‘Ya Tuhan, aku harus bagaimana? Baru saja hubungan kami membaik, namun sekarang harus kembali diterpa kenyataan pahit ini,’ Febby membatin menunggu suaminya yang masih membersihkan diri.Tak berselang lama Rangga keluar dari dalam kamar mandi. Bahkan saat Febby mengajaknya makan pria itu menggeleng dan duduk di depan TV. Pikirannya mulai tak tenang, cemas berlebih tengah ia rasakan saat ini. Namun Rangga tetap harus bicara dengan sang istri, meski berat sepertinya ini adalah keputusan terbaik untuk mereka.Sebab kenyataan yang paling menyakitkan bagi seorang laki-laki adalah ketika dia divonis mandul. Hal inilah yang kini dirasakan Rangga. Hatinya sangat perih dan terasa teriris.Hubungannya dengan Febby yang baru saja membaik seolah tak lagi ada artinya setelah kabar buruk itu. Rasa pahit menggerogoti batinnya, dan dia merasa telah mengecewakan Febby.Rangga duduk termenung, mengingat hasil pemeriksaan medis yang telah mengubah hidupnya. Ucapan dokter Irwan terngiang-ngiang dalam be
"Sudah kuduga sejak dulu kalau kau hanya pria payah yang menyusahkan. Sudah miskin, mandul pula. Haduuuuh, kebangetan kalau sampai manusia sepertimu masih tak punya harga diri dan bertahan di sini," sindir Mayang dengan nada sinis.Mayang tak pernah peduli apakah ucapannya akan menyakiti orang lain atau tidak. Yang jelas, bagi dirinya, menantu gembelnya ini harus segera disingkirkan.Sementara itu, Rangga memilih untuk segera keluar dari rumah dan menuju ke kantor. Emosinya bisa saja meledak bila terus-menerus berada di tempat itu. Ia tak tahu sampai kapan dirinya bisa menahan amarah yang sudah berada di ujung tanduk.Pikirannya kacau. Sepanjang perjalanan, Rangga terus berpikir tentang apa yang harus dia lakukan. Apakah benar dirinya harus memilih pergi dari kehidupan wanita yang sangat ia cintai, ataukah ia bertahan?Namun, hati kecilnya menolak untuk bertahan. Meskipun cintanya pada Febby begitu besar, Rangga tidak ingin menyaksikan wanita itu terluka dalam jangka waktu yang lama.
Febby berdiri terpaku saat suaminya, Rangga, bergegas ingin meninggalkan restoran tanpa menoleh ke arahnya sekalipun. Amarah bergejolak dalam hati Febby. Febby berlari kecil lalu menahan sang suami dengan menarik tangannya.“Rangga, tunggu! Kau tahu kan, kalau aku di sini hanya sedang makan siang bersama Pak Bayu, beliau atasan di kantorku, dan ini masih dalam jam kantor. Aku harap kau tak cemburu lalu menjadikan pertemuan kita ini sebagai alasan untuk bertengkar lagi di rumah,” suara Febby tampak kesal.Dia mulai paham dengan sifat suaminya, kalau marah pria itu menghilang tanpa jejak. Febby takut suaminya sengaja mencari-cari kesalahannya.Rangga, yang semula hanya ingin keluar tanpa keributan, menghentikan langkahnya, napasnya tertahan. “Febby, ini bukan soal cemburu. Aku tahu banyak sekretaris yang menemani bosnya makan siang, aku tidak tidak sedang menuduhmu selingkuh. Aku juga punya kegiatan yang harus aku kerjakan lagi.” Febby menelan ludah, matanya berkaca-kaca karena air m
“Aaaah,” Bayu mendesah.“Kalau aku bisa memuaskanmu, kau tak perlu lagi mencari wanita diluar sana, aku akan mengobati sakitmu itu,” bisik Mayang di samping telinga Bayu.Mayang masih berdiri di depan kursi kebesaran Bayu, dengan sengaja mendekatkan dadanya ke bibir Bayu.Pria itu segera menyusu seperti bayi yang sedang lamar. Ternyata benar kata Mayang, dia merawat tubuhnya dengan sangat baik, buktinya di usianya yang sudah 50 tahun dadanya masih kencang dan besar.Bayu juga mendengar dia pernah mengoperasi wajahnya, hingga tak ada keriput yang terlihat.“Kau menyukainya kan sayang?” tanya Mayang. Saat mulutnya sibuk mengulum puncak dada Mayang, pria itu mengangguk.“Jujur aku lama sekali tidak merasakan kenikmatan sentuhan pria, tapi sejak malam itu aku tak bisa tidur sayang. Meski kita belum menemukan pelaku dan motifnya, tapi setidaknya kita mendapat kepuasan yang tak bisa dibayar oleh uang.”Bayu kembali mengangguk menyetujui membuat Mayang tersenyum bahagia.“Buka sayang,” kata
"Katakan padaku, Rangga, kamu mau pergi ke mana? Kamu tidak sedang menghindariku, kan?" suara Febby bergetar, matanya berkaca-kaca sementara air mata mulai menelusuri pipinya yang pucat. Dia merasa seolah-olah setiap sudut rumah ini menyembunyikan cerita duka dari pertengkaran-pertengkaran kecil yang kian menumpuk, merajam ke dalam fondasi cinta yang mungkin tak pernah benar-benar ada. Rangga menarik napas dalam-dalam dan duduk lesu di tepi tempat tidur. Tatapannya menerawang, mencari kata-kata yang tepat, seolah berusaha menenangkan ombak kegundahan yang melanda Febby. "Aku ada perjalanan kantor selama beberapa bulan di West Country," ucapnya pelan, mencoba memberi penjelasan namun suaranya tertimbun oleh beratnya ketidakpastian.Febby memicingkan mata menatap ke arah suaminya. "Ini bukan karena kamu ingin menghindar kan?” tanya FebbyRangga menggeleng, “buat apa aku menghindarimu. Kalau kamu tidak percaya, tanyakan saja pada Pak Brian tentang kebenarannya," lanjut Rangga, berboho
Rangga memutuskan untuk mengajak Febby makan malam romantis di restoran seafood ternama di pusat kota. Mereka berdua sengaja memilih taksi online sebagai alat transportasi untuk menghindari amarah mama tiri Febby yang pasti membara jika mengetahui Rangga menyentuh mobil Febby. Tiba di restoran, tanpa reservasi terlebih dahulu, mereka disambut hangat oleh pelayan yang ramah, namun tanpa perlakuan istimewa. Rangga dan Febby memilih meja di sudut ruangan, tepat di samping kolam ikan koi yang menenangkan. Keduanya saling bertatapan, mata Rangga memancarkan kegundahan. Sambil menggenggam tangan Febby, Rangga mencoba merangkai kata demi kata dengan penuh kelembutan, berusaha menciptakan momen malam yang sempurna. Dia sadar, malam ini adalah malam terakhir mereka bersama sebelum rencana pemisahan sementara mereka dimulai esok hari. "Mudah-mudahan perpisahan ini benar, Feb. Semoga kita bisa belajar lebih banyak tentang diri kita sendiri," gumam Rangga dalam hati, penuh dengan harapan da
"Febby, sebaiknya kamu pikirkan lagi hubunganmu dengan pria miskin itu. Kamu berhak mendapatkan yang lebih baik daripada dia," kata tetangga yang masih berdiri di depan rumah Febby. Ucapannya seolah melayang tajam menembus hening pagi. Dengan suara penuh tegas, Febby membalas, "Sudah, Ibu. Tolong jangan terlalu keras mencampuri urusan rumah tangga kami." Wajahnya merah padam, matanya berkaca-kaca menahan amarah yang hampir meluap. Kejadian itu hampir memuncak ketika ibu tirinya hampir menampar dia, tapi Rangga dengan sigap menghalangi. "Coba kalian pikir, suami mana yang bisa tenang melihat istrinya terus dicaci maki oleh Mama tirinya sendiri!" teriak Febby. Suaranya menggelegar, mengundang tatapan terperanjat dari orang-orang di sekitarnya. Tanpa menunggu jawaban atau respon lebih lanjut, Febby berlalu cepat masuk ke dalam rumah. Langkahnya gegas, perasaan bergejolak dan kerumunan orang-orang di luar berangsur menghilang. Febby harus segera pergi ke kantor, mencoba meredam gemur
Dengan sabar Mayang menunggu, tiba-tiba Bayu mengirim pesan ada meeting dadakan dan dia tak jadi menemui Mayang. “Siaaaal. Aku harus pulang tangan kosong. Uangku benar-benar habis. Belum lagi kalau Febby tahu uangnya hilang, aku pasti ribut dengannya.”Mayang memilih duduk di sebuah coffee shop menenangkan hatinya sejenak. Sebelum pulang ke rumah.****Febby pulang dari kantor dengan perasaan lelah, tetapi juga senang karena hari ini semuanya berjalan sesuai rencana. Pekerjaan yang menumpuk berhasil ia selesaikan, dan kini yang ada di pikirannya hanyalah istirahat. Setelah membuka pintu depan rumah, dia langsung berjalan menuju kamarnya. Namun, sebelum beristirahat, Febby ingat bahwa dia perlu mengambil sejumlah uang tunai dari dalam lemari untuk membayar beberapa tagihan keesokan harinya.Dia membuka pintu lemari dengan santai, merogoh ke dalam laci tempat dia biasa menyimpan uang. Namun, sesuatu yang aneh membuat alisnya berkerut. Tangannya tidak menemukan apa-apa. Perlahan, Fe