"Sar .. ""Iya Mas?"Lewat pantulan cermin di depannya, Sari mengernyitkan dahi mengetahui Thomas seperti orang kebingungan. 'Dia mau ngomong apa? mungkinkah aku sudah melakukan kesalahan?' Sepersekian menit menunggu, Sari masih memperhatikan tingkah sang suami, masih seperti orang linglung.Malu, yang mendasari Thomas tak langsung mengatakan apa yang ada di benaknya. Apalagi Bram juga sempat menggeleng kepala menanggapi kelalaiannya. Ia sudah melupakan tanggung jawabnya pada Sari sebagai seorang suami, benar-benar payah."Apa kita tidak jadi menginap disini, Mas?" terang Sari menduga lebih dulu. Mendapati Thomas masih enggan lanjut bicara.Thomas terkesiap, ikut menatap pantulan wajah istrinya dengan air muka yang sulit diartikan."Kenapa kamu tidak pernah meminta hakmu padaku? lantas, darimana selama ini kau mendapatkan uang untuk mencukupi semua kebutuhan kita?"Sari meletakkan sisir di tangannya, kemudian memutar posisi duduk hingga berhadapan dengan Thomas yang duduk di tepi ra
"Apakah kalian sudah selesai?"Kedua pria paruh baya itu pun menoleh, dan ekspresi terkejut seketika menghiasi wajah keduanya, begitu mendapati kemunculan Ziyan."Jika Papa tidak lagi menginginkan mama, lepaskan. Aku bahkan tidak keberatan jika harus membawanya pulang ke London."Sontak, Subrata tersenyum remeh. "Kau pikir bisa semudah itu?""Sudah Pa, cukup. Hentikan semuanya. Apa Papa belum puas sudah mempermainkan hidup semua orang? sekarang lihatlah, Metha terancam hukuman mati imbas dari keserakahan Papa. Apa itu belum cukup?"Nafas Ziyan berubah menderu, mengetahui tidak ada sedikitpun penyesalan di wajah Subrata."Apa yang sebenarnya Papa cari? kedudukan, harta, atau kemewahan? semua itu tidaklah abadi. Lihatlah mami Lasmini, apa yang dia bawa saat pergi? semuanya masih tertinggal." Suara Ziyan melemah di ujung kalimatnya. "Kebahagiaan hidup bukan karena banyaknya harta, bukan juga karena kedudukan tinggi. Tapi disini." Menunjuk dadanya sendiri. "Akan merasakan ketenangan jika
Meninggalkan kediaman Hutoyo, Ziyan langsung meluncur ke alamat yang Sari kirimkan. Awalnya, adiknya itu tidak mau menyebutkan dimana sekarang dirinya menginap bersama Thomas. Lantas, Ziyan bisa menebak jika tempat itu tak lain kediaman Bram. Untuk itu, hanya butuh sedikit memaksa sampai akhirnya Sari menyebutkan dimana alamat rumah Bram yang sekarang.Tiga puluh menit berlalu, kini Ziyan sudah berdiri didepan pintu putih menjulang tinggi. Untung saja saat di pintu depan, dua Satpam tak banyak bertanya begitu dirinya mengatakan Kakak Ipar dari Thomas, dan ingin bertemu adiknya, Sari."Mas, sungguh datang kemari?" Sari gelapan begitu membuka pintu.Setelah mengirim alamat rumah Bram pada kakaknya itu, ia menjadi gelisah di ruang tengah. Sehingga pada saat suara bel berbunyi, ia bergegas berlari dan melarang pelayan yang hendak membukanya."Iya Dek, mas harus menemui Bram. Tidak peduli bagaimana reaksinya nanti, Mas harus memaksanya agar mau meringankan hukuman Metha.""Mas ..""Mas pun
"Papa!"Melihat kehadiran Bram, Nana seketika merentangkan tangan siap menyambut gendongan sang ayah."Dia mimpi buruk tadi, aku sudah berusaha menenangkan. Tapi dia tetap ingin mencarimu." Sembari duduk, Tiara menjelaskan.Bram hanya memperhatikan pergerakan istrinya sambil mengusap punggung Nana. Dalam gendongannya, tangis Nana seketika berhenti. Gadis itu berada di posisi nyamannya, merangkul serta menyembunyikan wajah di ceruk leher BramDan Bram, begitu telaten mengusap serta mengayunkan tubuhnya pelan, agar Nana bisa lebih tenang—sampai kembali menjemput mimpi. "Tidurlah lagi, biar dia bersamaku," ucapnya pelan pada Tiara."Aku sudah kehilangan kantukku. Apa Sari jadi menginap?" Dikehamilan yang semakin membesar, terkadang membuat Tiara kehilangan rasa kantuk saat tidurnya terganggu. Sama halnya yang terjadi padanya beberapa menit yang lalu. Ia yang baru tertidur terkejut dan bergegas bangun ketika mendengar tangis Nana. Lantas sekarang, ia tidak bisa tidur lagi. "Mereka mengin
"Apa itu? siapa yang ada di balik pintu?"Keduanya menegang. Namun, Bram yang tersadar lebih dulu segera bangkit, diikuti Thomas di belakangnya.Begitu pintu ruang kerja Bram terbuka, ketegangan semakin terjadi. Tiara menatap dua pria di hadapannya dengan mata memerah penuh amarah. Bahkan ia tidak peduli, jika disekitarnya berdiri terdapat pecahan gelas yang berserakan."Kakak Ipar?" Seketika Thomas menelan kasar salivanya. Ia yakin, Tiara sudah pasti mendengar semua pembicaraannya dengan Bram tadi. "Menyingkirlah Ara, kakimu bisa terluka. Pak Mun!"Peringatan Bram tidak Tiara indahnya, tatapannya masih belum bergeser dari ambang pintu. Tepatnya lurus pada Bram yang tengah memanggil kepala pelayan di rumahnya."Iya, Tuan." Pak Mun datang. Tetapi ketika mengetahui ada begitu banyak pecahan gelas, pria paruh baya itu sontak terkejut. "Nyonya!""Tetap di tempat Anda, Pak Mun," lirih Tiara. Bram yang hendak melangkah pun mengurungkan niatnya. Ia sadar tatapan sang istri menyiratkan kekece
Tiara tidak bisa mendengar apapun lagi, memilih menyendiri di dalam kamar. Merenungi keputusan yang sudah sempat membuat putrinya kebingungan harus menentukan pilihan, ikut siapa. Dan benar saja, setelah hampir satu jam terjadi pergolakan batin, sekarang Tiara bisa sedikit tenang. Walaupun kenyataan tentang Ziyan yang masih hidup belum sepenuhnya ia terima."Bagaimana bisa mereka bermain-main dengan kematian, apa mereka tidak tahu bagaimana sakitnya kehilangan?" ujarnya bermonolog. "Tapi ternyata, merasa kecewa pada seseorang juga tak kalah menyakitkan," lanjutnya lemah.Pandangan Tiara menurun begitu merasakan gerakan pelan di perutnya. Senyum seketika melengkung indah, dibarengi rasa lega manakala teringat sosok rapuh didalam sana masih bergerak aktif. Setidaknya ada alasan Tiara memilih tetap bertahan. Yah, Nana serta calon anak keduanya-lah yang akhirnya membuat Tiara sadar, jika pergi bukan keputusan akhir dari rasa kecewa yang tengah dihadapi. "Maafkan mama sudah sempat mengabaik
Dua hari telah berlalu setelah malam kunjungan Ziyan ke rumah Bram, hubungan Sari dengan Thomas pun kembali membaik setelah Sari menceritakan semuanya, dan akhirnya Thomas bisa memaklumi. Namun, berbeda dengan Tiara yang masih betah mendiamkan Bram. Bahkan ia memilih tidur bersama Nana dan akan langsung keluar begitu melihat kehadiran Bram di kamar putri mereka.Untuk itu, Bram hanya bisa diam-diam mengunjungi dua wanitanya saat tengah malam. Setelah memastikan mereka sudah terlelap. Tapi kali ini, Bram seketika tersentak saat mendapati di ranjang hanya ada Nana, ia mendekati kamar mandi dan menajamkan pendengaran. Namun, sepersekian detik berlalu, tak ada suara apapun dari dalam sana. Tidak ingin membuang waktu Bram bergegas keluar setelah menyempatkan diri membenahi selimut Nana. Ia khawatir terjadi sesuatu pada Tiara, bahkan terlintas di benaknya jika wanita itu bisa saja pergi meninggalkannya lagi."Tidak akan aku biarkan jika dia sampai nekat melakukannya lagi. Sekalipun itu ke l
Melihat Bram sudah seperti orang linglung, kemarahan Tiara sedikit meredam. Baru kembali berbicara setelah beberapa saat. "Kamu tahu? Tuan Hutoyo dan Nyonya Lasmini sangat membenciku sampai detik ini. Mereka menganggap aku-lah penyebab hancurnya persahabatan kalian. Tuan Hutoyo bahkan sampai mengusir Ziyan, dan tidak lagi mengakui anak jika tetap mempertahankan aku." Kesadaran Bram seperti ditarik paksa, penjelasan Tiara mampu mengembalikan dirinya ke alam nyata. "Semua itu Ziyan lakukan hanya demi kemanusiaan, demi melindungi aku dan anakmu. Dari siapa?" Bram memejamkan mata, mengetahui Tiara sengaja menjeda kalimatnya. Tiara sendiri merasa dadanya kembali sesak, kala mengingat bagaimana dulu ia harus lari sejauh mungkin jika ingin tetap hidup. "Mawar," lanjut Tiara pelan.Mata Bram seketika melebar sempurna, hingga nyaris lepas dari cangkangnya. Bersamaan dengan kedua tangan yang terkepal kuat, nafasnya pun memburu bak singa yang siap menerkam mangsanya. Namun, tiba-tiba bahunya men