"Bagaimana dokter dengan kondisi menantu saya?" Bu Fatimah menanyakan kondisi terkini menantunya, Ayana.
"Saudari Ayana baik-baik saja, Bu. Hanya saja kondisinya sedikit menurun karena kelelahan dan kurang tidur sepertinya. Usahakan jangan telat makan dan banyak beristirahat ya." Sang dokter pun menjawabnya. "Baik, dokter. Apapun segera lakukan dok supaya menantu saya segera sembuh dan cepat kembali pulang ke Rumah." Perintah Bu Fatimah, ia menginginkan Ayana lekas sembuh dan segera pulang sebelum Fahmi lepas tugas dari pekerjaannya sebagai Pilot di salah satu Maskapai ternama di Indonesia ini. "Baik, Bu. Boleh segera selesaikan ke bagian administrasinya ya." Jeda. "Apakah Bapak suami dari Saudari Ayana?" Tanya dokter pada Zidan. Zidan membisu dan langsung melirik ke arah sang Ibu. "Iya, dokter. Nanti akan segera diselesaikan oleh anak saya." Sahut Bu Fatimah dengan segera dan mengedipkan mata ke arah Zidan. "Baik Ibu, Bapak. Kalau begitu saya izin pamit. Nanti kalau terjadi apa-apa, boleh tekan tombol alarm saja. Terima kasih." Jawab Sang dokter yang langsung berlalu meninggalkan Zidan dan Ibu Fatimah. "Bu!" Protes Zidan. "Sudah sana, sementara kamu kalau ditanya mengaku saja kalau kamu adalah suami dari Ayana. Supaya prosesnya dipercepat. Kamu ke bagian administrasi ya sekarang." Perintah Sang Ibu pada Zidan. Zidan tampak menggaruk - garukkan kepalanya yang tidak gatal. Ia berlalu menuju kasir untuk menyelesaikan administrasinya. *** "Alhamdulillah, Nak. Kamu sudah sedikit cerah wajahnya. Ayo kamu harus sembuh sebelum Fahmi pulang ke Rumah." Bu Fatimah memberikan semangat kepada Ayana. Ayana kini telah terbaring di ranjang Rumah Sakit. "Iya, Ibu." Jawab Ayana dengan kondisi masih lemas. "Ya sudah kalau begitu Ibu izin pamit pulang sebentar ya, Nak. Kamu di jaga oleh Zidan tidak apa-apa kan? Kalian kan sudah saling kenal sejak kecil." Ujar Sang Ibu. "Tapi, Bu. Aku ada jadwal mengajar di kampus." Zidan menolak untuk menemani Ayana karena ada jadwal mengajar di Kampus dimana ia bekerja. "Sudah, izin dulu sehari saja, Zidan. Disini kan kamu yang bertanggungjawab mengaku sebagai suami Ayana." Ucap Sang Ibu. Zidan langsung menoleh ke arah Ayana. Ayana pun mengernyitkan dahi nya tanda tidak paham dengan apa yang dimaksud sang Ibu Mertua. Zidan menggeleng-gelengkan kepalanya dan menunduk malu pada Ayana. "Ya sudah Ibu pulang dulu. Assalamu'alaikum." Bu Fatimah berlalu dan keluar dari ruangan kamar dimana Ayana dirawat. "Wa'alaikumsalam." "Kak Zizid! maksud Ibu tadi apa ya, kak?" Ayana bertanya karena penasaran. Zidan langsung duduk dikursi sebelah ranjang Ayana. "Jadi begini Za, tadi dokter menanyakan suami kamu. Terus dengan cepat Ibu langsung bilang kalau aku ini suami kamu. Karena supaya proses disegerakan. Harap maklum ya, Za. Ibu memang suka begitu!" Zidan menjelaskan secara detail kepada Ayana supaya tidak terjadi salah paham. Ayana pun mengangguk dan tersenyum simpul. "Kok malah senyum?" Tanya Zidan. "Lucu aja, Kak. Ada-ada saja deh. Ya sudah kalau begitu tidak apa, kak. Kan hanya sementara." Jawab Ayana. Zidan pun membalas senyuman Ayana. "Syafakillah ya, Za. Supaya nanti Fahmi sampai Rumah kamu sudah sehat. Kata dokter kamu kelelahan dan kurang tidur. Memang kamu diajak lembur terus ya?" Zidan bertanya dengan nada sedikit meledeknya. Ayana memutarkan kedua bola matanya, enggan sekali ia menjawab pertanyaan Zidan. "Apa sih, Kak? Memang sudah saatnya sakit saja." Jawab Ayana yang langsung membuang wajahnya untuk mengalihkan pandangannya dari penglihatan Zidan. "Za, ada yang ingin aku tanyakan kepadamu. Boleh kah?" Tanya Zidan. Ayana menolehkan pandangannya kembali ke arah Zidan tanpa ekspresi. "Apa?" "Kamu mengapa menerima pinangan Fahmi? Sedangkan sebelumnya kamu tidak mengenalnya." Zidan mencoba menanyakan apa yang menjadi beban pikirannya. Ayana menghembuskan napas panjangnya. "Kak, semua itu sudah di atur sama Allah. Tinggal bagaimana kita menjalani nya. Aku menerima bang Fahmi karena memang dia adalah sosok yang dikirim Allah untukku." Jawab Ayana menjelaskan. "Andaikan waktu itu aku yang melamar kamu. Apakah kamu menerima aku?" Zidan mencoba menggali jawaban pada Ayana. "Kalau memang saat itu kamu yang melamar aku, aku akan menerimanya. Itu pertanda kalau kamu lah jodohku yang dikirim Allah." Jawaban Ayana membuat hati Zidan teriris. Andai saat itu ia tidak mengajak Fahmi, mungkin dirinya lah yang akan bertemu lebih dulu dan bisa dengan segera melamar Ayana. Terlihat urat kesedihan di wajah Zidan. Ia tidak melanjutkan pembicaraannya dengan Ayana. Ayana menangkap kesedihan dibalik senyuman Zidan. "Kak." Zidan menoleh kearah Ayana. "Kamu tidak perlu mengkhawatirkan takdir Allah, Kak. Kalau memang kita berjodoh, suatu saat nanti Allah pasti akan mempersatukan kita. Percayalah akan janji Allah, Kak. Akan tetapi kalau kita di takdirkan tidak berjodoh, seusaha apapun kita tidak akan pernah bersatu." Ayana menyunggingkan senyumannya untuk menguatkan hati Zidan. Zidan membalas senyuman Ayana. *** "Hallo, jam berapa Ibu ke Rumah Sakit lagi?" Tanya Zidan dalam panggilan telponnya. "Maaf, Zidan. Ibu belum bisa ke Rumah Sakit dulu. Masih menyelesaikan pekerjaan rumah dan ada sedikit urusan. Kamu tolong jaga Ayana dulu, Zid." Perintah sang Ibu. "Baiklah, Bu." Zidan menjawab singkat, karena percuma jika ia banyak berbicara tidak akan pernah menang juga jika sudah berurusan dengan Sang Ibu. Ayana yang sedari tadi memperhatikannya langsung mengerti dengan gelagat Zidan. "Kak Zizid, kalau kakak ingin pulang. Silahkan pulang saja. Aku tidak apa-apa ditinggal." Pinta Ayana pada Zidan. Seketika Zidan menoleh ke arah Ayana dan berjalan menuju Ayana. "Tidak, Za. Aku harus tetap menjaga kamu disini. Aku tidak bisa membiarkan kamu sendiri. Lagi pula aku tidak akan tega." Jawab Zidan meyakinkan. Ayana pun tersenyum. "Kak Zizid, aku tidak apa sendirian pun. Kakak butuh istirahat. Kasihan kakak belum istirahat. Nanti yang ada kakak malah turut sakit juga." Ayana memberikan penjelasan. "Kalau aku sakit, apakah kamu mau merawat aku?" Tanya Zidan pada Ayana. "Tidak lah kak, aku tidak bisa merawat kamu. Nanti ibu yang akan merawat kamu. Kita kan bukan mahrom." Jelas Ayana kembali. Zidan menghembuskan nafas panjangnya. "Ya sudah kalau begitu. Aku istirahat disini saja boleh, Za?" Pinta Zidan pada Ayana untuk beristirahat di Sofa dekat ranjang Ayana. Masih dalam satu ruang. "Boleh dong, Kak. Silahkan!" "Baiklah kalau begitu. Aku beristirahat dulu ya, Za. Nanti kalau ada perlu bangunkan aku saja." Perintah Zidan yang sudah sangat mengantuk. "Baik, Kak Zizid. Selamat beristirahat ya." Zidan langsung membaringkan tubuhnya pada sofa sebelah ranjang Ayana. Kedua bola matanya sudah sangat lelah sekali. Ayana membiarkan Zidan untuk beristirahat, karena memang Zidan membutuhkan mengistirahatkan tubuhnya. (Kak Zid, andai kamu yang lebih dulu bertemu dengan ku. Mungkin kini aku sudah menjadi isterimu. Maafkan aku ya, Kak. Aku akan terus menyayangimu sebagai kakakku. Aku rindu denganmu yang dulu kak) * Jam menunjukan pukul satu malam. Perut Ayana rupanya terasa lapar. Namun ketika ia hendak mengambil beberapa makanan di atas meja. Tangannya sangat sulit untuk menjangkaunya. Ia terpaksa harus bangun dari posisi tidurnya dan menurunkan kedua kakinya untuk menapak sedikit agar jangkauannya sampai pada tujuannya, yaitu mengambil makanan diatas meja. Ia berusaha untuk mengambil sendiri walau kakinya masih terasa berat dan lemas. Ia tidak ingin membangunkan dan mengganggu Zidan yang tampak tertidur dengan pulasnya. Meja makanannya tepat disebelah sofa dimana Zidan beristirahat. Ketika tangan Ayana ingin meraih makanan, dengan tiba-tiba saja seketika kaki Ayana terasa sangat lemas dan tidak berdaya. Tanpa berpegangan dengan benda lainnya membuat tubuh Ayana terhuyung dan akhirnya jatuh menimpa tubuh Zidan yang sedang terlelap di sofa. Brukkkk!!! Sontak Zidan terbangun dan terkejut mendapati tubuh Ayana sudah berada diatas tubuhnya dengan posisi menindihi tubuhnya. Zidan memandang Ayana, begitu juga sebaliknya. Keduanya menjadi saling pandang dan menjadi salah tingkah. "Maaf, Kak Zid. Kaki aku lemas sekali.""Maaf, Kak. Kaki aku lemas sekali." Ucap Ayana dengan pandangan yang tidak nyaman karena dengan tidak sengaja telah menindih tubuh Zidan.Deg!Hati Zidan menjadi melayang seketika, ketika tubuh Ayana berada dalam pelukannya secara tidak sengaja.Membuat iman seorang Zidan menjadi goyah.Zidan yang mendapatkan tubuh Ayana telah berada di atasnya. Kemudian dengan terpaksa menyentuh lengan Ayana dan membantu Ayana untuk bangun dari posisinya."Za, kamu kenapa?" Tanya Zidan kepada Ayana.Ayana hanya meringis saja karena semua ini adalah kesalahannya yang berawal dengan ketidaksengajaan."Aku lapar, Kak. Ingin mengambil cemilan niatnya. Eh aku malah sempoyongan dan terjatuh ke tubuh, Kak Zid." Jelas Ayana dengan nada pelannya."Untung kamu jatuh ke tubuhku, coba kalau jatuh ke lantai. Pasti tubuh kamu semakin sakit." Jawab Zidan yang berjalan memapah tubuh Ayana."Hehe iya maaf, Kak.""Kenapa kamu tidak membangunkan aku saja?" Tanya Zidan sambil membantu Ayana untuk naik kembali ke atas ra
Hujan begitu deras malam ini. Suasana malam terasa dingin dan sepi. Hanya ada suara petir yang saling sahut menyahut.Ayana terbangun dari tidur lelapnya. Tenggorokan nya pun terasa sangat kering.Ayana beranjak dari tempat tidurnya dan segera melangkahkan tungkainya keluar kamar untuk segera berjalan menuju dapur yang berada di lantai bawah.Kondisi tubuhnya sudah terasa sehat, namun masih ada rasa lemas sedikit pada bagian tungkai kakinya.Ia berjalan menyusuri dinding kamar luar. Dan melewati kamar Zidan yang sedikit terbuka.Ia mendengar suara Zidan melantunkan ayat suci, namun Ia berusaha untuk tidak mengintip ke arah kamar Zidan. Karena dirasa cukup tidak sopan dan tidak baik jika melihat ke dalam kamar tanpa seizin pemilik Kamar.Ayana berjalan perlahan menuruni anak tangga. Sebagian lampu beberapa ruangan sudah di padamkan oleh Bu Fatimah.Dengan langkah perlahan akhirnya Ayana sampailah di dapur dan mengambil segelas air minum untuk melepaskan keringnya tenggorokan.Zidan yan
"Karena sebenarnya... Aku menyayangimu, Kak." Akhirnya Ayana memberikan sebuah pengakuan kepada Zidan.Sungguh menjadi sebuah tamparan halus untuk Zidan, ketika mendapati seseorang yang sangat ia sayangi dan ia cintai mengakui akan perasaan yang sama.Bagaimana kah ini? sedangkan disatu sisi Ayana sudah menjadi milik orang lain, bahkan adiknya sendiri.Zidan merasa bersalah atas perasaannya selama ini. Mengapa ia tidak melamar Ayana dengan segera ketika dirinya sudah kembali ke Indonesia saat sudah menyelesaikan studynya dari Kairo."Benarkah, Za? Aku tidak salah mendengarnya?" Zidan tampak tidak mempercayai akan hal tersebut.Ayana mengangguk. Lalu ia segera beranjak dan berlalu meninggalkan Zidan yang masih menyalahkan diri atas perasaan Zidan.Ayana berlari meninggalkan Zidan. Dengan hati yang begitu sakit, dada yang terasa sesak.Ayana melemparkan tubuhnya diatas ranjang dan menangislah sejadi-jadinya."Yaa Allah, Yaa Robbi.. Maafkan aku telah melakukan kesalahan pada hari ini. Ma
"Sayang, terima kasih sudah bersedia menjadi Isteriku, aku sayang kamu." Kecup Fahmi pada dahi Ayana."Sama-sama, Mas." Ayana menyahuti."Dek, mau kah bulan madu?" tanya Fahmi yang masih mengusap-usap pucuk kepala Ayana."Kemana, Mas?" tanya Ayana."Kamu mau nya kemana, Sayang?" tanya balik Fahmi pada Ayana."Aku ikut saja, Mas. Kemanapun kamu mengajak." jawab Ayana."Hmm, kemana ya enaknya? bagaimana kalau kita umroh?" tanya Fahmi.Ayana terbelalak. Seketika matanya membulat besar. Impian yang selama ini ingin Ayana wujudkan kini ditawarkan langsung oleh suaminya sendiri."Yang benar, Mas? Mas serius? tidak berbohong?" Ayana sangat bahagia mendengar kabar bahwa dirinya akan diajak Umroh."Iya, Sayang. Kalau kamu mau, Mas bisa langsung daftar dan siapkan segala sesuatunya." Ucap Fahmi.Ayana mengangguk dengan cepat. Lalu ia langsung memeluk erat tubuh suaminya itu.Fahmi langsung menerima pelukan dari Ayana.***"Bu, aku berencana untuk membuat sebuah Pondok Pesantren tidak jauh dari
"Baik, Kak Zid. Aku akan turun." Ayana segera merapihkan apa yang sedang menjadi aktivitasnya kala itu.Dengan bergerak cepat, Ayana sedikit berlari menuruni anak tangga, karena ia tidak ingin membuat Ibu Mertuanya terlalu lama menunggunya.Sesampainya dilantai bawah, Ia melihat Zidan telah bersama dengan Bu Fatimah sedang berada dimeja makan."Ayana, mengapa kamu turunnya lama sekali, Nak? Apakah ada yang sedang kamu kerjakan?" Tanya Bu Fatimah yang telah duduk manis didepan meja makan.Ayana berjalan mendekati meja makan, dan ia segera duduk disamping Bu Fatimah."Maafkan Ayana, Bu. Ayana belum merasa lapar. Jadi, Ayana pikir nanti-nanti saja Ayana sarapannya." Jawab Ayanan dengan menunduk, ia takut membuat kecewa sang Ibu Mertua.Bu Fatimah menghela napas panjangnya."Ayana, sarapan itu tidak harus menunggu lapar. Isilah perut sedikit saja walau hanya beberapa suap atau bahkan segigit roti saja. Supaya perut kita tetap aman dari penyakit lambung." Jelas Bu Fatimah dengan mengusap l
"Cari apa, Kak?" Tanya Ayana."Cari yang segar-segar." Jawab Zidan singkat.Ayana tampak berpikir sejenak."Apa itu yang segar-segar?" Tanya Ayana dengan tangannya bergerak menyiapkan gelas kosong berikut dengan teh dan gula."Tidak tahu nih, ternyata dikulkas tidak ada yang segar-segar." Jawab Zidan dengan wajah kecewa karena ia tidak mendapatkan apa yang ia inginkan."Beli saja, Kak!" Perintah Ayana.Ayana menuangkan air panas kedalam gelas panjang, dan kemudian ia mengaduknya."Temani aku, yuk!" Ajak Zidan kepada Ayana.Ayana langsung membuka matanya dan menatap kearah Zidan."Tidak salah, Kak?" Tanya Ayana terkejut.Zidan pun berdiri dari posisi semula."Kenapa memangnya? Apa yang salah?" Zidan balik bertanya."Kan kita bukan mahrom, Kak. Tidak baik juga kalau pergi, apalagi aku seorang Isteri yang memiliki suami." Jelas Ayana.Zidan terkekeh melihat ekspresi Ayana."Ya ampun, Za. Percaya sekali, aku hanya bercanda, Za. Tidak mungkin juga aku mengajak Isteri adikku sendiri. Apa ka
"Sudah mengaku saja, Za!" Zidan bertanya kembali."Kakak, kenapa sih? Suka sekali gangguin aku!" Ayana menghardik Zidan dengan menghentakkan kakinya diaspal.Zidan menggelengkan kepalanya."Hahaha, kamu kepe-dean ah, Za. Sudah lah, aku duluan saja kalau dituduh mengganggu kamu!" Zidan melangkahkan kakinya lebih cepat sehingga Ayana jauh tertinggal.Ayana teramat kesal dengan sikap Zidan yang semakin hari semakin jahil saja terhadapnya."Awas ya, Kak! Aku aduin kamu pada Mas Fahmi!" Ancam Ayana pada Zidan."Haha, silahkan saja, Za! Aku tidak takut!" Zidan berlari meninggalkan Ayana.Ayana mengejar Zidan dengan berjalan lebih cepat. Karena hari sudah sangat malam.Jalanan komplek juga sudah sangat sepi."Aaarrrggghhhhh.... Kak Zidaaaaannn!!!!"***"Assalamu'alaikum, Sayangku. Ayo bangun! Sudah waktunya sholat subuh." Bisik Fahmi kepada Ayana dengan tertidur pulas.Samar-samar Ayana mendengar suara Fahmi dalam tidurnya.Ia menggeliat dan membuka matanya yang masih terasa berat.Ketika ia
"Kenapa kamu senyum-senyum, Sayang? Kamu bersedia?" Fahmi memperhatikan wajah Ayana yang terlihat bahagia."Alhamdulillah, aku bersedia. Aku memang sangat merindukan suasana Pesantren. Terasa hangat dan ramai. Aku jadi tidak kesepian." Jawab Ayana dengan senyuman lebarnya sehingga deretan gigi putihnya terlihat sangat jelas.Zidan melirik wajah Ayana dan ia pun terpesona oleh senyuman Ayana.Sangat cantik!"Syukurlah kalau begitu. Tapi, ingat ya. Jangan terlalu kecapaian. Kamu juga tetap harus fokus untuk memberikan cucu buat Ibu." Bu Fatimah memberikan sebuah peringatan agar Ayana jangan terlalu kelelahan untuk berjuang demi memberikan dirinya cucu.Sontak wajah yang ceria seketika mengendurkan senyumannya kemudian Ayana melirik kearah Fahmi.Fahmi pun melakukan hal yang serupa."Baik, Bu. Semoga disegerakan ya, Bu." Sahut Ayana agar Bu Fatimah tidak berlarut-larut dalam penantian seorang cucu."Oh iya, sudah malam, Bu. Ibu ingin istirahat? Ayo Zidan antar ke kamar, nanti sakitnya ka
"Abi, pikirkan Sarah juga dong, Bi. Sarah itu kan anak kita satu-satunya. Isteri Fahmi itu kan hanya anak angkat Kyai Akbar, bukan anak kandung. Lagi pula, tidak masalah jika dipoligami. Karena di agama kita sendiripun membolehkannya jika memang ada alasan yang kuat." Tegas Umi Naima."Umi, janganlah bicara seperti itu. Tidak baik. Kita harus mengambil jalur tengah, Mi. Jangan hanya ingin mencari keuntungan secara sepihak. Apalagi sampai merugikan orang lain. Ada baiknya, kita harus berdiskusi kembali. Tidak boleh mengambil keputusan sendiri." Kyai Haji Hasan kembali mempertegas kepada Umi Naima."Ya sudahlah kalau begitu, Bi." Jawab Umi Naima."Ya sudah, sebaiknya Umi buatkan cemilan untuk Abi." Pinta Kyai Haji Hasan pada Umi Naima."Baiklah." Sahut Umi Naima seraya beranjak dari tempat duduknya dan segera pergi meninggalkan Kyai Haji Hasan diteras rumahnya.***"Za, rotinya dimakan dulu. Dari tadi kamu belum sarapan. Menyentuhnya saja tidak." Perintah Zidan kepada Ayana.Ayana sedan
"Kak, apakah yang harus aku lakukan?" Tanya Ayana dengan terus menangis dan tidak bisa menghentikan air matanya yang terus mengalir.Zidan kemudian memeluk tubuh Ayana untuk sekedar menenangkannya. Namun, Ayana membalas pelukan itu dengan begitu erat. Ia meluapkan semua perasaan kecewanya. Ia menangis lebih histeris."Menangislah, Za. Jika itu bisa menghilangkan uneg-uneg kamu." Bisik Zidan didekat telinga Ayana.Zidan mengusap lembut punggung Ayana. Ayana terlena akan pelukan hangat dari Zidan."Kak, beri aku waktu untuk aku berpikir ya. Aku akan melakukan sholat istikharah untuk mengambil keputusan ini." Ucap Ayana dengan nada terbata-bata.Zidan mengangguk."Kak, tolong besok antarkan aku ke rumah Kyai Akbar dan Umi Farida. Aku rindu kepada mereka." Ucap Ayana.Zidan mengerutkan dahinya, ia melepaskan pelukan Ayana. Ia memandang wajah Ayana dengan lekat."Apakah kamu ingin mengadukan semua ini kepada beliau?" Tanya Zidan."Aku belum tahu, yang jelas aku ingin bertemu dengan mereka.
"Bu, aku tidak bisa. Mau bagaimana pun aku tidak bisa, mengapa tidak Kak Zidan saja sih? Aku sudah mempunyai Isteri, Bu." Jawab Fahmi dengan sudut matanya yang sudah terasa panas.Emosinya tidak stabil."Bu, sudahlah. Tolak saja. Aku yakin mereka pasti akan mengerti. Masalah Sarah biarkan mereka yang mengendalikannya. Bukan kita akan memutuskan tali silaturahim kita kepada Kyai dan Umi. Tapi, kita juga bingung, Bu. Dan belum tentu juga andai mereka menikah, Sarah bisa langsung memberikan keturunan untuk Fahmi. Kalau sama halnya seperti Ayana bagaimana, Bu? Ayana dan Fahmi itu sama-sama sehat, mungkin memang belum saatnya saja mereka diberikan amanah!" Tegas Zidan.Gubraaakkkk..!!!!! "Hiksss... Hiksss..." Tangis Ayana pecah ketika mengetahui akan semuanya. Ia membanting pintu dengan begitu kencang.Dadanya terasa sakit dan sesak, sampai ia sKesulitan bernafas."Ayana, Fahmi! Seperti ia mendengar semuanya!" Ucap Zidan dengan begitu panik."Astaghfirullah, Ya Allah. Mengapa Ayana harus
"Bagus sih, Kak. Aku setuju. Supaya nanti bisa lebih berkembang." Jawab Ayana."Good! Aku juga inginnya seperti itu, terus mendampingi aku ya, Za. Karena, aku akan terus membutuhkan kamu sampai kapanpun." Ucap Zidan memandang wajah Ayana."Iya, Kak. Santai saja. Oh iya, ada yang ingin aku katakan.""Katakanlah!""Sepertinya, aku membutuhkan pengajar wanita tambahan, Kak. Tidak cukup jika hanya aku dan Difa saja. Kita berdua sudah cukup kewalahan. Bagaimana, kalau kakak menambahkan dua pengajar wanita? Atau, satu juga tidak apa-apa sih." Pinta Ayana kepada Zidan.Zidan tampak berpikir sejenak."Hmmm.. Boleh saja. Nanti akan aku carikan kembali. Oh iya, ikut aku sebentar yuk."Ajak Zidan pada Ayana.Zidan mengajak Ayana untuk melihat hasil bangunan rumah Zidan yang telah jadi."Wah, aku jarang sekali menengoknya. Ternyata, rumah kak Zidan sudah jadi ya. Bagus pula. Beruntung nanti Isteri Kak Zidan. Jadi, pingin punya rumah juga." Celetuk Ayana membuat Zidan memicingkan matanya."Kamu ju
"Tidak ada apa-apa, Za. Aku hanya bertanya saja. Sudah, kamu istirahat ya. Atau memang benar kamu ingin menemani aku tidur dikamarku?" Zidan memandang wajah Ayana dengan penuh makna.Ayana menggelengkan kepalanya. Ayana masih terus mematung dengan pikiran penuh dengan tanda tanya.Melihat Ayana tidak meresponnya, Zidan langsung menggendong tubuh Ayana dan membawanya ke kamar Ayana."Kakak kebiasaan, mengapa menggendongku?" Protes Ayana kembali.Zidan tidak menjawab, ia terus melangkahkan kakinya menuju kamar Ayana yang tidak jauh dari kamarnya.Sesampainya dikamar Ayana, Zidan membaringkan tubuh Ayana dengan sangat hati-hati."Tidur ya, selamat malam isteri haluku sayang." Bisik Zidan dengan memandang Ayana penuh dengan makna terdalam.Ayana memandang lekat manik-manik Zidan, kemudian ia tersenyum."Hahaha, tidak jelas! Halu sekali kamu, Kak. Sudahlah, aku ingin istirahat. Kakak juga segera istirahat sana. Jangan lupa pintunya ditutup ya." Ayana tertawa dengan memerintah Zidan agar se
"Lalu, Ayana sedang apa?" Tanya Fahmi."Ayana masih mengajar. Jadi, dia tidak tahu kalau aku pergi." Jelas Zidan."Alhamdulillah, kalau begitu, Kak." Sahut Fahmi dengan perasaan sedikit lega.Zidan menatap wajah Fahmi yang sedikit murung. Dalam hatinya, ia kasihan pada adiknya. Mengapa Fahmi akan menanggung tanggungjawab yang begitu berat diusia yang masih begitu muda."Apakah tidak sebaiknya kita beritahukan kepada Ayana terkait hal ini?" Saran Zidan kepada Fahmi."Jangan, Kak. Jangan dulu! Aku belum siap. Aku tidak ingin membuat Ayana terluka." Tolak Fahmi secara terang-terangan."Tapi, Fahmi. Alangkah baiknya kita beritahukan kepada Ayana. Supaya Ayana mengetahuinya sejak dini, dan barangkali Ayana bisa memberikan solusi untuk jalan keluarnya." Jelas Zidan kembali."Kak, please! Jangan dulu ya. Aku benar-benar belum siap." Fahmi memohon kepada Zidan.Zidan pun tidak dapat berkutik dan bertindak lebih jauh. Karena, titik permasalahannya ada pada Fahmi."Ya sudah, kalau begitu kamu s
"Hasilnya mengarah kepada putra bungsu Bu Fatimah, Bu." Ungkap Kyai Haji Hasan.Jegerrrrrr....!!!! Bu Fatimah bagaikan tersambar petir. Hatinya teriris dan merasa tercabik-cabik. Mendengar apa dari hasil petunjuk yang mengarah kepada Putra bungsunya, yaitu Fahmi.Mengapa harus Fahmi? Mengapa tidak kepada Zidan saja? Mengapa harus membuat sakit hati kepada antara beberapa pihak?Bu Fatimah seketika terlihat gemetaran, tubuhnya lemas terasa kakinya ingin merosot ke lantai."Putra bungsu? Berarti itu adalah Fahmi, Kyai?" Tanya Bu Fatimah kembali untuk memastikan."Betul, Bu Fatimah. Apakah ada waktu untuk kita bertemu membicarakan lebih lanjut?" Kyai Haji Hasan sepertinya ingin mensegerakan proses ta'aruf antara Sarah dan Fahmi."Nanti akan saya atur kembali jadwalnya ya, Kyai. Karena, Fahmi sangat sibuk sekali dengan pekerjaannya." Jelas Bu Fatimah."Memangnya, nak Fahmi pekerjaannya apa, Bu Fatimah?" Tanya Kyai Haji Hasan dengan penasaran."Dia seorang Pilot disalah satu maskapai tern
"Ya sudah, maaf! Lain kali aku akan meminta izin pada Kakak." Jawab Ayana dengan nada mulai melemah. Ia tidak ingin terjadi perdebatan antara dirinya dan Zidan kembali.Zidan membisu, tidak mengeluarkan kata-kata lagi.Ayana hendak berjalan menjauh dari Zidan dan akan segera duduk di bangkunya.Namun, langkahnya terhenti ketika tangannya ditarik oleh Zidan.Tubuh Ayana terhempas dan masuk kedalam pelukan Zidan.Zidan memeluk tubuh Ayana dengan erat."Jangan membuat aku khawatir lagi, Za!" Zidan mengungkapkan bahwa ia tidak ingin Ayana membuatnya khawatir.Ayana mendengus kesal kemudian mendorong tubuh Zidan dan memberontak agar terlepas dari pelukan Zidan.Tatapannya tajam menatap Zidan dengan rasa tidak suka diperlakukan secara tiba-tiba oleh Zidan."Ih, apa sih, Kak? Main peluk-peluk saja. Kita ini bukan mahrom. Tidak baik begini. Bagaimana kalau ada yang lihat? Bisa menimbulkan fitnah! Aku tidak suka kak Zidan begini!" Sungut Ayana kesal. Ia langsung menjauh dari Zidan.Ayana berja
"Bisa, sayang. Bisa!" Sahut Fahmi.Ayana pun sedikit bahagia, akhirnya setelah sekian lama, Fahmi akan berkunjung ke Pesantren walaupun nantinya hanya sebentar saja."Aku bilang ke Kak Zidan dulu ya!" Ucap Ayana setengah berlari dengan pakaian gamisnya yang melayang-melayang terkena angin.Fahmi mengangguk.Ayana berjalan menuju dimana Zidan berada.Ternyata Zidan berada di ruang tengah, ia sedang menyiapkan beberapa barang yang akan ia bawa."Kak Zidan!" Panggil Ayana."Ada apa, Za?" Tanya Zidan tanpa mengalihkan pandangannya dari barang-barangnya."Aku hari ini tidak menumpang kamu, Kak. Aku akan diantar oleh Mas Fahmi. Tidak apa-apa kan? Mumpung Mas Fahmi bisa antar aku." Ucap Ayana dengan semangat."Oke." Zidan menanggapi dengan sikap dingin.Sepertinya ia tidak ikhlas jika Ayana bersama dengan Fahmi.Ayana segera menaiki anak tangga kembali. Sepeninggal Ayana, Zidan baru menoleh ke arah langkah Ayana yang hampir tidak terlihat karena telah masuk kedalam kamarnya.Zidan menarik na