"Ayana." Panggil Fatimah dengan lembut pada menantu barunya. Fatimah adalah Ibunda dari Zulfahmi dan Zidan.
"Iya, Ibu." Ayana menyahuti dengan nada lirih nan lembut. "Kamu tidak apa kan nak jika tinggal bersama kami? Nanti kalau Fahmi sudah memiliki rumah kamu bisa tinggal berdua dengan suamimu." Ucap sang Ibu Fatimah yang sedang mengusap pundak Ayana dengan halus. "Baik Ibu, tidak apa-apa. Kemanapun Mas Fahmi tinggal, aku telah bersedia untuk menemaninya." Jawab Ayana dengan pandangan teduh dan anggunnya. Ayana tampak manis dan sangat elegan dengan riasan tipisnya. "Alhamdulillah, terima kasih ya nak Ayana. Hatimu cantik seperti parasmu sayang." Tangan Fatimah mengusap lembut pipi Ayana. Ayana menggenggam erat jemari Fatimah. Ia dapat merasakan kehangatan seorang Ibu. Mengingat Ibu Ayana yang telah pergi ke surga lebih dahulu. Fatimah memeluk menantu barunya, dan sesekali Fatimah mengecup pucuk kepala milik Ayana. "Assalamu'alaikum." Ucap salam Fahmi yang tengah memasuki kamar pengantin. "Wa'alaikumsalam, Fahmi. Temani isterimu ya nak! Ibu akan pergi keluar menemani Kyai Akbar dan Umi Farida. Kasihan Zidan dan Nabila sudah lama menemani Kyai dan Umi." Ucap Fatimah seraya ingin meninggalkan kamar pengantin dan akan memberikan waktu untuk sepasang pengantin baru. "Baik, Ibu." Jawab Fahmi dengan mengangguk tanda mengiyakan. "Nak, Ibu tinggal dulu ya." Pamit Fatimah kepada Ayana. Ayana langsung meraih tangan Fatimah dan mencium punggung tangan milik Fatimah, Ibu Mertuanya. Fatimah sangat beruntung mendapatkan menantu secantik dan sebaik Ayana. Gadis lembut, sholehah, baik hati, bertutur kata selalu baik dan tidak pernah neko-neko. Fatimah segera berjalan menuju pintu kamar, dan menutup pintu kamar dengan rapat. Agar memberikan ruang untuk sepasang pengantin baru. Fahmi dan Ayana tampak canggung. Keduanya hanya saling tersenyum. Bagaimana tidak, perkenalan keduanya pun cukup singkat. Setelah sepulang dari Pesantren ketika Fahmi mengantarkan Zidan, Fahmi langsung membicarakan kepada keluarga besarnya bahwa ia ingin segera meminang Ayana. Setelah di musyawarah kan dengan keluarga besarnya, akhirnya Zidan, Fahmi, Fatimah dan kakak perempuan Fahmi yang bernama Nabila langsung meluncur ke Pesantren untuk melamar Ayana. Dan alhamdulillah pinangan Fahmi di terima dengan baik oleh Kyai Akbar dan Umi Farida sebagai Wali dari Ayana, tidak luput Ayana pun mengiyakan atas pinangan Fahmi. Fahmi yang notabenenya bekerja sebagai Pilot disalah satu maskapai Indonesia, ingin segera melepas masa lajang nya karena usianya pun telah cukup untuk menikah. Namun dengan berat hati Fahmi harus melangkahi Zidan sebagai Kakaknya, yang sampai sekarang belum mendapatkan calon untuk ia nikahi. Sebenarnya dalam hati Zidan, ingin ia meminang Ayana ketika ia mengetahui Ayana telah tumbuh dengan baik di Pesantren milik Kyai Akbar. Terlebih dengan segudang prestasi membuat Zidan semakin terpikat oleh Ayana, ditambah dengan paras cantik dan indah membuat Zidan selalu terbayang akan Ayana yang lembut dan baik hati. Namun, cintanya harus kandas karena adiknya telah memilih Ayana lebih dahulu untuk menjadikan sebagai Isterinya. Ia harus merelakannya, walau sebenarnya ia tidak rela. Namun lagi-lagi Zidan harus mengikhlaskannya. "Ayana." Panggil Fahmi kepada Ayana yang telah resmi menjadi Isterinya. "Iya, Mas Fahmi." Ayana menyahuti nya dengan nada lembut khas suara Ayana. "Mengapa kamu tidak istirahat saja?" Fahmi bertanya namun hatinya sudah sangat berdebar-debar, ia memberanikan dirinya karena baru kali ini ia berbicara kepada Ayana secara langsung bahkan hanya berdua saja, didalam kamar pula. "Aku menunggu kamu, Mas." Sahut Ayana yang tengah duduk ditepi ranjang. "Mengapa harus menunggu aku? Kalau kamu lelah, aku izinkan untuk kamu istirahat lebih dulu, Ayana." Fahmi menjelaskan kepada Ayana dan langsung menghampiri Ayana yang tengah duduk di tepi ranjang. Ayana tersenyum kepada Fahmi, suaminya. "Mengapa kamu tersenyum? Ada yang salah kah dengan ucapanku?" Fahmi melihat senyuman Ayana seolah ada sesuatu pembicaraan yang salah padanya. "Mas Fahmi, mohon maaf sebelumnya jika aku mengoreksi. Akan lebih baik seorang Isteri beranjak istirahat jika sang suami telah istirahat terlebih dahulu." Ayana menjelaskan kepada Fahmi dengan nada lembutnya. Fahmi menggaruk-garuk kepala nya yang rupanya sama sekali tidak gatal. "Begitu ya?" Fahmi melemparkan senyum manisnya dengan menunjukan deretan gigi putih nya. Ayana kembali tersenyum. Fahmi menjadi salah tingkah, ia merasa gugup dan bingung harus berbuat apa. "Ayana, boleh kah aku menyentuh jemarimu?" Fahmi bertanya kepada Isterinya. Masih terlihat sangat canggung dan malu antara keduanya. "Mulai detik ini, seluruh tubuhku milik kamu, Mas. Karena kamu telah menjadi suamiku. Itu hak kamu. Dan aku berhak memberikan hak-hak suami untukmu." Ayana menjawab dengan pengetahuan yang cukup dapat dipahami. "Baiklah, Ayana Isteriku. Terima kasih banyak atas pemahaman darimu. Semoga kamu bisa menjadi Isteri yang sholehah dan Ibu yang baik untuk anak-anak kita kelak." Fahmi memandang wajah cantik Ayana, sembari meraih jemari Ayana dan segera ia genggam dengan erat. Mendapat sentuhan dari Fahmi, Ayana sedikit tersentak. Karena selama ini ia sama sekali belum pernah merasakan sentuhan dari lelaki mana pun. "Aamiiiin yaa robbal'alamin, Mas. Semoga Allah senantiasa mengabulkan do'a-do'a kita." Ayana menjawab beberapa do'a yang telah Fahmi panjatkan. Kini Fahmi telah menggenggam tangan Ayana, Ayana mencoba untuk membiasakan dirinya oleh sentuhan-sentuhan yang Fahmi ciptakan. Fahmi memberanikan dirinya untuk memeluk tubuh Isterinya, tidak ada penolakan dari Ayana. Ayana begitu menikmati pelukan dari sang suami. Dengan perlahan Fahmi mendekatkan wajahnya ke wajah Ayana. Tercium aroma tubuh Ayana yang membuat Fahmi ingin terus memeluknya dengan erat. Fahmi mengajak Ayana untuk segera istirahat malam ini. Keduanya istirahat saling berhadapan dan saling pandang. *** "Bu Fatimah, Bu Fatimah sebaiknya istirahat saja. Mari saya antar ke kamar untuk istirahat." Ujar Umi Farida ketika mengetahui Ibu Fatimah belum kunjung istirahat. "Tidak apa-apa, Umi Farida. Kami bisa beristirahat di sini saja ramai-ramai." Jawab Ibu Fatimah yang tengah duduk di lantai beralaskan karpet busa. "Eh jangan, Bu Fatimah. Nanti bisa masuk angin. Mari Bu saya antar ke kamar. Nanti Ibu istirahat saja dengan Puterinya. Atau ingin dengan Zidan juga tidak apa. Di kamar ada dua ranjang kalau Zidan mau istirahat bareng dengan Ibunya." Umi Farida menjelaskan kepada Ibu Fatimah. "Nak Zidan, kamu ajak Ibu kamu istirahat ya. Kasihan Bu Fatimah terlihat lelah. Apalagi besok akan menuju Jakarta kan?" Kyai Akbar pun turut berbicara dan memerintahkan Zidan untuk membawa Ibunya dan kakaknya beristirahat di kamar. Zidan yang sedang berbincang dengan para Ustadz akhirnya menuruti perintah sang Kyai. "Na'am Kyai. Alafu, saya ajak Ibu istirahat dulu Kyai." Zidan menyahuti perintah Kyai dan langsung mengajak sang Ibu serta kakaknya menuju kamar untuk beristirahat. "Mari Bu, Kak." Zidan mengajak sang Ibu dan sang Kakak. "Kyai, Umi. Saya izin terlebih dahulu." Ujar Ibu Fatimah kepada Kyai Akbar dan Umi Farida. "Marhaba." Sahut Kyai dan Umi secara berbarengan. Ibu Fatimah, Nabila dan Zidan akhirnya masuk ke dalam kamar dan segera beristirahat. *** "Nak Fahmi, saya minta tolong dengan sangat. Saya berpesan untuk nak Fahmi menjaga Ayana dengan baik. Karena sedari kecil Ayana telah ditinggalkan oleh kedua orang tuanya. Ia anak yatim piatu. Sejak kecil Ayana tinggal bersama kami, kami mengurus dan menjaga layaknya anak kandung kami. Kami sangat menyayanginya." Ujar Kyai Akbar ketika akan melepas Ayana untuk dibawa oleh suaminya. "Baik Kyai, saya akan menjaga Ayana dengan baik." Fahmi menyahuti perkataan Kyai Akbar. Ayana tampak memeluk Umi Farida dengan menangis serta sedih meninggalkan Umi Farida. Umi Farida lah yang selama ini menjadi Ibu satu-satunya bagi Ayana. Sejak Ayana masih kecil hingga kini telah menjadi dewasa dengan kepribadian yang sangat baik dan hampir sempurna. Karena kesempurnaan hanya milik Allah Ta'ala. "Jaga diri kamu baik-baik ya, Sayang. Jadi Isteri yang baik untuk suami kamu." Pesan Umi Farida kepada Ayana. "Na'am, Umi. InsyaAllah Ayana akan menjadi Isteri yang baik serta sholehah untuk Mas Fahmi. Ayana sayang Umi. Umi jaga kesehatan ya." Semuanya tampak terharu akan kepergian Ayana. Terutama Kyai Akbar dan Umi Farida yang telah menganggap Ayana sebagai anak nya sendiri. Ayana adalah gadis yang baik hati, cerdas, banyak prestasi serta berbudi baik, tutur katanya lembut. Seluruh penghuni Pesantren sangat mengenal Ayana dengan kebaikannya. Semuanya sangat kehilangan akan kepergian Ayana. Setelah berpamitan, semua nya memasuki mobil terkecuali Zidan yang masih berbincang dengan Kyai Akbar. "Zidan, saya titip Ayana ya ketika Fahmi sedang tidak bersamanya." Kyai Akbar kembali memberikan amanat kepada Zidan untuk turut menjaga Ayana. "Na'am, Kyai. Zidan pamit dulu Kyai, Umi. Assalamu'alaikum." Jawab Zidan yang langsung mencium punggung tangan milik Kyai Akbar. "Wa'alaikumsalam." Sahut Kyai Akbar dan Umi Farida secara berbarengan. Zidan langsung berjalan menaiki mobil pada bagian kemudi. Dengan Fahmi duduk disebelahnya bagian depan. Untuk bangku penumpang ada Ayana dibelakang Zidan, disebelahnya ada Ibu Fatimah dan Nabila. Zidan melajukan mobilnya dan meninggalkan Pondok Pesantren dimana Zidan dan Ayana mengabdi untuk menuntut ilmu agama selama bertahun-tahun lamanya. Ada raut kesedihan pada wajah Ayana ketika meninggalkan Pesantrennya, namun ia harus mengabdi kepada suaminya kemana pun suaminya berada. Karena bagi Ayana, surga ada pada suaminya. Ridho Allah, Ridho Suami. "Ayana, kamu tidak apa-apa?""Ayana, kamu tidak apa-apa?" Tanya Bu Fatimah pada Ayana yang sedari tadi pandangannya menerawang jauh keluar sana."Tidak apa-apa, Ibu. Ayana hanya bersedih saja karena meninggalkan Kyai Akbar dan Umi Farida yang sudah Ayana anggap seperti orang tua kandung sendiri. Mereka begitu sangat menyayangi Ayana sedari kecil hingga sampai saat ini. Bahkan Pondok Pesantren sendiri sudah menjadi rumah bagi Ayana selama bertahun-tahun lamanya." Ayana menjelaskan sedikit perasaannya.Ibu Fatimah menggenggam dan mengusap lembut tangan milik menantu baru nya. Ia dapat merasakan betapa sedihnya Ayana meninggalkan semuanya."Sudah, Bu. Biarkan saja Ayana menenangkan dirinya. Mungkin ia sedang menstabilkan emosinya karena harus pindah jauh dari Pesantren serta Kyai dan Umi." Nabila berucap untuk memberikan waktu bagi Ayana untuk beradaptasi dengan keluarga baru dan lingkungan yang baru.Terlihat dari kaca spion, Zidan memperhatikan Ayana yang sedang mengusap air matanya menggunakan tissue.Namun sialn
"Dek, terima kasih ya." Ucap Fahmi berbisik didekat daun telinga milik Ayana.Ayana tampak lemas, namun gairahnya belum kunjung surut.Maklum saja, mereka pengantin baru. Sama-sama baru perdana merasakan surga dunia seperti yang disebut oleh banyak orang.Malam itu, menjadi malam yang sangat panjang bagi Ayana dan Fahmi. Sepasang pengantin baru yang menikmati indahnya kebersamaan.Entah sudah berapa ronde, sehingga ketika menjelang subuh keduanya tampak lemas dan tidak berdaya."MasyaAllah, cantik sekali Isteriku ini. Beruntung aku bisa mendapatkan kamu, sayang." Gumam Fahmi ketika melihat Ayana masih tidur nyenyak tidak berdaya akibat gempuran dari Fahmi.Fahmi beranjak dari tempat tidurnya, ia segera membersihkan tubuhnya.Karena setelahnya akan melaksanakan sholat subuh.Setelah tubuhnya sudah bersih dan wangi, ia segera membangunkan Isterinya yang masih terlelap."Sayang, Dek bangun. Sudah mau subuh. Kamu segera mandi ya. Nanti kita sholat berjama'ah." Perintah Fahmi kepada Ayana
"Bagaimana dokter dengan kondisi menantu saya?" Bu Fatimah menanyakan kondisi terkini menantunya, Ayana."Saudari Ayana baik-baik saja, Bu. Hanya saja kondisinya sedikit menurun karena kelelahan dan kurang tidur sepertinya. Usahakan jangan telat makan dan banyak beristirahat ya." Sang dokter pun menjawabnya."Baik, dokter. Apapun segera lakukan dok supaya menantu saya segera sembuh dan cepat kembali pulang ke Rumah." Perintah Bu Fatimah, ia menginginkan Ayana lekas sembuh dan segera pulang sebelum Fahmi lepas tugas dari pekerjaannya sebagai Pilot di salah satu Maskapai ternama di Indonesia ini."Baik, Bu. Boleh segera selesaikan ke bagian administrasinya ya." Jeda. "Apakah Bapak suami dari Saudari Ayana?" Tanya dokter pada Zidan.Zidan membisu dan langsung melirik ke arah sang Ibu."Iya, dokter. Nanti akan segera diselesaikan oleh anak saya." Sahut Bu Fatimah dengan segera dan mengedipkan mata ke arah Zidan."Baik Ibu, Bapak. Kalau begitu saya izin pamit. Nanti kalau terjadi apa-apa,
"Maaf, Kak. Kaki aku lemas sekali." Ucap Ayana dengan pandangan yang tidak nyaman karena dengan tidak sengaja telah menindih tubuh Zidan.Deg!Hati Zidan menjadi melayang seketika, ketika tubuh Ayana berada dalam pelukannya secara tidak sengaja.Membuat iman seorang Zidan menjadi goyah.Zidan yang mendapatkan tubuh Ayana telah berada di atasnya. Kemudian dengan terpaksa menyentuh lengan Ayana dan membantu Ayana untuk bangun dari posisinya."Za, kamu kenapa?" Tanya Zidan kepada Ayana.Ayana hanya meringis saja karena semua ini adalah kesalahannya yang berawal dengan ketidaksengajaan."Aku lapar, Kak. Ingin mengambil cemilan niatnya. Eh aku malah sempoyongan dan terjatuh ke tubuh, Kak Zid." Jelas Ayana dengan nada pelannya."Untung kamu jatuh ke tubuhku, coba kalau jatuh ke lantai. Pasti tubuh kamu semakin sakit." Jawab Zidan yang berjalan memapah tubuh Ayana."Hehe iya maaf, Kak.""Kenapa kamu tidak membangunkan aku saja?" Tanya Zidan sambil membantu Ayana untuk naik kembali ke atas ra
Hujan begitu deras malam ini. Suasana malam terasa dingin dan sepi. Hanya ada suara petir yang saling sahut menyahut.Ayana terbangun dari tidur lelapnya. Tenggorokan nya pun terasa sangat kering.Ayana beranjak dari tempat tidurnya dan segera melangkahkan tungkainya keluar kamar untuk segera berjalan menuju dapur yang berada di lantai bawah.Kondisi tubuhnya sudah terasa sehat, namun masih ada rasa lemas sedikit pada bagian tungkai kakinya.Ia berjalan menyusuri dinding kamar luar. Dan melewati kamar Zidan yang sedikit terbuka.Ia mendengar suara Zidan melantunkan ayat suci, namun Ia berusaha untuk tidak mengintip ke arah kamar Zidan. Karena dirasa cukup tidak sopan dan tidak baik jika melihat ke dalam kamar tanpa seizin pemilik Kamar.Ayana berjalan perlahan menuruni anak tangga. Sebagian lampu beberapa ruangan sudah di padamkan oleh Bu Fatimah.Dengan langkah perlahan akhirnya Ayana sampailah di dapur dan mengambil segelas air minum untuk melepaskan keringnya tenggorokan.Zidan yan
"Karena sebenarnya... Aku menyayangimu, Kak." Akhirnya Ayana memberikan sebuah pengakuan kepada Zidan.Sungguh menjadi sebuah tamparan halus untuk Zidan, ketika mendapati seseorang yang sangat ia sayangi dan ia cintai mengakui akan perasaan yang sama.Bagaimana kah ini? sedangkan disatu sisi Ayana sudah menjadi milik orang lain, bahkan adiknya sendiri.Zidan merasa bersalah atas perasaannya selama ini. Mengapa ia tidak melamar Ayana dengan segera ketika dirinya sudah kembali ke Indonesia saat sudah menyelesaikan studynya dari Kairo."Benarkah, Za? Aku tidak salah mendengarnya?" Zidan tampak tidak mempercayai akan hal tersebut.Ayana mengangguk. Lalu ia segera beranjak dan berlalu meninggalkan Zidan yang masih menyalahkan diri atas perasaan Zidan.Ayana berlari meninggalkan Zidan. Dengan hati yang begitu sakit, dada yang terasa sesak.Ayana melemparkan tubuhnya diatas ranjang dan menangislah sejadi-jadinya."Yaa Allah, Yaa Robbi.. Maafkan aku telah melakukan kesalahan pada hari ini. Ma
"Sayang, terima kasih sudah bersedia menjadi Isteriku, aku sayang kamu." Kecup Fahmi pada dahi Ayana."Sama-sama, Mas." Ayana menyahuti."Dek, mau kah bulan madu?" tanya Fahmi yang masih mengusap-usap pucuk kepala Ayana."Kemana, Mas?" tanya Ayana."Kamu mau nya kemana, Sayang?" tanya balik Fahmi pada Ayana."Aku ikut saja, Mas. Kemanapun kamu mengajak." jawab Ayana."Hmm, kemana ya enaknya? bagaimana kalau kita umroh?" tanya Fahmi.Ayana terbelalak. Seketika matanya membulat besar. Impian yang selama ini ingin Ayana wujudkan kini ditawarkan langsung oleh suaminya sendiri."Yang benar, Mas? Mas serius? tidak berbohong?" Ayana sangat bahagia mendengar kabar bahwa dirinya akan diajak Umroh."Iya, Sayang. Kalau kamu mau, Mas bisa langsung daftar dan siapkan segala sesuatunya." Ucap Fahmi.Ayana mengangguk dengan cepat. Lalu ia langsung memeluk erat tubuh suaminya itu.Fahmi langsung menerima pelukan dari Ayana.***"Bu, aku berencana untuk membuat sebuah Pondok Pesantren tidak jauh dari
"Baik, Kak Zid. Aku akan turun." Ayana segera merapihkan apa yang sedang menjadi aktivitasnya kala itu.Dengan bergerak cepat, Ayana sedikit berlari menuruni anak tangga, karena ia tidak ingin membuat Ibu Mertuanya terlalu lama menunggunya.Sesampainya dilantai bawah, Ia melihat Zidan telah bersama dengan Bu Fatimah sedang berada dimeja makan."Ayana, mengapa kamu turunnya lama sekali, Nak? Apakah ada yang sedang kamu kerjakan?" Tanya Bu Fatimah yang telah duduk manis didepan meja makan.Ayana berjalan mendekati meja makan, dan ia segera duduk disamping Bu Fatimah."Maafkan Ayana, Bu. Ayana belum merasa lapar. Jadi, Ayana pikir nanti-nanti saja Ayana sarapannya." Jawab Ayanan dengan menunduk, ia takut membuat kecewa sang Ibu Mertua.Bu Fatimah menghela napas panjangnya."Ayana, sarapan itu tidak harus menunggu lapar. Isilah perut sedikit saja walau hanya beberapa suap atau bahkan segigit roti saja. Supaya perut kita tetap aman dari penyakit lambung." Jelas Bu Fatimah dengan mengusap l
"Abi, pikirkan Sarah juga dong, Bi. Sarah itu kan anak kita satu-satunya. Isteri Fahmi itu kan hanya anak angkat Kyai Akbar, bukan anak kandung. Lagi pula, tidak masalah jika dipoligami. Karena di agama kita sendiripun membolehkannya jika memang ada alasan yang kuat." Tegas Umi Naima."Umi, janganlah bicara seperti itu. Tidak baik. Kita harus mengambil jalur tengah, Mi. Jangan hanya ingin mencari keuntungan secara sepihak. Apalagi sampai merugikan orang lain. Ada baiknya, kita harus berdiskusi kembali. Tidak boleh mengambil keputusan sendiri." Kyai Haji Hasan kembali mempertegas kepada Umi Naima."Ya sudahlah kalau begitu, Bi." Jawab Umi Naima."Ya sudah, sebaiknya Umi buatkan cemilan untuk Abi." Pinta Kyai Haji Hasan pada Umi Naima."Baiklah." Sahut Umi Naima seraya beranjak dari tempat duduknya dan segera pergi meninggalkan Kyai Haji Hasan diteras rumahnya.***"Za, rotinya dimakan dulu. Dari tadi kamu belum sarapan. Menyentuhnya saja tidak." Perintah Zidan kepada Ayana.Ayana sedan
"Kak, apakah yang harus aku lakukan?" Tanya Ayana dengan terus menangis dan tidak bisa menghentikan air matanya yang terus mengalir.Zidan kemudian memeluk tubuh Ayana untuk sekedar menenangkannya. Namun, Ayana membalas pelukan itu dengan begitu erat. Ia meluapkan semua perasaan kecewanya. Ia menangis lebih histeris."Menangislah, Za. Jika itu bisa menghilangkan uneg-uneg kamu." Bisik Zidan didekat telinga Ayana.Zidan mengusap lembut punggung Ayana. Ayana terlena akan pelukan hangat dari Zidan."Kak, beri aku waktu untuk aku berpikir ya. Aku akan melakukan sholat istikharah untuk mengambil keputusan ini." Ucap Ayana dengan nada terbata-bata.Zidan mengangguk."Kak, tolong besok antarkan aku ke rumah Kyai Akbar dan Umi Farida. Aku rindu kepada mereka." Ucap Ayana.Zidan mengerutkan dahinya, ia melepaskan pelukan Ayana. Ia memandang wajah Ayana dengan lekat."Apakah kamu ingin mengadukan semua ini kepada beliau?" Tanya Zidan."Aku belum tahu, yang jelas aku ingin bertemu dengan mereka.
"Bu, aku tidak bisa. Mau bagaimana pun aku tidak bisa, mengapa tidak Kak Zidan saja sih? Aku sudah mempunyai Isteri, Bu." Jawab Fahmi dengan sudut matanya yang sudah terasa panas.Emosinya tidak stabil."Bu, sudahlah. Tolak saja. Aku yakin mereka pasti akan mengerti. Masalah Sarah biarkan mereka yang mengendalikannya. Bukan kita akan memutuskan tali silaturahim kita kepada Kyai dan Umi. Tapi, kita juga bingung, Bu. Dan belum tentu juga andai mereka menikah, Sarah bisa langsung memberikan keturunan untuk Fahmi. Kalau sama halnya seperti Ayana bagaimana, Bu? Ayana dan Fahmi itu sama-sama sehat, mungkin memang belum saatnya saja mereka diberikan amanah!" Tegas Zidan.Gubraaakkkk..!!!!! "Hiksss... Hiksss..." Tangis Ayana pecah ketika mengetahui akan semuanya. Ia membanting pintu dengan begitu kencang.Dadanya terasa sakit dan sesak, sampai ia sKesulitan bernafas."Ayana, Fahmi! Seperti ia mendengar semuanya!" Ucap Zidan dengan begitu panik."Astaghfirullah, Ya Allah. Mengapa Ayana harus
"Bagus sih, Kak. Aku setuju. Supaya nanti bisa lebih berkembang." Jawab Ayana."Good! Aku juga inginnya seperti itu, terus mendampingi aku ya, Za. Karena, aku akan terus membutuhkan kamu sampai kapanpun." Ucap Zidan memandang wajah Ayana."Iya, Kak. Santai saja. Oh iya, ada yang ingin aku katakan.""Katakanlah!""Sepertinya, aku membutuhkan pengajar wanita tambahan, Kak. Tidak cukup jika hanya aku dan Difa saja. Kita berdua sudah cukup kewalahan. Bagaimana, kalau kakak menambahkan dua pengajar wanita? Atau, satu juga tidak apa-apa sih." Pinta Ayana kepada Zidan.Zidan tampak berpikir sejenak."Hmmm.. Boleh saja. Nanti akan aku carikan kembali. Oh iya, ikut aku sebentar yuk."Ajak Zidan pada Ayana.Zidan mengajak Ayana untuk melihat hasil bangunan rumah Zidan yang telah jadi."Wah, aku jarang sekali menengoknya. Ternyata, rumah kak Zidan sudah jadi ya. Bagus pula. Beruntung nanti Isteri Kak Zidan. Jadi, pingin punya rumah juga." Celetuk Ayana membuat Zidan memicingkan matanya."Kamu ju
"Tidak ada apa-apa, Za. Aku hanya bertanya saja. Sudah, kamu istirahat ya. Atau memang benar kamu ingin menemani aku tidur dikamarku?" Zidan memandang wajah Ayana dengan penuh makna.Ayana menggelengkan kepalanya. Ayana masih terus mematung dengan pikiran penuh dengan tanda tanya.Melihat Ayana tidak meresponnya, Zidan langsung menggendong tubuh Ayana dan membawanya ke kamar Ayana."Kakak kebiasaan, mengapa menggendongku?" Protes Ayana kembali.Zidan tidak menjawab, ia terus melangkahkan kakinya menuju kamar Ayana yang tidak jauh dari kamarnya.Sesampainya dikamar Ayana, Zidan membaringkan tubuh Ayana dengan sangat hati-hati."Tidur ya, selamat malam isteri haluku sayang." Bisik Zidan dengan memandang Ayana penuh dengan makna terdalam.Ayana memandang lekat manik-manik Zidan, kemudian ia tersenyum."Hahaha, tidak jelas! Halu sekali kamu, Kak. Sudahlah, aku ingin istirahat. Kakak juga segera istirahat sana. Jangan lupa pintunya ditutup ya." Ayana tertawa dengan memerintah Zidan agar se
"Lalu, Ayana sedang apa?" Tanya Fahmi."Ayana masih mengajar. Jadi, dia tidak tahu kalau aku pergi." Jelas Zidan."Alhamdulillah, kalau begitu, Kak." Sahut Fahmi dengan perasaan sedikit lega.Zidan menatap wajah Fahmi yang sedikit murung. Dalam hatinya, ia kasihan pada adiknya. Mengapa Fahmi akan menanggung tanggungjawab yang begitu berat diusia yang masih begitu muda."Apakah tidak sebaiknya kita beritahukan kepada Ayana terkait hal ini?" Saran Zidan kepada Fahmi."Jangan, Kak. Jangan dulu! Aku belum siap. Aku tidak ingin membuat Ayana terluka." Tolak Fahmi secara terang-terangan."Tapi, Fahmi. Alangkah baiknya kita beritahukan kepada Ayana. Supaya Ayana mengetahuinya sejak dini, dan barangkali Ayana bisa memberikan solusi untuk jalan keluarnya." Jelas Zidan kembali."Kak, please! Jangan dulu ya. Aku benar-benar belum siap." Fahmi memohon kepada Zidan.Zidan pun tidak dapat berkutik dan bertindak lebih jauh. Karena, titik permasalahannya ada pada Fahmi."Ya sudah, kalau begitu kamu s
"Hasilnya mengarah kepada putra bungsu Bu Fatimah, Bu." Ungkap Kyai Haji Hasan.Jegerrrrrr....!!!! Bu Fatimah bagaikan tersambar petir. Hatinya teriris dan merasa tercabik-cabik. Mendengar apa dari hasil petunjuk yang mengarah kepada Putra bungsunya, yaitu Fahmi.Mengapa harus Fahmi? Mengapa tidak kepada Zidan saja? Mengapa harus membuat sakit hati kepada antara beberapa pihak?Bu Fatimah seketika terlihat gemetaran, tubuhnya lemas terasa kakinya ingin merosot ke lantai."Putra bungsu? Berarti itu adalah Fahmi, Kyai?" Tanya Bu Fatimah kembali untuk memastikan."Betul, Bu Fatimah. Apakah ada waktu untuk kita bertemu membicarakan lebih lanjut?" Kyai Haji Hasan sepertinya ingin mensegerakan proses ta'aruf antara Sarah dan Fahmi."Nanti akan saya atur kembali jadwalnya ya, Kyai. Karena, Fahmi sangat sibuk sekali dengan pekerjaannya." Jelas Bu Fatimah."Memangnya, nak Fahmi pekerjaannya apa, Bu Fatimah?" Tanya Kyai Haji Hasan dengan penasaran."Dia seorang Pilot disalah satu maskapai tern
"Ya sudah, maaf! Lain kali aku akan meminta izin pada Kakak." Jawab Ayana dengan nada mulai melemah. Ia tidak ingin terjadi perdebatan antara dirinya dan Zidan kembali.Zidan membisu, tidak mengeluarkan kata-kata lagi.Ayana hendak berjalan menjauh dari Zidan dan akan segera duduk di bangkunya.Namun, langkahnya terhenti ketika tangannya ditarik oleh Zidan.Tubuh Ayana terhempas dan masuk kedalam pelukan Zidan.Zidan memeluk tubuh Ayana dengan erat."Jangan membuat aku khawatir lagi, Za!" Zidan mengungkapkan bahwa ia tidak ingin Ayana membuatnya khawatir.Ayana mendengus kesal kemudian mendorong tubuh Zidan dan memberontak agar terlepas dari pelukan Zidan.Tatapannya tajam menatap Zidan dengan rasa tidak suka diperlakukan secara tiba-tiba oleh Zidan."Ih, apa sih, Kak? Main peluk-peluk saja. Kita ini bukan mahrom. Tidak baik begini. Bagaimana kalau ada yang lihat? Bisa menimbulkan fitnah! Aku tidak suka kak Zidan begini!" Sungut Ayana kesal. Ia langsung menjauh dari Zidan.Ayana berja
"Bisa, sayang. Bisa!" Sahut Fahmi.Ayana pun sedikit bahagia, akhirnya setelah sekian lama, Fahmi akan berkunjung ke Pesantren walaupun nantinya hanya sebentar saja."Aku bilang ke Kak Zidan dulu ya!" Ucap Ayana setengah berlari dengan pakaian gamisnya yang melayang-melayang terkena angin.Fahmi mengangguk.Ayana berjalan menuju dimana Zidan berada.Ternyata Zidan berada di ruang tengah, ia sedang menyiapkan beberapa barang yang akan ia bawa."Kak Zidan!" Panggil Ayana."Ada apa, Za?" Tanya Zidan tanpa mengalihkan pandangannya dari barang-barangnya."Aku hari ini tidak menumpang kamu, Kak. Aku akan diantar oleh Mas Fahmi. Tidak apa-apa kan? Mumpung Mas Fahmi bisa antar aku." Ucap Ayana dengan semangat."Oke." Zidan menanggapi dengan sikap dingin.Sepertinya ia tidak ikhlas jika Ayana bersama dengan Fahmi.Ayana segera menaiki anak tangga kembali. Sepeninggal Ayana, Zidan baru menoleh ke arah langkah Ayana yang hampir tidak terlihat karena telah masuk kedalam kamarnya.Zidan menarik na