"Katakan padaku, Rangga, kamu mau pergi ke mana? Kamu tidak sedang menghindariku, kan?" suara Febby bergetar, matanya berkaca-kaca sementara air mata mulai menelusuri pipinya yang pucat. Dia merasa seolah-olah setiap sudut rumah ini menyembunyikan cerita duka dari pertengkaran-pertengkaran kecil yang kian menumpuk, merajam ke dalam fondasi cinta yang mungkin tak pernah benar-benar ada. Rangga menarik napas dalam-dalam dan duduk lesu di tepi tempat tidur. Tatapannya menerawang, mencari kata-kata yang tepat, seolah berusaha menenangkan ombak kegundahan yang melanda Febby. "Aku ada perjalanan kantor selama beberapa bulan di West Country," ucapnya pelan, mencoba memberi penjelasan namun suaranya tertimbun oleh beratnya ketidakpastian.Febby memicingkan mata menatap ke arah suaminya. "Ini bukan karena kamu ingin menghindar kan?” tanya FebbyRangga menggeleng, “buat apa aku menghindarimu. Kalau kamu tidak percaya, tanyakan saja pada Pak Brian tentang kebenarannya," lanjut Rangga, berboho
Rangga memutuskan untuk mengajak Febby makan malam romantis di restoran seafood ternama di pusat kota. Mereka berdua sengaja memilih taksi online sebagai alat transportasi untuk menghindari amarah mama tiri Febby yang pasti membara jika mengetahui Rangga menyentuh mobil Febby. Tiba di restoran, tanpa reservasi terlebih dahulu, mereka disambut hangat oleh pelayan yang ramah, namun tanpa perlakuan istimewa. Rangga dan Febby memilih meja di sudut ruangan, tepat di samping kolam ikan koi yang menenangkan. Keduanya saling bertatapan, mata Rangga memancarkan kegundahan. Sambil menggenggam tangan Febby, Rangga mencoba merangkai kata demi kata dengan penuh kelembutan, berusaha menciptakan momen malam yang sempurna. Dia sadar, malam ini adalah malam terakhir mereka bersama sebelum rencana pemisahan sementara mereka dimulai esok hari. "Mudah-mudahan perpisahan ini benar, Feb. Semoga kita bisa belajar lebih banyak tentang diri kita sendiri," gumam Rangga dalam hati, penuh dengan harapan da
"Febby, sebaiknya kamu pikirkan lagi hubunganmu dengan pria miskin itu. Kamu berhak mendapatkan yang lebih baik daripada dia," kata tetangga yang masih berdiri di depan rumah Febby. Ucapannya seolah melayang tajam menembus hening pagi. Dengan suara penuh tegas, Febby membalas, "Sudah, Ibu. Tolong jangan terlalu keras mencampuri urusan rumah tangga kami." Wajahnya merah padam, matanya berkaca-kaca menahan amarah yang hampir meluap. Kejadian itu hampir memuncak ketika ibu tirinya hampir menampar dia, tapi Rangga dengan sigap menghalangi. "Coba kalian pikir, suami mana yang bisa tenang melihat istrinya terus dicaci maki oleh Mama tirinya sendiri!" teriak Febby. Suaranya menggelegar, mengundang tatapan terperanjat dari orang-orang di sekitarnya. Tanpa menunggu jawaban atau respon lebih lanjut, Febby berlalu cepat masuk ke dalam rumah. Langkahnya gegas, perasaan bergejolak dan kerumunan orang-orang di luar berangsur menghilang. Febby harus segera pergi ke kantor, mencoba meredam gemur
Dengan sabar Mayang menunggu, tiba-tiba Bayu mengirim pesan ada meeting dadakan dan dia tak jadi menemui Mayang. “Siaaaal. Aku harus pulang tangan kosong. Uangku benar-benar habis. Belum lagi kalau Febby tahu uangnya hilang, aku pasti ribut dengannya.”Mayang memilih duduk di sebuah coffee shop menenangkan hatinya sejenak. Sebelum pulang ke rumah.****Febby pulang dari kantor dengan perasaan lelah, tetapi juga senang karena hari ini semuanya berjalan sesuai rencana. Pekerjaan yang menumpuk berhasil ia selesaikan, dan kini yang ada di pikirannya hanyalah istirahat. Setelah membuka pintu depan rumah, dia langsung berjalan menuju kamarnya. Namun, sebelum beristirahat, Febby ingat bahwa dia perlu mengambil sejumlah uang tunai dari dalam lemari untuk membayar beberapa tagihan keesokan harinya.Dia membuka pintu lemari dengan santai, merogoh ke dalam laci tempat dia biasa menyimpan uang. Namun, sesuatu yang aneh membuat alisnya berkerut. Tangannya tidak menemukan apa-apa. Perlahan, Fe
"Kunci mobil mana? Mama mau keluar. Bosan di rumah sama anak pelit dan tak tahu terima kasih sepertimu," kata Mayang dengan mata nyalang.Febby menghentikan pembicaraannya dengan Rangga. Ia menghampiri sang mama tiri di depan kamarnya. Jantungnya berdebar saat mengingat bagaimana sang mama tiri terus menekannya."Ini bukan soal pelit, Ma. Kadang Febby nggak ngerti sama Mama. Padahal Mama tahu tagihan di rumah ini banyak, tapi Mama tetap ambil ATM Febby, juga sering pakai M-banking Febby. Sekarang uang tunai pun Mama habiskan. Coba Mama jadi Febby sebentar saja, Ma. Berapa lama sudah Febby bekerja hanya untuk Mama? Mama selalu bilang kalau Mama berhak atas hidup Febby karena Mama yang besarin Febby. Kenapa nggak Mama taruh aja dulu Febby di panti asuhan, Ma?"Febby tak kuasa membendung amarahnya. Dia merasakan dadanya seperti terhimpit batu besar."Tutup mulutmu, Febby! Sini kunci mobilnya!" teriak Mayang, mulai tersulut emosi.Febby mengambilnya di atasa meja, lalu menyerahkan kunci m
“Masuklah, bukankah kalian sama-sama butuh uang? Tak ada salahnya kan kalau kalian menyenangkan aku bersamaan?”Bayu tersenyum penuh kemenangan.“Dan kamu sudah tahu kan, kalau anak kesayanganmu ini sebenarnya wanita penghibur?” Bayu kembali memberi ketegasan pada kedua wanita di hadapannya ini.Sebetulnya tadi Bayu memesan wanita malam dari salah satu tempat hiburan malam untuk menemaninya di hotel, lalu dia terkejut saat melihat Rossa yang datang. Penyakit hiperseks yang dideritanya membuat Bayu harus menyalurkan hasrat setiap hari.Dia tak puas bila hanya bermain solo, dia lebih suka dilayani.Jujur saja, Bayu sebenarnya tidak masalah kalau dia bergumul di atas ranjang dengan wanita yang lebih dewasa, Asal wanita itu bisa melayaninya dengan baik, sementara Mayang baginya cukup nikmat dan pandai memuaskannya. Brak Bayu melempar dua buah amplop di atas meja, lalu pria itu pun berucap, “ambil uang ini. Lalu puaskan aku. Jangan munafik lah kalian, aku hanya dipuaskan, karena hatiku s
Bayu menoleh, orang itu adalah wanita yang sama yang melabrak Febby di kantor.“Ngapain kamu di sini? Dengan nenek-nenek pula,” cibirnya lagi.Mayang hendak memukul wanita itu, Bayu berhasil menghalangi.“Nenek-nenek tapi di atas ranjang dia sangat hebat, gak seperti kamu!” hina Bayu.“Kauuu!” geramnya.“Ayo kita pulang, abaikan saja dia. Gak penting,” kata Bayu.Mereka berjalan beriringan menuju ke parkiran hotel, Mayang dan Rossa masuk ke dalam mobil yang sama.Hari ini keduanya bisa full senyum seakan menemukan pohon uang. Mayang tahu harta kekayaan keluarga Bayu tak akan habis hingga tujuh turunan. Itu sebabnya dia sangat ingin Febby menikah dengan Bayu. Karena Mamanya Bayu sangat menyukai Febby. Dan Mayang juga berharap bisa kecipratan uang dari Bayu.“Besok-besok, jangan datang lagi bila Bayu menghubungimu," ucap Mayang dengan tegas pada anaknya. Rossa, yang mendengar permintaan sang mama, merasa kesal. "Mama, aku juga butuh uang, jadi kapan pun dia minta, aku pasti mau. Seharu
"Ya Tuhan!" jerit Febby.Wanita itu segera turun dari dalam mobilnya untuk melihat keadaan di luar, dan ternyata kecelakaan itu berhasil mereka hindari. Febby mengusap dadanya, merasa lega karena terhindar dari masalah di jalan raya.Hampir saja kecelakaan di jalan menimpa Febby, beruntung dia bisa mengendalikan dirinya."Anda tidak apa-apa?" tanya pengemudi lain.Febby menggeleng."Syukurlah," kata pengemudi itu. Untung keduanya cepat menghindar hingga kecelakaan akhirnya terhindarkan.Setelah memastikan tidak ada masalah di sana, lalu lintas pun kembali lancar, dan Febby melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang menuju kantor milik Bayu.Sepanjang perjalanan, Febby tak bisa melupakan rasa sakitnya atas ucapan sang mama yang seakan menghinanya."Aku gak mau hidupku terus seperti ini, aku harus pergi dari rumah," kata Febby sambil terus menangis di dalam mobil.Dia merasa sikap mama tirinya tidak adil terhadapnya. Selalu saja diungkit perkara membesarkan Febby, padahal Bibi yang memb