***
"Gerah ya?"
Elliana yang sejak tadi sibuk mengipaskan tangan di depan wajah, seketika berhenti ketika pertanyaan tersebut dia dapat dari Sagara. Duduk berdampingan, kini dia dan pria itu berada di kursi pelaminan-menyaksikan para tamu yang nampak menikmati pesta.
Satu jam pasca dimulainya resepsi, Elliana sedikit bisa bersantai karena sebagian tamu kini sudah menunaikan keinginan mereka-berjabat tangan dengan pengantin. Namun, tentunya sebelum bisa bersantai seperti sekarang, beberapa saat lalu Elliana dan Sagara cukup sibuk karena tamu yang datang untuk bersalaman bahkan mengambil foto, tak sedikit.
Tak bisa menolak, Elliana juga Sagara hanya bisa pasrah sehingga sekarang jujur, keduanya sama-sama merasa lelah.
"Kenapa, Kak?" tanya Elliana setelah sekarang dia menoleh pada Sagara.
Tak sedingin tadi siang, sikapnya pada sang kakak mulai membaik. Namun, meskipun begitu sampai sekarang senyuman di bibir Elliana masih jarang muncul karena rasa sedihnya atas kejadian tadi pagi tentu saja belum hilang.
"Itu kamu kipas-kipas wajah, kenapa? Gerah?" tanya Sagara perhatian. Meskipun lelah, senyuman sama sekali tak luntur di bibirnya karena tentu saja euforia bisa menikahi Elliana masih terasa sampai sekarang.
"Iya lumayan," kata Elliana. "Aku juga lupa enggak bawa kipas. Tadi buru-buru."
"Mau diambilin?"
"Apa?"
"Kipas kecil," kata Sagara. Sebenarnya di ballroom tempat digelarnya pesta, banyak AC yang terpasang. Namun, karena banyaknya orang di sana, rasa gerah tetap saja terasa dan karena gaun yang dipakai Elliana, perempuan itu merasa sedikit tak nyaman. "Tadi Kakak lihat di kamar tempat kamu dandan ada kipas. Kalau mau, Kakak bisa ambilin."
"Enggak usah, Kak. Enggak enak."
"Kenapa enggak enak?"
"Ya nanti kakau Kakak pergi, pas ada tamu naik buat ucapin selamat atau minta foto, gimana?" tanya Elliana. "Udah di sini aja, aku enggak apa-apa."
"Ya udah kalau gitu kamu tutup mata kamu."
"Kakak mau apa?"
"Tutup dulu aja matanya."
Tak bertanya lagi, Elliana memilih untuk menutup mata sesuai perintah Sagara lalu yang dirasakannya setelah itu adalah; sebuah tiupan di leher. Seperti semilir angin alami, Sagara meniup lehernya secara pelan—membuat rasa gerah perlahan menghilang.
Elliana tersentuh? Ya, tapi tetap saja rasanya sekarang dia masih seperti sedang diperhatikan oleh Sagara sebagai kakak, bukan suami karena memang dia butuh waktu untuk memutarbalikan perasaan dari saudara menjadi pasangan.
"Enakkan?" tanya Sagara.
Elliana perlahan membuka matanya. "Enak, Kak," jawabnya. "Makasih."
"Sama-sama."
Tak bisa lama bersantai, setelahnya Elliana juga Sagara mau tak mau harus kembali berdiri ketika rombongan tamu datang untuk mengucapkan selamat. Tak ada ucapan nyinyir, sejauh ini respon tamu terhadap pernikahan dadakan Elliana juga Sagara, cukup baik.
"Selamat ya, Elliana dan Sagara, semoga samawa."
"Aamiin, terima kasih."
Mengambil foto, menerima tamu bahkan berdansa, kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan Sagara dan Elliana di pesta resepsi yang seharusnya dihadiri Yudistira, hingga tepat pukul sembilan malam acara resepsi yang digelar sejak pukul lima sore akhirnya selesai.
Tak langsung pulang ke rumah, baik Sagara-Elliana mau pun keluarganya memutuskan untuk menginap di hotel karena tentu saja setelah semua rangkaian acara dilaksanakan, rasa lelah tak terelakkan.
"Enggak apa-apa?"
Berdiri di depan pintu sebuah kamar, Sagara lantas bertanya demikian pada Elliana yang sekarang berdiri di dekatnya. Tak lagi mengenakan gaun, perempuan tersebut sudah mengenakan pakaian santai pun dengan Sagara yang juga sudah mengganti baju.
Tidak tidur di kamar tempat Elliana dirias, pihak hotel menyiapkan satu kamar lagi untuk pengantin baru yang memang seharusnya ditempati Yudistira.
"Enggak apa-apa gimana maksudnya, Kak?" tanya Elliana. Sudah berubah status, panggilan 'Kak' untuk Sagara, jelas masih melekat dalam dirinya karena untuk sekadar mengubah panggilan menjadi Mas atau panggilan sayang lainnya, dia belum bisa.
"Ini kan kamar seharusnya ditempatin sama kamu dan Yudistira," kata Sagara. "Makanya Kakak bilang dulu."
"Oh itu," kata Elliana sambil tersenyum samar. "Ya enggak apa-apa, Kak. Orang suami aku sekarang juga Kakak, kan? Bukan Yudistira."
"Kali aja kamu enggak suka."
"Suka enggak suka, aku enggak bisa larang Kakak karena Kakak suami aku."
Sagara tersenyum tipis kemudian menggunakan kartu yang dipegangnya, dia membuka pintu. Membiarkan Elliana masuk lebih dulu, Sagara mengekor dari belakang untuk selanjutnya menutup pintu kamar yang malam ini akan dia dan istrinya itu tiduri.
Di dalam kamar, dekorasi romantis jelas sudah tersedia. Taburan kelopak bunga mawar merah di atas kasur, lilin elektrik di setiap meja dan sudut kamar bahkan angsa putih yang terbuat dari kain, semuanya lengkap dan hal tersebut membuat Elliana teringat lagi pada Yudistira juga rasa sakit di hatinya karena perbuatan pria itu.
"Lian, kamu baik-baik aja, kan?" tanya Sagara dari belakang Elliana yang sejak beberapa detik lalu berdiri mematung tanpa melakukan apa pun.
"Dosaku apa yasama Yudis?" lirih Elliana-mulai terbawa rasa sedih yang jelas datang secara tiba-tiba. "Selama dua tahun kita sama-sama, saling mencintai, saling menjaga bahkan saling melindungi, aku pikir semuanya tulus, tapi ternyata enggak. Yudis cuman pengen mempermalukan aku bahkan keluarga aku. Dia enggak pernah beneran sayang sama aku dan semuanya cuman pura-pura."
"Lian."
Elliana menoleh kemudian memandang Sagara dengan kedua mata berkaca-kaca. "Kakak malu enggak sih, Kak, punya adik sebodoh aku?" tanyanya. "Bisa-bisanya aku percaya sama semua ucapan Yudis yang ternyata cuman ngebegoin aku aja. Aku terlalu bodoh sampai enggak bisa membaca niat jahat Yudis ke aku."
"Kamu enggak bodoh, Lian," ucap Sagara. "Yudistiranya aja yang jahat. Dia terlalu jahat sampai rasanya enggak pantas lagi buat dimaafin. Jangan sedih ya, kamu sekarang punya Kakak. Ke depannya, Kakak akan lebih menjaga kamu dan melindungi kamu dari apa pun. Kakak janji."
Tak menjawab, Elliana masih menatap Sagara hingga tak berselang lama tangan Sagara meraih pinggangnya kemudian setelah itu pelukan pun terjadi. Di dalam dekapan Sagara, Elliana akhirnya terisak juga.
Tak lagi ditahan, Elliana menumpahkan semua rasa sedih, sakit, bahkan kecewa, di pelukan Sagara dan yang dilakukan suaminya sekarang adalah; memberikan usapan di punggung dengan sangat lembut.
"Elliananya Kakak enggak boleh sedih, kamu harus kuat dan kamu harus terus menatap lurus ke depan," ucap Sagara. "Anggap aja ini pengalaman hidup yang ke depannya akan buat kamu lebih selektif dan lebih kuat lagi."
Tak lagi berucap, Elliana terus terisak sampai akhirnya dia melepaskan kedua tangan Sagara di pinggangnya. Masih dengan kedua mata berkaca-kaca, dia kembali menatap sang suami.
"Kak."
"Ya?"
"Sebenarnya aku punya rahasia yang belum aku ungkapin ke siapa pun termasuk Mama dan Papa," ucap Elliana yang tiba-tiba saja teringat akan sesuatu. "Aku cuman simpan rahasia ini berdua sama Yudis dan aku pengen jujur sama kakak meskipun mungkin rahasia aku ini bakalan bikin Kakak benci atau bisa jadi langsung ceraikan aku."
Mendengar ucapan Elliana, Sagara tentu saja mengerutkan kening dengan perasaan yang jelas heran. "Rahasia apa?" tanyanya kemudian.
"Bisa duduk dulu? Kita bicarain semuanya di sofa."
"Boleh," kata Sagara.
Tak diam, selanjutnya Elliana juga Sagara bergegas menuju sofa kemudian di sana keduanya duduk bersebelahan dan karena penasaran dengan rahasia apa yang dimaksud sang adik, dengan segera Sagara bertanya,
"Jadi rahasia apa yang mau kamu ungkapin ke Kakak?"
Tak langsung buka suara, Elliana diam sambil memandang Sagara untuk beberapa saat sampai akhirnya setelah mantap, dia pun berucap, "Aku udah bukan gadis, Kak."
Deg.
Detak jantung Sagara seolah berhenti saat itu juga sementara senyuman yang semula melengkung, kini sirna entah ke mana. Tubuhnya menegang bahkan tangannya spontan meremas sofa. Masih memandang Elliana, dia kemudian bertanya dengan nada yang dibuat setenang mungkin.
"Udah bukan gadis?" tanya Sagara memastikan. "Maksudnya bukan gadis gimana, Elliana?"
***"Jadi gitu ceritanya?"Tak lagi duduk berhadapan dengan Sagara, Elliana mengangguk pelan usai mendapat pertanyaan tersebut dari sang kakak sekaligus suaminya itu. Duduk bersebelahan di sofa yang sejak tadi dia dan sang suami tempati, yang dilakukannya sekarang adalah menunduk sambil memainkan jemari.Takut? Tentu saja, karena apa yang barusaja Elliana bongkar bukanlah hal sepele. Status keperawanan. Hal sensitif tersebut akhirnya Elliana buka blak-blakkan di depan Sagara.Tak mau berbohong, dia bicara jujur pada sang suami tentang dirinya yang sudah tak gadis lagi setelah seminggu lalu menghabiskan malam panas bersama dengan Yudistira.Pada Sagara, Elliana menceritakan kronologi peristiwa seminggu lalu di apartemen Yudistira, mulai dari pria itu yang mabuk di rumah salah satu temannya lalu Elliana yang membawa Yudistira pulang hingga tarikan tangan Yudistira yang akhirnya berakhir membuatnya tidur bersama pria itu, semuanya dia ceritakan secara rinci tanpa ada yang dilewat atau di
***"Bos."Baru memberhentikan mobilnya beberapa saat lalu, Sagara menoleh ketika panggilan tersebut dilontarkan salah seorang pria berjaket hitam padanya. Memasang raut wajah ramah, pria yang memiliki usia sebaya dengan Sagara tersebut nampak melengkungkan senyuman–seolah menyambut kedatangan suami baru Elliana itu dengan perasaan bahagia."Semuanya aman?" tanya Sagara.Berbeda dengan pria yang menyambutnya, Sagara justru memasang raut wajah yang cenderung masam. Menempuh perjalanan tiga jam menuju Bandung, tentu saja dia merasa lelah sekarang.Namun, pernyataan Elliana tadi di kamar hotel jelas tak bisa dia abaikan begitu saja sehingga pada akhirnya—mengabaikan rasa lelah bahkan ngantuk, Sagara tetap pergi ke tempat seseorang yang ingin dia beri pelajaran, berada."Aman bos," kata pria tersebut. Namanya Ferdi dan dia bisa dibilang kepercayaan Sagara sekaligus pemimpin dari hampir tujuh anak buahnya yang kini juga ada di tempat sama dengan dirinya.Gedung kosong yang jauh dari keram
***"Kamu tidur aja lagi ya, nanti Kakak pulang setelah urusan Kakak sama teman-teman Kakak selesai."Berdiri di dekat pintu, Sagara berucap demikian pada Elliana yang beberapa waktu lalu menelepon untuk bertanya keberadaannya. Tak jujur, Sagara tentu saja bohong dengan mengatakan jika dirinya sekarang ada di tempat sang sahabat dan tanpa ada curiga, Elliana percaya sehingga katanya setelah tiba-tiba saja terbangun, Elliana akan kembali tidur."Iya, Kak. Kakak nanti bangunin aku aja ya kalau udah sampai. Barangkali butuh sesuatu.""Siap."Tak banyak mengobrol, setelahnya Sagara lekas mengucapkan selamat tidur sebelum kemudian memutuskan sambungan telepon dan tentunya setelah itu, atensi dia kembali beralih pada Yudistira yang masih saja terlelap.Mendekati lagi Yudistira dengan emosi yang masih berada di ubun-ubun, Sagara mengeraskan rahangnya hingga tak berselang lama dia berkata,"Malam ini kamu selamat, tapi nanti saya akan kasih k
***"Maaf kalau kesannya Kakak lancang atau mungkin keterlaluan, tapi Kakak rasanya emang enggak bisa diam aja, Li. Apa yang dilakukan Yudis sama kamu sangat keterlaluan, dan sebagai Kakak bahkan sekarang suami, Kakak pengen aja gitu kasih dia pelajaran supaya dia paham kalau yang disakitin itu perempuan yang sangat berharga buat semua orang."Dengan raut wajah tenang, ucapan panjang lebar tersebut lantas dikatakan Sagara pada Elliana yang kini duduk di depannya. Tertangkap basah ketika tengah menelepon Ferdy, Sagara memang langsung ditodong penjelasan setelah Elliana medengar nama Yudistira sehingga dengan segera dia pun menjelaskan semuanya.Jujur? Tentu saja tidak.Elliana tak mendengar semua percakapannya dengan Ferdy, Sagara bisa dengan mudah membohongi perempuantu itu dengan mengatakan jika dirinya memang meminta seseorang untuk mencari Yudistira, agar dirinya bisa memberikan pelajaran setelah semua yang dilakukan putra tunggal David kepada
***"Gimana, enak enggak?"Duduk bersama Sagara di sofa, Elliana menoleh perlahan ketika pertanyaan tersebut dia dapat dari sang suami yang kini berada persis di samping kirinya.Tak hanya duduk, yang dilakukan Sagara sekarang adalah memegangi handuk kecil yang menempel di pipi sang istri. Tak kering, handuk tersebut nampak sedikit basah karena memang tujuan handuk tersebut ditempelkan adalah; meredakan rasa perih bahkan panas di pipi Elliana usai ditampar Syafira beberapa saat lalu.Tak ada ucapan panjang lebar atau makian, yang dilakukan Syafira setelah menampar pipir kiri Elliana adalah; mengatai istri Sagara itu jahat sebelum akhirnya pergi begitu saja.Elliana tentunya punya niat untuk mengejar. Namun, Sagara menahannya bahkan setelah itu pria tersebut membawa dia ke kamar sehingga Elliana pun menurut.Tak langsung bertanya penyebab atau semacamnya, yang dilakukan Sagara setelah masuk kamar, yaitu; mengambil handuk kecil di kamar mandi untuk dikompreskan ke pipi Elliana yang kata
***"Masuk."Sambil memandang Sagara, Elliana masuk ke dalam mobil suaminya itu kemudian duduk di sebelah kiri. Tanpa banyak berkata, setelahnya Sagara nampak mengitari mobil kemudian masuk dari pintu kanan.Duduk di kursi kemudi, Sagara lantas memasang seatbelt lalu menyalakan mesin bahkan melajukan mobilnya begitu saja meninggalkan parkiran.Pasca ucapan selebor Elliana tentang cerai, Sagara memang menunjukkan sikap berbeda. Tak menyangka dengan apa yang diucapkan sang istri, Sagara bilang dia tak punya niat melakukan hal tersebut sehingga jelas rasa kecewa langsung dirasakan pria itu.Sekali lagi menegaskan, Sagara bilang dia tak peduli sama sekali dengan perbedaan status gadis diantara Elliana dan Syafira dan apa pun yang terjadi, Sagara akan terus mencintai adik angkat sekaligus istrinya itu karena memang cintanya tak sedangkal yang dipikirkan Elliana."Kita ke rumah Om David langsung kan, Kak?"Setelah beberapa menit mobil Sagara memasuki jalan raya, Elliana akhirnya memberanikan
***"Kenapa enggak makan? Enggak lapar kamu?"Baru masuk setelah beberapa saat lalu dipanggil sang anak buah, pertanyaan tersebut langsung dilontarkan Ferdy pada Yudistira yang kini nampak memberikan tatapan tajam padanya.Setelah sempat mengamuk lalu kembali tenang, Yudistira pagi ini menolak ketika anak buah Ferdy memberikannya makanan untuk sarapan. Bukan roti atau pancake—makanan yang biasa dia santap, sarapan Yudistira pagi ini adalah nasi bungkus seperti semalam."Kamu sebenarnya siapa?"Tanpa mengalihkan atensi meskipun sedetik, tatapan tajam Yudistira masih dia arahkan pada Fedy yang kini justru melengkungkan senyuman tipis."Ada apa mau tahu nama saya, hm? Mau kenalan?" tanya Ferdy. "Maaf, saya tidak tertarik berkenalan dengan kamu."Yudistira mendengkus. Demi apa pun sekarang dia sangat ingin membebaskan diri dari rantai yang membelit tubuh bahkan kedua kaki dan tangannya. Namun, tentunya hal tersebut bukan sesuatu yang mudah karena setiap kali mencoba, dirinya justru merasa
***"Lian pulang dulu ya, Tante. Jangan lupa jaga kesehatan dan kalau ada kabar tentang Yudis, tolong kabari Lian. Terima kasih untuk semua yang Tante kasih hari ini, Lian sangat berterima kasih."Setelah sebelumnya mencium punggung tangan Aruna, Elliana lantas berpamitan pada mantan calon mertuanya itu yang kini mengantar dia sampai ke halaman. Tak sendiri, Aruna ditemani David yang beberapa waktu lalu membantu Sagara memasukkan hantaran karena memang setelah meminta izin, Sagara tak keberatan sang istri menerima hantaran dari keluarga Yudistira."Iya, Lian. Kamu hati-hati di jalan ya dan sekali lagi Tante minta maaf untuk semua yang dilakukan Yudis. Semoga kamu sama Sagara bahagia selalu.""Aamiin, Tante. Terima kasih."Setelah pada Aruna, Elliana berpamitan pula pada David lalu setelahnya dia pun masuk ke dalam mobil Sagara dan tanpa banyak menunda, mobil yang dikendarai putra angkat Athlas itu pun melaju meninggalkan kediaman Yudistir
***"Ma, gimana kondisi Lian sekarang? Baik-baik aja, kan, dia? Enggak ada hal serius terjadi, kan? Dan anak aku, gimana kondisi anak aku sekarang, Ma? Baik juga, kan?"Barusaja sampai di depan ruang operasi, deretan pertanyaan tersebut langsung dilontarkan Sagara pada Anindira juga Athlas yang kini berada di sana.Datang dari kantor dengan perasaan panik, itulah Sagara setelah beberapa waktu lalu kabar tak mengenakkan diterimanya dari Anindira. Elliana jatuh di kamar mandi.Itulah kabar buruk yang Sagara terima sehingga tanpa banyak basa-basi yang dia lakukan usai menerima kabar tersebut adalah bergegas menuju rumah sakit tempat sang istri dirawat.Tak tepat waktu, Sagara pergi setengah jam setelah pesan dari Anindira masuk karena memang ketika pesan tersebut dikirim, dirinya tengah menjalani meeting sehingga khawatir tingkat tinggi pun dirasakannya."Tenang, Gar, satu-satu dulu nanyanya," ucap Athlas. "Mama kamu pusing kalau kamu nanyanya banyak gitu.""Ah iya, Maaf," ucap Sagara. M
***"Hai, Mas suami."Tersenyum, itulah yang Sagara lakukan setelah sapaan tersebut dilontarkan Elliana. Baru kembali dari kantor setelah seharian penuh bekerja, dia merasa lelahnya seketika hilang setelah sang istri yang malam ini terlihat cantik dengan dressnya, menyambut di ambang pintu.Tak heran dengan penampilan cantik Elliana malam ini, Sagara tentu saja tahu alasan sang istri berdandan cantik sehingga tak bertanya tentang pakaian, dia memilih untuk membalas sapaan Elliana dengan ucapan yang tak kalah manis."Hai, istriku yang cantik.""Aku lega karena Kakak pulang tepat waktu," ucap Elliana—mengingat lagi bagaimana Sagara meminta izin pulang terlambat sore tadi. Padahal, malam ini ada acara makan bersama di rumah untuk merayakan bertambahnya usia sang putri, Rinjani. "Aku pikir bakalan telat dan makan malam kita kemalaman.""Enggaklah, aku kan tadi janji pulang maghrib dan kebetulan problem yang aku ceritain ke kamu tadi
***"Gimana sayang? Keluar enggak?"Duduk sambil memperhatikan Elliana yang kini menggendong sang putri, pertanyaan tersebut lantas dilontarkan Sagara dengan raut wajah penasarannya.Bukan tanpa alasan, Sagara bertanya demikian karena kini Elliana tengah memberikan ASInya untuk pertama kali dan yaps! Ringisan dari sang istri membuat dia mengerutkan kening."Ada dikit, Kak, bening," ucap Elliana. "Nanti pasti banyak," ucap Sagara. "Sakit enggak?""Enggak sih cuman agak gimanaa gitu," ucap Elliana. "Kaya ada geli-gelinya gitu.""Si cantiknya bangun?""Merem," kata Elliana sambil tersenyum. "Dia mungkin masih terlalu mager buat bangun.""Nanti malam mungkin bangun."Selesai operasi pukul sepuluh pagi, bayi mungil yang Elliana lahirkan memang baru dibawa ke kamar rawat Elliana enam jam setelahnya, dan tak langsung bangun, bayi cantik dengan berat badan 3,2kg tersebut terlelap dengan damai hingga s
***"Gimana, Kak, udah cantik belum? Aku enggak mau kelihatan pucat soalnya pas difoto nanti."Selesai memoles wajah, pertanyaan tersebut lantas Elliana lontarkan pada Sagara yang sejak tadi duduk di samping bed tempatnya berada. Tak di rumah seperti hari-hari sebelumnya, jumat ini Elliana sudah berada di rumah sakit karena memang setelah beberapa bulan berganti, usia kehamilan yang dia alami tiba juga di angka tiga puluh delapan minggu.Tak bisa melahirkan normal karena janin yang tetap di posisi sungsang, Elliana pada akhirnya pasrah pada tindakan cessar yang akan dilakukan dokter untuk kelahiran sang putri dan karena operasi akan dilakukan pukul sembilan pagi, sekarang—sekitar pukul tujuh, Elliana sibuk merias diri karena di kelahiran pertamanya, entah kenapa dia ingin tampil cantik dengan makeup di wajah.Tak hanya ditemani Sagara di ruang operasi nanti, Elliana sebelumnya meminta izin untuk mengajak satu orang lagi, dan bukan Anindi
***"Masih sedih?"Tak langsung melajukan mobil setelah sebelumnya masuk, pertanyaan tersebut lantas dilontarkan Sagara setelah kini di samping kirinya, Elliana terlihat terus menekuk wajah.Tak hanya memasang ekspresi tersebut, sejak beberapa waktu lalu Elliana juga tak banyak bicara dan seolah belum cukup, sejak masuk ke dalam mobil, Elliana memalingkan wajah ke arah luar—membuat Sagara tentu saja khawatir."Lumayan," ucap Elliana dengan atensi yang masih tertuju ke luar.Tak di rumah, saat ini dia juga Sagara tengah berada di parkiran rumah sakit setelah sebelumnya melakukan check up kandungan dan sama seperti bulan sebelumnya, kondisi janin di rahim Elliana baik. Namun, kendala yang muncul sejak dua bulan lalu masih sama dan hal tersebutlah yang membuat Elliana tak memasang raut wajah bahagia setelah melakukan check up.Bayi yang dia kandung mengalami posisi sungsang.Itulah kendala dalam kehamilan yang Elliana alami
***"Satu, dua, tiga, tusuk!"Dar!Tak memiliki jeda yang lama pasca seruan tersebut dilontarkan orang-orang di taman belakang rumah, balon hitam besar yang semula menggantung akhirnya meledak juga setelah sebuah jarum ditusukkan oleh Elliana juga Sagara di waktu yang sama.Tak sekadar berdiri bersebelahan di depan balon, Elliana juga Sagara tentunya berpegangan tangan bahkan jarum yang mereka pakai pun hanya satu—dipegang oleh keduanya dan yaps! Begitu balon pecah, compety berwarna merah muda berhamburan—membuat semua orang yang sore ini hadir seketika berseru, karena lewat warna compety yang keluar dari dalam balon, jenis kelamin bayi yang Elliana kandung akhirnya bisa diketahui."Bayi kita perempuan, Kak," ucap Elliana sambil memandang Sagara."Iya, sayang. Baby girl," kata Sagara. "Sini peluk dulu."Tersenyum dengan perasaan yang bahagia, setelahnya Elliana masuk ke dalam dekapan Sagara kemudian di tengah meriahnya a
***"Hai."Tersenyum dengan perasaan speechles, itulah yang Elliana rasakan ketika sapaan tersebut dilontarkan Sagara yang barusaja turun dari mobil. Berpenampilan berbeda dengan tadi pagi ketika hendak pergi ke kantor, sore ini pria itu pulang menggunakan kemeja biru muda dan tentu saja hal tersebut membuat Elliana heran."Kakak kok ganti baju?" tanya Elliana begitu Sagara mendekat. "Baju yang tadi mana?""Ada di mobil," kata Sagara. Sampai di teras tempat sang istri menunggu, setelahnya dia bertanya, "Udah siap?""Udah," kata Elliana. "Mau ke mana kita sore ini?"Beberapa jam berlalu, sore akhirnya tiba dan merealisasikan ajakan Sagara tadi siang, Elliana sudah rapi dengan dress merah muda juga sneaker putih yang diberikan sang suami, karena memang tak ada perubahan jadwal, Sagara ingin mengajaknya berjalan-jalan."Tempatnya masih dirahasiakan," ucap Sagara. "Oh ya, Mbak Marni mana? Bilang ke beliau ayo berangkat."
***"Siapa, Bi, barusan? Tetangga atau siapa?"Tengah bersantai di kursi tengah, pertanyaan tersebut lantas Elliana lontarkan setelah Mbak Marni yang semula ke depan untuk mengecek tamu, kini kembali sambil menenteng sebuah paper bag di tangan kanan.Entah apa isi dari paper bag tersebut, Elliana sendiri tak tahu karena dibanding apa yang dibawa sang art, dia rasanya lebih penasaran pada siapa yang datang ke rumahnya beberapa waktu lalu."Kurir, Non," kata Mbak Marni. "Katanya mau anterin paket buat Non Lian.""Paket?" tanya Elliana sambil mengerutkan kening. "Dari siapa?""Den Gara," ucap Mbak Marni. Mendekati Elliana yang masih berada di sofa, setelahnya yang dia lakukan adalah; menyimpan paper bag yang dibawanya di atas meja. "Tadi kurirnya bilang ini paket buat Non Lian dan pengirimnya Den Gara. Karena setelah dicek, isi paper bagnya kain, Saya terima aja deh.""Kak Gara kasih apa ya?" tanya Elliana. "Dia bilang lemb
***"Ngerjain Kak Gara dosa enggak sih? Mendadak kasihan juga nih aku tinggalin dia di pasar."Sambil terus mengemudikan mobil yang sejak tadi dia bawa, Elliana lantas bertanya demikian setelah perasaan tak enak juga kasihan pada Sagara tiba-tiba saja menghampiri.Sudah jauh meninggalkan pasar tempat Sagara mencari jengkol, Elliana sengaja meninggalkan suaminya tersebut setelah rasa ingin buang air kecil tiba-tiba saja menghampiri.Tak terlalu mendesak, sebenarnya Elliana masih bisa menunggu Sagara selama beberapa menit. Namun, entah kenapa keinginan untuk meninggalkan pria itu tiba-tiba saja menguat—membuat dia lantas mengemudikan mobil suaminya itu pergi meninggalkan pasar.Entah masuk ke dalam kategori ngidam atau tidak, tapi yang jelas ketika Sagara menghubunginya untuk bertanya, Elliana justru semakin ingin mengerjai sang suami sehingga meminta Sagara pulang menggunakan angkot pun dilontarkannya dan jujur, membayangkan Sagara menggun