***
"Kepada calon mempelai perempuan, silakan memasuki tempat akad nikah karena acara akan segera dimulai."
Di ujung ballroom, Elliana menghela napas ketika ucapan tersebut dilontarkan sang pembawa acara dari atas panggung kecil di dekat pelaminan.
Setelah melewati beberapa hal sulit, pada akhirnya acara akad nikah akan segera digelar tepat pukul sebelas siang dan seperti yang sudah dibicarakan sebelumnya, calon suami Elliana bukan lagi Yudistira melainkan Sagara.
Tak bisa menolak ketika keluarga terus membujuknya menikah dengan sang kakak angkat, Elliana akhirnya pasrah. Namun, sebuah syarat juga dia ajukan yaitu; tak akan ada bulan madu bersama Sagara.
Athlas setuju? Ya, dia menyetujui syarat dari sang putri karena yang terpenting untuk sekarang adalah; menyelamatkan nama keluarga dari rasa malu, karena akan sangat mengecewakan jika pesta yang sudah digelar semegah dan semewah sekarang tiba-tiba batal dengan alasan yang juga tak elegan yaitu; sang calon suami kabur di hari pernikahan.
Athlas lebih baik melihat anak kandung dan anak angkatnya menikah daripada melihat Elliana malu karena alasan dia tak menikah dengan Yudistira, diketahui umum. Ya, setidaknya menikahkan Elliana dan Sagara sedikit lebih baik.
"Siap, kan?" tanya seorang gadis yang kini mengapit lengan Elliana.
Tak lagi berantakan, riasan putri sulung Athlas sudah kembali seperti semula setelah sang MUA sigap memperbaiki makeup di wajah perempuan itu, sehingga sekarang Elliana kembali cantik paripurna.
"Siap."
Melangkah pelan, Elliana akhirnya berjalan menyusuri karpet merah yang sudah tersedia di sana—menuju meja akad di depan pelaminan.
Tak sendiri, tentunya dia ditemani dua orang bridesmaid yang tak lain sepupunya sendiri. Tak ada yang tak takjub, semua tamu yang sudah datang siang ini nampak memfokuskan pandangan mereka pada Elliana—terpesona sendiri dengan wajah gadis itu yang memang nampak manglingi dengan makeup softnya.
"Hati-hati, Lian."
Sampai di meja akad, Elliana sekarang duduk persis di samping Sagara yang juga nampak tampan dengan pakaian berbeda dari tadi. Bukan lagi kemeja batik, pria itu sekarang mengenakan pakaian adat yang memang sepasang dengan milik Elliana.
Pakaian tersebut milik Yudistira yang diambil langsung dari rumah pria itu dan kebetulan, pakaian tersebut cocok dan pas pula di tubuh Sagara.
"Kamu cantik," puji Sagara pelan. "Lebih cantik daritadi."
"Hm." Tak ada respon hangat, Elliana hanya bergumam sebagai jawaban karena memang sampai saat ini—jauh di lubuk hati yang paling dalam, dia belum sepenuhnya ikhlas dan siap menikah dengan sang kakak.
"Kamu marah?" tanya Sagara—cukup peka dengan sikap sang calon istri.
"Enggak," kata Elliana singkat. Tak mau Sagara terus mengajaknya bicara, setelahnya dia berkata, "Jangan ngobrol dulu, Kak. Acaranya mau dimulai."
"Oh oke."
Tak lagi buka suara, Sagara akhirnya diam dan di detik berikutnya akad nikah pun dimulai. Dipandu sang pembawa acara, akad nikah dibuka dengan pidato singkat sebelum kemudian tiba waktunya Sagara menjabat tangan Athlas yang duduk persis di depannya lalu dipandu sang penghulu, Athlas pun mulai berucap,
"Saudara Sagara Michael Hadiputra, saya nikah dan kawin kan engkau dengan putri kandung saya—Elliana Prisilla Aneu Hadiputra binti Athlas Megan Hadiputra dengan mas kawin uang satu koma lima milyar, dibayar tunai!"
Tanpa ada gugup, Sagara yang kini mengarahkan pandangannya pada Athlas, lantas memberikan jawaban lantang dengan berucap,
"Saya terima nikah dan kawinnya Elliana Prisilla Aneu Hadiputra binti Athlas Megan Hadiputra dengan mas kawin uang satu koma milyar dibayar tunai!"
"Bagaimana saksi, sah?"
"Sah!"
"Sah!"
"Alhamdulillahirabbil alamin."
Setelahnya doa pun dipanjatkan. Semua orang di ballroom hotel nampak sama-sama menengadahkan tangan mereka—mengaminkan semua doa yang dipanjatkan sang penghulu hingga setelah doa selesai, acara selanjutnya adalah; tukar cincin.
Tak ada waktu membeli perhiasan, cincin nikah yang dipakai sekarang adalah cincin yang dibelikan Yudistira untuk Elliana—diambil langsung dari rumah orang tua Yudistira beberapa saat lalu.
Tak sekadar mengambil, tentunya nanti Sagara akan membayar cincin tersebut karena dia tak mau memberikan cincin hasil meminta.
"Semoga cincinnya akan selalu di sini," kata Sagara sambil memasangkan cincin berlian di jari manis tangan kanan Elliana. Bahagia? Tentu saja, karena menikahi Elliana pada kenyataannya adalah; mimpi dia yang sudah lama diidam-idamkan.
"Hm."
Tak tahu harus menjawab apa, Elliana lagi-lagi bergumam pelan sebagai respon. Berbeda dengan Sagara yang nampak bahagia, yang dirasakan Elliana justru tak enak hati karena menikah dengan Sagara bukan rencananya.
Elliana tak mencintai Sagara sebagai laki-laki, tapi sebagai saudara sehingga ketika pada akhirnya mereka harus menikah, rasanya sangat aneh.
"Sekarang silakan mempelai perempuan memasangkan cincin di jari manis mempelai laki-laki."
Setelah Sagara, kini giliran Elliana yang memasangkan cincin. Mengambil cincin perak dari kotak, pelan sekali dia memasangkannya di jari manis sang kakak angkat yang kini mempunyai status baru di hidupnya.
Suami.
Sagara bukan lagi kakak angkat, melainkan suami Elliana sehingga ke depannya, Elliana jelas harus membiasakan diri dengan status baru tersebut.
"Udah," ucap Elliana singkat.
Pemasangan cincin selesai, Sagara kembali menghela napas lega karena cincin yang seharusnya dipakai Yudistira ternyata sangat pas dengannya.
"Sekarang mempelai pria bisa memberikan kecupan di kening mempelai perempuan lalu sebaliknya, mempelai perempuan bisa mencium punggung tangan mempelai pria sebagai tanda menghormati."
Seperti wayang mematuhi dalang, Sagara dan Elliana kembali mengikuti intruksi yang diucapkan sang pembawa acara sehingga kini, dengan segera Sagara memberikan kecupannya di kening Elliana.
Tak sebentar, kecupan tersebut ditahan selama beberapa detik agar para fotographer yang siang ini bekerja, bisa mengabadikan momen tersebut.
Kecupan di kening selesai, sekarang Elliana meraih punggung tangan Sagara lalu sama seperti tadi, momen tersebut pun diabadikan.
Acara akad nikah selesai, pasangan pengantin baru—Sagara dan Elliana berjalan menuju pelaminan megah di ballroom tersebut untuk kemudian menjalani prosesi selanjutnya yaitu; sungkeman.
Dadakan, Rini—ibu kandung Sagara yang semula berdandan biasa seperti tamu lain, kini menggunakan riasan berbeda dengan kebaya senada dengan Anindira.
Duduk di kursi pelaminan, dia dan orang tua Elliana siap menerima sungkem dari Sagara juga Elliana yang kini sudah memulai kegiatan mereka tersebut.
"Papa titip Lian," ucap Athlas ketika Sagara mencium tangannya. "Ini mungkin mendadak, tapi Papa harap kamu bisa bahagiakan Lian dan jaga dia sebaik mungkin."
"Gara akan lakuin yang terbaik untuk Lian, Pa," ucap Sagara.
"Lian."
Setelah pada Sagara, sebuah panggilan pun dilontarkan Athlas pada sang putri yang kini nampak kembali berkaca-kaca.
"Maafin Papa karena belum bisa lakuin yang terbaik buat kamu," kata Athlas. "Sekarang yang Papa bisa lakukan cuman mendoakan yang terbaik untuk kamu dan Sagara. Meskipun kalian mungkin enggak saling mencintai, Papa harap kalian bisa bahagia."
"Aamiin, Pa."
Hampir dua puluh menit, acara sungkeman akhirnya selesai sehingga sekarang Elliana dan Sagara pun siap menerima ucapan selamat dari para tamu yang datang.
Diawali para saudara, Sagara dan Elliana berdiri berdampingan—menjabat satu persatu tangan yang terulur sebagai tanda ucapan selamat bahkan sesekali Elliana tanpa ragu memeluk sepupu perempuannya yang hari ini datang.
"Tolong jaga Elliana dengan baik."
Ucapan tersebut didapat Sagara dari salah satu Paman Elliana dan tentu saja dia menyanggupi permintaan tersebut tanpa ragu, karena memang membahagiakan Elliana sudah lama menjadi tujuan hidupnya.
Acara berjabat tangan selesai, tepat pukul dua belas lebih, Sagara dan Elliana akhirnya bisa duduk bersantai di kursi pelaminan. Tak ada obrolan, yang dilakukan Elliana justru nampak sibuk mengedarkan pandangan—menilik setiap tamu yang datang—berharap ada Yudistira di sana.
Namun, ternyata nihil karena pria itu sekarang tak tahu di mana.
Elliana sibuk memandangi tamu, yang dilakukan Sagara justru berbalas pesan dengan seseorang hingga tak berselang lama sebuah panggilan pun masuk.
"Lian, Kakak permisi sebentar dulu ya. Ada sedikit urusan."
"Oh oke."
Sambil tersenyum, Sagara beranjak dari kursi pelaminan lalu melangkah pergi meninggalkan Elliana. Tak pergi terlalu jauh, yang dilakukan Sagara sekarang adalah; mencari tempat sepi hingga setelah sebuah tempat yang tak terlalu ramai oleh tamu dia temukan, Sagara menjawab panggilan yang masuk ke ponselnya itu.
"Halo, gimana?"
"Acaranya lancar, Bos?"
Sagara tersenyum. Sebelum menjawab, yang dia lakukan adalah menoleh—memastikan tak ada orang mendengar hingga setelah dirasa aman, dia pun berucap,
"Lancar," kata Sagara. "Sekarang saya sudah resmi jadi suami Elliana."
"Syukurlah," kata pria di telepon. "Ini saya telepon karena butuh uang, Bos. Saya kan harus sewa tempat dan semacamnya. Bisa kirim uang?"
"Berapa?"
"Tiga puluh aja kayanya. Nanti kalau ada yang kurang, saya telepon lagi."
"Oke," kata Sagara. "Saya kirim sekarang juga, terus nanti kalau ada apa-apa, kabarin saya oke?"
"Siap."
"Ingat, jangan teledor. Peringatkan anak buah kamu untuk kerja yang benar."
"Siap, Bos. Kalau begitu saya tutup teleponnya ya. Selamat bersenang-senang."
Sagara tersenyum. "Saya pasti akan bersenang-senang, karena Elliana yang dulu hanya bisa saya impikan, sekarang sudah saya dapatkan."
"Bahagia, Bos?"
"Menurut kamu?"
***"Gerah ya?"Elliana yang sejak tadi sibuk mengipaskan tangan di depan wajah, seketika berhenti ketika pertanyaan tersebut dia dapat dari Sagara. Duduk berdampingan, kini dia dan pria itu berada di kursi pelaminan-menyaksikan para tamu yang nampak menikmati pesta.Satu jam pasca dimulainya resepsi, Elliana sedikit bisa bersantai karena sebagian tamu kini sudah menunaikan keinginan mereka-berjabat tangan dengan pengantin. Namun, tentunya sebelum bisa bersantai seperti sekarang, beberapa saat lalu Elliana dan Sagara cukup sibuk karena tamu yang datang untuk bersalaman bahkan mengambil foto, tak sedikit.Tak bisa menolak, Elliana juga Sagara hanya bisa pasrah sehingga sekarang jujur, keduanya sama-sama merasa lelah."Kenapa, Kak?" tanya Elliana setelah sekarang dia menoleh pada Sagara.Tak sedingin tadi siang, sikapnya pada sang kakak mulai membaik. Namun, meskipun begitu sampai sekarang senyuman di bibir Elliana masih jarang muncul karena rasa sedihnya atas kejadian tadi pagi tentu s
***"Jadi gitu ceritanya?"Tak lagi duduk berhadapan dengan Sagara, Elliana mengangguk pelan usai mendapat pertanyaan tersebut dari sang kakak sekaligus suaminya itu. Duduk bersebelahan di sofa yang sejak tadi dia dan sang suami tempati, yang dilakukannya sekarang adalah menunduk sambil memainkan jemari.Takut? Tentu saja, karena apa yang barusaja Elliana bongkar bukanlah hal sepele. Status keperawanan. Hal sensitif tersebut akhirnya Elliana buka blak-blakkan di depan Sagara.Tak mau berbohong, dia bicara jujur pada sang suami tentang dirinya yang sudah tak gadis lagi setelah seminggu lalu menghabiskan malam panas bersama dengan Yudistira.Pada Sagara, Elliana menceritakan kronologi peristiwa seminggu lalu di apartemen Yudistira, mulai dari pria itu yang mabuk di rumah salah satu temannya lalu Elliana yang membawa Yudistira pulang hingga tarikan tangan Yudistira yang akhirnya berakhir membuatnya tidur bersama pria itu, semuanya dia ceritakan secara rinci tanpa ada yang dilewat atau di
***"Bos."Baru memberhentikan mobilnya beberapa saat lalu, Sagara menoleh ketika panggilan tersebut dilontarkan salah seorang pria berjaket hitam padanya. Memasang raut wajah ramah, pria yang memiliki usia sebaya dengan Sagara tersebut nampak melengkungkan senyuman–seolah menyambut kedatangan suami baru Elliana itu dengan perasaan bahagia."Semuanya aman?" tanya Sagara.Berbeda dengan pria yang menyambutnya, Sagara justru memasang raut wajah yang cenderung masam. Menempuh perjalanan tiga jam menuju Bandung, tentu saja dia merasa lelah sekarang.Namun, pernyataan Elliana tadi di kamar hotel jelas tak bisa dia abaikan begitu saja sehingga pada akhirnya—mengabaikan rasa lelah bahkan ngantuk, Sagara tetap pergi ke tempat seseorang yang ingin dia beri pelajaran, berada."Aman bos," kata pria tersebut. Namanya Ferdi dan dia bisa dibilang kepercayaan Sagara sekaligus pemimpin dari hampir tujuh anak buahnya yang kini juga ada di tempat sama dengan dirinya.Gedung kosong yang jauh dari keram
***"Kamu tidur aja lagi ya, nanti Kakak pulang setelah urusan Kakak sama teman-teman Kakak selesai."Berdiri di dekat pintu, Sagara berucap demikian pada Elliana yang beberapa waktu lalu menelepon untuk bertanya keberadaannya. Tak jujur, Sagara tentu saja bohong dengan mengatakan jika dirinya sekarang ada di tempat sang sahabat dan tanpa ada curiga, Elliana percaya sehingga katanya setelah tiba-tiba saja terbangun, Elliana akan kembali tidur."Iya, Kak. Kakak nanti bangunin aku aja ya kalau udah sampai. Barangkali butuh sesuatu.""Siap."Tak banyak mengobrol, setelahnya Sagara lekas mengucapkan selamat tidur sebelum kemudian memutuskan sambungan telepon dan tentunya setelah itu, atensi dia kembali beralih pada Yudistira yang masih saja terlelap.Mendekati lagi Yudistira dengan emosi yang masih berada di ubun-ubun, Sagara mengeraskan rahangnya hingga tak berselang lama dia berkata,"Malam ini kamu selamat, tapi nanti saya akan kasih k
***"Maaf kalau kesannya Kakak lancang atau mungkin keterlaluan, tapi Kakak rasanya emang enggak bisa diam aja, Li. Apa yang dilakukan Yudis sama kamu sangat keterlaluan, dan sebagai Kakak bahkan sekarang suami, Kakak pengen aja gitu kasih dia pelajaran supaya dia paham kalau yang disakitin itu perempuan yang sangat berharga buat semua orang."Dengan raut wajah tenang, ucapan panjang lebar tersebut lantas dikatakan Sagara pada Elliana yang kini duduk di depannya. Tertangkap basah ketika tengah menelepon Ferdy, Sagara memang langsung ditodong penjelasan setelah Elliana medengar nama Yudistira sehingga dengan segera dia pun menjelaskan semuanya.Jujur? Tentu saja tidak.Elliana tak mendengar semua percakapannya dengan Ferdy, Sagara bisa dengan mudah membohongi perempuantu itu dengan mengatakan jika dirinya memang meminta seseorang untuk mencari Yudistira, agar dirinya bisa memberikan pelajaran setelah semua yang dilakukan putra tunggal David kepada
***"Gimana, enak enggak?"Duduk bersama Sagara di sofa, Elliana menoleh perlahan ketika pertanyaan tersebut dia dapat dari sang suami yang kini berada persis di samping kirinya.Tak hanya duduk, yang dilakukan Sagara sekarang adalah memegangi handuk kecil yang menempel di pipi sang istri. Tak kering, handuk tersebut nampak sedikit basah karena memang tujuan handuk tersebut ditempelkan adalah; meredakan rasa perih bahkan panas di pipi Elliana usai ditampar Syafira beberapa saat lalu.Tak ada ucapan panjang lebar atau makian, yang dilakukan Syafira setelah menampar pipir kiri Elliana adalah; mengatai istri Sagara itu jahat sebelum akhirnya pergi begitu saja.Elliana tentunya punya niat untuk mengejar. Namun, Sagara menahannya bahkan setelah itu pria tersebut membawa dia ke kamar sehingga Elliana pun menurut.Tak langsung bertanya penyebab atau semacamnya, yang dilakukan Sagara setelah masuk kamar, yaitu; mengambil handuk kecil di kamar mandi untuk dikompreskan ke pipi Elliana yang kata
***"Masuk."Sambil memandang Sagara, Elliana masuk ke dalam mobil suaminya itu kemudian duduk di sebelah kiri. Tanpa banyak berkata, setelahnya Sagara nampak mengitari mobil kemudian masuk dari pintu kanan.Duduk di kursi kemudi, Sagara lantas memasang seatbelt lalu menyalakan mesin bahkan melajukan mobilnya begitu saja meninggalkan parkiran.Pasca ucapan selebor Elliana tentang cerai, Sagara memang menunjukkan sikap berbeda. Tak menyangka dengan apa yang diucapkan sang istri, Sagara bilang dia tak punya niat melakukan hal tersebut sehingga jelas rasa kecewa langsung dirasakan pria itu.Sekali lagi menegaskan, Sagara bilang dia tak peduli sama sekali dengan perbedaan status gadis diantara Elliana dan Syafira dan apa pun yang terjadi, Sagara akan terus mencintai adik angkat sekaligus istrinya itu karena memang cintanya tak sedangkal yang dipikirkan Elliana."Kita ke rumah Om David langsung kan, Kak?"Setelah beberapa menit mobil Sagara memasuki jalan raya, Elliana akhirnya memberanikan
***"Kenapa enggak makan? Enggak lapar kamu?"Baru masuk setelah beberapa saat lalu dipanggil sang anak buah, pertanyaan tersebut langsung dilontarkan Ferdy pada Yudistira yang kini nampak memberikan tatapan tajam padanya.Setelah sempat mengamuk lalu kembali tenang, Yudistira pagi ini menolak ketika anak buah Ferdy memberikannya makanan untuk sarapan. Bukan roti atau pancake—makanan yang biasa dia santap, sarapan Yudistira pagi ini adalah nasi bungkus seperti semalam."Kamu sebenarnya siapa?"Tanpa mengalihkan atensi meskipun sedetik, tatapan tajam Yudistira masih dia arahkan pada Fedy yang kini justru melengkungkan senyuman tipis."Ada apa mau tahu nama saya, hm? Mau kenalan?" tanya Ferdy. "Maaf, saya tidak tertarik berkenalan dengan kamu."Yudistira mendengkus. Demi apa pun sekarang dia sangat ingin membebaskan diri dari rantai yang membelit tubuh bahkan kedua kaki dan tangannya. Namun, tentunya hal tersebut bukan sesuatu yang mudah karena setiap kali mencoba, dirinya justru merasa
***"Ma, gimana kondisi Lian sekarang? Baik-baik aja, kan, dia? Enggak ada hal serius terjadi, kan? Dan anak aku, gimana kondisi anak aku sekarang, Ma? Baik juga, kan?"Barusaja sampai di depan ruang operasi, deretan pertanyaan tersebut langsung dilontarkan Sagara pada Anindira juga Athlas yang kini berada di sana.Datang dari kantor dengan perasaan panik, itulah Sagara setelah beberapa waktu lalu kabar tak mengenakkan diterimanya dari Anindira. Elliana jatuh di kamar mandi.Itulah kabar buruk yang Sagara terima sehingga tanpa banyak basa-basi yang dia lakukan usai menerima kabar tersebut adalah bergegas menuju rumah sakit tempat sang istri dirawat.Tak tepat waktu, Sagara pergi setengah jam setelah pesan dari Anindira masuk karena memang ketika pesan tersebut dikirim, dirinya tengah menjalani meeting sehingga khawatir tingkat tinggi pun dirasakannya."Tenang, Gar, satu-satu dulu nanyanya," ucap Athlas. "Mama kamu pusing kalau kamu nanyanya banyak gitu.""Ah iya, Maaf," ucap Sagara. M
***"Hai, Mas suami."Tersenyum, itulah yang Sagara lakukan setelah sapaan tersebut dilontarkan Elliana. Baru kembali dari kantor setelah seharian penuh bekerja, dia merasa lelahnya seketika hilang setelah sang istri yang malam ini terlihat cantik dengan dressnya, menyambut di ambang pintu.Tak heran dengan penampilan cantik Elliana malam ini, Sagara tentu saja tahu alasan sang istri berdandan cantik sehingga tak bertanya tentang pakaian, dia memilih untuk membalas sapaan Elliana dengan ucapan yang tak kalah manis."Hai, istriku yang cantik.""Aku lega karena Kakak pulang tepat waktu," ucap Elliana—mengingat lagi bagaimana Sagara meminta izin pulang terlambat sore tadi. Padahal, malam ini ada acara makan bersama di rumah untuk merayakan bertambahnya usia sang putri, Rinjani. "Aku pikir bakalan telat dan makan malam kita kemalaman.""Enggaklah, aku kan tadi janji pulang maghrib dan kebetulan problem yang aku ceritain ke kamu tadi
***"Gimana sayang? Keluar enggak?"Duduk sambil memperhatikan Elliana yang kini menggendong sang putri, pertanyaan tersebut lantas dilontarkan Sagara dengan raut wajah penasarannya.Bukan tanpa alasan, Sagara bertanya demikian karena kini Elliana tengah memberikan ASInya untuk pertama kali dan yaps! Ringisan dari sang istri membuat dia mengerutkan kening."Ada dikit, Kak, bening," ucap Elliana. "Nanti pasti banyak," ucap Sagara. "Sakit enggak?""Enggak sih cuman agak gimanaa gitu," ucap Elliana. "Kaya ada geli-gelinya gitu.""Si cantiknya bangun?""Merem," kata Elliana sambil tersenyum. "Dia mungkin masih terlalu mager buat bangun.""Nanti malam mungkin bangun."Selesai operasi pukul sepuluh pagi, bayi mungil yang Elliana lahirkan memang baru dibawa ke kamar rawat Elliana enam jam setelahnya, dan tak langsung bangun, bayi cantik dengan berat badan 3,2kg tersebut terlelap dengan damai hingga s
***"Gimana, Kak, udah cantik belum? Aku enggak mau kelihatan pucat soalnya pas difoto nanti."Selesai memoles wajah, pertanyaan tersebut lantas Elliana lontarkan pada Sagara yang sejak tadi duduk di samping bed tempatnya berada. Tak di rumah seperti hari-hari sebelumnya, jumat ini Elliana sudah berada di rumah sakit karena memang setelah beberapa bulan berganti, usia kehamilan yang dia alami tiba juga di angka tiga puluh delapan minggu.Tak bisa melahirkan normal karena janin yang tetap di posisi sungsang, Elliana pada akhirnya pasrah pada tindakan cessar yang akan dilakukan dokter untuk kelahiran sang putri dan karena operasi akan dilakukan pukul sembilan pagi, sekarang—sekitar pukul tujuh, Elliana sibuk merias diri karena di kelahiran pertamanya, entah kenapa dia ingin tampil cantik dengan makeup di wajah.Tak hanya ditemani Sagara di ruang operasi nanti, Elliana sebelumnya meminta izin untuk mengajak satu orang lagi, dan bukan Anindi
***"Masih sedih?"Tak langsung melajukan mobil setelah sebelumnya masuk, pertanyaan tersebut lantas dilontarkan Sagara setelah kini di samping kirinya, Elliana terlihat terus menekuk wajah.Tak hanya memasang ekspresi tersebut, sejak beberapa waktu lalu Elliana juga tak banyak bicara dan seolah belum cukup, sejak masuk ke dalam mobil, Elliana memalingkan wajah ke arah luar—membuat Sagara tentu saja khawatir."Lumayan," ucap Elliana dengan atensi yang masih tertuju ke luar.Tak di rumah, saat ini dia juga Sagara tengah berada di parkiran rumah sakit setelah sebelumnya melakukan check up kandungan dan sama seperti bulan sebelumnya, kondisi janin di rahim Elliana baik. Namun, kendala yang muncul sejak dua bulan lalu masih sama dan hal tersebutlah yang membuat Elliana tak memasang raut wajah bahagia setelah melakukan check up.Bayi yang dia kandung mengalami posisi sungsang.Itulah kendala dalam kehamilan yang Elliana alami
***"Satu, dua, tiga, tusuk!"Dar!Tak memiliki jeda yang lama pasca seruan tersebut dilontarkan orang-orang di taman belakang rumah, balon hitam besar yang semula menggantung akhirnya meledak juga setelah sebuah jarum ditusukkan oleh Elliana juga Sagara di waktu yang sama.Tak sekadar berdiri bersebelahan di depan balon, Elliana juga Sagara tentunya berpegangan tangan bahkan jarum yang mereka pakai pun hanya satu—dipegang oleh keduanya dan yaps! Begitu balon pecah, compety berwarna merah muda berhamburan—membuat semua orang yang sore ini hadir seketika berseru, karena lewat warna compety yang keluar dari dalam balon, jenis kelamin bayi yang Elliana kandung akhirnya bisa diketahui."Bayi kita perempuan, Kak," ucap Elliana sambil memandang Sagara."Iya, sayang. Baby girl," kata Sagara. "Sini peluk dulu."Tersenyum dengan perasaan yang bahagia, setelahnya Elliana masuk ke dalam dekapan Sagara kemudian di tengah meriahnya a
***"Hai."Tersenyum dengan perasaan speechles, itulah yang Elliana rasakan ketika sapaan tersebut dilontarkan Sagara yang barusaja turun dari mobil. Berpenampilan berbeda dengan tadi pagi ketika hendak pergi ke kantor, sore ini pria itu pulang menggunakan kemeja biru muda dan tentu saja hal tersebut membuat Elliana heran."Kakak kok ganti baju?" tanya Elliana begitu Sagara mendekat. "Baju yang tadi mana?""Ada di mobil," kata Sagara. Sampai di teras tempat sang istri menunggu, setelahnya dia bertanya, "Udah siap?""Udah," kata Elliana. "Mau ke mana kita sore ini?"Beberapa jam berlalu, sore akhirnya tiba dan merealisasikan ajakan Sagara tadi siang, Elliana sudah rapi dengan dress merah muda juga sneaker putih yang diberikan sang suami, karena memang tak ada perubahan jadwal, Sagara ingin mengajaknya berjalan-jalan."Tempatnya masih dirahasiakan," ucap Sagara. "Oh ya, Mbak Marni mana? Bilang ke beliau ayo berangkat."
***"Siapa, Bi, barusan? Tetangga atau siapa?"Tengah bersantai di kursi tengah, pertanyaan tersebut lantas Elliana lontarkan setelah Mbak Marni yang semula ke depan untuk mengecek tamu, kini kembali sambil menenteng sebuah paper bag di tangan kanan.Entah apa isi dari paper bag tersebut, Elliana sendiri tak tahu karena dibanding apa yang dibawa sang art, dia rasanya lebih penasaran pada siapa yang datang ke rumahnya beberapa waktu lalu."Kurir, Non," kata Mbak Marni. "Katanya mau anterin paket buat Non Lian.""Paket?" tanya Elliana sambil mengerutkan kening. "Dari siapa?""Den Gara," ucap Mbak Marni. Mendekati Elliana yang masih berada di sofa, setelahnya yang dia lakukan adalah; menyimpan paper bag yang dibawanya di atas meja. "Tadi kurirnya bilang ini paket buat Non Lian dan pengirimnya Den Gara. Karena setelah dicek, isi paper bagnya kain, Saya terima aja deh.""Kak Gara kasih apa ya?" tanya Elliana. "Dia bilang lemb
***"Ngerjain Kak Gara dosa enggak sih? Mendadak kasihan juga nih aku tinggalin dia di pasar."Sambil terus mengemudikan mobil yang sejak tadi dia bawa, Elliana lantas bertanya demikian setelah perasaan tak enak juga kasihan pada Sagara tiba-tiba saja menghampiri.Sudah jauh meninggalkan pasar tempat Sagara mencari jengkol, Elliana sengaja meninggalkan suaminya tersebut setelah rasa ingin buang air kecil tiba-tiba saja menghampiri.Tak terlalu mendesak, sebenarnya Elliana masih bisa menunggu Sagara selama beberapa menit. Namun, entah kenapa keinginan untuk meninggalkan pria itu tiba-tiba saja menguat—membuat dia lantas mengemudikan mobil suaminya itu pergi meninggalkan pasar.Entah masuk ke dalam kategori ngidam atau tidak, tapi yang jelas ketika Sagara menghubunginya untuk bertanya, Elliana justru semakin ingin mengerjai sang suami sehingga meminta Sagara pulang menggunakan angkot pun dilontarkannya dan jujur, membayangkan Sagara menggun