"Astaga! Ibu!" Tangis Tiara seketika berhenti, berubah keterkejutan mengetahui tubuh Suti tiba-tiba lemas dan luruh ke lantai. Ia yang sebelumnya dipeluk Suti tidak sempat menangkap tubuh Ibunya itu, hingga akhirnya terjerembab setelah menghantam kursi yang ia duduki. Untung saja disaat bersamaan Bram datang dan langsung berlari mendekat.
Dokter Sarah tak kalah terkejut, namun tak bisa bergerak cepat karena posisinya yang terhalang meja."Bu! Ibu bangun. Ibu kenapa, Bu? Dokter! tolong Ibu saya.""Tiara, tenanglah.""Bram?" Melihat kehadiran suaminya, Tiara yang sudah membawa kepala Suti ke pangkuannya kembali terisak."Tenangkan dirimu, Ibu hanya pingsan." Seolah tidak mengindahkan, Tiara tetap menangisi Suti yang tak juga sadarkan diri."Kenapa bisa seperti ini, Bram? Bapak, Bapak belum belum sembuh dan sekarang Ibu pingsan."Sadar Suti butuh pertolongan, Bram segera mengangkat ibu meSepasang mata tengah menerawang jauh kedepan. Hiruk-pikuk di sekitar tak membuatnya ingin merubah arah pandang sedikitpun. Jauh di Kota Nottingham-Inggris, tepatnya di sebuah kafe yang berada Old Market Square yang merupakan alun-alun terbesar di kota itu, Ziyan bersama Merry tengah duduk menikmati kualiti time mereka di hari libur. Setelah sempat berkeliling bersama putra sematang wayang mereka, yang kini sedang duduk tenang di atas troli menikmati biskuit. Tangan kanan Ziyan masih setia menggenggam erat tangan kiri Merry di atas meja, seolah khawatir genggam itu bisa terlepas jika ia lengah sedikit saja."Honey, ada apa denganmu? kenapa hari ini aku lebih banyak melihat dahimu berkerut. Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?" Baru Ziyan menoleh, dan saat itulah ia tersadar, jika tengah berada di luar bersama keluarga kecilnya. Namun, setelah menatap hangat sang istri, bukannya langsung menjawab, Ziyan justru beralih pada Sean, putra mereka."Sayang, berikan aku tisu." Buru-buru M
"Tunggu Sar, kita perlu bicara." Sari melirik malas lengannya yang ditahan Thomas."Apalagi Mas, jangan katakan apapun sekarang, plis. Aku lelah." Memutar lengannya, berharap genggaman Thomas bisa terlepas. Namun, yang terjadi pria itu justru menariknya, hingga tanpa Sari perhitungkan, tubuh mereka berubah saling berhadapan.Thomas menatap Sari dalam diam. Untuk sesaat mereka memilih mengunci pandangan, larut dalam pikiran masing-masing.'Sekarang aku semakin yakin untuk melepasmu, Mas. Kamu tidak seharusnya bersamaku.''Maafkan aku, Sari. Bukan maksudku merendahkanmu. Hanya saja, untuk mengatakan apa yang sebenarnya aku rasakan, aku masih belum cukup yakin. Karena aku khawatir, kau hanya menganggapnya omong kosong.' Keduanya saling berkomunikasi lewat suara hati, seolah mereka saling mendengar jelas kata hati masing-masing. Sampai akhirnya, Thomas tersadar lebih dulu. Lalu, melepas cengkraman tangannya.
"Tunggu Sari!"Seketika bulu kuduk Sari meremang, dibalik tubuhnya yang membeku, ia merapalkan doa. Berharap sosok itu bukan makhluk astral atau sejenisnya yang biasa menampakkan diri di siang hari."Maaf, jika kedatangan Mas mengejutkanmu. Tapi ini benar-benar Mas Zi, Dek."Deg!!Suara lembut itu, yah, Sari masih ingat betul walaupun sudah bertahun-tahun tidak mendengarnya. 'Tidak mungkin itu Mas Ziyan, bukankah dia …?' batin Sari meragukan. Namun saat merasakn sentuhan di lengannya, tubuhnya terasa tersengat listrik ribuan watt."Maafkan Mas harus membuatmu menyaksikan kejadian itu. Mas sungguh menyesal, Dek."Ketegangan Sari karena takut berubah keterkejutan. Secara perlahan dengan tubuh bergetar ia memberanikan diri memutar badan. Meski dalam hati tetap meragukan jika suara itu benar-benar milik Ziyan. Tapi ia sangat ingin memastikan sendiri. Begitu sudah menghadap sosok jangkung itu, Sari bisa melihat jelas bahwa kaki berbalut pantofel coklat itu, memang menapak di atas lantai p
"Apa yang kau maksud Thomas Wijaya, adik dari Bramantyo Wijaya?" Melihat Sari mengangguk lemah, kesadaran yang baru saja kembali nyaris, menghilang lagi. Ziyan merasa gagal menjadi seorang Kakak, sampai adik-adiknya harus berurusan dengan pria dari keluarga yang bahkan sangat ingin ia hindari. "Bagaimana bisa aku sampai tidak mengetahui jika Metha berhubungan dengan Thomas?" gumamnya gusar."Dia kecewa karena Mbak Metha ditangkap beberapa hari sebelum hari pernikahan mereka. Apalagi, kasus yang menjerat Mbak Metha sangat berat, sehingga tidak bisa dibebaskan dengan jaminan. Sementara, dia tidak mau rugi dengan dana yang sudah digelontorkan untuk menyiapkan pesta itu.""Lalu, dia menjadikanmu istri pengganti?" Sari lagi-lagi hanya bisa mengangguk lemah. Sejujurnya, ada rasa sesak kala mengingat statusnya. Apalagi, hubungannya dengan Thomas belum juga membaik. Tepatnya, selama satu minggu setelah malam itu, Sari memilih menghindari Thomas, agar tekadnya untuk mengembalikan suaminya it
Sari melangkah gontai memasuki apartemen Thomas, lebih dari dua belas jam berada di rumah sakit, ditambah kenyataan yang didengar langsung dari mulut Ziyan, ia bersyukur keadaannya tidak semakin memburuk. Setidaknya ia tidak gila, atau lebih ringannya berubah linglung. Tapi sialnya, ia tidak punya tujuan pulang selain kembali ke apartemen Thomas, pria yang jelas-jelas sangat ingin ia hindari. "Mungkin aku pantas disebut tidak tahu malu dengan kembali ke tempat ini, setelah apa yang papa lakukan pada keluarganya, terutama Tuan Bram," gumam Sari yang tertunduk saat membuka pintu."Dari mana kamu!" Sontak, Sari tersentak sekaligus menegang, belum sempat pintu kembali ditutup, suara dingin dari arah sofa membekukan aliran darahnya. "Aku tanya, darimana kau sampai semalam tidak pulang, hah!" Sari tertunduk semakin dalam, ia tidak berani mengangkat kepala barang sedikit saja. Apalagi memastikan Thomas duduk di sofa sebelah mana, mendengar suara Thomas yang menggelegar—nyalinya benar- ben
"Bagaimana?"Tiara mendongak lalu menggelengkan kepala. Melihat itu Bram sigap mendekap, serta memberi usapan di punggung istrinya agar lebih kuat menghadapi ujian yang sedang dihadapi. Setelah kehilangan Suti satu bulan lalu, ujian hidup Tiara seolah belum berakhir. Tepat sehari setelah kematian sang istri, Wisnu tidak pernah lagi membuka mata, bahkan respon-respon yang sebelumnya pria paruh bayah itu tunjukan seolah sebagai tanda perpisahan.Dan, hal itu tentu saja membuat Tiara kian terpuruk, selain pengaruh kehamilan, kondisi ayahnya yang tidak menunjukkan peningkatan sedikitpun—membuat selera makannya sirna begitu saja. Sehingga, dalam kurun satu bulan, berat badannya turun drastis"Kamu yang sabar ya." Entah sudah berapa puluh kali kalimat itu keluar dari mulut Bram untuk menguatkan sang istri. Walaupun sebenarnya ia sendiri sangat prihatin dengan kondisi Tiara yang mengalami morning sickness parah setiap paginya. Bahkan di usia kehamilannya yang menginjak dua belas minggu, hanya
"Dia alergi susu sapi Dok, dan karena keteledoran saya, dia baru saja menghabiskan satu gelas susu hamil saya. "Sementara Tiara terus menjelaskan kronologi yang terjadi pada putrinya, Daniel dengan santainya memasukkan teleskop beserta alat yang lain kedalam tas, setelah memeriksa kondisi Nana."Apa ada yang serius, Dok?""Katakan sesuatu, Dan, jangan buat kami khawatir," sela Bram tidak sabaran.Setelah memastikan semua alatnya sudah tersimpan ke dalam tas, Daniel bangkit, mempersilahkan Tiara mengambil alih tempat duduknya."Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, di usia Nana yang sekarang, imun tubuhnya sudah mampu menerima protein yang di hasilnya oleh susu sapi. Apa yang dia rasakan hanya gejala ringan, tidak ada peradangan, sesak nafas ataupun eksim yang perlu diwaspadai." Daniel menoleh pada Nana yang dibantu Tiara duduk bersandar. "Apa dia masih minum susu soya?""Masih, saat pagi dan sebelum tidur, Dok, " jelas Tiara."Dengar itu Cantik, mulai sekarang jangan lagi minum susu yan
Di sebuah Bandara Internasional rombongan pria berseragam hitam, berjalan beriringan dengan mendorong brankar berisi peti mati menuju pintu keluar bandara. Di belakangnya terlihat seorang pria paruh baya yang juga mengenakan kemeja hitam lengkap dengan kacamata—berjalan dengan kepala sedikit menunduk. Pria itu tidak peduli sekalipun kehadirannya beserta rombongan telah menarik perhatian pengunjung lain. Ia hanya ingin segera meninggalkan bandara, untuk segera melakukan proses selanjutnya.Namun, saat hampir mencapai pintu, tiba-tiba Hutoyo menghentikan langkahnya kala mendengar panggilan yang tidak asing di telinga."Papi.."Dan, begitu menoleh ke samping Hutoyo seketika mematung, mendapati sosok gagah berdiri seperti sengaja menunggu di samping pintu."Papi.."Suara Ziyan seperti tercekat di tenggorokan setiap kali ingin berkata lebih dari itu, sehingga hanya bisa mengulang-ulang kata yang sama. Ziyan sangat ingin berlutut di kaki Hutoyo, tapi ia tidak tahu apakah ayahnya itu masih me