Di sebuah Bandara Internasional rombongan pria berseragam hitam, berjalan beriringan dengan mendorong brankar berisi peti mati menuju pintu keluar bandara. Di belakangnya terlihat seorang pria paruh baya yang juga mengenakan kemeja hitam lengkap dengan kacamata—berjalan dengan kepala sedikit menunduk. Pria itu tidak peduli sekalipun kehadirannya beserta rombongan telah menarik perhatian pengunjung lain. Ia hanya ingin segera meninggalkan bandara, untuk segera melakukan proses selanjutnya.Namun, saat hampir mencapai pintu, tiba-tiba Hutoyo menghentikan langkahnya kala mendengar panggilan yang tidak asing di telinga."Papi.."Dan, begitu menoleh ke samping Hutoyo seketika mematung, mendapati sosok gagah berdiri seperti sengaja menunggu di samping pintu."Papi.."Suara Ziyan seperti tercekat di tenggorokan setiap kali ingin berkata lebih dari itu, sehingga hanya bisa mengulang-ulang kata yang sama. Ziyan sangat ingin berlutut di kaki Hutoyo, tapi ia tidak tahu apakah ayahnya itu masih me
"Maafkan aku baru bisa datang sekarang, Pi."Metha yang terisak segera berlari mendekati Hutoyo---mengabaikan Ziyan yang mematung, diikuti dua penjaga lapas di belakangnya.Pemandangan yang cukup menyesakkan dada bagi Ziyan. Adik yang dulu selalu membangkang dan tidak pernah berperilaku baik padanya, kini tengah mengenakan baju tahanan dengan kedua tangan yang menyatu karena ada benda yang melingkar di pergelangan tangannya.Tapi lebih dari itu ada yang membuat Ziyan hampir tak percaya, kedaan Metha yang sekarang terlihat sangat mengenaskan. Bukan hanya tidak ada lagi dandann menor ataupun pakain glamor yang dulu selalu wanita itu kenakan. Melainkan tubuh Metha juga terlihat kurus hingga ia hampir tidak mengenalinya tadi."Metha!"Hutoyo bergegas menyambut kedatangan putrinya, dan segera menahan tubuh itu saat tahu hendak menjatuhkan diri di samping pusara Lasmini."Kenapa Mami pergi disaat Metha seperti ini, Pi. Kenapa tidak memberi kesempatan Metha untuk meminta maaf lebih dulu, Meth
Sari duduk termenung menghadap kaca yang ada di kamarnya, meski hanya ada kasur tipis, satu bantal juga selimut, Sari memilih bertahan di kamar itu. Sejak dua minggu yang lalu, Thomas mengosongkan kamar yang ia tempati sejak awal, dan memindahkan semua barang-barangnya ke kamar utama, kecuali ranjang yang entah dibuang kemana. Dengan dalih, hal tersebut dilakukan agar dirinya mau berbagi kamar dengan pria itu. Namun, yang terjadi Sari justru tetap bertahan dengan benda seadanya.Jika ditanya, kenapa ia begitu keras kepala tidak mau satu kamar dengan Thomas, yang notabenenya adalah suaminya?Maka, jawaban Sari tetap sama, ia merasa tidak pantas tidur di ranjang pria itu. Selain, apa yang sudah dilakukan Subrata, Metha juga Ziyan pada keluarga suaminya, Sari menganggap dirinya hanya sebagai istri ganti rugi yang tidak pantas merangkak naik ke ranjang Thomas.Lantas, bagaimana respon pria itu, apakah terima begitu saja dengan sikap Sari?Entah apa persepsi Thomas tentang dirinya, Sari han
"Se-selamat malam, eh, Mbak Sari, silahkan masuk, Tuan ada di dalam." Keduanya kompak mengangguk saat seorang pelayan wanita membuka pintu lebih lebar."Siapa yang datang, Tya?""Mbak Sari dan—"Mendadak, langkah Sari terhenti kala mendengar suara bas dari arah dalam. Suara itu milik orang yang sampai saat ini masih ia ragukan kebenarannya.Hutoyo, benarkah pria itu ayah kandungnya? Tangan kanan Sari menyentuh dada, tiba-tiba seperti ada benda keras menghantam bagian itu. Bahkan, rasa sakitnya sampai menimbulkan sesak yang menyulitkannya bernafas. Tidak hanya itu, Sari juga merasa tulang di kakinya berubah melunak, seakan tidak sanggup lagi menopang badannya yang ramping. Kenapa semua rasa itu muncul, jika hatinya saja ingin mengingkari apa yang pernah ia dengar dari Ziyan. Hutoyo bukan ayahnya, melainkan kakak dari ayah sambungnya. Yah, itu keyakinan yang seharusnya ia pegang teguh, bukan?Tapi ternyata sekarang?Tubuhnya justru menunjukkan reaksi berbeda pada pertemuan pertama merek
Tidak hanya saat masih berada dirumah Hutoyo, Sari banyak diam. Tapi ketika mereka di perjalanan dan sampai di apartemen pun, gadis itu seolah mengunci rapat mulutnya. Tak ada satu katapun yang terucap begitu mereka pamit dari kediaman Hutoyo—-membuat Thomas semakin yakin, pasti ada sesuatu yang menambah beban di hati istrinya itu---selain merasa diabaikan oleh keluarganya."Tunggu!" Begitu menutup pintu, Thomas menahan tangan Sari, membuat langkah gadis itu pun terhenti. "Sudah cukup aku memberimu waktu untuk sendiri. Sekarang, aku tidak mau lagi kau acuhkan Sari, dan tanpa penolakan. Karena mulai sekarang lakukan tugasmu sebagai istri yang baik." Thomas menarik pelan tangan Sari hingga kedua berdiri berhadapan. "Apa yang sebenarnya Mas harapan dariku? Dari hubungan ini? ketulusan 'kah, atau kesetiaanku sebagai istri pengganti?" Thomas cukup terkejut mendengarnya, tetapi memilih diam karena tahu Sari masih mau kembali berbicara. "Yah! Aku akan lakukan itu mulai sekarang. Walaupun ak
"Aku baik-baik saja," ucap Tiara merasakan usapan di lengannya.Sejak awal prosesi pemakaman Wisnu, Bram tak sedikit pun beranjak dari samping Tiara---khawatir jika istrinya itu bisa saja tiba-tiba tidak sadarkan diri dengan perut yang semakin buncit. Walaupun Tiara mengatakan sudah rela melepaskan kepergian sang ayah, tapi Bram tahu, seberapa dalam istrinya itu terpukul setelah kehilangan kedua orang tua dalam waktu berdekatan.Terbukti, sejak tim medis melepas semua alat yang menopang kehidupan Wisnu, bulir bening tak juga mengering dari sudut mata Tiara. Terlebih sekarang, semakin deras mengalir kala menatap makam sang ayah bersisian dengan Suti yang pergi lebih dulu. Dua insan yang dulu hidup penuh gunjingan kini telah pergi dengan tenang. Meninggalkan orang-orang tersayang untuk melanjutkan hidup, memperdalam arti kesabaran, dengan mempergunakan sisa nafas sebaik mungkin."Kita pergi sekarang?" Anggukan lemah sebagai jawaban Tiara yang tak mampu lagi bersuara.Suasana pemakaman Wi
"Sar .. ""Iya Mas?"Lewat pantulan cermin di depannya, Sari mengernyitkan dahi mengetahui Thomas seperti orang kebingungan. 'Dia mau ngomong apa? mungkinkah aku sudah melakukan kesalahan?' Sepersekian menit menunggu, Sari masih memperhatikan tingkah sang suami, masih seperti orang linglung.Malu, yang mendasari Thomas tak langsung mengatakan apa yang ada di benaknya. Apalagi Bram juga sempat menggeleng kepala menanggapi kelalaiannya. Ia sudah melupakan tanggung jawabnya pada Sari sebagai seorang suami, benar-benar payah."Apa kita tidak jadi menginap disini, Mas?" terang Sari menduga lebih dulu. Mendapati Thomas masih enggan lanjut bicara.Thomas terkesiap, ikut menatap pantulan wajah istrinya dengan air muka yang sulit diartikan."Kenapa kamu tidak pernah meminta hakmu padaku? lantas, darimana selama ini kau mendapatkan uang untuk mencukupi semua kebutuhan kita?"Sari meletakkan sisir di tangannya, kemudian memutar posisi duduk hingga berhadapan dengan Thomas yang duduk di tepi ra
"Apakah kalian sudah selesai?"Kedua pria paruh baya itu pun menoleh, dan ekspresi terkejut seketika menghiasi wajah keduanya, begitu mendapati kemunculan Ziyan."Jika Papa tidak lagi menginginkan mama, lepaskan. Aku bahkan tidak keberatan jika harus membawanya pulang ke London."Sontak, Subrata tersenyum remeh. "Kau pikir bisa semudah itu?""Sudah Pa, cukup. Hentikan semuanya. Apa Papa belum puas sudah mempermainkan hidup semua orang? sekarang lihatlah, Metha terancam hukuman mati imbas dari keserakahan Papa. Apa itu belum cukup?"Nafas Ziyan berubah menderu, mengetahui tidak ada sedikitpun penyesalan di wajah Subrata."Apa yang sebenarnya Papa cari? kedudukan, harta, atau kemewahan? semua itu tidaklah abadi. Lihatlah mami Lasmini, apa yang dia bawa saat pergi? semuanya masih tertinggal." Suara Ziyan melemah di ujung kalimatnya. "Kebahagiaan hidup bukan karena banyaknya harta, bukan juga karena kedudukan tinggi. Tapi disini." Menunjuk dadanya sendiri. "Akan merasakan ketenangan jika