"Dek, terima kasih ya." Ucap Fahmi berbisik didekat daun telinga milik Ayana.
Ayana tampak lemas, namun gairahnya belum kunjung surut. Maklum saja, mereka pengantin baru. Sama-sama baru perdana merasakan surga dunia seperti yang disebut oleh banyak orang. Malam itu, menjadi malam yang sangat panjang bagi Ayana dan Fahmi. Sepasang pengantin baru yang menikmati indahnya kebersamaan. Entah sudah berapa ronde, sehingga ketika menjelang subuh keduanya tampak lemas dan tidak berdaya. "MasyaAllah, cantik sekali Isteriku ini. Beruntung aku bisa mendapatkan kamu, sayang." Gumam Fahmi ketika melihat Ayana masih tidur nyenyak tidak berdaya akibat gempuran dari Fahmi. Fahmi beranjak dari tempat tidurnya, ia segera membersihkan tubuhnya. Karena setelahnya akan melaksanakan sholat subuh. Setelah tubuhnya sudah bersih dan wangi, ia segera membangunkan Isterinya yang masih terlelap. "Sayang, Dek bangun. Sudah mau subuh. Kamu segera mandi ya. Nanti kita sholat berjama'ah." Perintah Fahmi kepada Ayana yang baru saja membuka matanya, sedikit mengerjapkan matanya Ayana langsung duduk dan membaca do'a ketika bangun tidur. Ayana tersenyum kepada Fahmi. "Aku mandi dulu ya, Mas." Izin Ayana kepada suaminya. "Baik, Isteriku." Jawab lembut Fahmi. "Awww sakit, Mas." Rengek Ayana dengan berjalan pelan sedikit meregang. Karena dibagian area int*mnya masih terasa sangat sakit. "Sabar ya, Sayang. Maaf atas ulah suamimu ini. Habisnya kamu legit sekali sih Dek, hehehee.." Fahmi meledek Ayana. *** "Ayana, kenapa wajah kamu pucat seperti itu, Nak? Apakah kamu sedang sakit?" Tanya Bu Fatimah kepada Ayana yang keluar dari kamar tidurnya. Bu Fatimah langsung berjalan mendekati Ayana dan menyentuh dahi Ayana yang memang sedikit panas. "Tidak apa Ibu, sepertinya aku hanya kurang tidur saja." Jawab Ayana dengan senyuman khasnya. "Maklum Bu, pengantin baru. Ibu kayak tidak tahu saja." Celetuk Zidan yang berjalan mengambil segelas air pada dispenser. Ayana sedikit menunduk karena malu. Wajahnya tampak memerah layaknya kepiting rebus. "Tunggu sebentar ya, Nak! Ibu ambilkan obat dulu." Ucap Bu Fatimah yang berlalu dan meninggalkan Ayana berdua dengan Zidan di dapur. "Kamu apa kabar, Ay?" Tanya Zidan yang sudah sangat lama sekali tidak mengobrol dengan Ayana. Namun ketika dirinya dipertemukan kembali, dengan berbesar hati ia harus menelan pil pahit bahwa ia harus menjadi kakak ipar dari Ayana. Bukan untuk menjadi seorang suami bagi Ayana. "Alhamdulillah baik, Kak." Jawab Ayana dengan senyumannya. "Sudah lama ya kita tidak bertemu. Eh sekalinya bertemu kamu dipinang adikku sendiri. Padahal aku yang ingin..... " Ucapan Zidan terhenti karena kedatangan sang Ibu. "Nak, minum paracetamol dulu ya. Kamu sepertinya lemas sekali." Perintah Bu Fatimah. Mendapat perintah dari sang Ibu Mertua, Ayana langsung menuruti perintahnya. "Baik, Bu." Ayana menerima obat dari sang Ibu Mertua dan segera meminumnya. "Ya sudah kamu beristirahat saja ya Nak dikamar." Perintah Bu Fatimah kembali. "Tapi Bu, aku ingin membantu Ibu memasak." Sahut Ayana dengan nada lembutnya. "Tidak usah, Nak. Kamu istirahat saja." Pinta Bu Fatimah. "Baik, Bu. Maaf kali ini Ayana belum bisa membantu Ibu memasak." Jawab Ayana, yang langsung beranjak dari tempat duduknya. Namun ketika ia sudah berdiri, pandangannya tiba - tiba gelap, ia seperti melayang-layang dan pada akhirnya Ayana ambruk jatuh ke lantai. "Ya Allah." Teriak Bu Fatimah. "Ayana!" Disusul teriakan Zidan. "Zidan, tolong angkat Ayana dan bawa ke kamar sekarang!" Perintah sang Ibu. "Tapi, Bu?" Zidan menyadari bahwa dirinya dan Ayana bukan mahrom. Ia tidak berani untuk menyentuh Ayana walau hanya membopongnya saja. "Cepat, Zidan! Anak laki-laki dirumah ini hanya kamu. Ibu tidak kuat membopongnya. Ini darurat, Zidan. Kasihan Ayana." Bu Fatimah sangat paham apa maksud Zidan mengapa Zidan tidak langsung mengangkat tubuh Ayana. Zidan masih diam mematung. "Astaghfirullah, Cepat Zidan!" Sentak Ibunya. "Baik, Bu." Jawab Zidan. Dengan segera Zidan mengangkat tubuh Ayana dan membopongnya masuk kedalam kamarnya. (Ayana kamu kenapa? Jangan sakit Ayana. Aku sangat rindu dengan kamu, kamu tumbuh dengan sempurna. Kamu manis sekali. Izinkan aku menggendongmu ya Ay, sebelumnya aku minta maaf karena telah menyentuhmu, karena ini dalam keadaan darurat) Zidan membaringkan Ayana di ranjangnya. Bu Fatimah langsung datang dan memberikan kompres pada dahi Ayana serta minyak angin pada hidung Ayana supaya lekas sadarkan diri. Terlihat Ayana membuka matanya perlahan dan menyentuh pucuk kepalanya yang terasa sangat sakit sekali. "Jangan terlalu banyak bergerak, Ay. Nanti sakitnya jadi semakin bertambah." Ucap Zidan. "Kamu sudah sadar, Nak? minum dulu ya!" Perintah Bu Fatimah sambil menegakkan kepala Ayana. "Zidan, Fahmi terbang berapa hari?" Tanya sang Ibu menoleh ke arah Zidan. "Tiga hari, Bu." Jawab Zidan yang langsung berdiri menjauh karena sudah ada sang Ibu didekatnya. "Kalau Ayana sampai nanti sore tidak kunjung reda, langsung kita bawa ke Rumah Sakit ya, Zid. Ibu khawatir Ayana kenapa-kenapa." Ucap Bu Fatimah. "InsyaAllah tidak apa-apa, Bu. Kita terus berdo'a untuk kesembuhan Ayana." Sahut Zidan. Ayana kembali memejamkan matanya. Tampaknya efek dari obat yang telah ia minum sudah bereaksi. "Ya sudah, Ibu ke dapur dulu ingin membuatkan bubur untuk Ayana. Tolong jaga Ayana selama Fahmi sedang terbang seperti amanat Kyai Akbar dan Umi Farida. Kamu juga harus menjaga anak ini." Perintah sang Ibu. "Tapi, Bu?" Cegah Zidan menarik tangan Sang Ibu. "Sudah kamu ini jangan kebanyakan tapi-tapian." Sungut sang Ibu sembari menepis tangan Zidan. Zidan terdiam dan hanya bisa menuruti perintah dari Sang Ibu. Bu Fatimah berlalu meninggalkan Zidan dan Ayana di dalam kamar. Zidan duduk di sofa yang sedikit jauh dari ranjang. Biar bagaimanapun Zidan harus tetap menjaga jarak. Sembari memainkan ponselnya, tanpa seizin Ayana. Zidan memotret wajah Ayana yang cantik dan manis ketika sedang terlelap. (Andai dirimu tahu Ayana, betapa aku menyayangimu sedari dulu. Mungkin akulah yang akan menjadi suamimu sekarang) Ucap Zidan dalam hati, ketika ia memandangi foto Ayana. "Astaghfirullahalazim, apa-apaan sih aku?" Gumam Zidan menggaruk kepalanya yang sebenernya tidak gatal. *** "Zidan, nampak nya belum ada perubahan pada diri Ayana. Tubuhnya semakin demam. Kita bawa Ayana ke Rumah Sakit sekarang!" Perintah Bu Fatimah pada Zidan. Zidan yang sedang membaca beberapa ayat dari kitab Shimtudurror, langsung beranjak mendekati Ibunya. "Ibu bersiap-siap dulu ya, Zid." Ucap sang Ibu yang sudah sangat panik dan khawatir dengan keadaan Ayana. "Kita harus bilang ke Fahmi tidak Bu?" Tanya Zidan pada Ibunya. "Jangan! Nanti dia menjadi tidak konsentrasi membawa pesawatnya. Tunggu sampai Fahmi selesai baru kamu bisa kabari Fahmi." Cegah sang Ibu. "Baik Bu." Bu Fatimah berlalu meninggalkan Zidan dan Ayana untuk bersiap-siap mengganti pakaian dan membawa beberapa barang yang diperlukan saat di Rumah Sakit. "Ay, Ayana. Ayanaaa.." Panggil Zidan pada Ayana. Namun rupanya Ayana belum bisa dibangunkan. "Zaaa, Zazaaaa.. Bangun Zaaa." Panggil Zidan pada Ayana dengan sebutan Zaza yang tidak lain adalah nama panggilan akrab mereka ketika masih di Pesantren. Sebuah penggalan nama Ayana, yang bernama lengkap Ayana Zahira. Tidak lama kemudian Ayana segera membuka matanya karena sudah sangat lama sekali ia tidak mendengar panggilan masa kecilnya, hanya Zidan lah yang memanggilnya dengan sebutan Zaza. "Kak Zizid. Kamu yang memanggilku tadi ya?" Ayana bertanya dengan nada lirih karena kondisi tubuhnya yang sangat lemah. Zidan mengangguk. "Kamu harus dibawa ke Rumah Sakit, Za. Kondisi kamu semakin turun. Nanti Fahmi sedih kalau tahu kamu sampai sakit begini." Titah Zidan. "Tidak perlu, Kak. Aku masih kuat kok." Sahut Ayana yang tidak ingin di bawa ke Rumah Sakit. "Yakin kuat? Coba bangun! Lalu berdiri!" Perintah Zidan. Ayana mengangguk pelan. Ia berusaha untuk bangun dari tempat tidur nya namun sangatlah sulit. Perlahan-lahan ia mencoba menegakkan kepalanya namun malah semakin mual dan terasa melayang-layang. Zidan sengaja memperhatikan Ayana yang tetap pada pendiriannya untuk tetap di rumah saja. Ayana terus mencoba untuk bangun. Ketika ia berhasil duduk, ia mencoba kembali untuk bisa berdiri. Namun saat kakinya ingin ditegakkan, tiba-tiba tubuhnya lemas tidak berdaya. Seketika Zidan langsung meraih tubuh Ayana, kini tepat tubuh Ayana berada dalam pelukan Zidan. Zidan dan Ayana saling berpandangan, ada cerita dibalik kedua bola mata mereka. Kedua mata mereka saling berbicara dan saling menahan kerinduan yang mendalam. Membuka kembali memory ketika keduanya masih di Pesantren. "Zaaa." Ucap Zidan lirih dengan terus memandang manik mata Ayana. Ayana sangat lemas, kalau dirinya kuat ia sudah melepas pelukan Zidan. Namun apa daya, tubuhnya seperti tidak memiliki tulang. "Kepalaku pusing banget, Kak Zizid. Aku tidak kuat Kak." Ucap Ayana terbata-bata. "Mau aku gendong atau ingin dipapah saja?" Tanya Zidan kembali. "Dipapah saja, Kak." Pinta Ayana. Zidan akhirnya memapah Ayana. Dengan terpaksa Zidan dan Ayana harus saling bersentuhan, karena sangat sulit Zidan memapah jika tidak melingkarkan tangannya pada pinggang Ayana. Sedangkan tangan yang satunya memegang tangan Ayana yang tengah merangkul pada pundaknya, namun tetap terhalangi oleh pakaian panjang Ayana. Keduanya berjalan pelan menuju pintu kamar. "Maaf ya, Za. Aku harus seperti ini ke kamu." Ucap Zidan lirih. "Tidak apa kak, darurat." Jawab Ayana. "Bagaimana, Zid? Aduh kok Ayana malah dipapah? Nanti tubuhnya akan semakin lemas. Kapan akan sampai ke mobil kalau seperti ini? Kamu gendong Ayananya, Zid. Cepat!" Perintah sang Ibu yang tiba-tiba datang dengan membawa beberapa tas jinjing berisikan pakaian. Zidan langsung menoleh ke arah Ayana. Ayana mengangguk pelan tanda menyetujuinya. "Maaf ya. Aku izin menggendong kamu." Ucap Zidan yang langsung membopong tubuh Ayana. Ayana yang telah berada dalam bopongan Zidan, terus menatap lekat wajah Zidan. (Kak, sudah setampan ini kamu sekarang. Aku yang dulu mengagumimu karena kebaikanmu. Kamu yang dulu selalu menolongku, selalu ada ketika aku membutuhkanmu, bahkan sampai saat ini pun. Disaat aku membutuhkan pertolongan, kamu dengan siaga menolongku. Mengapa kita dipertemukan kembali dengan kondisi yang sangat berbeda?) Batin Ayana terus berbicara. Zidan yang merasa sedang diperhatikan Ayana, langsung melirik ke arah manik mata Ayana. "Ayana dibelakang saja dengan Ibu ya." Pinta Bu Fatimah. Zidan langsung menurunkan Ayana pada barisan tengah. Ayana menyandarkan tubuhnya, dan disusul lah Bu Fatimah duduk disebelahnya. Zidan langsung duduk dibagian kemudi dan segera melajukan mobilnya. "Cepat sedikit mengemudinya, Zidan!""Bagaimana dokter dengan kondisi menantu saya?" Bu Fatimah menanyakan kondisi terkini menantunya, Ayana."Saudari Ayana baik-baik saja, Bu. Hanya saja kondisinya sedikit menurun karena kelelahan dan kurang tidur sepertinya. Usahakan jangan telat makan dan banyak beristirahat ya." Sang dokter pun menjawabnya."Baik, dokter. Apapun segera lakukan dok supaya menantu saya segera sembuh dan cepat kembali pulang ke Rumah." Perintah Bu Fatimah, ia menginginkan Ayana lekas sembuh dan segera pulang sebelum Fahmi lepas tugas dari pekerjaannya sebagai Pilot di salah satu Maskapai ternama di Indonesia ini."Baik, Bu. Boleh segera selesaikan ke bagian administrasinya ya." Jeda. "Apakah Bapak suami dari Saudari Ayana?" Tanya dokter pada Zidan.Zidan membisu dan langsung melirik ke arah sang Ibu."Iya, dokter. Nanti akan segera diselesaikan oleh anak saya." Sahut Bu Fatimah dengan segera dan mengedipkan mata ke arah Zidan."Baik Ibu, Bapak. Kalau begitu saya izin pamit. Nanti kalau terjadi apa-apa,
"Maaf, Kak. Kaki aku lemas sekali." Ucap Ayana dengan pandangan yang tidak nyaman karena dengan tidak sengaja telah menindih tubuh Zidan.Deg!Hati Zidan menjadi melayang seketika, ketika tubuh Ayana berada dalam pelukannya secara tidak sengaja.Membuat iman seorang Zidan menjadi goyah.Zidan yang mendapatkan tubuh Ayana telah berada di atasnya. Kemudian dengan terpaksa menyentuh lengan Ayana dan membantu Ayana untuk bangun dari posisinya."Za, kamu kenapa?" Tanya Zidan kepada Ayana.Ayana hanya meringis saja karena semua ini adalah kesalahannya yang berawal dengan ketidaksengajaan."Aku lapar, Kak. Ingin mengambil cemilan niatnya. Eh aku malah sempoyongan dan terjatuh ke tubuh, Kak Zid." Jelas Ayana dengan nada pelannya."Untung kamu jatuh ke tubuhku, coba kalau jatuh ke lantai. Pasti tubuh kamu semakin sakit." Jawab Zidan yang berjalan memapah tubuh Ayana."Hehe iya maaf, Kak.""Kenapa kamu tidak membangunkan aku saja?" Tanya Zidan sambil membantu Ayana untuk naik kembali ke atas ra
Hujan begitu deras malam ini. Suasana malam terasa dingin dan sepi. Hanya ada suara petir yang saling sahut menyahut.Ayana terbangun dari tidur lelapnya. Tenggorokan nya pun terasa sangat kering.Ayana beranjak dari tempat tidurnya dan segera melangkahkan tungkainya keluar kamar untuk segera berjalan menuju dapur yang berada di lantai bawah.Kondisi tubuhnya sudah terasa sehat, namun masih ada rasa lemas sedikit pada bagian tungkai kakinya.Ia berjalan menyusuri dinding kamar luar. Dan melewati kamar Zidan yang sedikit terbuka.Ia mendengar suara Zidan melantunkan ayat suci, namun Ia berusaha untuk tidak mengintip ke arah kamar Zidan. Karena dirasa cukup tidak sopan dan tidak baik jika melihat ke dalam kamar tanpa seizin pemilik Kamar.Ayana berjalan perlahan menuruni anak tangga. Sebagian lampu beberapa ruangan sudah di padamkan oleh Bu Fatimah.Dengan langkah perlahan akhirnya Ayana sampailah di dapur dan mengambil segelas air minum untuk melepaskan keringnya tenggorokan.Zidan yan
"Karena sebenarnya... Aku menyayangimu, Kak." Akhirnya Ayana memberikan sebuah pengakuan kepada Zidan.Sungguh menjadi sebuah tamparan halus untuk Zidan, ketika mendapati seseorang yang sangat ia sayangi dan ia cintai mengakui akan perasaan yang sama.Bagaimana kah ini? sedangkan disatu sisi Ayana sudah menjadi milik orang lain, bahkan adiknya sendiri.Zidan merasa bersalah atas perasaannya selama ini. Mengapa ia tidak melamar Ayana dengan segera ketika dirinya sudah kembali ke Indonesia saat sudah menyelesaikan studynya dari Kairo."Benarkah, Za? Aku tidak salah mendengarnya?" Zidan tampak tidak mempercayai akan hal tersebut.Ayana mengangguk. Lalu ia segera beranjak dan berlalu meninggalkan Zidan yang masih menyalahkan diri atas perasaan Zidan.Ayana berlari meninggalkan Zidan. Dengan hati yang begitu sakit, dada yang terasa sesak.Ayana melemparkan tubuhnya diatas ranjang dan menangislah sejadi-jadinya."Yaa Allah, Yaa Robbi.. Maafkan aku telah melakukan kesalahan pada hari ini. Ma
"Sayang, terima kasih sudah bersedia menjadi Isteriku, aku sayang kamu." Kecup Fahmi pada dahi Ayana."Sama-sama, Mas." Ayana menyahuti."Dek, mau kah bulan madu?" tanya Fahmi yang masih mengusap-usap pucuk kepala Ayana."Kemana, Mas?" tanya Ayana."Kamu mau nya kemana, Sayang?" tanya balik Fahmi pada Ayana."Aku ikut saja, Mas. Kemanapun kamu mengajak." jawab Ayana."Hmm, kemana ya enaknya? bagaimana kalau kita umroh?" tanya Fahmi.Ayana terbelalak. Seketika matanya membulat besar. Impian yang selama ini ingin Ayana wujudkan kini ditawarkan langsung oleh suaminya sendiri."Yang benar, Mas? Mas serius? tidak berbohong?" Ayana sangat bahagia mendengar kabar bahwa dirinya akan diajak Umroh."Iya, Sayang. Kalau kamu mau, Mas bisa langsung daftar dan siapkan segala sesuatunya." Ucap Fahmi.Ayana mengangguk dengan cepat. Lalu ia langsung memeluk erat tubuh suaminya itu.Fahmi langsung menerima pelukan dari Ayana.***"Bu, aku berencana untuk membuat sebuah Pondok Pesantren tidak jauh dari
"Baik, Kak Zid. Aku akan turun." Ayana segera merapihkan apa yang sedang menjadi aktivitasnya kala itu.Dengan bergerak cepat, Ayana sedikit berlari menuruni anak tangga, karena ia tidak ingin membuat Ibu Mertuanya terlalu lama menunggunya.Sesampainya dilantai bawah, Ia melihat Zidan telah bersama dengan Bu Fatimah sedang berada dimeja makan."Ayana, mengapa kamu turunnya lama sekali, Nak? Apakah ada yang sedang kamu kerjakan?" Tanya Bu Fatimah yang telah duduk manis didepan meja makan.Ayana berjalan mendekati meja makan, dan ia segera duduk disamping Bu Fatimah."Maafkan Ayana, Bu. Ayana belum merasa lapar. Jadi, Ayana pikir nanti-nanti saja Ayana sarapannya." Jawab Ayanan dengan menunduk, ia takut membuat kecewa sang Ibu Mertua.Bu Fatimah menghela napas panjangnya."Ayana, sarapan itu tidak harus menunggu lapar. Isilah perut sedikit saja walau hanya beberapa suap atau bahkan segigit roti saja. Supaya perut kita tetap aman dari penyakit lambung." Jelas Bu Fatimah dengan mengusap l
"Saya terima nikah dan kawinnya Ayana Zahira Binti almarhum Ahmad Husein dengan seperangkat alat sholat dibayar tunai!""Bagaimana para saksi?" Tanya salah seorang pendamping penghulu."Sah." Sahut para saksi yang menghadiri pernikahan kedua mempelai yang baru saja resmi menjadi sepasang suami isteri."Sah, alhamdulillah barakallah." Disusullah sahutan Bapak Penghulu.Tampak raut wajah pemuda tampan bernama Zulfahmi begitu sangat bahagia dengan hati yang lega atas resminya ia menjadi seorang suami bagi gadis yang bernama Ayana.Ayana Zahira resmi menjadi Isteri Zulfahmi.Ia adalah gadis lulusan pada salah satu Pondok Pesantren terbaik diwilayah barat pulau Jawa.Berawal bertemu dengan suaminya ketika Zulfahmi mengantarkan kakaknya yang bernama Zaidan saat berkunjung untuk mengunjungi Guru Zaidan di Pondok Pesantren tersebut.Ketika Zaidan sedang menemui tuan guru, Zulfahmi meminta izin kepada Zaidan untuk berkeliling melihat suasana disekitar Pondok Pesantren.Namun ketika Zulfahmi be
"Ayana." Panggil Fatimah dengan lembut pada menantu barunya. Fatimah adalah Ibunda dari Zulfahmi dan Zidan."Iya, Ibu." Ayana menyahuti dengan nada lirih nan lembut."Kamu tidak apa kan nak jika tinggal bersama kami? Nanti kalau Fahmi sudah memiliki rumah kamu bisa tinggal berdua dengan suamimu." Ucap sang Ibu Fatimah yang sedang mengusap pundak Ayana dengan halus."Baik Ibu, tidak apa-apa. Kemanapun Mas Fahmi tinggal, aku telah bersedia untuk menemaninya." Jawab Ayana dengan pandangan teduh dan anggunnya.Ayana tampak manis dan sangat elegan dengan riasan tipisnya."Alhamdulillah, terima kasih ya nak Ayana. Hatimu cantik seperti parasmu sayang." Tangan Fatimah mengusap lembut pipi Ayana.Ayana menggenggam erat jemari Fatimah. Ia dapat merasakan kehangatan seorang Ibu. Mengingat Ibu Ayana yang telah pergi ke surga lebih dahulu.Fatimah memeluk menantu barunya, dan sesekali Fatimah mengecup pucuk kepala milik Ayana."Assalamu'alaikum." Ucap salam Fahmi yang tengah memasuki kamar pengan
"Baik, Kak Zid. Aku akan turun." Ayana segera merapihkan apa yang sedang menjadi aktivitasnya kala itu.Dengan bergerak cepat, Ayana sedikit berlari menuruni anak tangga, karena ia tidak ingin membuat Ibu Mertuanya terlalu lama menunggunya.Sesampainya dilantai bawah, Ia melihat Zidan telah bersama dengan Bu Fatimah sedang berada dimeja makan."Ayana, mengapa kamu turunnya lama sekali, Nak? Apakah ada yang sedang kamu kerjakan?" Tanya Bu Fatimah yang telah duduk manis didepan meja makan.Ayana berjalan mendekati meja makan, dan ia segera duduk disamping Bu Fatimah."Maafkan Ayana, Bu. Ayana belum merasa lapar. Jadi, Ayana pikir nanti-nanti saja Ayana sarapannya." Jawab Ayanan dengan menunduk, ia takut membuat kecewa sang Ibu Mertua.Bu Fatimah menghela napas panjangnya."Ayana, sarapan itu tidak harus menunggu lapar. Isilah perut sedikit saja walau hanya beberapa suap atau bahkan segigit roti saja. Supaya perut kita tetap aman dari penyakit lambung." Jelas Bu Fatimah dengan mengusap l
"Sayang, terima kasih sudah bersedia menjadi Isteriku, aku sayang kamu." Kecup Fahmi pada dahi Ayana."Sama-sama, Mas." Ayana menyahuti."Dek, mau kah bulan madu?" tanya Fahmi yang masih mengusap-usap pucuk kepala Ayana."Kemana, Mas?" tanya Ayana."Kamu mau nya kemana, Sayang?" tanya balik Fahmi pada Ayana."Aku ikut saja, Mas. Kemanapun kamu mengajak." jawab Ayana."Hmm, kemana ya enaknya? bagaimana kalau kita umroh?" tanya Fahmi.Ayana terbelalak. Seketika matanya membulat besar. Impian yang selama ini ingin Ayana wujudkan kini ditawarkan langsung oleh suaminya sendiri."Yang benar, Mas? Mas serius? tidak berbohong?" Ayana sangat bahagia mendengar kabar bahwa dirinya akan diajak Umroh."Iya, Sayang. Kalau kamu mau, Mas bisa langsung daftar dan siapkan segala sesuatunya." Ucap Fahmi.Ayana mengangguk dengan cepat. Lalu ia langsung memeluk erat tubuh suaminya itu.Fahmi langsung menerima pelukan dari Ayana.***"Bu, aku berencana untuk membuat sebuah Pondok Pesantren tidak jauh dari
"Karena sebenarnya... Aku menyayangimu, Kak." Akhirnya Ayana memberikan sebuah pengakuan kepada Zidan.Sungguh menjadi sebuah tamparan halus untuk Zidan, ketika mendapati seseorang yang sangat ia sayangi dan ia cintai mengakui akan perasaan yang sama.Bagaimana kah ini? sedangkan disatu sisi Ayana sudah menjadi milik orang lain, bahkan adiknya sendiri.Zidan merasa bersalah atas perasaannya selama ini. Mengapa ia tidak melamar Ayana dengan segera ketika dirinya sudah kembali ke Indonesia saat sudah menyelesaikan studynya dari Kairo."Benarkah, Za? Aku tidak salah mendengarnya?" Zidan tampak tidak mempercayai akan hal tersebut.Ayana mengangguk. Lalu ia segera beranjak dan berlalu meninggalkan Zidan yang masih menyalahkan diri atas perasaan Zidan.Ayana berlari meninggalkan Zidan. Dengan hati yang begitu sakit, dada yang terasa sesak.Ayana melemparkan tubuhnya diatas ranjang dan menangislah sejadi-jadinya."Yaa Allah, Yaa Robbi.. Maafkan aku telah melakukan kesalahan pada hari ini. Ma
Hujan begitu deras malam ini. Suasana malam terasa dingin dan sepi. Hanya ada suara petir yang saling sahut menyahut.Ayana terbangun dari tidur lelapnya. Tenggorokan nya pun terasa sangat kering.Ayana beranjak dari tempat tidurnya dan segera melangkahkan tungkainya keluar kamar untuk segera berjalan menuju dapur yang berada di lantai bawah.Kondisi tubuhnya sudah terasa sehat, namun masih ada rasa lemas sedikit pada bagian tungkai kakinya.Ia berjalan menyusuri dinding kamar luar. Dan melewati kamar Zidan yang sedikit terbuka.Ia mendengar suara Zidan melantunkan ayat suci, namun Ia berusaha untuk tidak mengintip ke arah kamar Zidan. Karena dirasa cukup tidak sopan dan tidak baik jika melihat ke dalam kamar tanpa seizin pemilik Kamar.Ayana berjalan perlahan menuruni anak tangga. Sebagian lampu beberapa ruangan sudah di padamkan oleh Bu Fatimah.Dengan langkah perlahan akhirnya Ayana sampailah di dapur dan mengambil segelas air minum untuk melepaskan keringnya tenggorokan.Zidan yan
"Maaf, Kak. Kaki aku lemas sekali." Ucap Ayana dengan pandangan yang tidak nyaman karena dengan tidak sengaja telah menindih tubuh Zidan.Deg!Hati Zidan menjadi melayang seketika, ketika tubuh Ayana berada dalam pelukannya secara tidak sengaja.Membuat iman seorang Zidan menjadi goyah.Zidan yang mendapatkan tubuh Ayana telah berada di atasnya. Kemudian dengan terpaksa menyentuh lengan Ayana dan membantu Ayana untuk bangun dari posisinya."Za, kamu kenapa?" Tanya Zidan kepada Ayana.Ayana hanya meringis saja karena semua ini adalah kesalahannya yang berawal dengan ketidaksengajaan."Aku lapar, Kak. Ingin mengambil cemilan niatnya. Eh aku malah sempoyongan dan terjatuh ke tubuh, Kak Zid." Jelas Ayana dengan nada pelannya."Untung kamu jatuh ke tubuhku, coba kalau jatuh ke lantai. Pasti tubuh kamu semakin sakit." Jawab Zidan yang berjalan memapah tubuh Ayana."Hehe iya maaf, Kak.""Kenapa kamu tidak membangunkan aku saja?" Tanya Zidan sambil membantu Ayana untuk naik kembali ke atas ra
"Bagaimana dokter dengan kondisi menantu saya?" Bu Fatimah menanyakan kondisi terkini menantunya, Ayana."Saudari Ayana baik-baik saja, Bu. Hanya saja kondisinya sedikit menurun karena kelelahan dan kurang tidur sepertinya. Usahakan jangan telat makan dan banyak beristirahat ya." Sang dokter pun menjawabnya."Baik, dokter. Apapun segera lakukan dok supaya menantu saya segera sembuh dan cepat kembali pulang ke Rumah." Perintah Bu Fatimah, ia menginginkan Ayana lekas sembuh dan segera pulang sebelum Fahmi lepas tugas dari pekerjaannya sebagai Pilot di salah satu Maskapai ternama di Indonesia ini."Baik, Bu. Boleh segera selesaikan ke bagian administrasinya ya." Jeda. "Apakah Bapak suami dari Saudari Ayana?" Tanya dokter pada Zidan.Zidan membisu dan langsung melirik ke arah sang Ibu."Iya, dokter. Nanti akan segera diselesaikan oleh anak saya." Sahut Bu Fatimah dengan segera dan mengedipkan mata ke arah Zidan."Baik Ibu, Bapak. Kalau begitu saya izin pamit. Nanti kalau terjadi apa-apa,
"Dek, terima kasih ya." Ucap Fahmi berbisik didekat daun telinga milik Ayana.Ayana tampak lemas, namun gairahnya belum kunjung surut.Maklum saja, mereka pengantin baru. Sama-sama baru perdana merasakan surga dunia seperti yang disebut oleh banyak orang.Malam itu, menjadi malam yang sangat panjang bagi Ayana dan Fahmi. Sepasang pengantin baru yang menikmati indahnya kebersamaan.Entah sudah berapa ronde, sehingga ketika menjelang subuh keduanya tampak lemas dan tidak berdaya."MasyaAllah, cantik sekali Isteriku ini. Beruntung aku bisa mendapatkan kamu, sayang." Gumam Fahmi ketika melihat Ayana masih tidur nyenyak tidak berdaya akibat gempuran dari Fahmi.Fahmi beranjak dari tempat tidurnya, ia segera membersihkan tubuhnya.Karena setelahnya akan melaksanakan sholat subuh.Setelah tubuhnya sudah bersih dan wangi, ia segera membangunkan Isterinya yang masih terlelap."Sayang, Dek bangun. Sudah mau subuh. Kamu segera mandi ya. Nanti kita sholat berjama'ah." Perintah Fahmi kepada Ayana
"Ayana, kamu tidak apa-apa?" Tanya Bu Fatimah pada Ayana yang sedari tadi pandangannya menerawang jauh keluar sana."Tidak apa-apa, Ibu. Ayana hanya bersedih saja karena meninggalkan Kyai Akbar dan Umi Farida yang sudah Ayana anggap seperti orang tua kandung sendiri. Mereka begitu sangat menyayangi Ayana sedari kecil hingga sampai saat ini. Bahkan Pondok Pesantren sendiri sudah menjadi rumah bagi Ayana selama bertahun-tahun lamanya." Ayana menjelaskan sedikit perasaannya.Ibu Fatimah menggenggam dan mengusap lembut tangan milik menantu baru nya. Ia dapat merasakan betapa sedihnya Ayana meninggalkan semuanya."Sudah, Bu. Biarkan saja Ayana menenangkan dirinya. Mungkin ia sedang menstabilkan emosinya karena harus pindah jauh dari Pesantren serta Kyai dan Umi." Nabila berucap untuk memberikan waktu bagi Ayana untuk beradaptasi dengan keluarga baru dan lingkungan yang baru.Terlihat dari kaca spion, Zidan memperhatikan Ayana yang sedang mengusap air matanya menggunakan tissue.Namun sialn
"Ayana." Panggil Fatimah dengan lembut pada menantu barunya. Fatimah adalah Ibunda dari Zulfahmi dan Zidan."Iya, Ibu." Ayana menyahuti dengan nada lirih nan lembut."Kamu tidak apa kan nak jika tinggal bersama kami? Nanti kalau Fahmi sudah memiliki rumah kamu bisa tinggal berdua dengan suamimu." Ucap sang Ibu Fatimah yang sedang mengusap pundak Ayana dengan halus."Baik Ibu, tidak apa-apa. Kemanapun Mas Fahmi tinggal, aku telah bersedia untuk menemaninya." Jawab Ayana dengan pandangan teduh dan anggunnya.Ayana tampak manis dan sangat elegan dengan riasan tipisnya."Alhamdulillah, terima kasih ya nak Ayana. Hatimu cantik seperti parasmu sayang." Tangan Fatimah mengusap lembut pipi Ayana.Ayana menggenggam erat jemari Fatimah. Ia dapat merasakan kehangatan seorang Ibu. Mengingat Ibu Ayana yang telah pergi ke surga lebih dahulu.Fatimah memeluk menantu barunya, dan sesekali Fatimah mengecup pucuk kepala milik Ayana."Assalamu'alaikum." Ucap salam Fahmi yang tengah memasuki kamar pengan