Asal sayangnya jangan cuma di bibir," ucapku."Lalu harus dimana lagi?" tanyanya."Ya ... hati sama ucapan kamu harus selaras. Jangan bohong.""Lalu, bagaimana ka
"Siapa itu, Pak?" Aku bertanya pada Pak Satpam. Ada dua buah mobil ternyata. Bukan cuma satu saja yang datang.Feri masih ada di dalam mobil. Hati ini masih agak senyam-senyum karena Feri ternyata telah mengungkapkan perasaannya padaku. Dan ternyata aku baru sadar, perasaanku selama ini adalah rasa nyaman yang berakhir mencintainya pula.Mobil itu berhenti di sampingku. Pintu mobil mulai membuka.Benar-benar kaget."Hah? Tante Sandra? Putri? Itu, siapa lagi?" ucapku heran.Lalu, Feri keluar. Ia malah senyam-senyum seperti tahu dengan apa yang terjadi. Bola mata ini malirik kesana kemari. Ke arah dua mobil itu, juga ke arah Feri."Silahkan masuk, silahkan!"Teg!Tiba-tiba Simbok dan Bi Atun menyuruh mereka masuk. Aku nyatanya masih heran. "Fer?" Aku menegur Feri.