***
"Kamu tidur aja lagi ya, nanti Kakak pulang setelah urusan Kakak sama teman-teman Kakak selesai."
Berdiri di dekat pintu, Sagara berucap demikian pada Elliana yang beberapa waktu lalu menelepon untuk bertanya keberadaannya. Tak jujur, Sagara tentu saja bohong dengan mengatakan jika dirinya sekarang ada di tempat sang sahabat dan tanpa ada curiga, Elliana percaya sehingga katanya setelah tiba-tiba saja terbangun, Elliana akan kembali tidur.
"Iya, Kak. Kakak nanti bangunin aku aja ya kalau udah sampai. Barangkali butuh sesuatu."
"Siap."
Tak banyak mengobrol, setelahnya Sagara lekas mengucapkan selamat tidur sebelum kemudian memutuskan sambungan telepon dan tentunya setelah itu, atensi dia kembali beralih pada Yudistira yang masih saja terlelap.
Mendekati lagi Yudistira dengan emosi yang masih berada di ubun-ubun, Sagara mengeraskan rahangnya hingga tak berselang lama dia berkata,
"Malam ini kamu selamat, tapi nanti saya akan kasih kamu pelajaran karena sudah berani renggut kesucian Elliana. Camkan itu, sialan."
"Lho, enggak jadi ngasih pelajaran, Bos?" tanya Ferdy yang kini berada persis di samping Sagara.
"Enggak jadi, saya mau pulang."
"Lah, serius?"
"Ya serius, istri saya telepon," kata Sagara. "Saya janji akan pulang dan dia pasti curiga kalau pas bangun, saya masih enggak ada. Perjalanan Bandung-Jakarta, jauh."
"Oh ya udah kalau gitu," kata Ferdy. "Hati-hati di jalan dan kalau ada apa-apa, hubungi saya lagi."
"Iya," ucap Sagara. "Kamu juga hati-hati di sini. Jangan gegabah ambil tindakkan dan jaga Yudistira sebaik mungkin. Dia kabur, habis kamu sama saya."
"Siap, Bos."
"Saya akan bebasin dia, tapi itu nanti setelah saya berhasil mendapatkan hati Elliana. Kalau perlu setelah saya dan Elliana punya anak."
"Siap laksanakan," kata Ferdy. "Bos enggak usah khawatir. Saya akan bekerja sebaik mungkin."
"Bagus," kata Sagara. "Saya pulang dulu."
"Sip."
Setelahnya—tanpa mau membuang banyak waktu, Sagara bergegas masuk ke dalam mobil lalu dalam hitungan detik, mobilnya pun melaju meninggalkan gedung kosong tempat dirinya menyekap Yudistira.
Tak pelan, Sagara mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi karena tentu saja sebelum adzan subuh, dia harus segera sampai di kamar agar Elliana tak curiga.
"Come on, Sagara. Lebih cepat lagi."
Mengabaikan rasa lelah, Sagara memutuskan untuk tak mampir di rest area mana pun selama melaju di jalan tol sehingga tepat pukul empat pagi, dia akhirnya sampai di hotel tempatnya dan Elliana menginap.
Bergegas, Sagara mempercepat langkah menuju kamar hingga akhirnya sampai juga di depan pintu. Membukanya dengan sangat hati-hati, senyuman tipis juga hembusan napas lega terdengar ketika di dalam kamar sana, Elliana nampak masih terlelap.
Melepas jaket kemudian menyimpan ponsel di atas meja, Sagara segera mengambil posisi di samping Elliana kemudian setelahnya dia berbaring miring—menghadap perempuan yang paling dicintainya itu.
Rasa kantuk mendera, Sagara akhirnya memejamkan mata hingga tak berselang lama—tepatnya empat puluh menit pasca dia terlelap, suara parau Elliana terdengar persis di depannya.
"Kak Gara bangun, udah subuh."
Sagara bangun? Ya, tentu saja. Tak mau memancing kecurigaan Elliana, pada akhirnya dia bangun kemudian menahan kantuk yang tentu saja tak main-main bahkan ketika sarapan akhirnya tiba, sebuah pertanyaan dilontarkan Elliana setelah melihat ekpsresinya Sagara yang nampak sayu.
"Kak Gara masih ngantuk ya?"
"Sedikit sih, kenapa?"
"Enggak, cuman aku perhatiin daritadi itu matanya Kak Gara kaya berat banget gitu dibuka," ucap Elliana. "Pulang jam berapa sih tadi? Jangan-jangan subuh ya?"
"Jam dua, Li," kata Sagara bohong. "Semalam setelah kamu telepon, Kakak langsung pulang dan sampai di sini jam dua subuh terus tidur."
"Serius?"
"Kamu enggak percaya sama Kakak?"
"Percaya sih," kata Elliana. Tak seburuk kemarin, moodnya kini mulai membaik meskipun belum sepenuhnya. "Cuman kali aja Kakak bohong. Lagian Kakak tuh udah tahu kemarin habis capek. Bukannya istirahat, malah nongkrong. Siapa sih yang ajak Kakak nongkrong? Biar aku omelin."
Sagara tersenyum. Cinta mati pada Elliana, rasanya melihat perempuan itu bicara panjang lebar seperti ini pun, dia sangat bahagia—terlebih lagi ucapan Elliana cenderung mengkhawatirkannya.
Ah, Sagara bahagia.
"Malah senyum lagi," kata Elliana. "Aku lagi ngomel lho, Kak. Takut kek, apa kek, malah senyum."
"Ya kalau yang ngomelnya secantik ini, mana takut, Kakak?" tanya Sagara. "Gemes yang ada, pengen unyel-unyel pipinya."
"Enggak," kata Elliana—spontan memegangi kedua pipi, sambil memasang raut wajah waspada. "Kakak tuh suka enggak kira-kira kalau unyel-unyel pipi aku. Sampe merah dan sakit. Padahal, aku bukan anak kecil lagi. Aku udah dua tujuh."
"Ya salah siapa gemesin?" tanya Sagara. "Enggak peduli seberapa tua usia kamu, di mata Kakak kamu itu tetap anak kecil menggemaskan, jadi pengen unyel-unyel. Malah sekarang keinginannya nambah."
"Nambah apalagi?" tanya Elliana. "Jangan macam-macam ya, Kak. Aku bales kalau aneh."
"Enggak macam-macam kok, cuman satu macam," kata Sagara.
"Apa?"
"Cium kamu."
"Hah?" Di detik itu juga, senyuman Elliana nampak sedikit luntur pun dengan raut wajah yang jelas terlihat kaget.
Terbiasa berinteraksi sebagai kakak dan adik, tentunya aneh di telinga Elliana ketika Sagara mengungkap keinginan untuk menciumnya karena candaan mereka selama ini tak pernah disertai adegan saling mencium.
"Kok kaya kaget gitu?" tanya Sagara. "Aneh ya?"
Elliana tersenyum samar sambil menggaruk tengkuknya. "Sedikit."
"Maaf kalau ucapan Kakak bikin kamu enggak nyaman," kata Sagara. "Kakak kayanya terlalu frontal."
"Enggak kok, Kak. Akunya aja yang belum biasa," kata Elliana. "Aku masih anggap Kak Gara sebagai Kakak aku. Padahal, sekarang Kakak suami aku dan ciuman untuk pasangan suami istri itu wajar."
Sagara tersenyum. "Jadi mau?" tanyanya.
"Cium?"
"Iya."
"Mau, tapi nanti ya. Aku mau siapin diri aku dulu. Aku juga pengen menyiapkan hati karena aku pikir lakuin hal sederhana kaya gitu juga butuh perasaan."
"Oke," kata Sagara. "Kakak akan nunggu lagi dengan sabar kalau gitu."
"Maaf ya, Kak."
"Enggak usah minta maaf, kamu enggak salah," kata Sagara. "Sekarang makan lagi aja pastanya terus habisin. Nanti kita pulang."
"Jadi ke rumah Om David?"
"Jadi," kata Sagara. "Kakak pengen lunasin semuanya biar enggak ada hutang. Enggak banget kan kalau Kakak nikahin kamu dimodalin orang tua cowok lain."
"Mau aku bantu enggak?"
"Bantu apa?"
"Lunasin biaya cincin sama yang lain ke Om David," kata Elliana.
"Enggak usah," kata Sagara. "Tabungan Kakak cukup bahkan sangat cukup buat semua itu."
"Makasih, Kak."
"Everything for you."
Elliana tersenyum lalu setelahnya kegiatan sarapan pun berlanjut tanpa ada lagi obrolan. Menyantap dua menu sama baik itu makanan dan minuman, keduanya pun berhasil menghabiskan sarapan mereka.
"Piring bekasnya biar sekalian Kakak bawa ke bawah ya, Kakak pengen sekalian pesan kopi terus nongkrong di bawah," ungkap Sagara sambil menumpuk piring kosong di atas meja. "Enggak apa-apa, kan?"
"Iya, Kak. Enggak apa-apa," kata Elliana. "Aku juga pengen nonton sebentar."
"Ya udah kalau gitu."
Setelahnya—sambil membawa piring dan gelas kotor, Sagara bergegas meninggalkan kamar untuk kemudian turun menuju restoran yang tersedia di lantai satu.
Menggunakan lift, senyuman nampak terus melengkung di bibir Sagara sampai akhirnya dia pun sampai di tempat tujuan. Tak bohong, Sagara memesan secangkir kopi usai memberikan piring kotor lalu setelahnya—sambil menunggu pesanan, dia mencari kursi di dekat kaca untuk duduk.
Tak hanya diam tanpa melakukan apa pun, Sagara tentunya menelepon Ferdy untuk memastikan kondisi di sana tetap kondusif, karena tentu saja meskipun semua berjalan sesuai rencana, waspada itu harus.
"Halo, Bos. Pagi."
"Halo," sapa Sagara sambil sesekali mengedarkan pandangan untuk memastikan tak ada orang yang dia kenal terlebih itu keluarganya di tempat dia berada. "Gimana kondisi, aman?"
"Seperti biasa, terkendali, Bos," kata Ferdy. "Tadi pagi tahanan Bos sempat ngamuk terus berusaha kabur juga, tapi berhasil ditenangin karena mungkin dia sadar juga usahanya sia-sia. Sekarang anak buah saya lagi kasih dia makan. Sesuai saran, makannya tiga kali sehari."
"Baguslah," kata Sagara. "Saya suka sama cara kamu kerja. Nanti kalau ada apa-apa jangan ragu hubungin saya."
"Pasti, Bos."
"Pokoknya jaga Yudistira baik-baik," kata Sagara. "Saya enggak mau dia lepas gitu aja. Bahaya."
"Baik, Bos."
"Oke, cukup itu aja," kata Sagara. "Saya matiin dulu teleponnya."
"Sip."
Tanpa banyak bicara lagi, Sagara memutuskan sambungan telepon lalu tersenyum sambil memandang ponsel, hingga tak berselang lama sebuah suara—lebih tepatnya pertanyaan yang tiba-tiba saja dilontarkan seseorang dari belakang, membuatnya cukup tersentak.
"Ada apa sama Yudistira, Kak? Kok aku dengar Kakak kaya ngomongin dia?"
Tak langsung menjawab, Sagara memilih untuk diam sambil menenangkan diri hingga setelahnya dia pun berbalik sambil tersenyum.
"Kamu."
"Aku tadi dengar Kak Gara sebut-sebut nama Yudistira. Beneran, kan? Aku enggak salah dengar, kan?"
***"Maaf kalau kesannya Kakak lancang atau mungkin keterlaluan, tapi Kakak rasanya emang enggak bisa diam aja, Li. Apa yang dilakukan Yudis sama kamu sangat keterlaluan, dan sebagai Kakak bahkan sekarang suami, Kakak pengen aja gitu kasih dia pelajaran supaya dia paham kalau yang disakitin itu perempuan yang sangat berharga buat semua orang."Dengan raut wajah tenang, ucapan panjang lebar tersebut lantas dikatakan Sagara pada Elliana yang kini duduk di depannya. Tertangkap basah ketika tengah menelepon Ferdy, Sagara memang langsung ditodong penjelasan setelah Elliana medengar nama Yudistira sehingga dengan segera dia pun menjelaskan semuanya.Jujur? Tentu saja tidak.Elliana tak mendengar semua percakapannya dengan Ferdy, Sagara bisa dengan mudah membohongi perempuantu itu dengan mengatakan jika dirinya memang meminta seseorang untuk mencari Yudistira, agar dirinya bisa memberikan pelajaran setelah semua yang dilakukan putra tunggal David kepada
***"Gimana, enak enggak?"Duduk bersama Sagara di sofa, Elliana menoleh perlahan ketika pertanyaan tersebut dia dapat dari sang suami yang kini berada persis di samping kirinya.Tak hanya duduk, yang dilakukan Sagara sekarang adalah memegangi handuk kecil yang menempel di pipi sang istri. Tak kering, handuk tersebut nampak sedikit basah karena memang tujuan handuk tersebut ditempelkan adalah; meredakan rasa perih bahkan panas di pipi Elliana usai ditampar Syafira beberapa saat lalu.Tak ada ucapan panjang lebar atau makian, yang dilakukan Syafira setelah menampar pipir kiri Elliana adalah; mengatai istri Sagara itu jahat sebelum akhirnya pergi begitu saja.Elliana tentunya punya niat untuk mengejar. Namun, Sagara menahannya bahkan setelah itu pria tersebut membawa dia ke kamar sehingga Elliana pun menurut.Tak langsung bertanya penyebab atau semacamnya, yang dilakukan Sagara setelah masuk kamar, yaitu; mengambil handuk kecil di kamar mandi untuk dikompreskan ke pipi Elliana yang kata
***"Masuk."Sambil memandang Sagara, Elliana masuk ke dalam mobil suaminya itu kemudian duduk di sebelah kiri. Tanpa banyak berkata, setelahnya Sagara nampak mengitari mobil kemudian masuk dari pintu kanan.Duduk di kursi kemudi, Sagara lantas memasang seatbelt lalu menyalakan mesin bahkan melajukan mobilnya begitu saja meninggalkan parkiran.Pasca ucapan selebor Elliana tentang cerai, Sagara memang menunjukkan sikap berbeda. Tak menyangka dengan apa yang diucapkan sang istri, Sagara bilang dia tak punya niat melakukan hal tersebut sehingga jelas rasa kecewa langsung dirasakan pria itu.Sekali lagi menegaskan, Sagara bilang dia tak peduli sama sekali dengan perbedaan status gadis diantara Elliana dan Syafira dan apa pun yang terjadi, Sagara akan terus mencintai adik angkat sekaligus istrinya itu karena memang cintanya tak sedangkal yang dipikirkan Elliana."Kita ke rumah Om David langsung kan, Kak?"Setelah beberapa menit mobil Sagara memasuki jalan raya, Elliana akhirnya memberanikan
***"Kenapa enggak makan? Enggak lapar kamu?"Baru masuk setelah beberapa saat lalu dipanggil sang anak buah, pertanyaan tersebut langsung dilontarkan Ferdy pada Yudistira yang kini nampak memberikan tatapan tajam padanya.Setelah sempat mengamuk lalu kembali tenang, Yudistira pagi ini menolak ketika anak buah Ferdy memberikannya makanan untuk sarapan. Bukan roti atau pancake—makanan yang biasa dia santap, sarapan Yudistira pagi ini adalah nasi bungkus seperti semalam."Kamu sebenarnya siapa?"Tanpa mengalihkan atensi meskipun sedetik, tatapan tajam Yudistira masih dia arahkan pada Fedy yang kini justru melengkungkan senyuman tipis."Ada apa mau tahu nama saya, hm? Mau kenalan?" tanya Ferdy. "Maaf, saya tidak tertarik berkenalan dengan kamu."Yudistira mendengkus. Demi apa pun sekarang dia sangat ingin membebaskan diri dari rantai yang membelit tubuh bahkan kedua kaki dan tangannya. Namun, tentunya hal tersebut bukan sesuatu yang mudah karena setiap kali mencoba, dirinya justru merasa
***"Lian pulang dulu ya, Tante. Jangan lupa jaga kesehatan dan kalau ada kabar tentang Yudis, tolong kabari Lian. Terima kasih untuk semua yang Tante kasih hari ini, Lian sangat berterima kasih."Setelah sebelumnya mencium punggung tangan Aruna, Elliana lantas berpamitan pada mantan calon mertuanya itu yang kini mengantar dia sampai ke halaman. Tak sendiri, Aruna ditemani David yang beberapa waktu lalu membantu Sagara memasukkan hantaran karena memang setelah meminta izin, Sagara tak keberatan sang istri menerima hantaran dari keluarga Yudistira."Iya, Lian. Kamu hati-hati di jalan ya dan sekali lagi Tante minta maaf untuk semua yang dilakukan Yudis. Semoga kamu sama Sagara bahagia selalu.""Aamiin, Tante. Terima kasih."Setelah pada Aruna, Elliana berpamitan pula pada David lalu setelahnya dia pun masuk ke dalam mobil Sagara dan tanpa banyak menunda, mobil yang dikendarai putra angkat Athlas itu pun melaju meninggalkan kediaman Yudistir
***"Ya udah kalau gitu Kakak ke kamar dulu ya, ada apa-apa atau pemberesannya udah selesai, kamu bisa panggil Kakak. Lewat telepon atau chat aja jangan jalan. Capek."Setelah membuat kesepakatan dengan Elliana, ucapan tersebut lantas dikatakan Sagara pada sang istri yang kini berdiri di depannya. Sempat bingung harus tidur di mana pasca menikah, pasangan suami istri itu sepakat untuk menempati kamar Elliana.Namun, tak cuma-cuma, Sagara memberikan syarat yaitu; Elliana harus menyingkirkan semua barang-barang berbau Yudistira di kamarnya dan karena status perempuan itu kini istri Sagara, permintaan tersebut dipatuhi sehingga tanpa banyak menunda, setelah ini Elliana akan membereskan barang-barang pemberian Yudistira selama mereka berpacaran."Iya, Kak. Barangnya enggak banyak kok. Jadi mungkin dua puluh menit dari sekarang, Kakak bisa balik lagi ke sini.""Oke."Berpisah, setelah itu Sagara pergi meninggalkan Elliana yang masih b
***"Yudis, kenapa aku mendadak mimpiin dia ya?"Duduk dengan perasaan bertanya-tanya, Elliana lantas melontarkan pertanyaan tersebut pada dirinya sendiri yang beberapa waktu lalu dihampiri Yudistira di dalam mimpi.Entah apa maksud dari mimpinya tersebut, Elliana sendiri tak tahu karena sampai sekarang dia bahkan bingung kenapa di mimpi yang dialaminya beberapa waktu lalu, Yudistira ada di Bandung.Bertemu di Braga, di mimpi tersebut Elliana tengah berjalan menyusuri pinggir jalan kemudian Yudistira datang dengan raut wajah gelisah langkah tergesa-gesa. Tak mengobrol banyak, Yudistira hanya meminta tolong pada Elliana. Namun, entah ingin ditolong apa, Elliana bingung karena ketika dia bertanya, Yudistira justru berlari meninggalkannya yang kemudian bangun dari mimpi.Cukup singkat, tapi membuat Elliana penasaran karena dari banyaknya kota, mengapa harus Bandung yang menjadi latar pertemuannya dengan Yudistira."Ketemu dia apa ka
***"Ada apa?"Baru selesai menutup dan mengunci pintu, pertanyaan tersebut langsung diucapkan Sagara pada Ferdy yang beberapa waktu lalu menghubunginya. Tak lagi di kamar Elliana, saat ini Sagara berada di kamarnya karena memang sebelum menjawab panggilan, dia meminta izin untuk pergi dan tentunya tanpa banyak bertanya, sang istri memberikan izin."Halo, Bos. Maaf mengganggu malam-malam.""Enggak apa-apa," ucap Sagara meskipun pada kenyataannya dia sedikit kesal, karena Ferdy melanggar permintaan untuk mengirim pesan dulu sebelum menelepon. "Kenapa? Apa ada sesuatu yang darurat sampai kamu telepon saya malam-malam begini.""Darurat enggak sih bos, tapi ini Yudistira sakit," ucap Ferdy yang membuat Sagara spontan mengepalkan tangan. "Barusan saya iseng cek dia dan badannya panas.""Lemah banget dia," desis Sagara yang semakin dilanda sebal pada Yudistira. "Enggak diapa-apain, sakit.""Memang," ucap Ferdy. "Jadi gimana,
***"Ma, gimana kondisi Lian sekarang? Baik-baik aja, kan, dia? Enggak ada hal serius terjadi, kan? Dan anak aku, gimana kondisi anak aku sekarang, Ma? Baik juga, kan?"Barusaja sampai di depan ruang operasi, deretan pertanyaan tersebut langsung dilontarkan Sagara pada Anindira juga Athlas yang kini berada di sana.Datang dari kantor dengan perasaan panik, itulah Sagara setelah beberapa waktu lalu kabar tak mengenakkan diterimanya dari Anindira. Elliana jatuh di kamar mandi.Itulah kabar buruk yang Sagara terima sehingga tanpa banyak basa-basi yang dia lakukan usai menerima kabar tersebut adalah bergegas menuju rumah sakit tempat sang istri dirawat.Tak tepat waktu, Sagara pergi setengah jam setelah pesan dari Anindira masuk karena memang ketika pesan tersebut dikirim, dirinya tengah menjalani meeting sehingga khawatir tingkat tinggi pun dirasakannya."Tenang, Gar, satu-satu dulu nanyanya," ucap Athlas. "Mama kamu pusing kalau kamu nanyanya banyak gitu.""Ah iya, Maaf," ucap Sagara. M
***"Hai, Mas suami."Tersenyum, itulah yang Sagara lakukan setelah sapaan tersebut dilontarkan Elliana. Baru kembali dari kantor setelah seharian penuh bekerja, dia merasa lelahnya seketika hilang setelah sang istri yang malam ini terlihat cantik dengan dressnya, menyambut di ambang pintu.Tak heran dengan penampilan cantik Elliana malam ini, Sagara tentu saja tahu alasan sang istri berdandan cantik sehingga tak bertanya tentang pakaian, dia memilih untuk membalas sapaan Elliana dengan ucapan yang tak kalah manis."Hai, istriku yang cantik.""Aku lega karena Kakak pulang tepat waktu," ucap Elliana—mengingat lagi bagaimana Sagara meminta izin pulang terlambat sore tadi. Padahal, malam ini ada acara makan bersama di rumah untuk merayakan bertambahnya usia sang putri, Rinjani. "Aku pikir bakalan telat dan makan malam kita kemalaman.""Enggaklah, aku kan tadi janji pulang maghrib dan kebetulan problem yang aku ceritain ke kamu tadi
***"Gimana sayang? Keluar enggak?"Duduk sambil memperhatikan Elliana yang kini menggendong sang putri, pertanyaan tersebut lantas dilontarkan Sagara dengan raut wajah penasarannya.Bukan tanpa alasan, Sagara bertanya demikian karena kini Elliana tengah memberikan ASInya untuk pertama kali dan yaps! Ringisan dari sang istri membuat dia mengerutkan kening."Ada dikit, Kak, bening," ucap Elliana. "Nanti pasti banyak," ucap Sagara. "Sakit enggak?""Enggak sih cuman agak gimanaa gitu," ucap Elliana. "Kaya ada geli-gelinya gitu.""Si cantiknya bangun?""Merem," kata Elliana sambil tersenyum. "Dia mungkin masih terlalu mager buat bangun.""Nanti malam mungkin bangun."Selesai operasi pukul sepuluh pagi, bayi mungil yang Elliana lahirkan memang baru dibawa ke kamar rawat Elliana enam jam setelahnya, dan tak langsung bangun, bayi cantik dengan berat badan 3,2kg tersebut terlelap dengan damai hingga s
***"Gimana, Kak, udah cantik belum? Aku enggak mau kelihatan pucat soalnya pas difoto nanti."Selesai memoles wajah, pertanyaan tersebut lantas Elliana lontarkan pada Sagara yang sejak tadi duduk di samping bed tempatnya berada. Tak di rumah seperti hari-hari sebelumnya, jumat ini Elliana sudah berada di rumah sakit karena memang setelah beberapa bulan berganti, usia kehamilan yang dia alami tiba juga di angka tiga puluh delapan minggu.Tak bisa melahirkan normal karena janin yang tetap di posisi sungsang, Elliana pada akhirnya pasrah pada tindakan cessar yang akan dilakukan dokter untuk kelahiran sang putri dan karena operasi akan dilakukan pukul sembilan pagi, sekarang—sekitar pukul tujuh, Elliana sibuk merias diri karena di kelahiran pertamanya, entah kenapa dia ingin tampil cantik dengan makeup di wajah.Tak hanya ditemani Sagara di ruang operasi nanti, Elliana sebelumnya meminta izin untuk mengajak satu orang lagi, dan bukan Anindi
***"Masih sedih?"Tak langsung melajukan mobil setelah sebelumnya masuk, pertanyaan tersebut lantas dilontarkan Sagara setelah kini di samping kirinya, Elliana terlihat terus menekuk wajah.Tak hanya memasang ekspresi tersebut, sejak beberapa waktu lalu Elliana juga tak banyak bicara dan seolah belum cukup, sejak masuk ke dalam mobil, Elliana memalingkan wajah ke arah luar—membuat Sagara tentu saja khawatir."Lumayan," ucap Elliana dengan atensi yang masih tertuju ke luar.Tak di rumah, saat ini dia juga Sagara tengah berada di parkiran rumah sakit setelah sebelumnya melakukan check up kandungan dan sama seperti bulan sebelumnya, kondisi janin di rahim Elliana baik. Namun, kendala yang muncul sejak dua bulan lalu masih sama dan hal tersebutlah yang membuat Elliana tak memasang raut wajah bahagia setelah melakukan check up.Bayi yang dia kandung mengalami posisi sungsang.Itulah kendala dalam kehamilan yang Elliana alami
***"Satu, dua, tiga, tusuk!"Dar!Tak memiliki jeda yang lama pasca seruan tersebut dilontarkan orang-orang di taman belakang rumah, balon hitam besar yang semula menggantung akhirnya meledak juga setelah sebuah jarum ditusukkan oleh Elliana juga Sagara di waktu yang sama.Tak sekadar berdiri bersebelahan di depan balon, Elliana juga Sagara tentunya berpegangan tangan bahkan jarum yang mereka pakai pun hanya satu—dipegang oleh keduanya dan yaps! Begitu balon pecah, compety berwarna merah muda berhamburan—membuat semua orang yang sore ini hadir seketika berseru, karena lewat warna compety yang keluar dari dalam balon, jenis kelamin bayi yang Elliana kandung akhirnya bisa diketahui."Bayi kita perempuan, Kak," ucap Elliana sambil memandang Sagara."Iya, sayang. Baby girl," kata Sagara. "Sini peluk dulu."Tersenyum dengan perasaan yang bahagia, setelahnya Elliana masuk ke dalam dekapan Sagara kemudian di tengah meriahnya a
***"Hai."Tersenyum dengan perasaan speechles, itulah yang Elliana rasakan ketika sapaan tersebut dilontarkan Sagara yang barusaja turun dari mobil. Berpenampilan berbeda dengan tadi pagi ketika hendak pergi ke kantor, sore ini pria itu pulang menggunakan kemeja biru muda dan tentu saja hal tersebut membuat Elliana heran."Kakak kok ganti baju?" tanya Elliana begitu Sagara mendekat. "Baju yang tadi mana?""Ada di mobil," kata Sagara. Sampai di teras tempat sang istri menunggu, setelahnya dia bertanya, "Udah siap?""Udah," kata Elliana. "Mau ke mana kita sore ini?"Beberapa jam berlalu, sore akhirnya tiba dan merealisasikan ajakan Sagara tadi siang, Elliana sudah rapi dengan dress merah muda juga sneaker putih yang diberikan sang suami, karena memang tak ada perubahan jadwal, Sagara ingin mengajaknya berjalan-jalan."Tempatnya masih dirahasiakan," ucap Sagara. "Oh ya, Mbak Marni mana? Bilang ke beliau ayo berangkat."
***"Siapa, Bi, barusan? Tetangga atau siapa?"Tengah bersantai di kursi tengah, pertanyaan tersebut lantas Elliana lontarkan setelah Mbak Marni yang semula ke depan untuk mengecek tamu, kini kembali sambil menenteng sebuah paper bag di tangan kanan.Entah apa isi dari paper bag tersebut, Elliana sendiri tak tahu karena dibanding apa yang dibawa sang art, dia rasanya lebih penasaran pada siapa yang datang ke rumahnya beberapa waktu lalu."Kurir, Non," kata Mbak Marni. "Katanya mau anterin paket buat Non Lian.""Paket?" tanya Elliana sambil mengerutkan kening. "Dari siapa?""Den Gara," ucap Mbak Marni. Mendekati Elliana yang masih berada di sofa, setelahnya yang dia lakukan adalah; menyimpan paper bag yang dibawanya di atas meja. "Tadi kurirnya bilang ini paket buat Non Lian dan pengirimnya Den Gara. Karena setelah dicek, isi paper bagnya kain, Saya terima aja deh.""Kak Gara kasih apa ya?" tanya Elliana. "Dia bilang lemb
***"Ngerjain Kak Gara dosa enggak sih? Mendadak kasihan juga nih aku tinggalin dia di pasar."Sambil terus mengemudikan mobil yang sejak tadi dia bawa, Elliana lantas bertanya demikian setelah perasaan tak enak juga kasihan pada Sagara tiba-tiba saja menghampiri.Sudah jauh meninggalkan pasar tempat Sagara mencari jengkol, Elliana sengaja meninggalkan suaminya tersebut setelah rasa ingin buang air kecil tiba-tiba saja menghampiri.Tak terlalu mendesak, sebenarnya Elliana masih bisa menunggu Sagara selama beberapa menit. Namun, entah kenapa keinginan untuk meninggalkan pria itu tiba-tiba saja menguat—membuat dia lantas mengemudikan mobil suaminya itu pergi meninggalkan pasar.Entah masuk ke dalam kategori ngidam atau tidak, tapi yang jelas ketika Sagara menghubunginya untuk bertanya, Elliana justru semakin ingin mengerjai sang suami sehingga meminta Sagara pulang menggunakan angkot pun dilontarkannya dan jujur, membayangkan Sagara menggun