"Saya terima nikah dan kawinnya Ayana Zahira Binti almarhum Ahmad Husein dengan seperangkat alat sholat dibayar tunai!"
"Bagaimana para saksi?" Tanya salah seorang pendamping penghulu. "Sah." Sahut para saksi yang menghadiri pernikahan kedua mempelai yang baru saja resmi menjadi sepasang suami isteri. "Sah, alhamdulillah barakallah." Disusullah sahutan Bapak Penghulu. Tampak raut wajah pemuda tampan bernama Zulfahmi begitu sangat bahagia dengan hati yang lega atas resminya ia menjadi seorang suami bagi gadis yang bernama Ayana. Ayana Zahira resmi menjadi Isteri Zulfahmi. Ia adalah gadis lulusan pada salah satu Pondok Pesantren terbaik diwilayah barat pulau Jawa. Berawal bertemu dengan suaminya ketika Zulfahmi mengantarkan kakaknya yang bernama Zaidan saat berkunjung untuk mengunjungi Guru Zaidan di Pondok Pesantren tersebut. Ketika Zaidan sedang menemui tuan guru, Zulfahmi meminta izin kepada Zaidan untuk berkeliling melihat suasana disekitar Pondok Pesantren. Namun ketika Zulfahmi berjalan menyusuri lorong Pondok justru menemukan sosok gadis yang sangat manis, polos, dengan wajah yang teramat teduh yang sedang bercengkerama dengan santriwati lainnya. Pandangan pertamanya mampu membuat hati Zulfahmi terpikat dan begitu terpesona dengan paras manis tanpa riasan tersebut. Tidak sengaja Ayana menangkap sepasang bola mata yang sedang memperhatikannya. Namun ia segera beranjak dan pergi menjauh. Karena pantang baginya bukan mahrom saling berpandangan. Melihat ekspresi Ayana yang pergi menjauh, membuat Zulfahmi segera berjalan menghampiri Zaidan yang ternyata telah berdiri didepan rumah gurunya yang kerap disapa Kyai Akbar. "Dari mana kamu Fahmi? Tidak membuat onar kan?" Ujar Zaidan yang menoleh kearah Fahmi. "Maaf Kak, aku baru saja dari arah sana dan bertemu dengan gadis yang telah membuat aku jatuh hati." Ucap lirih Fahmi dengan berbisik-bisik dan menunjuk kearah dimana Ayana berada. " Siapa?" Tanya Zaidan tampak penasaran. "Aku tidak tahu kak." Jawab Fahmi dengan sedikit menunduk karena Kyai Akbar rupanya telah mendengar percakapan mereka walau dengan suara lirih. "Siapa ini Zidan?" Kyai Akbar bertanya kepada Zaidan. Zaidan kerap sekali dipanggil dengan sebutan Zidan. Keseluruhan memanggilnya Zidan. Bahkan keluarganya pun juga. "Alafu Kyai, ini adik saya." Zidan menjawab dengan menyenggolkan lengannya pada tubuh Fahmi untuk memberikan kode supaya Fahmi memperkenalkan diri dan menyalami Kyai Akbar guru besarnya selama Zidan belajar di Pondok Pesantren. Fahmi pun tersadar ketika kakaknya menyenggolnya dan memberikan kode. "Zulfahmi, Kyai." Fahmi kemudian mengulurkan tangannya dan segera mencium punggung tangan milik Kyai Akbar. "Na'am. Mari masuk nak, singgah dulu kegubuk kami." Ujar Kyai Akbar yang merendahkan diri untuk mempersilahkan Fahmi dan Zidan masuk kedalam rumahnya yang ia sebut sebagai gubuknya. "Baik, Kyai." Zidan menyahut dan menarik tangan Fahmi untuk mengekori Kyai Akbar masuk kedalam rumahnya. Kyai Akbar mempersilahkan keduanya untuk duduk di sofa empuk yang terdapat beberapa ukiran dibagian pinggirnya. "Umiiii." Ucap Kyai Akbar dengan suara beratnya. Tidak lama kemudian keluarlah seorang wanita setengah baya menggunakan gamis panjang berwarna hitam. Namanya Umi Farida. Ia adalah isteri Kyai Akbar. Wajahnya teduh dan damai, selalu murah senyum dan tampak sekali seperti tidak pernah merasakan adanya beban hidup dalam dirinya. "Nak, Zidan? Sejak kapan kamu datang?" Sapa Umi Farida kepada Zidan. Jelas Umi Farida mengenali Zidan, karena Zidan salah satu Santri yang sangat sopan, baik, rendah hati, penurut dan tidak pernah macam-macam bahkan membuat onar selama belajar di Pondok Pesantren nya. "Belum lama, Umi. Umi, bagaimana kabarnya? Sehat kah, Umi?" Zidan tampak senang sekali bertemu kembali dengan Umi Farida yang sudah ia anggap sebagai Ibu kandung ketika berada di Pesantren kurang lebih enam tahun lamanya. "Alhamdulillah, Zidan. Umi sehat wal afiat." Umi Farida menjawab lalu duduk mendekati Kyai Akbar. Belum sempat percakapannya berlanjut, muncullah gadis manis berwajah teduh membawakan nampan dengan beberapa minuman didalam cangkir. Gadis itu melemparkan senyuman manisnya masih dalam keadaan menunduk tidak berani untuk menatap terlalu lama wajah-wajah pria yang sedang berada di hadapannya, takut berdosa. Fahmi terkejut karena yang mengantarkan minuman adalah gadis yang telah membuat ia jatuh hati pada pandangan pertamanya. Segera Fahmi menyenggolkan kakinya pada kaki Zidan. Dengan cepat Zidan paham dengan apa yang dimaksud Fahmi. Gadis itu tidak ingin berlama-lama berada dalam ruangan yang terdapat beberapa pria. Ia segera beranjak masuk kedalam dan meninggalkan Zidan, Fahmi, Kyai Akbar serta Umi Farida. "Kamu masih mengenalnya, Zidan?" Umi Farida bertanya kepada Zidan. "Siapa kah dia, Umi?" Zidan tampak tidak mengenali gadis yang Umi maksud. "Ayana." Umi menyahut dengan singkat. "Gadis kecil yang dulu sering kamu bela, ketika beberapa temannya membuli lantaran ia tidak memiliki keluarga." Sambung Kyai Akbar. Zidan tampak mencoba mengingat-ingat kembali tempo dulu ketika ia masih menuntut ilmu di Pesantren. "Betulkah dia Ayana yang itu?" Zidan tampak menebak dengan mengingat memori nya yang telah lama itu. Kyai Akbar dan Umi Farida mengangguk dengan kompak. "Betul, Zidan. Dia Ayana." Kyai Akbar membenarkan jawaban dari Zidan. "Gadis Yatim Piatu itu?" Sambung Zidan untuk memastikannya kembali. "Iya, nak Zidan. Sekarang dia sudah tumbuh besar menjadi sosok yang lebih dewasa. Bahkan ia turut mengajar beberapa santriwati disini." Umi Farida menjelaskan supaya Zidan lebih paham dalam mengingatnya. "MasyaAllah, saya hampir tidak mengenalinya, Kyai, Umi." Zidan terkekeh dan pikirannya berkecamuk betapa manis dan anggunnya gadis yang dulu sering ia bela semasa masih di Pesantren. Kyai dan Umi hanya saling berpandangan dan saling tersenyum. "Maaf, Kyai, Umi. Boleh kah saya mengenalnya?" Tiba-tiba Fahmi membuka suara atas apa yang sedang ada dalam benaknya. Kyai Akbar dan Umi saling berpandangan. "Hussttt." Zidan menyenggol kaki Fahmi. "Kalau boleh tahu, mengenal dalam arti seperti apa nak Fahmi?" Kyai Akbar bertanya dan memasang wajah yang lebih serius. "Ayana ini sekarang menjadi tanggung jawab kami, dia sudah kami anggap sebagai anak kandung kami. Bahkan Ayana sendiri ingin mengenal laki-laki ketika ia sudah menjadi isteri dari laki-laki tersebut." Kyai Akbar kembali melanjutkan pembicaraannya. "Betul nak, Ayana ingin langsung menikah. Karena ilmu agamanya sudah cukup bagus untuk faham dengan apa yang diterapkan dalam agama kami." Sambung Umi Farida yang matanya melirik ke Zidan. Fahmi kemudian memandang Zidan dengan penuh harap. "Na'am, Kyai, Umi." Zidan menyahut tanda faham dengan apa yang dimaksud Kyai dan Umi. Tidak lama kemudian Zidan berpamitan kepada Kyai Akbar dan Umi Farida. Kyai Akbar dan Umi Farida mengantarkan Zidan dan Fahmi berjalan hingga tepat didepan teras rumahnya. Tampak para santri dan santriwati berlalu lalang. "Pikirkan baik-baik ya niat baik kalian, entah siapa diantara kalian yang akan menjadikan pendamping Ayana, semoga diberikan jalan yang terbaik." Kyai Akbar menepuk pundak Zidan dan Fahmi berharap diantara keduanya ada yang bersedia menjadikan Ayana sebagai pasangan hidupnya. Ucapan Kyai sangatlah melekat dalam benak Zidan dan Fahmi. Keduanya tampak memikirkannya. Namun Zidan mengetahui hati adiknya yang terlihat begitu mencintai Ayana pada pandangan pertamanya. Apakah Zidan juga menyukai Ayana lalu harus mengorbankannya demi adiknya? "Kami tunggu kabar baiknya segera ya, sebelum di serobot oleh orang lain!""Ayana." Panggil Fatimah dengan lembut pada menantu barunya. Fatimah adalah Ibunda dari Zulfahmi dan Zidan. "Iya, Ibu." Ayana menyahuti dengan nada lirih nan lembut. "Kamu tidak apa kan nak jika tinggal bersama kami? Nanti kalau Fahmi sudah memiliki rumah kamu bisa tinggal berdua dengan suamimu." Ucap sang Ibu Fatimah yang sedang mengusap pundak Ayana dengan halus. "Baik Ibu, tidak apa-apa. Kemanapun Mas Fahmi tinggal, aku telah bersedia untuk menemaninya." Jawab Ayana dengan pandangan teduh dan anggunnya. Ayana tampak manis dan sangat elegan dengan riasan tipisnya. "Alhamdulillah, terima kasih ya nak Ayana. Hatimu cantik seperti parasmu sayang." Tangan Fatimah mengusap lembut pipi Ayana. Ayana menggenggam erat jemari Fatimah. Ia dapat merasakan kehangatan seorang Ibu. Mengingat Ibu Ayana yang telah pergi ke surga lebih dahulu. Fatimah memeluk menantu barunya, dan sesekali Fatimah mengecup pucuk kepala milik Ayana. "Assalamu'alaikum." Ucap salam Fahmi yang tengah memasuki kamar
"Ayana, kamu tidak apa-apa?" Tanya Bu Fatimah pada Ayana yang sedari tadi pandangannya menerawang jauh keluar sana."Tidak apa-apa, Ibu. Ayana hanya bersedih saja karena meninggalkan Kyai Akbar dan Umi Farida yang sudah Ayana anggap seperti orang tua kandung sendiri. Mereka begitu sangat menyayangi Ayana sedari kecil hingga sampai saat ini. Bahkan Pondok Pesantren sendiri sudah menjadi rumah bagi Ayana selama bertahun-tahun lamanya." Ayana menjelaskan sedikit perasaannya.Ibu Fatimah menggenggam dan mengusap lembut tangan milik menantu baru nya. Ia dapat merasakan betapa sedihnya Ayana meninggalkan semuanya."Sudah, Bu. Biarkan saja Ayana menenangkan dirinya. Mungkin ia sedang menstabilkan emosinya karena harus pindah jauh dari Pesantren serta Kyai dan Umi." Nabila berucap untuk memberikan waktu bagi Ayana untuk beradaptasi dengan keluarga baru dan lingkungan yang baru.Terlihat dari kaca spion, Zidan memperhatikan Ayana yang sedang mengusap air matanya menggunakan tissue.Namun sialn
"Dek, terima kasih ya." Ucap Fahmi berbisik didekat daun telinga milik Ayana.Ayana tampak lemas, namun gairahnya belum kunjung surut.Maklum saja, mereka pengantin baru. Sama-sama baru perdana merasakan surga dunia seperti yang disebut oleh banyak orang.Malam itu, menjadi malam yang sangat panjang bagi Ayana dan Fahmi. Sepasang pengantin baru yang menikmati indahnya kebersamaan.Entah sudah berapa ronde, sehingga ketika menjelang subuh keduanya tampak lemas dan tidak berdaya."MasyaAllah, cantik sekali Isteriku ini. Beruntung aku bisa mendapatkan kamu, sayang." Gumam Fahmi ketika melihat Ayana masih tidur nyenyak tidak berdaya akibat gempuran dari Fahmi.Fahmi beranjak dari tempat tidurnya, ia segera membersihkan tubuhnya.Karena setelahnya akan melaksanakan sholat subuh.Setelah tubuhnya sudah bersih dan wangi, ia segera membangunkan Isterinya yang masih terlelap."Sayang, Dek bangun. Sudah mau subuh. Kamu segera mandi ya. Nanti kita sholat berjama'ah." Perintah Fahmi kepada Ayana
"Bagaimana dokter dengan kondisi menantu saya?" Bu Fatimah menanyakan kondisi terkini menantunya, Ayana."Saudari Ayana baik-baik saja, Bu. Hanya saja kondisinya sedikit menurun karena kelelahan dan kurang tidur sepertinya. Usahakan jangan telat makan dan banyak beristirahat ya." Sang dokter pun menjawabnya."Baik, dokter. Apapun segera lakukan dok supaya menantu saya segera sembuh dan cepat kembali pulang ke Rumah." Perintah Bu Fatimah, ia menginginkan Ayana lekas sembuh dan segera pulang sebelum Fahmi lepas tugas dari pekerjaannya sebagai Pilot di salah satu Maskapai ternama di Indonesia ini."Baik, Bu. Boleh segera selesaikan ke bagian administrasinya ya." Jeda. "Apakah Bapak suami dari Saudari Ayana?" Tanya dokter pada Zidan.Zidan membisu dan langsung melirik ke arah sang Ibu."Iya, dokter. Nanti akan segera diselesaikan oleh anak saya." Sahut Bu Fatimah dengan segera dan mengedipkan mata ke arah Zidan."Baik Ibu, Bapak. Kalau begitu saya izin pamit. Nanti kalau terjadi apa-apa,
"Maaf, Kak. Kaki aku lemas sekali." Ucap Ayana dengan pandangan yang tidak nyaman karena dengan tidak sengaja telah menindih tubuh Zidan.Deg!Hati Zidan menjadi melayang seketika, ketika tubuh Ayana berada dalam pelukannya secara tidak sengaja.Membuat iman seorang Zidan menjadi goyah.Zidan yang mendapatkan tubuh Ayana telah berada di atasnya. Kemudian dengan terpaksa menyentuh lengan Ayana dan membantu Ayana untuk bangun dari posisinya."Za, kamu kenapa?" Tanya Zidan kepada Ayana.Ayana hanya meringis saja karena semua ini adalah kesalahannya yang berawal dengan ketidaksengajaan."Aku lapar, Kak. Ingin mengambil cemilan niatnya. Eh aku malah sempoyongan dan terjatuh ke tubuh, Kak Zid." Jelas Ayana dengan nada pelannya."Untung kamu jatuh ke tubuhku, coba kalau jatuh ke lantai. Pasti tubuh kamu semakin sakit." Jawab Zidan yang berjalan memapah tubuh Ayana."Hehe iya maaf, Kak.""Kenapa kamu tidak membangunkan aku saja?" Tanya Zidan sambil membantu Ayana untuk naik kembali ke atas ra
Hujan begitu deras malam ini. Suasana malam terasa dingin dan sepi. Hanya ada suara petir yang saling sahut menyahut.Ayana terbangun dari tidur lelapnya. Tenggorokan nya pun terasa sangat kering.Ayana beranjak dari tempat tidurnya dan segera melangkahkan tungkainya keluar kamar untuk segera berjalan menuju dapur yang berada di lantai bawah.Kondisi tubuhnya sudah terasa sehat, namun masih ada rasa lemas sedikit pada bagian tungkai kakinya.Ia berjalan menyusuri dinding kamar luar. Dan melewati kamar Zidan yang sedikit terbuka.Ia mendengar suara Zidan melantunkan ayat suci, namun Ia berusaha untuk tidak mengintip ke arah kamar Zidan. Karena dirasa cukup tidak sopan dan tidak baik jika melihat ke dalam kamar tanpa seizin pemilik Kamar.Ayana berjalan perlahan menuruni anak tangga. Sebagian lampu beberapa ruangan sudah di padamkan oleh Bu Fatimah.Dengan langkah perlahan akhirnya Ayana sampailah di dapur dan mengambil segelas air minum untuk melepaskan keringnya tenggorokan.Zidan yan
"Karena sebenarnya... Aku menyayangimu, Kak." Akhirnya Ayana memberikan sebuah pengakuan kepada Zidan.Sungguh menjadi sebuah tamparan halus untuk Zidan, ketika mendapati seseorang yang sangat ia sayangi dan ia cintai mengakui akan perasaan yang sama.Bagaimana kah ini? sedangkan disatu sisi Ayana sudah menjadi milik orang lain, bahkan adiknya sendiri.Zidan merasa bersalah atas perasaannya selama ini. Mengapa ia tidak melamar Ayana dengan segera ketika dirinya sudah kembali ke Indonesia saat sudah menyelesaikan studynya dari Kairo."Benarkah, Za? Aku tidak salah mendengarnya?" Zidan tampak tidak mempercayai akan hal tersebut.Ayana mengangguk. Lalu ia segera beranjak dan berlalu meninggalkan Zidan yang masih menyalahkan diri atas perasaan Zidan.Ayana berlari meninggalkan Zidan. Dengan hati yang begitu sakit, dada yang terasa sesak.Ayana melemparkan tubuhnya diatas ranjang dan menangislah sejadi-jadinya."Yaa Allah, Yaa Robbi.. Maafkan aku telah melakukan kesalahan pada hari ini. Ma
"Sayang, terima kasih sudah bersedia menjadi Isteriku, aku sayang kamu." Kecup Fahmi pada dahi Ayana."Sama-sama, Mas." Ayana menyahuti."Dek, mau kah bulan madu?" tanya Fahmi yang masih mengusap-usap pucuk kepala Ayana."Kemana, Mas?" tanya Ayana."Kamu mau nya kemana, Sayang?" tanya balik Fahmi pada Ayana."Aku ikut saja, Mas. Kemanapun kamu mengajak." jawab Ayana."Hmm, kemana ya enaknya? bagaimana kalau kita umroh?" tanya Fahmi.Ayana terbelalak. Seketika matanya membulat besar. Impian yang selama ini ingin Ayana wujudkan kini ditawarkan langsung oleh suaminya sendiri."Yang benar, Mas? Mas serius? tidak berbohong?" Ayana sangat bahagia mendengar kabar bahwa dirinya akan diajak Umroh."Iya, Sayang. Kalau kamu mau, Mas bisa langsung daftar dan siapkan segala sesuatunya." Ucap Fahmi.Ayana mengangguk dengan cepat. Lalu ia langsung memeluk erat tubuh suaminya itu.Fahmi langsung menerima pelukan dari Ayana.***"Bu, aku berencana untuk membuat sebuah Pondok Pesantren tidak jauh dari
"Abi, pikirkan Sarah juga dong, Bi. Sarah itu kan anak kita satu-satunya. Isteri Fahmi itu kan hanya anak angkat Kyai Akbar, bukan anak kandung. Lagi pula, tidak masalah jika dipoligami. Karena di agama kita sendiripun membolehkannya jika memang ada alasan yang kuat." Tegas Umi Naima."Umi, janganlah bicara seperti itu. Tidak baik. Kita harus mengambil jalur tengah, Mi. Jangan hanya ingin mencari keuntungan secara sepihak. Apalagi sampai merugikan orang lain. Ada baiknya, kita harus berdiskusi kembali. Tidak boleh mengambil keputusan sendiri." Kyai Haji Hasan kembali mempertegas kepada Umi Naima."Ya sudahlah kalau begitu, Bi." Jawab Umi Naima."Ya sudah, sebaiknya Umi buatkan cemilan untuk Abi." Pinta Kyai Haji Hasan pada Umi Naima."Baiklah." Sahut Umi Naima seraya beranjak dari tempat duduknya dan segera pergi meninggalkan Kyai Haji Hasan diteras rumahnya.***"Za, rotinya dimakan dulu. Dari tadi kamu belum sarapan. Menyentuhnya saja tidak." Perintah Zidan kepada Ayana.Ayana sedan
"Kak, apakah yang harus aku lakukan?" Tanya Ayana dengan terus menangis dan tidak bisa menghentikan air matanya yang terus mengalir.Zidan kemudian memeluk tubuh Ayana untuk sekedar menenangkannya. Namun, Ayana membalas pelukan itu dengan begitu erat. Ia meluapkan semua perasaan kecewanya. Ia menangis lebih histeris."Menangislah, Za. Jika itu bisa menghilangkan uneg-uneg kamu." Bisik Zidan didekat telinga Ayana.Zidan mengusap lembut punggung Ayana. Ayana terlena akan pelukan hangat dari Zidan."Kak, beri aku waktu untuk aku berpikir ya. Aku akan melakukan sholat istikharah untuk mengambil keputusan ini." Ucap Ayana dengan nada terbata-bata.Zidan mengangguk."Kak, tolong besok antarkan aku ke rumah Kyai Akbar dan Umi Farida. Aku rindu kepada mereka." Ucap Ayana.Zidan mengerutkan dahinya, ia melepaskan pelukan Ayana. Ia memandang wajah Ayana dengan lekat."Apakah kamu ingin mengadukan semua ini kepada beliau?" Tanya Zidan."Aku belum tahu, yang jelas aku ingin bertemu dengan mereka.
"Bu, aku tidak bisa. Mau bagaimana pun aku tidak bisa, mengapa tidak Kak Zidan saja sih? Aku sudah mempunyai Isteri, Bu." Jawab Fahmi dengan sudut matanya yang sudah terasa panas.Emosinya tidak stabil."Bu, sudahlah. Tolak saja. Aku yakin mereka pasti akan mengerti. Masalah Sarah biarkan mereka yang mengendalikannya. Bukan kita akan memutuskan tali silaturahim kita kepada Kyai dan Umi. Tapi, kita juga bingung, Bu. Dan belum tentu juga andai mereka menikah, Sarah bisa langsung memberikan keturunan untuk Fahmi. Kalau sama halnya seperti Ayana bagaimana, Bu? Ayana dan Fahmi itu sama-sama sehat, mungkin memang belum saatnya saja mereka diberikan amanah!" Tegas Zidan.Gubraaakkkk..!!!!! "Hiksss... Hiksss..." Tangis Ayana pecah ketika mengetahui akan semuanya. Ia membanting pintu dengan begitu kencang.Dadanya terasa sakit dan sesak, sampai ia sKesulitan bernafas."Ayana, Fahmi! Seperti ia mendengar semuanya!" Ucap Zidan dengan begitu panik."Astaghfirullah, Ya Allah. Mengapa Ayana harus
"Bagus sih, Kak. Aku setuju. Supaya nanti bisa lebih berkembang." Jawab Ayana."Good! Aku juga inginnya seperti itu, terus mendampingi aku ya, Za. Karena, aku akan terus membutuhkan kamu sampai kapanpun." Ucap Zidan memandang wajah Ayana."Iya, Kak. Santai saja. Oh iya, ada yang ingin aku katakan.""Katakanlah!""Sepertinya, aku membutuhkan pengajar wanita tambahan, Kak. Tidak cukup jika hanya aku dan Difa saja. Kita berdua sudah cukup kewalahan. Bagaimana, kalau kakak menambahkan dua pengajar wanita? Atau, satu juga tidak apa-apa sih." Pinta Ayana kepada Zidan.Zidan tampak berpikir sejenak."Hmmm.. Boleh saja. Nanti akan aku carikan kembali. Oh iya, ikut aku sebentar yuk."Ajak Zidan pada Ayana.Zidan mengajak Ayana untuk melihat hasil bangunan rumah Zidan yang telah jadi."Wah, aku jarang sekali menengoknya. Ternyata, rumah kak Zidan sudah jadi ya. Bagus pula. Beruntung nanti Isteri Kak Zidan. Jadi, pingin punya rumah juga." Celetuk Ayana membuat Zidan memicingkan matanya."Kamu ju
"Tidak ada apa-apa, Za. Aku hanya bertanya saja. Sudah, kamu istirahat ya. Atau memang benar kamu ingin menemani aku tidur dikamarku?" Zidan memandang wajah Ayana dengan penuh makna.Ayana menggelengkan kepalanya. Ayana masih terus mematung dengan pikiran penuh dengan tanda tanya.Melihat Ayana tidak meresponnya, Zidan langsung menggendong tubuh Ayana dan membawanya ke kamar Ayana."Kakak kebiasaan, mengapa menggendongku?" Protes Ayana kembali.Zidan tidak menjawab, ia terus melangkahkan kakinya menuju kamar Ayana yang tidak jauh dari kamarnya.Sesampainya dikamar Ayana, Zidan membaringkan tubuh Ayana dengan sangat hati-hati."Tidur ya, selamat malam isteri haluku sayang." Bisik Zidan dengan memandang Ayana penuh dengan makna terdalam.Ayana memandang lekat manik-manik Zidan, kemudian ia tersenyum."Hahaha, tidak jelas! Halu sekali kamu, Kak. Sudahlah, aku ingin istirahat. Kakak juga segera istirahat sana. Jangan lupa pintunya ditutup ya." Ayana tertawa dengan memerintah Zidan agar se
"Lalu, Ayana sedang apa?" Tanya Fahmi."Ayana masih mengajar. Jadi, dia tidak tahu kalau aku pergi." Jelas Zidan."Alhamdulillah, kalau begitu, Kak." Sahut Fahmi dengan perasaan sedikit lega.Zidan menatap wajah Fahmi yang sedikit murung. Dalam hatinya, ia kasihan pada adiknya. Mengapa Fahmi akan menanggung tanggungjawab yang begitu berat diusia yang masih begitu muda."Apakah tidak sebaiknya kita beritahukan kepada Ayana terkait hal ini?" Saran Zidan kepada Fahmi."Jangan, Kak. Jangan dulu! Aku belum siap. Aku tidak ingin membuat Ayana terluka." Tolak Fahmi secara terang-terangan."Tapi, Fahmi. Alangkah baiknya kita beritahukan kepada Ayana. Supaya Ayana mengetahuinya sejak dini, dan barangkali Ayana bisa memberikan solusi untuk jalan keluarnya." Jelas Zidan kembali."Kak, please! Jangan dulu ya. Aku benar-benar belum siap." Fahmi memohon kepada Zidan.Zidan pun tidak dapat berkutik dan bertindak lebih jauh. Karena, titik permasalahannya ada pada Fahmi."Ya sudah, kalau begitu kamu s
"Hasilnya mengarah kepada putra bungsu Bu Fatimah, Bu." Ungkap Kyai Haji Hasan.Jegerrrrrr....!!!! Bu Fatimah bagaikan tersambar petir. Hatinya teriris dan merasa tercabik-cabik. Mendengar apa dari hasil petunjuk yang mengarah kepada Putra bungsunya, yaitu Fahmi.Mengapa harus Fahmi? Mengapa tidak kepada Zidan saja? Mengapa harus membuat sakit hati kepada antara beberapa pihak?Bu Fatimah seketika terlihat gemetaran, tubuhnya lemas terasa kakinya ingin merosot ke lantai."Putra bungsu? Berarti itu adalah Fahmi, Kyai?" Tanya Bu Fatimah kembali untuk memastikan."Betul, Bu Fatimah. Apakah ada waktu untuk kita bertemu membicarakan lebih lanjut?" Kyai Haji Hasan sepertinya ingin mensegerakan proses ta'aruf antara Sarah dan Fahmi."Nanti akan saya atur kembali jadwalnya ya, Kyai. Karena, Fahmi sangat sibuk sekali dengan pekerjaannya." Jelas Bu Fatimah."Memangnya, nak Fahmi pekerjaannya apa, Bu Fatimah?" Tanya Kyai Haji Hasan dengan penasaran."Dia seorang Pilot disalah satu maskapai tern
"Ya sudah, maaf! Lain kali aku akan meminta izin pada Kakak." Jawab Ayana dengan nada mulai melemah. Ia tidak ingin terjadi perdebatan antara dirinya dan Zidan kembali.Zidan membisu, tidak mengeluarkan kata-kata lagi.Ayana hendak berjalan menjauh dari Zidan dan akan segera duduk di bangkunya.Namun, langkahnya terhenti ketika tangannya ditarik oleh Zidan.Tubuh Ayana terhempas dan masuk kedalam pelukan Zidan.Zidan memeluk tubuh Ayana dengan erat."Jangan membuat aku khawatir lagi, Za!" Zidan mengungkapkan bahwa ia tidak ingin Ayana membuatnya khawatir.Ayana mendengus kesal kemudian mendorong tubuh Zidan dan memberontak agar terlepas dari pelukan Zidan.Tatapannya tajam menatap Zidan dengan rasa tidak suka diperlakukan secara tiba-tiba oleh Zidan."Ih, apa sih, Kak? Main peluk-peluk saja. Kita ini bukan mahrom. Tidak baik begini. Bagaimana kalau ada yang lihat? Bisa menimbulkan fitnah! Aku tidak suka kak Zidan begini!" Sungut Ayana kesal. Ia langsung menjauh dari Zidan.Ayana berja
"Bisa, sayang. Bisa!" Sahut Fahmi.Ayana pun sedikit bahagia, akhirnya setelah sekian lama, Fahmi akan berkunjung ke Pesantren walaupun nantinya hanya sebentar saja."Aku bilang ke Kak Zidan dulu ya!" Ucap Ayana setengah berlari dengan pakaian gamisnya yang melayang-melayang terkena angin.Fahmi mengangguk.Ayana berjalan menuju dimana Zidan berada.Ternyata Zidan berada di ruang tengah, ia sedang menyiapkan beberapa barang yang akan ia bawa."Kak Zidan!" Panggil Ayana."Ada apa, Za?" Tanya Zidan tanpa mengalihkan pandangannya dari barang-barangnya."Aku hari ini tidak menumpang kamu, Kak. Aku akan diantar oleh Mas Fahmi. Tidak apa-apa kan? Mumpung Mas Fahmi bisa antar aku." Ucap Ayana dengan semangat."Oke." Zidan menanggapi dengan sikap dingin.Sepertinya ia tidak ikhlas jika Ayana bersama dengan Fahmi.Ayana segera menaiki anak tangga kembali. Sepeninggal Ayana, Zidan baru menoleh ke arah langkah Ayana yang hampir tidak terlihat karena telah masuk kedalam kamarnya.Zidan menarik na